Tag: Nasir Djamil

  • Pimpinan DPR tegaskan revisi UU MK tak digulirkan imbas putusan MK

    Pimpinan DPR tegaskan revisi UU MK tak digulirkan imbas putusan MK

    Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir (tengah) bersama pimpinan DPR RI lainnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/7/2025). (ANTARA/Melalusa Susthira K.)

    Pimpinan DPR tegaskan revisi UU MK tak digulirkan imbas putusan MK
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 08 Juli 2025 – 18:21 WIB

    Elshinta.com – Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menegaskan bahwa DPR RI tidak akan menggulirkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) imbas terjadinya polemik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan pemilu nasional dan pemilu daerah.

    Sebab, kata dia, pembahasan revisi UU MK telah digulirkan oleh DPR RI periode 2019-2024.

    “Undang-Undang MK tidak ada revisi. Kan itu sudah direvisi periode anggota DPR lima tahun yang lalu,” kata Adies di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (8/7).

    Adies mengaku dirinya mengampu sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) untuk membahas perubahan keempat revisi UU MK pada periode DPR RI sebelumnya.

    Dia menyebut pembahasan revisi UU MK yang bergulir kala itu telah sampai pada pengambilan persetujuan Tingkat I untuk dibawa ke paripurna guna disetujui menjadi undang-undang.

    “Revisi MK itu kan sudah selesai lima tahun yang lalu, kebetulan saya ketua panjanya dan itu tinggal tunggu. Itu sudah tinggal Rapat Paripurna Tingkat II saja, tinggal paripurna. Jadi kita tinggal tunggu saja, bamus (badan musyawarah),” tuturnya.

    Namun, lanjut dia, revisi UU MK akhirnya menjadi RUU operan atau carry over untuk dibahas oleh DPR RI periode 2024-2029.

    “Tapi sampai saat ini belum ada pembicaraan dari pimpinan, kalau ada kan dia di rapim (rapat pimpinan), kemudian dibamuskan, tapi belum ada terkait dengan (revisi UU MK), belum ada pembicaraan,” kata dia.

    Sebelumnya, Senin (7/7), Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan bahwa munculnya wacana revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, bukan karena adanya Putusan MK yang memisahkan sistem pemilu nasional dan pemilu lokal/daerah.

    Dia mengatakan bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut tidak memiliki korelasi dengan revisi UU MK, karena DPR merupakan lembaga yang berwenang untuk membentuk dan merevisi undang-undang.

    “Kami tidak mempersoalkan putusan itu, sebab itu ranah dan kewenangan kuasa pada hakim MK. Jadi DPR sebagai pembentuk UU harus mengevaluasi institusi-institusi yang diatur dalam konstitusi, salah satunya MK,” kata Nasir di kompleks parlemen, Jakarta.

    Adapun dalam laman resmi DPR RI, RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sudah terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2024-2029. Naskah akademik RUU tersebut disiapkan oleh DPR RI.

    Pada 13 Mei 2024, Komisi III DPR RI bersama Pemerintah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dibawa ke Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna DPR RI.

    Rapat kerja bersama Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Polhukam) itu digelar ketika DPR RI masih berada pada masa reses di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.

    “Kami meminta persetujuan kepada anggota Komisi III dan Pemerintah apakah pembahasan RUU tentang Mahkamah Konstitusi dapat dilanjutkan pada Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna,” kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir dikutip dari laman resmi DPR RI.

    Sumber : Antara

  • Anggota DPR: Wacana revisi UU MK tak terkait putusan soal pemilu

    Anggota DPR: Wacana revisi UU MK tak terkait putusan soal pemilu

    “Kami tidak mempersoalkan putusan itu, sebab itu ranah dan kewenangan kuasa pada hakim MK. Jadi DPR sebagai pembentuk UU harus mengevaluasi institusi-institusi yang diatur dalam konstitusi, salah satunya MK,”

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan bahwa munculnya wacana revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, bukan karena adanya Putusan MK yang memisahkan sistem pemilu nasional dan pemilu lokal/daerah.

    Dia mengatakan bahwa Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 tersebut tidak memiliki korelasi dengan revisi UU MK, karena DPR merupakan lembaga yang berwenang untuk membentuk dan merevisi undang-undang.

