Tag: Ninik Rahayu

  • Empat lembaga bentuk gugus tugas pengawasan iklan kampanye

    Empat lembaga bentuk gugus tugas pengawasan iklan kampanye

    “Gugus tugas ini bagian dari upaya kami untuk menyehatkan kampanye kita, menyehatkan kampanye di pemberitaan, media sosial, media penyiaran, media cetak, dan seterusnya. Tentu peran Bawaslu, Dewan Pers, KPI, sangat penting dalam hal ini,”Jakarta (ANTARA) – Empat lembaga yang terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Dewan Pers, dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menandatangani surat keputusan bersama (SKB) pembentukan gugus tugas untuk Pilkada 2024.

    Gugus tugas itu secara lengkap bernama Gugus Tugas Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran, dan Iklan Kampanye dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024.

    “Gugus tugas ini bagian dari upaya kami untuk menyehatkan kampanye kita, menyehatkan kampanye di pemberitaan, media sosial, media penyiaran, media cetak, dan seterusnya. Tentu peran Bawaslu, Dewan Pers, KPI, sangat penting dalam hal ini,” kata Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin di Kantor Dewan Pers, Jakarta, Selasa.

    Sementara itu, Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja mengatakan bahwa gugus tugas tersebut dapat melakukan tugas pengawasan terhadap seluruh konten dalam media, baik cetak maupun elektronik.

    “Pengawasannya akan ada di KPI untuk media elektronik, TV dan radio, dan juga media cetak ada Dewan Pers,” kata Bagja.

    Pada kesempatan itu, Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu turut mengusulkan pembentukan kantor kerja bersama, baik fisik maupun virtual, agar kinerja antar lembaga tersebut dapat terkonsolidasi dengan baik.

    Adapun Ketua KPI Pusat Ubaidillah menyatakan dukungan terhadap pembentukan gugus tugas tersebut.

    “SKB merupakan hal yang dinantikan seluruh jajaran KPI di daerah karena KPI membutuhkan satu penyelarasan regulasi dari pemegang kepentingan yang nantinya ikut serta menjaga kondusifitas penyelenggaraan pilkada,” kata Ubaidillah.

    Sebelumnya, KPI Pusat menerbitkan Surat Edaran (SE) KPI Nomor 6 Tahun 2024 tentang pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota tahun 2024.

    Dalam SE KPI Nomor 6 Tahun 2024 itu, siaran kampanye dan iklan di lembaga penyiaran dilakukan mulai 10 – 23 November 2024. Kemudian, pelaksanaan masa tenang pada 24 – 26 November 2024. Adapun masa kampanye telah dilaksanakan sejak 25 September 2024.

    Pewarta: Rio Feisal
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2024

  • AI Bagi Media dan Jurnalis: Disrupsi atau Destruksi?

    AI Bagi Media dan Jurnalis: Disrupsi atau Destruksi?

    Jakarta

    Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) ternyata menghadirkan berbagai dinamika dan problematika yang kompleks di sejumlah sektor usaha dan profesi, termasuk bagi industri media. Risiko disrupsi pun destruksi lantaran AI, memerlukan tata kelola yang cermat. AI menawarkan ragam manfaat berupa efisiensi dan kreativitas dalam banyak hal, namun juga memberikan tantangan teknis dan etis tersendiri dalam industri media dan kerja jurnalis.

    Teknologi AI memang memberikan sejumlah turunan aplikasi yang dapat digunakan oleh media dan jurnalis, baik itu AI Prediktif, yang dapat digunakan untuk memberikan rekomendasi konten dan analisis tren pembaca masa mendatang, hingga AI Generatif, yang dapat meringkas wawancara dengan cepat hingga memberikan analisis data dalam jumlah besar. Dengan mengotomatiskan banyak tugas yang bersifat repetitif dan menyederhanakan proses yang rumit, AI sejatinya dapat merevolusi bagaimana media bekerja dan memberikan kelapangan bagi awaknya untuk lebih fokus pada pekerjaan yang bersifat analitis dan kreatif.

