Tag: Nico Siahaan

  • Nico Siahaan: Perbaiki Ruang Digital, Bukan Sertifikasi Influencer

    Nico Siahaan: Perbaiki Ruang Digital, Bukan Sertifikasi Influencer

    Jakarta, Beritasatu.com – Wacana pemerintah menerapkan sertifikasi bagi influencer menuai banyak sorotan publik. Selebritas sekaligus anggota DPR Junico Siahaan menilai, kebijakan tersebut belum mendesak untuk diterapkan di Indonesia.

    Ia menegaskan, pemerintah sebaiknya lebih dulu memperbaiki kondisi ruang digital yang masih semrawut.

    “Menurut saya, sertifikasi influencer belum menjadi prioritas utama di Indonesia karena ruang digital kita masih sangat karut-marut aturannya,” ujar Nico Siahaan dikutip dari Instagram miliknya, Selasa (11/11/2025).

    Menurutnya, persoalan mendasar di dunia digital bukan pada siapa yang memiliki sertifikat, melainkan lemahnya regulasi terhadap akun anonim yang sering menyebar hoaks dan melakukan penipuan daring.

    “Masalah utama di dunia digital Indonesia bukan siapa yang punya sertifikat, tapi siapa yang bersembunyi di balik akun anonim yang menyebar hoaks, ujaran kebencian, dan melakukan penipuan tanpa tanggung jawab hukum,” tegasnya.

    Nico Siahaan juga menyoroti maraknya kebocoran data pribadi masyarakat yang terus berulang tanpa solusi konkret.

    Menurutnya, hal itu seharusnya menjadi fokus utama pemerintah dibandingkan menerapkan sertifikasi bagi para kreator digital.

    Lebih lanjut, ia meminta pemerintah berhati-hati dalam menyusun regulasi agar tidak justru mengekang kebebasan berekspresi di dunia digital.

    Nico Siahaan menegaskan, penguatan keamanan siber dan penegakan hukum digital harus menjadi langkah awal dalam menciptakan ekosistem internet yang sehat.

    “Fokus dahulu memperkuat penegakan hukum dan keamanan digital. Jangan sampai sertifikasi influencer malah membatasi kebebasan berekspresi dan mematikan kreativitas anak muda,” tutupnya.

  • PDIP perkuat kapasitas kader beri pendampingan bagi pekerja migran

    PDIP perkuat kapasitas kader beri pendampingan bagi pekerja migran

    Jakarta (ANTARA) – Ketua DPP PDIP Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Mercy Barends mengatakan PDIP telah menyusun sejumlah rekomendasi dan akan pembekalan kepada kadernya dalam memberikan perlindungan kepada pekerja Indonesia baik domestik maupun migran.

    Mercy menyebut PDIP perlu menegaskan posisi ideologinya dan hadir sebagai partai pro-pekerja serta menyiapkan Sistem Manajemen Kasus Tenaga Kerja dan Perlindungan Migran Indonesia (TKP2MI) terpadu berbasis struktural partai dengan membentuk sayap partai.

    “Melakukan penguatan kapasitas kader dan relawan partai sebagai pendamping dan paralegal TKP2MI serta melakukan fungsi integrasi secara secara kolaboratif lintas multi-pihak untuk fungsi advokasi, pendampingan dan pemulihan fisik, psikososial, hukum, pemberdayaan ekonomi dan administrasi secara holistik dan terpadu,” kata Mercy dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Hal itu disampaikan Mercy dalam lokakarya bertajuk Kajian Kritis: Regulasi, Layanan dan Diplomasi Tenaga Kerja Domestik dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Sekolah Partai Lenteng Agung.

    Dalam kesempatan itu Mercy juga mendorong kampanye publik dan reformasi kebijakan yang pro pekerja.

    Oleh karena itu, dia menambahkan kerja sama multi pihak sangat diharapkan dalam perlindungan pekerja, antara lain pemerintah, dunia usaha, serikat buruh termasuk partai politik.

    Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana memaparkan sejumlah tantangan utama dalam ketenagakerjaan domestik.

    Dimana, ada soal pengangguran dan mismatch pendidikan-industri; dominasi sektor informal dan lemahnya jaminan sosial serta belum adanya UU khusus pekerja domestik karena RUU Pekerja Rumah Tangga belum disahkan, akibatnya perlindungan melemah.