    “Kami tidak mempersoalkan putusan itu, sebab itu ranah dan kewenangan kuasa pada hakim MK. Jadi DPR sebagai pembentuk UU harus mengevaluasi institusi-institusi yang diatur dalam konstitusi, salah satunya MK,” kata Nasir di kompleks parlemen, Jakarta, Senin.

    Menurut dia, upaya untuk memperbaiki UU tentang Mahkamah Konstitusi bukan hendak mengamputasi kewenangan MK. Pasalnya, kata dia, kewenangan MK sudah jelas diatur dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945.

    “Tidak ada niat misalnya bagi DPR untuk mengamputasi atau mengerdilkan, atau menjadikan MK di bawah DPR. Kebetulan saja mungkin revisi UU MK itu berdekatan dengan putusan MK,” katanya.

    Namun, dia menilai bahwa sudah biasa jika sejumlah Anggota DPR atau sejumlah partai politik merespons dan memberikan komentar terhadap putusan MK tersebut. Menurut dia, hal itu memang sesuatu yang perlu dilakukan oleh partai politik.

    “Tentu saja banyak pihak yang pro dan kontra, dan itu hal yang lumrah di alam demokrasi,” katanya.

    Adapun dalam laman resmi DPR RI, RUU tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sudah terdaftar dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2024-2029. Naskah akademik RUU tersebut disiapkan oleh DPR RI.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Nasir Djamil Ingatkan Kejaksaan, Penyadapan Harus Diatur UU Khusus

    Nasir Djamil Ingatkan Kejaksaan, Penyadapan Harus Diatur UU Khusus

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Langkah Kejaksaan Agung yang menjalin nota kesepahaman dengan empat operator telekomunikasi untuk melakukan penyadapan menuai sorotan.

    Anggota Komisi III DPR RI, Nasir Djamil mengingatkan bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 5/PUU-VIII/2010, penyadapan wajib diatur melalui undang-undang khusus yang hingga kini masih dalam pembahasan pemerintah dan DPR.

    “Putusan MK itu jelas menyatakan bahwa penyadapan harus diatur melalui undang-undang khusus. Sampai hari ini, beleid itu belum juga dibentuk, baik oleh pemerintah maupun DPR,” ujar Nasir dalam keterangan video, Sabtu (28/6/2025).

    Ia menambahkan, Komisi III DPR RI sebenarnya telah beberapa kali mengundang berbagai pihak untuk melakukan pengayaan terhadap rencana pembentukan UU Penyadapan.

    Namun hingga kini, naskah RUU-nya belum juga masuk dalam pembahasan formal.

    Nasir Djamil juga menyinggung Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan, khususnya Pasal 30C yang mengatur kewenangan kejaksaan dalam melakukan penyadapan.

    Menurutnya, pasal tersebut secara eksplisit hanya dapat diimplementasikan setelah ada UU khusus tentang penyadapan.

    “Ada kesepahaman antara pemerintah dan DPR saat itu bahwa pelaksanaan Pasal 30C baru bisa dilakukan jika UU Penyadapan sudah terbentuk,” tegas Politisi PKS ini.

    Oleh karena itu, lanjut Nasir, dirinya terkejut ketika mendengar adanya MoU antara Kejaksaan Agung dan operator seluler terkait penyadapan. Ia menyatakan belum melihat isi MoU tersebut dan mengaku akan mendorong Komisi III untuk segera meminta klarifikasi resmi.

  • Lembaga Mati Suri yang Sudah Tak Efektif Lagi

    Lembaga Mati Suri yang Sudah Tak Efektif Lagi

    PIKIRAN RAKYAT – Presiden Prabowo Subianto resmi membubarkan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), lembaga bentukan Presiden ke-7 RI Joko Widodo pada 2016. Keputusan tersebut diteken melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 49 Tahun 2025 yang secara resmi mencabut Perpres Nomor 87 Tahun 2016.

    “Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” kata bunyi Pasal 1 Perpres tersebut, yang diakses melalui laman resmi Kementerian Sekretariat Negara.

    Alasan pembubaran tegas disebutkan dalam konsiderans Perpres: Satgas dinilai sudah tidak efektif dan tidak relevan dengan kebutuhan saat ini.

    Dari Harapan Besar Menjadi Lembaga Mati Suri

    Satgas Saber Pungli pada masa awalnya digadang sebagai garda depan pemberantasan pungutan liar, terutama di instansi pelayanan publik. Namun seiring waktu, peran dan kinerjanya mulai dipertanyakan.

    Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil menilai langkah Presiden Prabowo sebagai keputusan tepat daripada membiarkan lembaga tersebut terus berada dalam kondisi mati suri.

    “Iya, daripada dia mati suri, sebaiknya memang harus dilikuidasi. Karena memang tidak jelas, tidak efektif, dan tangkapannya pun kecil serta tidak signifikan,” kata Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis 19 Juni 2025.

    Menurutnya, instansi seperti KemenPANRB melalui program Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM) sudah cukup mampu mencegah pungli.

    “Sebenarnya itu sudah bisa mencegah yang namanya pungli. Tapi pembubaran ini jangan sampai menghilangkan komitmen pemerintah dalam pemberantasan pungli,” ujarnya.

    Legislator Lain: Tak Perlu Ada Satgas Jika Sudah Ada Polri, KPK, dan Kejaksaan

    Nada serupa datang dari Rudianto Lallo, anggota Komisi III DPR RI lainnya. Ia menyebutkan bahwa keberadaan Satgas Saber Pungli justru berpotensi tumpang tindih dengan lembaga penegak hukum yang sudah ada.

    “Sudah ada tiga penegak hukum, lalu menambah lagi satgas-satgas, nanti tumpang tindih, tidak jelas fungsinya nanti,” ujarnya.

    Rudianto menegaskan bahwa lebih baik mendorong Polri, KPK, dan Kejaksaan agar menjalankan fungsi pencegahan dan penindakan secara optimal daripada membentuk lembaga baru yang tidak sinergis.

    “Kalau tumpang tindih, nanti saling berharap, akhirnya pengawasan atau pemberantasan pungli tidak jalan,” ucapnya.

    Polri: Tanpa Satgas, Penegakan Hukum Jalan Terus

    Menanggapi pembubaran ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memastikan bahwa penindakan terhadap praktik pungli akan tetap berlangsung. Ia menyatakan bahwa Polri kini lebih menekankan pada aspek pencegahan dan pemberdayaan sistem pengawasan internal.

    “Tetap berjalan. Karena pungli-pungli kecil di tempat-tempat pelayanan publik itu masih jadi fokus kita,” ujar Sigit saat ditemui di Lapangan Bhayangkara, Mabes Polri.

    Selain itu, Polri kini juga diarahkan untuk memperkuat penanganan korupsi skala besar, sesuai arahan Presiden Prabowo dalam dokumen Astacita yang memuat delapan agenda strategis pembangunan nasional.

    “Beliau (Presiden Prabowo) berulang kali bicara soal kasus korupsi, jadi kami siapkan Korps Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Kortastipidkor),” tutur Sigit.***

  • DPR Fokus Selesaikan Revisi KUHAP, Apa Kabar Nasib RUU Perampasan Aset?

    DPR Fokus Selesaikan Revisi KUHAP, Apa Kabar Nasib RUU Perampasan Aset?

    Bisnis.com, JAKARTA — Kelanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) masih belum mendapatkan kejelasan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

    Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil mengungkapkan sebenarnya masih butuh waktu dan pemikiran lebih jernih guna menilai urgensi Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA).

    Terlebih, Nasir menyebut saat ini di Komisi III DPR sendiri sedang berfokus untuk membahas revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang rencananya akan segera dibahas seusai masa reses berakhir.

    Menurutnya soal RUU PA ini tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa. Meskipun di satu sisi dia juga tak menampik memang RUU itu sangat dibutuhkan.  

    “Tapi kita lihat situasi dan kondisi. Kami fokus bagaimana menyelesaikan Hukum Acara Pidana karena itu kami anggap adalah jalan yang terang ya, untuk mengungkapkan kasus-kasus kejahatan dan bagaimana pencari keadilan bisa mendapatkan keadilan yang hakiki,” bebernya di Gedung DPR, Jakarta Pusat, Kamis (19/6/2025).

    Legislator PKS ini melanjutkan, alasan lain belum membahas RUU PA ini karena ada beberapa pakar hukum yang menilai ini belum dibutuhkan, karena ada instrumen terkait dengan perampasan aset ini.