    AI Dapat Gantikan Jurnalis?

    AI sebagai alat bantu keredaksian, akan dapat menghasilkan konten yang lebih relevan dan menarik bagi pembaca, selain tentunya membantu pula dalam memberikan saran inovasi dan gagasan untuk diseminasi konten tersebut kepada khalayak secara lebih luas. Namun, disrupsi (positif) AI ternyata menimbulkan kerisauan akan destruksi yang serius. Hal tersebut semisal tentang apakah otomatisasi (atau tepatnya: instanisasi) yang difasilitasi AI akan dapat berdampak pada menurunnya kualitas konten dan juga mengancam eksistensi jurnalis.

    Mengacu pada perkembangannya yang sedemikian pesat, memang tidak menutup kemungkinan, walau mungkin tidak dalam waktu dekat ini, AI akan dapat melakukan tugas dan fungsi editorial (baca: keredaksian). Sejumlah media di dalam maupun luar negeri sudah banyak yang menggunakan AI, untuk beragam kebutuhannya.

    Komponen manusia dalam fungsi luhur sebagai gate keeper di media rentan tergantikan, atau setidaknya, tersaingi. Kita pun harus mafhum, ketika tabiat manusia dalam melalukan konsumsi informasi di era digital saat ini telah dapat dikontrol sepenuhnya oleh algoritma.

    Maka ketika memutuskan untuk menggunakan AI, media mesti bertanggung jawab memastikan keterbukaan dan transparansi kepada pembaca serta menegakkan kontrol gate keeper redaksional hanya pada integritas jurnalis berpengalaman untuk menjamin akurasi, kedalaman dan keberpihakan berdasarkan kepekaan hati nurani dan akal sehat.

    Media sudah saatnya segera menyusun strategi untuk mengoptimalkan teknologi AI pada sejumlah lini kerja-kerja mereka, tanpa mengorbankan integritas jurnalistik, apalagi menggantikan manusia hanya dengan alasan efisiensi dan produktifitas. AI mesti difungsikan oleh media sebagai sarana meningkatkan kualitas dan kuantitas konten yang diproduksi, sembari memastikan awak dan jurnalisnya memiliki kelapangan dalam membangun potensi diri dan media tempat bernaungnya dengan menggunakan AI tersebut.

    Tata Kelola AI Beretika

    Pun, konten yang terkesan sangat realistis produksi AI, walaupun sebenarnya adalah sebentuk disinformasi, akan dapat memperburuk ekosistem media massa itu sendiri. Deepfake dan konten manipulatif yang menjamur lantaran teknologi dan kanal digital, menimbulkan konsekuensi dilema etika yang harus dihadapi oleh media. Dalam kerangka ini, menegakkan norma etika dalam kerja jurnalistik menjadi lebih rumit, terutama jika produksi konten hingga keputusan redaksional, pada derajat tertentu, melibatkan AI.

    Hingga saat ini, masih banyak yang meyakini (dan telah dapat dibuktikan) bahwa AI, ketika difungsikan sebagai sebuah sistem penunjang keputusan, sangatlah rentan bias tersebab algoritma yang tertanam ataupun data olahan yang dipasok kepadanya. Garbage in, garbage out! Selain daripada itu, penggunaan AI yang sembrono akan dapat meningkatkan ketidakpastian informasi berujung konflik, tanpa ada kejelasan siapa yang harus bertanggung jawab atas konten AI apabila senyatanya ilegal atau berbahaya.