    Tak hanya itu, dampak otomasi dan digitalisasi dunia kerja yang membuat kebutuhan tenaga kerja menjadi berkurang.

    “Layanan publik ketenagakerjaan dan mekanisme pengaduan belum optimal, sistem layanan belum terintegrasi untuk sektor informal,” ujarnya.

    Tak sampai di situ, Eva juga mengungkapkan arah transformasi kebijakan ketenagakerjaan nasional. Salah satunya, reformasi regulasi dan perlindungan pekerja domestik mulai dari penyusunan regulasi, perluasan jaminan sosial dan layanan publik ketenagakerjaan.

    “Peningkatan kualitas, keterampilan, dan martabat pekerja domestik,” jelasnya.

    Dalam menjawab tantangan pekerja domestik, Eva mengatakan strategi dan kolaborasi yang harus dilakukan baik pemerintah dan masyarakat diantaranya koordinasi lintas sektor dan pemerintahan daerah; partisipasi organisasi pekerja domestik dan LSM; integrasi data dan digitalisasi layanan dan tentunya peningkatan kapasitas fungsional pengantar kerja, pengawas dan mediator.

    Maka dari itu, dalam menjawab permasalahan pekerja domestik diperlukan transformasi kebijakan ketenagakerjaan nasional adalah langkah menuju keadilan sosial.

    “Kemnaker berkomitmen menyediakan pekerjaan layak, menjamin perlindungan sosial, dan meningkatkan martabat serta kesejahteraan tenaga kerja domestik,” kata Eva.

    Dalam kesempatan yang sama, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayat mengatakan bahwa hak setiap orang dengan bebas dan tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan yang menghormati hak fundamental dan martabat sebagai manusia.

    Serta, memberi pemasukan yang layak untuk diri dan keluarga, serta menjamin keamanan, kesehatan fisik dan mental, dan keselamatan.

    “Termasuk di dalamnya hak kolektif untuk berserikat, berunding, dan mendorong perlindungan sosial,” jelas Anis.

    Turut hadir dalam acara ini, Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto yang memberi sambutan serta anggota DPR RI TB Hasanuddin, Nico Siahaan, Wayan Sudirta, Pulung Agustanto dan Edy Wuryanto. Lalu, Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning dan Sri Rahayu.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PDIP: Megawati minta pemulangan pekerja migran tak ditunda-tunda

    PDIP: Megawati minta pemulangan pekerja migran tak ditunda-tunda

    Jakarta (ANTARA) – Ketua Umum DPP PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri menegaskan komitmennya dalam perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mendapat perlakukan tidak adil di luar negeri.

    Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan Presiden Kelima RI itu juga terus mempertegas mekanisme pemulangan PMI harus dilaksanakan dengan cepat. Pasalnya, perlindungan terhadap PMI yang menghadapi persoalan, tidak boleh ditunda-tunda dalam proses pemulangan.

    “Ibu Megawati mempertegas jika ada persoalan, proses pemulangan jangan ditunda-tunda,” kata Hasto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Hal itu diceritakan Hasto oleh saat membuka lokakarya bertajuk Kajian Kritis: Regulasi, Layanan dan Diplomasi Tenaga Kerja Domestik dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Sekolah Partai Lenteng Agung.

    Megawati juga mempertegas komitmennya terhadap aspek perlindungan PMI dengan menghadirkan Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekeria Migran Indonesia dalam struktur Partai pada periode 2025-2030.

    Megawati bahkan rela turun langsung untuk memberikan perlindungan kepada PMI. Dimana, salah satunya kasus PMI di Rusia yang ditanganinya secara langsung demi memberikan perlindungan bagi warga negara Indonesia.

    “Berkaitan dengan seringnya persoalan yang dihadapi Buruh Migran Indonesia, Ibu Mega langsung turun tangan. Contoh terakhir di Rusia, Ibu Mega langsung menghubungi Wakil Dubes Rusia untuk Indonesia Veronika Novoselteva berkaitan dengan pemulangan warga Indonesia,” kata Hasto.