    “Kita juga nanti akan melihat apakah misalnya badan pemulihan aset yang ada di Kejaksaan Agung itu masih relevan ya untuk memulihkan aset-aset yang disita, dirampas oleh negara dari kejahatan korupsi,” ungkapnya.

    Sementara itu, di lain kesempatan Menteri Hukum (Menkum) Supratman Andi Agtas menegaskan Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset (RUU PA) masih merupakan inisiasi dari pemerintah.  

    “Apakah DPR ingin menginisiasi atau tetep pemerintah, bagi saya dan bagi presiden terutama yang penting RUU itu siapapun yang inisiasi tapi hasilnya selesai,” ungkapnya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (6/6/2025).

    Dengan ini, menurutnya hingga kini belum ada pembicaraan lebih lanjut soal RUU PA karena masih menunggu evaluasi Prolegnas, meskipun draf priode lalu dari pemerintah sudah ada.

  • Anggota DPR: Wacana revisi UU MK tak terkait putusan soal pemilu

    Legislator dukung pembubaran Satgas Saber Pungli ketimbang mati suri

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mendukung langkah Presiden RI Prabowo Subianto pembubaran Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) yang dibentuk pada era pemerintahan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo ketimbang berada kondisinya mati suri.

    “Iya, daripada dia mati suri, daripada Satgas Pungli itu mati suri, sebaiknya memang harus dilikuidasi, harus dibubarkan,” kata Nasir di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis.

    Dia memandang satgas tersebut tidak berjalan efektif dan implementatif karena kurang memiliki tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang jelas.

    “Memang karena enggak jelas. Jadi dia tidak efektif dan implementatif, dan tangkapannya juga kecil, kemudian yang ditangkap juga enggak signifikan,” ujarnya.

    Sebab, kata dia, penindakan terhadap pungli telah dilakukan oleh instansi maupun kementerian/lembaga lewat kewenangan dan programnya.

    Misalnya, lanjut dia, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPANRB) melalui program Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani (WBBM).

    “Itu sebenarnya kan sudah bisa mencegah yang namanya pungli tersebut,” katanya.

    Meski demikian, dia mengingatkan agar pembubaran Satgas Saber Pungli tidak mereduksi komitmen pemerintah dalam mencegah dan memberantas praktik pungli di tingkat pusat maupun daerah.

    “Jangan sampai kemudian dibubarkannya Satgas Saber Pungli ini, ya kemudian tidak ada upaya yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mencegah pungutan-pungutan liar ini, mulai dari yang paling kecil sampai yang paling besar,” kata dia.

    Sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto mencabut aturan tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) yang dibentuk pada era pemerintahan Presiden Ke-7 RI Joko Widodo.

    Pencabutan tersebut diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pencabutan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar.

    “Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 202), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” bunyi pasal 1 pada Perpres tersebut, dikutip dari laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kementerian Sekretariat Negara di Jakarta, Kamis (19/6).

    Dalam perpres tersebut disebutkan bahwa keberadaan Satgas Saber Pungli sudah tidak efektif sehingga perlu dibubarkan. Perpres Nomor 49 Tahun 2025 itu ditetapkan Presiden Prabowo pada 6 Mei 2025.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Anggota DPR buka peluang revisi UU Polri hingga UU MK usai RUU KUHAP

    Anggota DPR buka peluang revisi UU Polri hingga UU MK usai RUU KUHAP

    “Barangkali ini akan menyusul perampasan aset kah, Undang-Undang Polri kah atau revisi kembali Undang-Undang Kejaksaan, atau revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya,”

    Jakarta (ANTARA) – Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil membuka kemungkinan bahwa akan membahas revisi Undang-Undang (UU) Polri hingga revisi UU Mahkamah Konstitusi setelah pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau KUHAP selesai.

    “Barangkali ini akan menyusul perampasan aset kah, Undang-Undang Polri kah atau revisi kembali Undang-Undang Kejaksaan, atau revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, dan lain sebagainya,” kata Nasir di kompleks parlemen, Jakarta, Selasa.

    Dia mengatakan bahwa penegakan hukum harus terintegrasi melalui KUHAP yang baru, mulai dari penyidik, penuntut, pengadilan, sampai ke tingkat lembaga pemasyarakatan. Dengan KUHAP yang baru, maka semua produk hukum pun harus terintegrasi.