    Seperti banyak negara lain, Indonesia tengah berupaya membuat tata kelola untuk mengurangi risiko ini. Namun taklah mudah membuat tata kelola yang melindungi kepentingan publik dan di satu sisi lainnya perlu tetap memastikan inovasi tak terhambat. Beberapa titik awal yang penting adalah prinsip-prinsip etika yang disarankan oleh Kementerian Kominfo melalui Surat Edaran No. 9/2023 tentang Etika Kecerdasan Buatan dan khusus penggunaan AI bagi media siber adalah sebagaimana termaktub pada Prinsip-prinsip Penggunaan Kecerdasan Buatan untuk Media Siber dari Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).

    Meskipun demikian, masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa media, jurnalis dan masyarakat luas pada umumnya mampu menggunakan AI secara bertanggung jawab, aman dan beretika. Pun bagi media dan jurnalis, masa depannya sangat ditentukan pada kemampuan dan kemauannya dalam beradaptasi. Sebagaimana dikutip dari Charles Darwin, Bapak Evolusi, “Bukan yang paling kuat yang bisa bertahan hidup, bukan juga yang paling pintar, namun yang yang paling bisa beradaptasi terhadap perubahan”.

    Catatan Penting Bersama

    Pada 15 Agustus 2024, didukung oleh Dewan Pers Indonesia dan Kolaborasi Riset dan Inovasi AI Indonesia (KORIKA), sebuah diskusi webinar dengan judul “Tantangan & Dilema AI bagi Media dan Jurnalis” diselenggarakan oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) dan ICT Watch. Dokumentasinya tersedia di YouTube dan materi presentasi narasumber dapat diunduh di sini. Pada beberapa bagian dari artikel ini, yang merupakan risalah dari diskusi webinar tersebut, penyusunan kerangkanya dibantu oleh AI. Adapun berikut ini adalah sejumlah catatan penting bersama yang disampaikan oleh para narasumber:

    1. Menggarisbawahi pentingnya AI dalam memajukan jurnalisme, Prof. Hammam Riza, Ketua Kolaborasi Riset dan Inovasi AI Indonesia (KORIKA) mengatakan bahwa AI dapat membantu menciptakan konten, berinovasi, melawan informasi palsu, dan meningkatkan produktivitas jurnalis. Namun, ia juga menggarisbawahi risiko otomatisasi yang membahayakan pekerjaan jurnalis dan kemungkinan hilangnya sentuhan manusia di media.

    Hammam juga menggarisbawahi perlunya etika dalam menggunakan AI karena ia melihatnya sebagai alat untuk perbaikan daripada ancaman yang menggantikan pekerjaan jurnalistik. Menjaga keamanan data terhadap manipulasi kecerdasan buatan, termasuk deep fakes, juga merupakan masalah penting dalam konteks ini sebagai upaya untuk menetapkan aturan yang adil dan wajar untuk menggunakan AI di media.

    2. Ketua Dewan Pers Indonesia, Dr Ninik Rahayu, berbicara tentang AI mengubah sektor media. AI telah memungkinkan wartawan untuk fokus pada tugas-tugas yang lebih kreatif dan analitis dengan mengalihdayakan tugas-tugas yang berulang dan menyederhanakan proses-proses yang rumit. Meskipun demikian, ia menggarisbawahi risiko-risiko adopsi AI, termasuk kemungkinan kesalahan, informasi yang salah, prasangka algoritmik, masalah hak cipta dan privasi.

    Ninik menyoroti perlunya keterbukaan dalam penggunaan AI untuk mengatasi tantangan dan akuntabilitas editorial manusia dalam menjaga kesesuaian dengan hukum dan kode etik jurnalistik. Dewan Pers sedang mengembangkan pedoman untuk penggunaan kecerdasan buatan oleh media yang etis dan bertanggung jawab.

    3. Menekankan meningkatnya kekhawatiran di kalangan perusahaan media tentang perkembangan AI, terutama kecanggihan model generatif, Arkka Dhiratara, CEO HukumOnline dan anggota Gugus Tugas AI Dewan Pers , menekankan konten yang sangat realistis yang diproduksi oleh AI generatif telah menimbulkan pertanyaan tentang kemungkinan tergesernya koresponden manusia dan pembuat konten. Bersamaan dengan kepercayaan publik terhadap informasi yang beredar luas, hal ini bermuara pada pertanyaan tentang keaslian konten, kemungkinan penyebaran informasi palsu, dan keberadaan deepfake.

