Tag: Nailul Huda

  • Platform E-commerce Terapkan Biaya Pemrosesan Rp1.250, Ini Dampaknya bagi Konsumen dan UMKM!

    Platform E-commerce Terapkan Biaya Pemrosesan Rp1.250, Ini Dampaknya bagi Konsumen dan UMKM!

    Bisnis.com, JAKARTA— Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menilai kebijakan baru berupa biaya pemrosesan order yang dikenakan sejumlah platform e-commerce berpotensi memengaruhi perilaku konsumen dan pelaku usaha kecil. 

    Kendati nilainya relatif kecil, beban tambahan tersebut tetap dapat berdampak pada transaksi, terutama bagi pelaku UMKM yang mengandalkan margin tipis.

    “Dari sisi asosiasi, biaya pemrosesan order sebesar Rp1.250 per transaksi relatif kecil, tetapi tetap berpotensi memengaruhi konsumen dan seller UMKM yang memiliki margin tipis,” kata Sekretaris Jenderal idEA, Budi Primawan saat dihubungi Bisnis pada Senin (4/8/2025).

    Dalam jangka pendek, lanjut Budi, dampak terhadap volume transaksi bisa ditekan jika platform mengimbanginya dengan promosi atau subsidi ongkir. Di sisi lain, menurutnya komunikasi yang transparan tetap penting agar kepercayaan pengguna tidak turun di tengah pelemahan daya beli. 

    “Kami menyarankan pemerintah untuk terus memantau perkembangan industri ini dan mendukung dialog dengan pelaku e-commerce agar kebijakan bisnis seperti biaya tambahan tetap seimbang, di satu sisi mendukung keberlanjutan platform, di sisi lain tidak terlalu membebani konsumen dan UMKM,” kata Budi.

    Ekonom digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga menyoroti potensi perpindahan kanal transaksi akibat adanya biaya tambahan tersebut. Dia menilai, konsumen maupun penjual yang tergolong sensitif terhadap harga bisa saja beralih ke platform lain yang tidak membebani biaya transaksi, seperti media sosial.

    “Namun memang hanya untuk penjualan yang memenuhi syarat ‘percaya’ antar satu sama lain. Toh, pembayaran bisa transfer atau QRIS statis. Pengiriman bisa melalui kurir pihak ketiga,” kata Huda.

    Seperti diberitakan sebelumnya, Tokopedia dan TikTok Shop akan mulai menerapkan biaya pemrosesan order sebesar Rp1.250 per pesanan, berlaku mulai 11 Agustus 2025 pukul 00.00 WIB. 

    Kebijakan ini berlaku untuk seluruh seller Tokopedia yang telah terintegrasi, serta semua seller di TikTok Shop by Tokopedia di Indonesia. Tokopedia dan TikTok Shop menyebutkan, kebijakan ini bertujuan mendukung perluasan program subsidi ongkir serta peningkatan layanan logistik di seluruh Indonesia. 

    “Perluasan program ongkir akan memberikan manfaat bagi seller, dengan meningkatkan visibilitas dan penjualan melalui pilihan pengiriman yang lebih menarik bagi pelanggan yang lebih luas,” tulis mereka dalam pernyataan di laman resmi.

    Biaya ini akan dikenakan pada setiap pesanan yang berhasil dikirim, tanpa memandang jumlah item atau nilai transaksi. Bahkan jika terjadi pengembalian barang atau dana setelah pengiriman, biaya tersebut tetap tidak akan dikembalikan.

    “Biaya pemrosesan order ditetapkan sebesar Rp1.250 [termasuk pajak] per pesanan yang berhasil dikirim, terlepas dari berapa banyak produk yang dimasukkan dalam pesanan,” jelas pihak Tokopedia dan TikTok Shop.

    Sementara itu, Shopee lebih dulu menerapkan biaya serupa sebesar Rp1.250 untuk setiap transaksi yang terselesaikan, efektif sejak 20 Juli 2025. 