    Menurut dia, penyerapan aspirasi yang dilakukan Komisi III DPR RI dengan mengundang berbagai lembaga dan pakar sudah menuju tahap akhir. Di masa sidang selanjutnya, dia mengatakan bahwa RUU KUHAP akan mulai digulirkan ke tahap pembahasan.

    Dia mengatakan bahwa KUHAP yang baru harus rampung pada tahun ini guna menyesuaikan dengan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mulai 2026.

    Menurut dia, tidak mungkin jika KUHP yang diberlakukan adalah yang baru sedangkan aturan hukum acara pidananya masih menggunakan produk lama. Jangan sampai, kata dia, para pencari keadilan merasa khawatir dan cemas jika KUHAP baru belum rampung.

    Untuk itu, dia mengatakan bahwa KUHAP yang baru ditargetkan rampung paling lambat pada Desember 2025.

    “Karena kalau kita lihat sejarahnya, hukum acara pidana ini sebenarnya disahkan itu di Desember tahun 1981. Nah kita ingin mengulangi lagi, mudah-mudahan di tahun 2025, di bulan Desember yang baru ini bisa kita sahkan,” katanya.

    Sepekan sebelum masa sidang selanjutnya dibuka, menurut dia, Komisi III DPR akan mengundang berbagai pihak yang memiliki kepentingan dan pengetahuan untuk menyampaikan aspirasinya mengenai KUHAP. Selain lembaga-lembaga, sejumlah organisasi mahasiswa pun turut diundang dalam rapat tersebut.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Prabowo Ambil Alih Polemik 4 Pulau, Nasir Djamil: Bentuk Koreksi Kepmendagri

    Prabowo Ambil Alih Polemik 4 Pulau, Nasir Djamil: Bentuk Koreksi Kepmendagri

    Prabowo Ambil Alih Polemik 4 Pulau, Nasir Djamil: Bentuk Koreksi Kepmendagri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR
    Nasir Djamil
    menyatakan bahwa langkah Presiden
    Prabowo Subianto
    yang mengambil alih polemik penetapan empat pulau yang diklaim masuk ke wilayah Sumatera Utara merupakan bentuk koreksi terhadap keputusan
    Kementerian Dalam Negeri
    (Kemendagri).
    Adapun
    polemik empat pulau
    santer terdengar setelah pemerintah pusat melalui Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025, menyatakan bahwa empat pulau milik Aceh masuk dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut.
    “Pengambil alihan ini juga dalam pandangan kami sebagai bentuk koreksi terhadap keputusan Mendagri tersebut,” kata Nasir yang ditemui di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (17/6/2025).
    “Jadi koreksi Presiden sebagai Kepala Negara dan sebagai Kepala Pemerintahan terhadap Menterinya yang barangkali dalam keputusan itu belum sempurna. Tidak bijak menyikapi daerah-daerah yang dulu pernah mengalami konflik bersenjata seperti Aceh-Indonesia,” tambah dia.
    Menurut Nasir, intervensi Presiden juga bertujuan meredam ketegangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, khususnya
    Aceh dan Sumatera Utara
    , terkait status administratif empat pulau tersebut.
    “Sepengetahuan saya, mengambil alih isu ini oleh Presiden kan dimaksud untuk meredakan ketegangan antara pusat dan daerah dan juga antara Aceh dan Sumatera Utara. Kami percaya bahwa tidak ada kepentingan apapun dari Presiden Prabowo Subianto terkait mengambil alih isu ini atau kasus ini,” terangnya.
    Ia mengingatkan bahwa Aceh adalah wilayah yang memiliki sensitivitas historis dan politis karena pernah mengalami konflik bersenjata.
    Karena itu, menurutnya, penyikapan terhadap Aceh harus mengedepankan sensitivitas, bukan hanya otoritas formal.
    “Jadi itu sensitivitas itu dibutuhkan, bukan hanya sekadar otoritas. Jadi otoritas minus sensitivitas ya akibatnya seperti ini,” ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
    Lebih lanjut, Nasir membeberkan bahwa dari sisi sejarah, administrasi, hingga penamaan pulau, empat pulau tersebut sebenarnya berada di bawah kewenangan Aceh.
    Namun, pada 2009, Pemerintah Aceh sempat melakukan kekeliruan dalam pengajuan data pulau.
    “Cuma memang di tahun 2009, waktu itu Aceh keliru dalam memberikan koordinat. Dan menyampaikan ada 260 pulau, tidak termasuk 4 pulau ini. Tapi itu kemudian dikoreksi, kemudian diperbaiki, kemudian diajukan tapi tidak pernah disahuti, tidak pernah diterima, tidak pernah dijawab oleh pemerintah pusat,” jelas legislator asal Aceh ini.