    Arkka juga membahas konsekuensi moral dan hukum dari hak kekayaan intelektual, kepemilikan konten yang dihasilkan oleh kecerdasan buatan, dan kemungkinan prasangka algoritma AI. Oleh karena itu, untuk menurunkan risiko yang terkait dengan pengembangan teknologi ini, tata kelola AI yang adil dan tepat harus ditetapkan oleh para pemangku kepentingan terkait.

    4. Penasehat ICT Watch / Ketua Siberkreasi, Donny BU, menggarisbawahi adanya disrupsi dan kerentanan destruksi yang ditimbulkan oleh kecerdasan buatan yang tengah dihadapi media massa dan jurnalis. Ia mencatat bahwa dimungkinkan kini redaksional dikelola oleh AI, melayani pemirsa yang telah dikepung oleh algoritma. Donny menggarisbawahi perlunya etika dalam menggunakan kecerdasan buatan untuk pembuatan konten dan personalisasi konten yang efektif.

    Ia juga menyarankan media untuk mulai meningkatkan kapasitas jurnalisnya agar memiliki kompetensi dalam permanfaatan teknologi digital dan AI. Selain itu, kerja sama multipihak sangat penting untuk menjamin tata kelola AI yang etis, aman, dan bertanggung jawab serta memajukan nilai-nilai kesetaraan, perlindungan data pribadi, dan hak kekayaan intelektual. Materi presentasi dapat diunduh di https://s.id/dbu-media-ai.

    (fyk/fay)

  • Ketua Dewan Pers Ungkap Tantangan Wartawan Saat ini

    Ketua Dewan Pers Ungkap Tantangan Wartawan Saat ini

    Surabaya (beritajatim.com) – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengungkapkan bahwa menjadi wartawan untuk saat ini tidak mudah. Sudah banyak perbedaan dan tantangan di era teknologi seperti sekarang ini.

    Ninik menyebut, dulu namanya berita hanya dilahirkan dari seorang jurnalis atau orang menyebutkannya wartawan. Sekarang, masyarakat dibuat bingung, untuk membandingkan mana yang merupakan berita dengan mana yang merupakan informasi. Sebab, begitu banyaknya informasi yang saat ini dengan mudah dan cepat disebarluaskan oleh media sosial (medsos).

    “Sekarang berbagai platform digital yang banyak menyajikan informasi yang memberi kesan sebagai sebuah berita,” kata Ninik, dalam sambutannya saat acara penutupan Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) di Provinsi Jawa Timur di Hotel Oakwood Surabaya, ditulis Minggu (5/5/2024).

    Nah, tantangan yang harus dilakukan oleh wartawan, yakni harus berjibaku untuk meyakinkan masyarakat. Meyakinkan dan merebut kembali hati masyarakat, untuk menggunakan media mainstream sebagai rujukan kebenaran.

    “Wartawan harus meyakinkan masyarakat untuk menggunakan media mainstream sebagai rujukan kebenaran,” kata perempuan berkacamata itu.

    Sedangkan untuk menentukan suatu tulisan, apakah melanggar kode etik jurnalistik atau tidak. Apakah tulisan itu sudah sesuai dengan koridor penulisan yang baik atau tidak. Tentu, untuk menganalisanya dibutuhkan kemampuan atau kompetensi.

    Kompetensi seperti itu bisa didapatkan oleh seorang wartawan, yakni dengan mengikuti UKW.
    “Ya saya yakini, sebenarnya kemampuan itu sudah dimiliki wartawan tanpa uji kompetensi. Mereka dengan kecanggihan teknologi, di mana pun bisa belajar secara mandiri,” katanya.