    Dalam pengumumannya, Shopee menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari upaya mendukung pertumbuhan bisnis penjual dengan menyediakan promosi yang lebih menarik.

    “Untuk terus menghadirkan beragam promosi yang lebih menarik guna mendukung pertumbuhan bisnis Penjual, Shopee akan memberlakukan Biaya Proses Pesanan sebesar Rp1.250 untuk setiap transaksi yang terselesaikan mulai 20 Juli 2025,” demikian pernyataan Shopee.

    Shopee juga memberikan keringanan bagi penjual baru. Biaya ini tidak dikenakan untuk 50 transaksi pertama bagi penjual non-Star. Setelah itu, biaya berlaku penuh untuk setiap transaksi tanpa memandang jumlah produk dalam satu pesanan.

  • TikTok Shop dan Shopee Disebut Kejar Profit, Tambah Biaya Rp1.250 per Transaksi

    TikTok Shop dan Shopee Disebut Kejar Profit, Tambah Biaya Rp1.250 per Transaksi

    Bisnis.com, JAKARTA— Pengamat menilai langkah platform e-commerce seperti Tokopedia, TikTok Shop, dan Shopee yang mulai mengenakan biaya pemrosesan pesanan kepada seller, merupakan strategi perusahaan untuk mempercepat perolehan keuntungan.

    Pengamat ekonomi digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, mengatakan pergeseran pola bisnis e-commerce kini lebih berfokus pada profitabilitas ketimbang sekadar pertumbuhan nilai perusahaan.

    “Bagi platform, tentu ini strategi untuk bisa mencapai keuntungan lebih tinggi atau lebih cepat. Pola bisnis sekarang tidak hanya mengandalkan kuantitas atau value perusahaan, namun sudah lebih ke keuntungan per layanan,” kata Huda saat dihubungi Bisnis pada Minggu (3/8/2025). 

    Huda memperkirakan ke depannya akan semakin banyak biaya tambahan yang dibebankan kepada penjual. 

    Dia juga menilai tak menutup kemungkinan konsumen pun akan dikenakan biaya tambahan serupa. Huda menilai tren ini akan diikuti oleh hampir semua pemain di industri. 

    “Kebijakan ini nampaknya akan diterapkan di semua platform e-commerce. Shopee juga menerapkan hal yang serupa dengan apa yang diterapkan oleh Tokopedia x TikTok Shop,” ujarnya.

    Diketahui, Tokopedia-TikTok Shop dan Shopee terus memberikan kontribusi bagi masing-masing induk. Kontribusi tersebut berdampak pada peningkatan kinerja keuangan. 

    Dari sisi keuangan, PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk. (GOTO), induk Tokopedia, mencatatkan penyusutan rugi bersih sebesar 61% secara tahunan (yoy) menjadi Rp367 miliar pada kuartal I/2025, dari sebelumnya rugi Rp937 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Pendapatan GOTO naik 4% menjadi Rp4,23 triliun dari Rp4,07 triliun.

    Perseroan juga berhasil membalikkan rugi EBITDA yang disesuaikan menjadi laba sebesar Rp393 miliar, dari sebelumnya minus Rp146 miliar. 

    Dari sisi bisnis e-commerce, Tokopedia mencatatkan imbalan jasa sebesar Rp217 miliar pada kuartal I/2025.

    Logo TikTok Shop di smartphone

    Sementara itu, dan Sea Ltd., induk dari Shopee membukukan laba bersih US$410,8 juta pada kuartal I/2025, berbalik dari rugi US$23 juta pada periode yang sama tahun lalu. Pendapatan perusahaan naik 29,6% menjadi US$4,8 miliar.

    Unit e-commerce Shopee menjadi penyumbang terbesar dengan pendapatan mencapai US$3,1 miliar atau naik 28,3% yoy. 