    Sebagai informasi, polemik empat pulau ini mencuat usai adanya keputusan Kementerian Dalam Negeri yang menyatakan empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumut masuk ke dalam wilayah administratif Sumatera Utara.
    Keputusan ini menuai keberatan dari Pemerintah Aceh dan sejumlah elemen masyarakat di daerah tersebut.
    Presiden Prabowo Subianto, menurut Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, turun tangan langsung terkait polemik ini.
    Dasco menyatakan, Prabowo sebagai Kepala Negara memutuskan bakal mengambil alih penuh persoalan tersebut.
    Menurutnya, Prabowo segera memutuskan langkah terbaik untuk menyelesaikan hal tersebut. “Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI, bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara,” ujar Dasco dalam keterangannya, Sabtu (14/6/2025) malam.
    Dasco mengatakan, Prabowo menargetkan keputusan terkait pemindahan kepemilikan empat pulau tersebut sudah bisa rampung pekan depan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menanti Langkah Prabowo Selesaikan Polemik 4 Pulau Aceh yang Masuk Sumut…

    Menanti Langkah Prabowo Selesaikan Polemik 4 Pulau Aceh yang Masuk Sumut…

    Menanti Langkah Prabowo Selesaikan Polemik 4 Pulau Aceh yang Masuk Sumut…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Polemik empat pulau di Provinsi Aceh yang kini ditetapkan pemerintah masuk wilayah administrasi Sumatera Utara (Sumut) masih terus bergulir.
    Presiden RI Prabowo Subianto pun memutuskan untuk mengambil alih persoalan ini dan segera menentukan langkah penyelesaian dalam waktu dekat.
    Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan bahwa DPR telah menjalin komunikasi dengan
    Presiden Prabowo
    mengenai sengketa Pulau Lipan, Pulau Panjang, Pulau Mangkir Besar, dan Pulau Mangkir Kecil.
    “Hasil komunikasi DPR RI dengan Presiden RI, bahwa Presiden mengambil alih persoalan batas pulau yang menjadi dinamika antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatera Utara,” kata Dasco dalam keterangannya, Sabtu (14/6/2025) malam.
    Ketua Harian Partai Gerindra itu juga menyebutkan bahwa keputusan Presiden terkait status keempat pulau tersebut ditargetkan akan diumumkan dalam pekan ini.
    “Dalam pekan depan akan diambil keputusan oleh Presiden tentang hal itu,” jelas Dasco.
    Publik kini menantikan langkah dan kebijakan yang akan diambil Prabowo dalam menyelesaikan persoalan sensitif ini.
    Kepala negara diharapkan tidak hanya memberi kepastian hukum, tetapi juga menjaga persatuan dan harmoni antardaerah.
    Ketua Komisi II DPR RI Rifqinizamy Karsayuda menyambut baik langkah Presiden Prabowo yang turun tangan langsung untuk menyelesaikan persoalan.
    Dia berharap Prabowo tidak hanya mempertimbangkan aspek administratif dan yuridis, tetapi juga kesejarahan serta sosiologis masyarakat Aceh.
    “Kami meyakini kebijaksanaan dan pengalaman panjang Pak Prabowo untuk menjaga kesatuan NKRI akan beliau kedepankan, dalam konteks optik penyelesaian masalah sengketa 4 Pulau antara Aceh dan Sumatera Utara ini,” ujar Rifqinizamy kepada Kompas.com, Minggu (15/6/2025).
    Politikus Nasdem itu juga mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dalam menentukan langkah untuk menyelesaikan persoalan ini.
    Jika penanganan polemik ini tidak dilakukan secara hati-hati, kata Rifqinizamy, bisa memicu ketegangan baru antara Jakarta dan Aceh.
    “Kita sangat ingat bagaimana relasi antara Jakarta dengan Aceh. Jangan sampai sengketa empat pulau yang secara kesejarahan berada di Aceh, kemudian hari ini secara administratif berpindah ke Sumatera Utara, itu melukai masyarakat Aceh,” kata Rifqinizamy.
    Sementara itu, para Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari daerah pemilihan (dapil) Aceh serta Pemerintah Provinsi Aceh, telah bersepakat untuk tetap mempertahankan empat pulau tersebut sebagai bagian dari Aceh.
    Kesepakatan itu diambil setelah para “Wakil Rakyat” asal Aceh bertemu Gubernur Aceh, Muzakir Manaf dan jajaran pemerintahan Provinsi Aceh pada Sabtu (14/6/2025) malam.
    “Sikap Aceh tetap mempertahankan bahwa empat pulau yang kini masuk dalam Kabupaten Tapanuli Tengah adalah milik Aceh, baik secara historis, regulasi, administrasi, dan toponimi,” ujar Anggota DPR RI dapil Aceh II Nasir Djamil kepada Kompas.com, Minggu (15/6/2025).
    Bahkan, lanjut Nasir, para anggota DPR-DPD asal Aceh telah meminta langsung kepada Presiden agar membatalkan Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri yang mengatur soal penetapan empat pulau masuk Sumut.
    “Tanggal 29 Mei 2025 lalu, saya dan teman-teman DPR RI dan DPD RI asal Aceh sudah meminta Presiden Prabowo membatalkan SK Mendagri tentang masuknya empat pulau itu ke Sumut,” jelas Nasir.
    Di tengah memanasnya polemik, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengimbau semua pihak untuk menahan diri.
    Dia menegaskan bahwa belum ada keputusan final dari pemerintah pusat mengenai status administratif keempat pulau tersebut.
    “Saya mengajak para politisi, akademisi, para ulama, aktivis, dan tokoh-tokoh masyarakat agar menyikapi permasalahan ini dengan tenang dan penuh kesabaran agar permasalahannya dapat terselesaikan dengan baik,” kata Yusril kepada Kompas.com, Minggu (15/6/2025).
    Menurut Yusril, SK Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang telah terbit baru sebatas pemberian kode pulau dan belum menentukan batas wilayah provinsi.
    Penetapan wilayah, kata Yusril, baru bisa dilakukan melalui peraturan Menteri Dalam Negeri setelah ada kesepakatan antara Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara.
    “Memang secara geografis letak pulau-pulau tersebut lebih dekat dengan Kabupaten Tapanuli Tengah dibandingkan dengan Kabupaten Singkil. Tetapi faktor kedekatan geografis bukan satu-satunya ukuran untuk menentukan pulau tersebut masuk ke wilayah kabupaten yang paling dekat,” jelasnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bobby Nasution Tak Terima Sumut Disebut ‘Ambil ‘4 Pulau, Temui Gubernur Sumut Muzakir