    Hanya saja, menurut Ninik, uji kompetensi wartawan ini menjadi hal yang penting. Dengan mengikuti UKW, para wartawan memiliki legalitas. Pengakuan terhadap kompetensi yang dimiliki dalam hal jurnalistik. Dia mencontohkan seperti dalam belajar beragama, yakni iksan.

    “Orang bisa belajar sendiri, tetapi belajar yang benar ya harus ada gurunya. Seperti halnya UKW, gurunya ya penguji itu. Penguji akan mengingatkan jika peserta membuat kesalahan. Kalau belajar sendiri, tidak ada yang bisa menunjukkan itu benar atau tidaknya. Orang belajar sendiri bisa-bisanya merasionalkan jika yang ia pelajari benar semua,” pungkasnya.

    Untuk diketahui, UKW di Provinsi Jawa Timur diikuti oleh ratusan peserta, baik untuk jenjang muda, madya dan utama. Kegiatan yang digelar di hotel Oakwood Surabaya selama 2 hari itu, diselenggarakan oleh Dewan Pers.

    Dalam kesempatan itu, Dewan Pers bekerja sama dengan 4 lembaga uji, yakni dari PWI, PFI, IJTI dan Lembaga Uji Kompetensi Wartawan (LUKW) Universitas Dr Soetomo (Unitomo). [end/suf]

  • Dewan Pers Minta Dua Oknum Prajurit TNI di Halmahera Diproses Hukum

    Dewan Pers Minta Dua Oknum Prajurit TNI di Halmahera Diproses Hukum

    Jakarta (beritajatim.com) – Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, pihaknya telah melakukan komunikasi dengan Kepala Staf TNI AL Muhammad Ali menyusul kasus penganiayaan seorang wartawan oleh prajurit TNI AL di Halmahera Selatan. Ninik pun meminta dua oknum prajurit itu diproses hukum.

    “Kami melakukan komunikasi dengan Kepala Staf Angkatan Laut untuk memastikan bahwa satu, perlindungan kepada korban,” kata Ninik di gedung Dewan Pers, Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Senin (1/4/2024).

    Ninik meminta jaminan proses hukum pada pelaku pun harus diusut tuntas. Dia pun berharap, jangan sampai setelah ada peristiwa ini kemudian ada bentuk-bentuk intimidasi dan kekerasan lanjutan kepada wartawan ataupun keluarganya. Dewan pers pun akan terus memantau korban, termasuk keluarganya dan mengawal proses hukum terhadap korban.

    “Kami berharap, korban mendapatkan jaminan kesehatan untuk memulihkan kondisi fisiknya dan yang ketiga adalah kami meminta kepada pimpinan staf angkatan Laut untuk memastikan bahwa proses hukum terhadap pelaku dijalankan sebaik-baiknya,” katanya.

    Hal ini perlu ditekankan, karena Ninik memperoleh informasi bahwa korban mendapatkan intimidasi untuk melakukan perdamaian. Hal ini setelah keluarga korban dipaksa menandatangani surat perdamaian.

    “Kami memperoleh informasi bahwa ada indikasi-indikasi oknum yang ingin memaksa melakukan perdamaian secara paksa. Jadi keluarga korban diminta untuk menandatangani surat perdamaian,” katanya.

    Dia pun mengingatkan, apa pun bentuk keberatan terhadap pemberitaan dapat diselesaikan secara etik. Menurut Ninik, ada hak jawab yang bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang keberatan terhadap pemberitaan

    “Ini peristiwa yang patut kita kecam bersama, karena jurnalis adalah satu aktivitas yang baik dalam rangka mencari, mengolah, sampai mendistribusikan berita adalah salah satu kerja pers yang harus dilindungi dalam konteks pemberitaan, kebutuhan perlindungan fisik, dan sebagainya,” kata Ninik. [ian]

  • Dewan Pers Minta Dua Oknum Prajurit TNI di Halmahera Diproses Hukum

    Aduan Menteri Bahlil, Dewan Pers Perintahkan Tempo Minta Maaf

    Jakarta (beritajatim.com) – Dewan Pers mengeluarkan rekomendasi dan memerintahkan Tempo meminta maaf kepada Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Hal ini terkait aduan Bahlil ke Dewan Pers atas konten pada Majalah Tempo serta program podcast Bocor Alus Politik (BAP) di kanal YouTube Tempo.co.