    Shopee juga mencatatkan EBITDA yang disesuaikan sebesar US$264,4 juta, berbalik dari rugi US$21,7 juta.

    CEO Sea Ltd., Forrest Li, menyebut keberhasilan ini berkat strategi operasional yang konsisten. 

    Seperti diberitakan sebelumnya, Tokopedia dan TikTok Shop akan mulai menerapkan biaya pemrosesan order sebesar Rp1.250 per pesanan, berlaku mulai 11 Agustus 2025 pukul 00.00 WIB. 

    Kebijakan ini berlaku untuk seluruh seller Tokopedia yang telah terintegrasi, serta semua seller di TikTok Shop by Tokopedia di Indonesia. Tokopedia dan TikTok Shop menyebutkan, kebijakan ini bertujuan mendukung perluasan program subsidi ongkir serta peningkatan layanan logistik di seluruh Indonesia. 

    “Perluasan program ongkir akan memberikan manfaat bagi seller, dengan meningkatkan visibilitas dan penjualan melalui pilihan pengiriman yang lebih menarik bagi pelanggan yang lebih luas,” tulis mereka dalam pernyataan resmi.

    Biaya ini akan dikenakan pada setiap pesanan yang berhasil dikirim, tanpa memandang jumlah item atau nilai transaksi. Bahkan jika terjadi pengembalian barang atau dana setelah pengiriman, biaya tersebut tetap tidak akan dikembalikan.

    “Biaya pemrosesan order ditetapkan sebesar Rp1.250 [termasuk pajak] per pesanan yang berhasil dikirim, terlepas dari berapa banyak produk yang dimasukkan dalam pesanan,” jelas pihak Tokopedia dan TikTok Shop.

    Sementara itu, Shopee lebih dulu menerapkan biaya serupa sebesar Rp1.250 untuk setiap transaksi yang terselesaikan, efektif sejak 20 Juli 2025. 

    Dalam pengumumannya, Shopee menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari upaya mendukung pertumbuhan bisnis penjual dengan menyediakan promosi yang lebih menarik.

    “Untuk terus menghadirkan beragam promosi yang lebih menarik guna mendukung pertumbuhan bisnis Penjual, Shopee akan memberlakukan Biaya Proses Pesanan sebesar Rp1.250 untuk setiap transaksi yang terselesaikan mulai 20 Juli 2025,” demikian pernyataan Shopee.

    Shopee juga memberikan keringanan bagi penjual baru. Biaya ini tidak dikenakan untuk 50 transaksi pertama bagi penjual non-Star. Setelah itu, biaya berlaku penuh untuk setiap transaksi tanpa memandang jumlah produk dalam satu pesanan.

  • Biaya Pesanan Tokopedia-TikTok Shop dan Shopee Berpotensi Dialihkan ke Konsumen

    Biaya Pesanan Tokopedia-TikTok Shop dan Shopee Berpotensi Dialihkan ke Konsumen

    Bisnis.com, JAKARTA— Kebijakan baru platform e-commerce seperti Tokopedia, TikTok Shop, dan Shopee yang mulai mengenakan biaya pemrosesan order sebesar Rp1.250 per pesanan dikhawatirkan akan membebani konsumen.

    Pengamat ekonomi digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai langkah ini akan diterapkan semua platform e-commerce.

    Dia juga memperkirakan beban biaya tambahan ini yang hakikatnya diberikan kepada pedagang (seller) pada akhirnya akan berpotensi dialihkan kepada konsumen.

    “Seller pasti akan membebankan kepada konsumen, dan konsumen ketika diterapkan kenaikan order fee,” kata Huda saat dihubungi Bisnis pada Minggu (3/7/2025). 

    Namun demikian, lanjut Huda, kenaikan biaya tersebut cenderung terbatas, sehingga dampaknya terhadap harga jual pun diperkirakan tidak signifikan. Ketika harga barang naik, permintaan memang akan menurun, namun menurutnya penurunan tersebut tidak akan terjadi secara drastis.