    Hasto juga menyampaikan pesan yang selalu disampaikan Megawati kepada seluruh kader PDI Perjuangan di seluruh Indonesia dan Dewan Pimpinan Luar Negeri (DPPN) bahwa jalankan terus ideologi Pancasila sebagai pegangan dalam melindungi Pekerja Migran Indonesia.

    “Jalankan ideologi Pancasila dengan sebaik-baiknya dalam melindungi pekerja Indonesia. Karena sesuai ideologi Pancasila, dalam Konstitusi kita telah mengatakan dan sudah diatur bahwa setiap warga negara punya hak yang sama di hadapan hukum dan pemerintahan,” jelas Hasto menyampaikan pesan Megawati.

    Lokakarya ini juga menghadirkan sejumlah nara sumber diantaranya, Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana; Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayat; Ketua DPP PDIP Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Mercy Barends serta perwakilan organisasi buruh.

    Turut hadir dalam acara ini, anggota DPR RI TB Hasanuddin, Nico Siahaan, Wayan Sudirta, Pulung Agustanto dan Edy Wuryanto. Lalu, Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning dan Sri Rahayu.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • PDIP Siap Bantu Pemerintah, Usulkan Ada Satuan Khusus untuk Lindungi Pekerja Migran Indonesia – Page 3

    PDIP Siap Bantu Pemerintah, Usulkan Ada Satuan Khusus untuk Lindungi Pekerja Migran Indonesia – Page 3

    Hasto pun mengingatkan pada cita-cita pendiri Indonesia, bahwa negara hadir untuk menjamin bekerjanya kemanusiaan dan keadilan sosial dan kehidupan yang layak bagi semua warga negaranya.

    “Ini yang harus kita sentuh dengan mengingatkan kembali bahwa pada dasarnya republik ini dibangun dengan suatu cita-cita besar, cita-cita keadilan sosial. Cita-cita di mana dalam demokratisasi ekonomi harus memastikan setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak secara kemanusiaan atas pekerjaannya,” kata dia.

    Adapun turut hadir, Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana; Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayat; Ketua DPP PDIP Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Mercy Barends serta perwakilan organisasi buruh.

    Selain itu, ada juga sejumlah Anggota DPR seperti TB Hasanuddin, Nico Siahaan, Wayan Sudirta, Pulung Agustanto dan Edy Wuryanto. Lalu, Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning dan Sri Rahayu.   

  • PDIP tekankan pendekatan ideologis dalam Perlindungan Pekerja

    PDIP tekankan pendekatan ideologis dalam Perlindungan Pekerja

    Kami bisa membantu pemerintah untuk mengaktifasi kader-kader PDI Perjuangan yang juga berada di seluruh dunia. Bahkan kita bisa mendirikan semacam komite kerja atau semacam task force untuk melindungi buruh-buruh migran

    Jakarta (ANTARA) – Sekretaris Jenderal DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menegaskan bahwa partainya menekankan masalah perlindungan pekerja lebih dari sekadar persoalan teknis, pelanggaran hukum atau hak asasi manusia (HAM) semata, melainkan sebagai persoalan ideologis.

    Hal itu disampaikannya menyoroti berbagai persoalan serius yang dihadapi oleh Tenaga Kerja Indonesia (TKI), baik domestik maupun migran.

    “Kita melihat berbagai persoalan yang terjadi, seperti penempatan ilegal dan perdagangan orang, kekerasan fisik dan psikis, tidak digaji sesuai dengan kontrak, dokumen kerja palsu atau disiksa oleh majikan,” kata Hasto dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.

    Hal itu disampaikan Hasto dalam workshop bertajuk Kajian Kritis: Regulasi, Layanan dan Diplomasi Tenaga Kerja Domestik dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

    Acara yang digelar di Sekolah Partai PDIP Lenteng Agung, Jakarta ini turut diikuti oleh Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, kader partai hingga perwakilan dari pemerintah yakni Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) serta Komnas HAM.

    Hasto menambahkan berbagai tragedi kemanusiaan terkait pekerja menggugah perasaan semua pihak untuk melindungi pekerja Indonesia. Oleh karena itu, Hasto menegaskan bahwa PDIP memiliki tanggung jawab konstitusional untuk melindungi seluruh bangsa Indonesia.