    Berdasarka surat rekomendasi yang dikeluarkan Dewan Pers, Tempo dinyatakan melanggar Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik karena menyampaikan informasi yang tidak akurat. Melalui surat itu pula, Dewan Pers mengharuskan Tempo melayani hak jawab beserta permintaan maaf.

    “Teradu (Tempo) wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu (Bahlil) secara proporsional, disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat pembaca, selambat-lambatnya pada edisi berikutnya setelah Hak Jawab diterima,” tulis Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam surat tersebut, Senin (18/3/2024).

    Dalam surat tersebut Bahlil pun diminta untuk memberikan Hak Jawab kepada Tempo selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah surat dari Dewan Pers tersebut diterima dalam format ralat dengan prinsip-prinsip pemberitaan atau karya-karya jurnalistik, namun tidak boleh mengubah substansi atau makna Hak Jawab yang diajukan.

    “Teradu wajib melaporkan bukti tindak lanjut PPR ini ke Dewan Pers selambat-lambatnya 3 x 24 jam setelah Hak Jawab dimuat. Apabila Pengadu tidak memberikan Hak Jawab dalam batas waktu, maka Teradu tidak wajib untuk memuat Hak Jawab,” tulis surat tersebut lagi.

    Sementara itu jika Tempo tidak melayani Hak Jawab bisa dipidana denda senilai Rp500 juta Keputusan ini pun bersifat final dan mengikat secara etik. Dalam surat tersebut Tempo terbukti melanggar Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik karena tidak akurat.

    Menanggapi surat tersebut, Bahlil mengaku tidak ambil pusing dan tetap menghormati Tempo sebagai media yang kredibel. Dirinya pun menghormati Undang-Undang Kebebasan Pers yang ada.

    “Alhamdulillah, hari ini baru kami terima, saya baru terima surat cinta dari Dewan Pers yang menyatakan bahwa Tempo dalam kesimpulan dan rekomendasi Dewan Pers itu meminta maaf kepada saya sebagai pengadu dan memberikan hak jawab yang proporsional dan melanggar pasal 1 kode etik, itu rekomendasi dari Dewan Etik. Tapi saya suka kok, kita bersahabat,” kata Bahlil dalam acara Konferensi Pers Prospek Investasi Pascapemilu 2024 di Jakarta.

    Ia pun berharap Tempo dapat berbenah terkait manajamen pemberitaan mereka khususnya dalam meminta waktu kepada narasumber yang dituju. Bahlil menyatakan kesiapannya untuk diwawancara jika sudah dijadwalkan sebelumnya.

    “Saya pun diberikan sanksi oleh Dewan Pers. Bahwa kalau pers meminta waktu harus diberi waktu. Saya taat waktu tapi jangan minta di banyak dan jangan memaksa hari ini. Ini kadang berita mau naik besok kalian baru minta hari ini. Itu yang bikin saya pusing kadang-kadang,” ujar Bahlil.

    Meski begitu, Bahlil tetap memandang Tempo sebagai salah media yang hebat. Begitu juga dengan media-media lain yang dapat berkoordinasi dan berkolaborasi dengan pemerintah untuk kebaikan Indonesia.

    “Saya sangat menghargai Tempo. Tempo adalah majalah langganan saya, favorit saya. Sejak mahasiswa, saya suka dan saya apresiasi. Saya meyakini kinerja pemerintah hanya dapat berjalan dengan baik jika terdapat koordinasi dan kolaborasi yang terjalin secara positif antara semua media dengan pemerintah,” kata Bahlil mengakhiri.

