Bisnis.com, JAKARTA – Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengusulkan penyediaan ruang demonstrasi di halaman gedung DPR RI.
Menurutnya, hal itu menjadi langkah strategis untuk memperkuat praktik demokrasi substantif.
Pigai dalam keterangan diterima di Jakarta, Senin, mengatakan demokrasi substantif yang ia maksud, yaitu ketika aspirasi masyarakat tersalurkan, ketertiban publik terjaga, dan simbol kedaulatan hadir di jantung parlemen.
“Menyediakan ruang demonstrasi di halaman DPR adalah pilihan strategis yang perlu dipertimbangkan serius karena akan mempertemukan masyarakat dengan lembaga yang mewakili mereka,” ujarnya dilansir dari Antara, Senin (15/9/2025).
Menham mengemukakan masyarakat berhak menyampaikan pendapat secara damai.
Dia juga menyebutkan bahwa Negara bukan hanya menghormati hak tersebut, melainkan juga berkewajiban memastikan ruang tersebut ada, salah satunya melalui gagasan penyediaan ruang demonstrasi itu.
Menurut Pigai, usulan dimaksud sejalan dengan sikap Presiden Prabowo Subianto.
Pada 31 Agustus 2025, ketika menyampaikan pernyataan terkait gelombang unjuk rasa, Presiden Prabowo menegaskan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat dijamin oleh Kovenan Internasional PBB tentang Hak Sipil dan Politik serta Undang-Undang HAM.
Bagi Pigai, pernyataan Presiden itu menunjukkan pemerintah konsisten dengan komitmen HAM internasional maupun nasional.
Di samping itu, hak menyampaikan pendapat juga dijamin oleh Pasal 28E Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Namun, ia mengatakan praktik demokrasi di Indonesia kerap menimbulkan gesekan, terutama karena lokasi unjuk rasa sering berada di jalan utama yang menyebabkan kemacetan dan potensi benturan.
Oleh karenanya, Pigai meyakini dengan menyediakan ruang demonstrasi di halaman gedung DPR RI, negara bisa menjawab dilema tersebut. Dengan begitu, hak masyarakat dijamin dan ketertiban umum tetap terjaga.
Ia menyebut ruang demonstrasi sudah dipraktikkan di beberapa negara, di antaranya Jerman menyediakan alun-alun publik di Berlin untuk aksi besar dengan pemberitahuan resmi dan Inggris mengatur demonstrasi di Parliament Square dengan izin khusus.
Singapura, kata dia, menyediakan ruang demonstrasi di Speakers’ Corner Hong Lim Park, sedangkan di Amerika Serikat terdapat free speech zones dalam acara politik besar.
Sementara itu, Korea Selatan, masih menurut Pigai, melarang aksi di dekat istana, parlemen, dan pengadilan, tetapi memfasilitasi aksi besar di ruang publik ikonik seperti Gwanghwamun Square.
“Gagasan semacam ruang demonstrasi ini juga sebenarnya sudah pernah diusulkan oleh DPR-RI dalam Rencana Strategis DPR 2015–2019 dengan menyebut pembangunan ‘alun-alun demokrasi’,” katanya.
Lokasi Demonstrasi di Kompleks Gedung DPR
Alun-alun demokrasi itu diusulkan dibangun di sisi kiri kompleks DPR, menempati area Taman Rusa, lapangan futsal, dan parkir. Rencana tersebut didesain untuk menampung lebih kurang 10.000 orang dengan fasilitas panggung orasi permanen, pengeras suara, jalur evakuasi, dan akses aman.
“Peresmian simbolis pernah dilakukan pada 21 Mei 2015, tetapi proyek ini tidak berlanjut,” ucapnya.
Selain itu, sambung Pigai, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2016 membangun Taman Aspirasi di Plaza Barat Laut Monas, seluas lebih kurang 1.000 meter persegi dengan fasilitas taman terbuka, mural, dan ruang ekspresi publik.
“Namun, ruang ini lebih bersifat simbolik dan tidak difungsikan sebagai lokasi demonstrasi resmi yang diakui hukum,” tuturnya.
Ia mengatakan pengalaman internasional memberi pelajaran penting, Singapura dengan Speakers’ Corner-nya kerap dikritik karena ruang demonstrasi justru berubah menjadi instrumen pembatasan.
Sebaliknya, Jerman dan Korea Selatan menunjukkan ruang aspirasi di jantung kota memperkuat demokrasi tanpa menutup kemungkinan aksi di tempat lain.
Oleh karena itu, kata Pigai, usulan ruang demokrasi di halaman DPR perlu dipandang sebagai penambahan ruang resmi yang representatif, aman, dan simbolis, alih-alih dimaknai sebagai upaya membatasi demonstrasi hanya di sana.
Menurut Pigai, dengan cara itu, Indonesia bisa menghindari jebakan regulasi yang mengekang kebebasan dan justru memperluas fasilitasi demokrasi dalam bentuk paling substantif.
Menteri HAM lanjut mengatakan usulan halaman DPR sebagai ruang demonstrasi merupakan kesempatan kedua untuk mewujudkan gagasan yang sudah lama tertunda.
“Dulu, DPR pernah menuliskannya dalam renstra, Pemprov DKI pernah membangunnya di Monas. Kini, dengan momentum politik yang tepat, kita bisa memastikan ruang demokrasi itu benar-benar hadir, bukan sekadar wacana,” jelas Natalius Pigai.
Respons DPR
Komisi XIII DPR RI menilai usulan Menteri HAM Natalius Pigai menyediakan ruang demonstrasi di DPR sebagai solusi positif menyalurkan aspirasi rakyat, namun menekankan perlunya pengaturan agar tak mengganggu aktivitas parlemen.
Wakil Ketua Komisi XIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Andreas Hugo Pareira menyambut baik usulan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai menyediakan ruang demonstrasi di halaman gedung DPR karena menurutnya dapat membantu penyaluran aspirasi publik secara lebih tertib.
“Ide yang baik, DPR kan rumah rakyat. Nanti ketika rapat di DPR, silakan Pak Natalius usulkan sehingga dapat dibicarakan,” kata Andreas kepada ANTARA di Jakarta, Selasa (16/9).
Ia menjelaskan salah satu persoalan demonstrasi yang kerap terjadi di luar pagar DPR adalah timbulnya gangguan lalu lintas. Hal itu, menurut dia, bisa diatasi jika ada lokasi khusus untuk berorasi di dalam area DPR.
Namun, Andreas tetap mengingatkan perlu ada pengaturan teknis agar usulan tersebut berjalan efektif, antara lain penentuan jumlah peserta, penanggung jawab demonstrasi, perizinan, jadwal kegiatan, kapasitas, serta koordinasi keamanan. Dia berharap usulan itu dapat segera dibahas bersama antara DPR dan Kementerian HAM agar rencana tersebut dapat mulai diatur dan direalisasikan.
“Mungkin [ide] ini suatu solusi, namun perlu dikaji betul [aturan dan regulasi] karena bagaimanapun kegiatan sehari-hari di DPR didatangi berbagai orang, baik mitra kerja pemerintah maupun masyarakat dengan berbagai kepentingan,” ujarnya.