    Huda juga menyoroti kemungkinan perubahan strategi diskon oleh penjual. Dia menyebut penjual akan lebih memilih memberikan potongan harga kepada pembeli yang membeli dalam jumlah lebih dari satu.

    Huda menilai kebijakan ini juga merupakan strategi platform untuk meraih keuntungan yang lebih tinggi atau lebih cepat. Menurutnya, pola bisnis e-commerce saat ini tidak lagi hanya berfokus pada kuantitas atau valuasi perusahaan, melainkan mulai bergeser ke upaya meningkatkan profit dari setiap layanan yang diberikan.

    “Jadi menurut saya, akan lebih banyak biaya-biaya yang ditanggung oleh seller ke depan. Bisa juga biaya tambahan bagi buyer juga akan ditambah,” kata Huda.

    Dia juga mengingatkan beban biaya tambahan yang terus meningkat bisa mendorong perpindahan transaksi ke media sosial seperti Instagram, Facebook, atau X (dulu Twitter), yang tidak mengenakan biaya transaksi.

    “Namun memang hanya untuk penjualan yang memenuhi syarat ‘percaya’ antar satu sama lain. Toh, pembayaran bisa transfer atau QRIS statis. Pengiriman bisa melalui kurir pihak ketiga,” ungkapnya.

    Pembeli membuka aplikasi Tokopedia-TikTok Shop

    Terkait kemungkinan intervensi pemerintah atas kebijakan ini, Huda menilai hal tersebut belum perlu dilakukan.

    “Soal intervensi, saya rasa belum waktunya pemerintah mengintervensi pasar ini. Pemerintah perlu intervensi soal barang impor saja dulu yang penting. Itu saja pemerintah gak bisa-bisa kan?” ujarnya.

    Seperti diberitakan sebelumnya, Tokopedia dan TikTok Shop akan mulai menerapkan biaya pemrosesan order sebesar Rp1.250 per pesanan, berlaku mulai 11 Agustus 2025 pukul 00.00 WIB. 

    Kebijakan ini berlaku untuk seluruh seller Tokopedia yang telah terintegrasi, serta semua seller di TikTok Shop by Tokopedia di Indonesia. Tokopedia dan TikTok Shop menyebutkan, kebijakan ini bertujuan mendukung perluasan program subsidi ongkir serta peningkatan layanan logistik di seluruh Indonesia. 

    “Perluasan program ongkir akan memberikan manfaat bagi seller, dengan meningkatkan visibilitas dan penjualan melalui pilihan pengiriman yang lebih menarik bagi pelanggan yang lebih luas,” tulis mereka dalam pernyataan resmi.

    Biaya ini akan dikenakan pada setiap pesanan yang berhasil dikirim, tanpa memandang jumlah item atau nilai transaksi. Bahkan jika terjadi pengembalian barang atau dana setelah pengiriman, biaya tersebut tetap tidak akan dikembalikan.

    “Biaya pemrosesan order ditetapkan sebesar Rp1.250 [termasuk pajak] per pesanan yang berhasil dikirim, terlepas dari berapa banyak produk yang dimasukkan dalam pesanan,” jelas pihak Tokopedia dan TikTok Shop.

    Sementara itu, Shopee lebih dulu menerapkan biaya serupa sebesar Rp1.250 untuk setiap transaksi yang terselesaikan, efektif sejak 20 Juli 2025. 

    Dalam pengumumannya, Shopee menyebut kebijakan ini sebagai bagian dari upaya mendukung pertumbuhan bisnis penjual dengan menyediakan promosi yang lebih menarik.

    “Untuk terus menghadirkan beragam promosi yang lebih menarik guna mendukung pertumbuhan bisnis Penjual, Shopee akan memberlakukan Biaya Proses Pesanan sebesar Rp1.250 untuk setiap transaksi yang terselesaikan mulai 20 Juli 2025,” demikian pernyataan Shopee.