    Diberitakan sebelumnya, Bahlil melaporkan konten pada podcast Bocor Alus Politik (BAP) yang ditayangkan di Youtube tempo.co dan pemberitaan Majalah Tempo ke Dewan Pers. Ia memberikan kuasa kepada Staf Khusus Menteri Investasi/Kepala BKPM Tina Talisa yang menemui Dewan Pers didampingi Kepala Biro Hukum Rilke Jeffri Huwae di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Senin (4/3/2024).

    Tina mengungkapkan bahwa Bahlil berkeberatan karena sebagian informasi yang disampaikan ke publik mengarah kepada tudingan dan fitnah, juga sarat dengan informasi yang tidak terverifikasi. Informasi tersebut dinilai tidak akurat dan belum terverifikasi tersebut menimbulkan kesan negatif kepada Bahlil Lahadalia dan juga Kementerian Investasi/BKPM. Sesuai dengan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, kata Tina, pengaduan sengketa pemberitaan diatur Dewan Pers untuk mengawasi pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik. [beq]

  • Kekerasan pada Perempuan dalam 18 Bulan Tercatat 15.921 Kasus

    Kekerasan pada Perempuan dalam 18 Bulan Tercatat 15.921 Kasus

    Jakarta (beritajatim.com) – Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) mencatat data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi saat ini, sepanjang tahun 2022 sampai dengan bulan Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang.

    Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang. Berdasarkan jenis kekerasannya, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan korban berjumlah paling banyak adalah kekerasan fisik dengan jumlah 7.940 kasus, kekerasan psikis berjumlah 6.576, kekerasan seksual berjumlah 2.948 kasus, dan penelantaran sejumlah 2.199 kasus.

    Hal ini diungkap Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) dalam acara Kick Off Meeting Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) kerja sama KPPPA dengan Perkumpulan JalaStoria Indonesia.

    Menurut Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan Eni Widiyanti, meski ada jaminan perlindungan yang terangkum di UUD 45, dan UU lainnya namun masih ada perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban kekerasan.

    “Sekarang yang paling penting adalah bagaimana korban mau bicara. Sehingga mereka bisa mendapatkan bantuan dan juga pertolongan mengatasi trauma, sekaligus pelaku bisa diberikan efek jera,” kata Eni.

    Ditambahkan Eni bahwa Penghapusan KDRT ini harus disosialisasikan dengan beberapa alasan, diantaranya data kekerasan masih tinggi dan UU PKDRT sudah hampir dua dekade.

    Eni mengatakan bahwa kolaborasi sangat penting untuk bisa membantu kampanye penghapusan KDRT di masyarakat. “Dukungan dari media, dengan upaya penghapusan KDRT ini menjadi upaya kolaborasi. Tanpa upaya semua pihak cita-cita untuk melindungi bangsa terutama perempuan dan anak tidak bisa dicapai,” kata Eni.

    Sementara itu Direktur Eksekutif JalaStoria Dr. Ninik Rahayu menjabarkan, acara Kampanye Penghapusan KDRT akan dilakukan secara berkesinambungan dalam September 2023 ini. Selain Kick off Meeting dengan jurnalis, akan ada tiga dialog yang masing-masing akan dihadiri tokoh agama, lembaga pengada layanan dan aparat penegak hukum.

    Kemudian akan ada satu pertemuan besar di ruang publik yang melibatkan masyarakat luas sebagai bagian dari kampanye implementasi UU PKDRT. “Kita akan mendengarkan tantangan yang dihadapi aparat penegak hukum, lembaga penyedia layanan, dan juga tokoh agama dalam penyelesaian KDRT. Tiga institusi ini yang kerap didatangi korban pertama kali,” kata Ninik. [kun]

    BACA JUGA: 27 Persen Perempuan Pernah Alami Kekerasan Seksual dan KDRT