    Bobby Nasution Tak Terima Sumut Disebut ‘Ambil ‘4 Pulau, Temui Gubernur Sumut Muzakir

    JAKARTA – Kemendagri memutuskan bahwa Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan masuk ke dalam wilayah administrasi Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

    Warga Aceh protes, tak terima dengan keputusan Kemendagri itu. Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menemui Gubernur Aceh Muzakir Manaf. Bobby mengajak Pemprov Aceh untuk bersama-sama mengelola potensi sumber daya alam ke-empat pulau itu.

    Sementara itu, Gubernur Aceh Muzakir Manaf menegaskan bahwa ke-4 pulau tersebut milik Aceh. Mendagri Tito Karnavian mempersilahkan pihak-pihak yang tak terima dengan keputusan itu untuk menggugat ke PTUN. Seperti yang diketahui, Aceh memiliki Otonomi Khusus Daerah, sehingga Aceh bisa mengatur urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakatnya sendiri.

    Polemik kepemilikan 4 pulau ini turut mendapat perhatian dari anggota dewan. Anggota Komisi III DPR asal Aceh, Nasir Djamil meyakini 4 pulau itu milik Aceh.

    Dewan MKD DPR Nazaruddin Dek Gam juga mendesak Mendagri Tito segera mengembalikan kepemilikan ke-empat pulau itu ke Aceh.

    Menurutnya, keputusan Kemendagri bisa menimbulkan keributan antara dua provinsi. Permasalahan kepemilikan 4 pulau ini memang telah berlangsung sejak lama. Simak informasi selengkapnya di VOI.id.