    Pria kelahiran Yogyakarta itu menyebut peran Dewan Pimpinan Luar Negeri (DPLN) PDIP yang dapat membantu pemerintah dalam melindungi buruh migran yang berada di berbagai negara.

    Untuk memperkuat perlindungan, Hasto mengusulkan pembentukan satuan tugas khusus.

    “Kami bisa membantu pemerintah untuk mengaktifasi kader-kader PDI Perjuangan yang juga berada di seluruh dunia. Bahkan kita bisa mendirikan semacam komite kerja atau semacam task force untuk melindungi buruh-buruh migran,” jelas Hasto.

    Hasto pun mengingatkan kembali pada cita-cita pendirian Republik Indonesia, bahwa negara hadir untuk menjamin bekerjanya kemanusiaan dan keadilan sosial dan kehidupan yang layak bagi semua warga negaranya.

    “Ini yang harus kita sentuh dengan mengingatkan kembali bahwa pada dasarnya Republik ini dibangun dengan suatu cita-cita besar, cita-cita keadilan sosial. Cita-cita di mana dalam demokratisasi ekonomi harus memastikan setiap warga negara Indonesia berhak mendapatkan penghidupan yang layak secara kemanusiaan atas pekerjaannya,” kata Hasto.

    Langkah pembentukan taskforce perlindungan pekerja migran ini diharapkan dapat menjadi aksi nyata PDIP dalam menyelesaikan masalah-masalah aktual yang dihadapi pekerja migran Indonesia, terutama di wilayah-wilayah rawan seperti perbatasan Thailand dan Kamboja, sekaligus mengingatkan pemerintah akan mandat konstitusionalnya.

    Workshop ini juga menghadirkan sejumlah nara sumber diantaranya, Sekretaris Ditjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Eva Trisiana; Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayat; Ketua DPP PDIP Bidang Tenaga Kerja dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Mercy Barends serta perwakilan organisasi buruh.

    Turut hadir dalam acara ini, anggota DPR RI TB Hasanuddin, Nico Siahaan, Wayan Sudirta, Pulung Agustanto dan Edy Wuryanto. Lalu, Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning dan Sri Rahayu.

    Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Jadi Korban Penipuan di Medsos, Nico Siahaan Curhat di DPR

    Jadi Korban Penipuan di Medsos, Nico Siahaan Curhat di DPR

    Jakarta, Beritasatu.com – Selebritas sekaligus anggota DPR Junico Siahaan atau Nico Siahaan meminta pertanggungjawaban platform dalam mengawasi para penipu yang beredar di transaksi jual beli yang terjadi di media sosial (medsos). Nico Siahaan pernah menjadi korban penipuan.

    “Saya ini salah satu korban iklan Instagram. Saya bicara apa adanya karena saya ditipu, makanya saya mau bertanya di sini,” jelas Nico Siahaan saat RDPU Panja Penyiaran Komisi I DPR dengan platform Google, YouTube, Meta dan Tiktok di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (17/7/2025).

    “Karena pemasangan iklan itu enggak ada skriningnya, yang tukang tipu juga boleh iklan. Jadi, mana tanggung jawabnya?” tegas Nico Siahaan dengan nada emosi

    Nico Siahaan mengatakan, jika tidak ingin disamakan dengan aturan penyiaran yang lain, maka platform media sosial ini harus melakukan seleksi lebih dan mengerjakan PR-nya sendiri

    “Saya beli suatu barang, ternyata bukan penjual asli. Jadi, kami pribadi harus melakukan seleksi. Kalau teman-teman mengatakan kami jangan diatur sama,” ungkapnya.

    “Buktinya, tidak mau diatur sama tetapi teman-teman tidak melakukan PR-nya sendiri. Sehingga hal tersebut tidak fair jika dibandingkan dengan aturan penyiaran yang lain” sindirnya.

    Ia berharap, platform media sosial bisa melakukan kurasi lebih terhadap iklan-iklan yang beredar di platform untuk melindungi para konsumen

    “Ayo lebih ketat lagi pengaturannya, jangan sampai ada orang tertipu. Iklannya sah loh. Ada tanda “ads”, ya saya percaya dong. Saya beli ternyata penipu,” tuturnya.