    Shopee juga memberikan keringanan bagi penjual baru. Biaya ini tidak dikenakan untuk 50 transaksi pertama bagi penjual non-Star. Setelah itu, biaya berlaku penuh untuk setiap transaksi tanpa memandang jumlah produk dalam satu pesanan.

  • Blokir Rekening Nganggur Diprotes Keras: Bikin Orang Repot!

    Blokir Rekening Nganggur Diprotes Keras: Bikin Orang Repot!

    Jakarta

    Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengkritik kebijakan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terkait penghentian sementara atau pemblokiran rekening dormant.

    Menurutnya, kebijakan tersebut telah menyalahi hak-hak konsumsi serta telah merugikan masyarakat. Ia meminta agar pemblokiran rekening dormant segera dicabut.

    “Pemblokiran rekening ini hanya merugikan masyarakat maka sudah sewajarnya harus dicabut. Rekening itu hak nasabah sebagai konsumen, bukan hak dari PPATK,” katanya dalam keterangan tertulis, Kamis (31/7/2025).

    Nailul menjelaskan pemblokiran rekening dormant ini harus persetujuan dari pemilik rekening. Tanpa persetujuan konsumen, PPATK melalukan hal yang ilegal. Meskipun dalam UU P2SK ada aturan yang memperbolehkan OJK memblokir rekening yang terindikasi ada transaksi mencurigakan, tapi itu bukan ranah PPATK.

    “Itu yang harus dipahami oleh PPATK terkait hak warga negara,” katanya.

    Nailul menambahkan, penyalahgunaan rekening ditimbulkan dari adanya sistem yang buruk dengan pengawasan yang lemah dan langkah mitigasi yang nyaris tidak ada. Seharusnya, kata Nailul, PPATK mengecek terlebih dahulu apakah memang digunakan untuk hal yang negatif atau tidak.

    “Bisa saja karena kena PHK, atau tidak ada pemasukan, akhirnya rekeningnya tidak ada transaksi. Saat ini, waktu mencari pekerjaan bisa sampai 8 bulan. Jadi ketika ada masyarakat yang keterima kerja, maka ia harus repot urus pembukaan lagi,” katanya.

    Lebih lanjut, Nailul kebijakan pemblokiran rekening tersebut akan menambah biaya yang dikeluarkan berupa biaya yang ditimbulkan dari pembukaan kembali rekening yang tidak bersalah. Misalnya biaya transportasi yang harus dikeluarkan nasabah.

    Kemudian, ia juga menyoroti adanya peluncuran Payment ID dalam waktu dekat yang dapat melihat arus transaksi keuangan masyarakat.

    “Saya rasa lebih baik pemerintah menggunakan Payment ID untuk membuktikan dugaan terjadi penyimpangan oleh pemilik rekening tertentu. Itu dulu yang dilakukan baru bisa menyimpulkan rekeningnya digunakan untuk hal yang baik atau tidak,” katanya.

    (acd/acd)

  • Industri Padat Karya Butuh Insentif Pajak Cs untuk Hadapi Tarif Trump

    Industri Padat Karya Butuh Insentif Pajak Cs untuk Hadapi Tarif Trump

    Bisnis.com, JAKARTA — Pengamat menilai pemerintah perlu mengucurkan sederet paket kebijakan insentif untuk mendukung dunia usaha, terutama industri padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT) untuk menghadapi tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Asal tahu saja, Trump sebelumnya telah mengumumkan tarif impor sebesar 19% terhadap produk ekspor Indonesia yang masuk ke AS. Sebaliknya, ekspor produk dari Negara Paman Sam ke Indonesia akan dibebaskan dari bea masuk atau tarif 0%.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan industri padat karya menjadi sektor yang paling rentan terdampak dari kebijakan tarif Trump.