    “Kalau di marketplace enggak pernah ada, paling salah barang. Karena, marketplace melakukan pengawasan terhadap itu dan melakukan kurasi makanya kami belanja,” jelas nya.

    Menurutnya, perlu penguatan pengawasan iklan jual beli di platform. Hal tersebut dalam rangka melindungi konsumen.

    “Kalau memang enggak bisa dikurasi jangan diperbolehkan. Kalau enggak mau tanggung jawab, jangan ada iklan jual beli di platform,” katanya.

    “Ini bagian dari pengawasan kami, supaya menjadi bagian dari perlindungan konsumen juga,” tutupnya.

  • DPR Minta Indonesia Tiru Kanada, Atur Transparansi Algoritma Meta–TikTok Cs

    DPR Minta Indonesia Tiru Kanada, Atur Transparansi Algoritma Meta–TikTok Cs

    Bisnis.com, JAKARTA— Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berharap Indonesia bisa meniru sejumlah negara yang telah lebih dahulu menerapkan regulasi ketat terhadap platform digital seperti Meta, YouTube, dan TikTok. Khususnya dalam pengawasan algoritma.

    Hal tersebut seiring dengan pembahasan Revisi UU Penyiaran untuk menyesuaikan regulasi penyiaran dengan perkembangan zaman, termasuk tantangan dari media baru dan platform digital. 

    Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai NasDem, Amelia Anggraini, mencontohkan pendekatan beberapa negara yang telah memiliki regulasi tegas.

    “Seperti di Kanada itu melalui Kebijakan Online Streaming Act, mewajibkan semua platform seperti Meta, dan TikTok, dan YouTube juga tunduk pada regulasi nasional. Termasuk transparansi, algoritma, dan kontribusi pada ekosistem media lokal,” kata Amelia Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran bersama perwakilan dari platform digital seperti Google, YouTube, Meta, dan TikTok di Komisi I  DPR RI, Jakarta, Selasa (15/7/2025). 

    Dia juga menyinggung regulasi yang diterapkan oleh Perancis dan Singapura. 

    Perancis melalui Autorité de régulation de la communication audiovisuelle et numérique (ARCOM) mewajibkan platform digital mendaftarkan diri dan membuka sistem rekomendasi untuk diaudit. 

    Sementara Singapura menggunakan UU Protection from Online Falsehoods and Manipulation Act (POFMA) yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menangani disinformasi digital.

    Amelia lantas meminta penjelasan langsung dari Meta terkait kesiapan platform tersebut terhadap rencana pengawasan yang tengah dirumuskan dalam pembahasan revisi UU Penyiaran. Termasuk transparansi, algoritma,  penghapusan konten yang melanggar pedoman perilaku penyiaran,  serta kewajiban untuk pendaftaran platform ke lembaga pengawas penyiaran.

    “Bagaimana pandangan Meta Group ini terhadap rencana pemerintah untuk mengatur dan mengawasi penyelenggaraan platform digital penyiaran dalam beberapa hal,” katanya. 

    Dalam RUU Penyiaran yang tengah dibahas, DPR mengusulkan agar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diberikan wewenang untuk mengakses algoritma rekomendasi konten. Tujuannya untuk mencegah penyebaran konten ekstrem, hoaks, paham radikal, hingga konten yang tidak layak bagi anak.

    Amelia juga menyoroti kecenderungan algoritma yang tidak transparan dan dikhawatirkan mematikan keragaman budaya lokal. Dia pun kembali menegaskan urgensi revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yang dinilai sudah tidak relevan dengan dinamika media saat ini.

    “Undang-undang ini dari tahun 2002 sudah tidak relevan dengan situasi saat ini. Maka itu direvisi. Karena konten itu juga kan definisinya sama dengan siar. Sesuatu yang dipublis, sesuatu yang disiar,” katanya.

    Logo TikTok di Smartphone

    Sebelumnya, Head of Public Policy TikTok Indonesia Hilmi Adrianto menyampaikan keberatan jika platform user-generated content (UGC) seperti TikTok disamakan dengan lembaga penyiaran tradisional dalam hal pengawasan dan regulasi.

    “Kami melihat perbedaannya sangat signifikan dengan lembaga penyiaran tradisional, terutama dari sisi pembuatan isi konten. Platform UGC seperti TikTok memuat konten yang dibuat oleh pengguna individu, lembaga penyiaran tradisional, maupun layanan OTT,” ujar Hilmi.

    Menurutnya, TikTok sudah menerapkan sistem moderasi konten berbasis teknologi dan manusia di bawah kerangka Kominfo dan Komdigi, sehingga pengawasan tak perlu disamakan dengan media siaran.

    “Kami merekomendasikan agar platform UGC tidak diatur di bawah aturan yang sama dengan penyiaran konvensional guna menghindari ketidakpastian hukum. Kami menyarankan agar platform UGC tetap berada di bawah moderasi Komdigi,” tegasnya.

    Hilmi juga menolak pendekatan one-size-fits-all terhadap platform digital dan media konvensional karena perbedaan model bisnis dan tata kelola konten yang mendasar.

    Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Nico Siahaan, menyatakan revisi UU Penyiaran penting untuk mengisi kekosongan aturan terhadap konten digital.

    “Kalau konten terestrial sudah jelas ada aturan, tapi konten digital belum. Bagaimana pengaturannya? Ini tetap harus kita atur,” kata Nico ditemui usai RDPU, pada Senin (14/7/2025).

    Dia menyebut definisi “siaran” tidak bisa diubah sembarangan. Jika seseorang membantu menyebarluaskan konten, bisa saja tetap dikenai ketentuan penyiaran, meski bukan pembuat konten langsung. Nico pun membuka opsi pemisahan pengaturan antara media digital dan konvensional dalam dua UU terpisah. 

    “Kalau memisahkan ya bisa saja. Artinya kita bisa pisahkan dengan judul yang lain. UU yang lain nanti kita bikin,” katanya.

  • Tak Ada Skrining, Tukang Tipu Bisa Ngiklan

    Tak Ada Skrining, Tukang Tipu Bisa Ngiklan

    Bisnis.com, JAKARTA— Anggota Komisi I DPR RI, Nico Siahaan, mempertanyakan lemahnya pengawasan terhadap konten iklan di platform digital seperti Instagram. 

    Hal ini disampaikan Nico dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran bersama perwakilan dari platform digital seperti Google, YouTube, Meta (Induk dari Instagram dan Facebook), dan TikTok di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (15/7/2025) 

    Dalam forum tersebut, Nico secara terang menyuarakan kekhawatirannya terhadap iklan-iklan yang tidak melalui proses kurasi atau penyaringan yang memadai.

    “Saya jadi korban iklan Instagram, pemasangan iklan itu enggak ada skrinning, tukang tipu bisa ngiklan. Jadi mana tanggung jawabnya [platform]? Jadi kami harus melakukan seleksi sendiri,” kata Nico. 

    Nico menilai tidak adil apabila platform digital meminta agar tidak disamakan aturannya dengan televisi konvensional, sementara di sisi lain mereka tidak menjalankan tanggung jawabnya secara optimal. 

    Dia menyoroti lemahnya pengawasan terhadap iklan, yang bahkan membuka celah bagi penipuan. Menurutnya, seharusnya platform digital juga menerapkan pengawasan yang lebih ketat agar tidak merugikan konsumen.

    Politisi dari PDI Perjuangan tersebut menyebut minimnya moderasi terhadap iklan di media sosial membuat perlindungan konsumen menjadi lemah. Dia membandingkan dengan praktik kurasi yang diterapkan marketplace yang dinilai lebih bertanggung jawab.

    “Kalau enggak mau tanggung jawab, jangan mau ada iklan jual beli di situ. Ini perlindungan konsumen juga,” katanya.

    Nico juga menyinggung adanya ketimpangan regulasi antara media konvensional dan platform digital, terutama soal periklanan. 

    Dia menyebut media sosial memiliki kebebasan lebih besar, bahkan untuk produk-produk yang dilarang tayang di televisi nasional.

    Lebih jauh, Nico menyoroti dampak ketidakseimbangan regulasi tersebut terhadap industri penyiaran konvensional. 

    Dia mencontohkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menimpa ribuan pekerja media televisi karena semakin tergerusnya porsi iklan akibat dominasi platform digital.

    “Di televisi sudah ada PHK di depan mata kami, sudah 4 ribu batch pertama. Orang bilang itu risiko bisnis. Ini kita duduk lah sama-sama temen-temen, kalau bisa ada pasal-pasal yang disampaikan. Kesannya jangan diatur sama, supaya fair,” katanya lagi.

    Nico menegaskan media sosial memang menghasilkan kontribusi ekonomi bagi Indonesia. Namun, dia mengingatkan bahwa kontribusi dari warga Indonesia kepada platform tersebut juga sangat besar, sehingga perlu ada keadilan dan penghargaan terhadap posisi masing-masing. 

    Dia juga mengkritik minimnya upaya platform digital dalam mengedukasi publik tentang konten berbahaya, termasuk judi online.

    “Sosialisasi anti judol enggak ada tuh dari platform. Temen-temen sudah melakukan tapi kurang banyak. Dampaknya udah terlalu besar. Ini sama-sama memikirkan menyelamatkan generasi muda, bagaimana yang bisa kita lakukan untuk Indonesia,” katanya.

  • DPR Bakal Atur Konten Digital di Seluruh Platform

    DPR Bakal Atur Konten Digital di Seluruh Platform

    Bisnis.com, JAKARTA— Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta agar konten yang terdapat di platform digital diatur sebagaimana yang terjadi pada siaran terestrial.

    Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Panja Penyiaran dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN), Sahabat Peradaban Bangsa, dan Asosiasi Konten Kreator Seluruh Indonesia (AKKSI), Anggota Komisi I DPR RI Nico Siahaan mengungkapkan perlunya membuat aturan terhadap konten digital. 

    “Kalau konten terestrial sudah jelas ada aturan, tapi konten digital belum. Bagaimana pengaturannya? Ini tetap harus kita atur. Kita atur,“ kata Nico ditemui usai RDPU di kompleks parlemen Jakarta  Senin (14/7/2025). 

    Nico menekankan pentingnya percepatan revisi UU Penyiaran agar semua pihak memiliki kesadaran yang sama bahwa konten perlu diatur secara jelas dan tegas.

    Dia juga menekankan definisi “siaran” tidak bisa begitu saja diubah. Apabila seseorang membantu dalam proses penyebarluasan konten, maka bisa tetap dikenai ketentuan dalam undang-undang tersebut, meskipun mengklaim bukan sebagai pihak yang menyiarkan.

    Menurutnya, kemungkinan besar bagian “ketentuan umum” akan banyak mengalami perubahan. Terkait opsi pemisahan antara penyiaran konvensional dan media digital dalam bentuk UU yang berbeda, hal itu memungkinkan. 

    Namun, jika ingin dipisahkan, maka perlu disusun sebagai undang-undang baru yang terpisah.

    “Kalau memisahkan ya bisa saja. Artinya kita bisa pisahkan dengan judul yang lain. UU yang lain nanti kita bikin,” katanya. 

    Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Akbarshah Fikarno Laksono mengatakan revisi UU Penyiaran sudah dimulai sejak 2012. 

    Namun sampai dengan hari ini belum juga kunjung selesai. Pihaknya pun menargetkan supaya revisi tersebut rampung pada periode 2024–2029. 

    “Kami memang menargetkan di periode ini akan segera rampung,” katanya. 

    Namun demikian, Dave mengatakan pihaknya belum membuat rangkaian jadwal yang ditetapkan untuk proses penyusunan, pembahasan, hingga pengesahan revisi undang-undang tersebut.

    Dave menjelaskan draf RUU Penyiaran belum dibagikan ke publik karena masih mengalami sejumlah perubahan. Dia menyebut, draf tersebut telah berubah tiga kali, salah satunya karena adanya aturan induk yang tertuang dalam Undang-Undang Cipta Kerja. 

    Beberapa ketentuan yang sebelumnya dimuat dalam RUU Penyiaran, seperti soal multiflexing, akhirnya diatur dalam UU Cipta Kerja.

    “Masih ada substansi yang juga tak kalah pentingnya yang kita putuskan di RUU Penyiaran ini,” katanya. 

  • Komisi I: Penyiaran radio dan digital idealnya tak digabung RUU Penyiaran

    Komisi I: Penyiaran radio dan digital idealnya tak digabung RUU Penyiaran

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua Komisi I DPR RI Sukamta menilai idealnya undang-undang yang mengatur tentang penyiaran melalui gelombang radio frekuensi dan penyiaran melalui platform digital tidak digabung menjadi satu dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (RUU Penyiaran).

    “Memang idealnya undang-undang ini dipecah, enggak jadi satu (dalam RUU Penyiaran). Ada undang-undang penyiaran, ada undang-undang telekomunikasi, ada undang mungkin penyiaran digital sendiri, atau mungkin ada undang-undang mestinya selain keamanan cyber-nya,” kata Sukamta di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin.

    Hal itu disampaikan Sukamta dalam rapat dengar pendapat umum Panitia Kerja (Panja) RUU Penyiaran Komisi I DPR RI bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Sahabat Peradaban Bangsa (SPB), dan Asosiasi Konten Kreator Seluruh Indonesia (AKKSI).

    Namun, dia mengkhawatirkan apabila undang-undang tersebut dipecah sendiri-sendiri maka produk legislasi tersebut tak kunjung disahkan sebab proses penyusunan suatu undang-undang memakan waktu yang tidak sebentar.

    “Undang-Undang Penyiaran ini kita revisi sudah sejak 2012, sampai hari ini belum kelar, Pak. Sudah ganti zaman, ganti teknologi, sudah usang banget undang-undang (tahun) 2002. Saya khawatir kalau ini kami pecah, nanti pecahnya nggak jadi (undang-undang), Pak. Betul-betul enggak jadi,” ujarnya.

    Untuk itu, Sukamta mengatakan demi kepraktisan maka tidak apa-apa jika sementara pengaturan terkait penyiaran maupun penyiaran digital digabung terlebih dahulu ke dalam RUU Penyiaran.

    “Memang jadi agak ada pemaksaan soal definisi (penyiaran) misalnya, memang agak kami memaksakan, isinya juga mungkin nanti agak dipaksakan antara penyiaran berbasis terestrial, penyiaran OTT, kemudian ada tadi konten kreator,” ucapnya.

    Wakil Ketua Komisi I DPR RI Dave Laksono juga mengamini bahwa lebih baik pengaturan terkait penyiaran melalui gelombang radio frekuensi dan penyiaran melalui platform digital digabung terlebih dahulu dalam RUU Penyiaran.

    “Undang-undang itu kan juga living document ya, Pak. Jadi, memang bilamana ke depannya dibutuhkan untuk pemisahan, ya bisa saja (nanti dipecah), tapi kalau tidak dimulai sekarang, nanti tidak ada ujungnya. Jadi, biar kami selesaikan ini (RUU Penyiaran), nanti ke depannya bisa ada penyempurnaan lagi,” katanya.

    Sementara itu, anggota DPR RI Junico Siahaan menilai pentingnya meredefinisi terlebih dahulu soal pemaknaan penyiaran itu dalam RUU Penyiaran, apakah sebatas pada penyiaran gelombang radio frekuensi atau mencakup pula platform digital.

    “Karena kalau dibilang siaran, definisinya kan sebuah one-to-many. Sementara hari ini platform tidak merasa bahwa mereka menyiarkan. Jadi, ini kita harus re-definisi sampai ketemu betul-betul,” kata Nico Siahaan, sapaan karibnya, dalam rapat tersebut.

    Sebab terlepas dari medium penyiarannya apakah melalui gelombang radio frekuensi atau platform digital, dia memandang secara substansi yang ingin diatur dan dilindungi dalam RUU Penyiaran adalah sama-sama terkait dengan konten yang disiarkannya.

    “Sementara ke depan tantangannya akan ada AI, ada Starlink, kita enggak tahu nyebutnya apa nanti karena tidak pakai frekuensi. Entah apalagi nanti teknologi ke depan, tapi bentuknya adalah sebenarnya konten itu yang mau kita kawal sama-sama,” tutur dia.

    Sebelumnya, Komisi I DPR RI menggelar rapat dengar pendapat dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi), Lembaga Penyiaran Publik (LPP) TVRI, LPP RRI, hingga Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA dalam rangka panitia kerja membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (10/3).

    Adapun RUU tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran menjadi RUU yang masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas yang diusulkan Komisi I DPR RI.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Didik Kusbiantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.