    Menurut Faisal, pemerintah perlu memberikan paket insentif kepada industri padat karya untuk menjaga arus kas (cashflow), termasuk insentif pembebasan pajak. Selain itu, kebijakan insentif juga dibutuhkan untuk menghindari gelombang PHK yang telah terjadi di industri padat karya.

    “Jadi sebetulnya itu [insentif untuk dunia usaha] perlu dipertimbangkan oleh pemerintah dan kalau bisa diakomodasi [untuk menghadapi tarif Trump],” kata Faisal kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).

    Namun demikian, kata Faisal, pemerintah perlu mempertimbangkan sejauh mana kebijakan insentif ini efektif dan membantu dunia usaha. Serta, pemerintah juga harus mengkalkulasi apakah anggaran negara mencukupi untuk mendukung paket insentif industri padat karya.

    “Tapi yang jelas, menurut saya ini adalah langkah untuk mengantisipasi tarif Trump yang berdampak terhadap ekspor dan juga berdampak terhadap lonjakan impor. Industri padat karya lah yang paling banyak terkena,” ujarnya.

    Senada, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan salah satu paket kebijakan insentif yang harus dikeluarkan pemerintah untuk industri padat karya adalah berupa perluasan PPh 21.

    Di samping itu, ujar Huda, pemerintah juga perlu memberikan pembebasan PPN untuk bahan baku industri seiring adanya tarif Trump. Dia menjelaskan, pembebasan PPN nantinya bisa mendorong daya saing industri lokal.

    Apalagi, Huda menyampaikan, jika pemerintah memberikan paket insentif pembebasan PPN dalam menghadapi tarif Trump, maka ongkos produksi akan jauh lebih murah dan produksi dalam negeri akan bertambah.

    “Dengan PPN yang dibebaskan untuk bahan baku industri kita, maka biaya produksi akan menurun dan meningkatkan produksi. Tarif impor pun akan tereduksi dampaknya terhadap harga jika dari dalam negeri ada insentif berupa pembebasan PPN,” ungkap Huda kepada Bisnis.

    Huda menambahkan pemerintah juga perlu melakukan percepatan restitusi PPN menjadi hal penting karena uang yang didapatkan bisa dijadikan modal usaha. Pasalnya, dengan modal usaha yang kuat, maka dampak negatif tarif impor AS akan bisa ditekan.

    “Selain itu, restitusi PPN merupakan kewajiban pemerintah untuk pengembalian pajak yang dibayarkan wajib pajak. Jadi saya rasa memang harusnya bisa lebih cepat,” ujarnya.

  • Amvesindo Dorong Perbaikan Tata Kelola Usai Kasus MDI Ventures-Tanihub Mencuat

    Amvesindo Dorong Perbaikan Tata Kelola Usai Kasus MDI Ventures-Tanihub Mencuat

    Bisnis.com, JAKARTA – Asosiasi Modal Ventura untuk Startup Indonesia (Amvesindo) buka suara soal kasus hukum yang menyeret sejumlah perusahaan modal ventura – termasuk beberapa anggota asosiasi – terkait dengan dugaan penyalahgunaan dana investasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    Sebagaimana diketahui, MDI Ventures, perusahaan modal ventura milik PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk., bersama startup agritech Tanihub terlibat dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

    Wakil Ketua IV Amvesindo Rama Mamuaya mengatakan pihaknya menghormati dan mendukung penuh proses hukum yang tengah dilakukan oleh aparat penegak hukum.

    Dia juga menyampaikan keprihatinan atas kasus hukum yang menyeret sejumlah perusahaan modal ventura, termasuk beberapa anggota Amvesindo, terkait dugaan penyalahgunaan dana investasi dan TPPU.

    “Amvesindo menghormati dan mendukung penuh proses hukum yang tengah dilakukan oleh aparat penegak hukum,” kata Rama dalam siaran pers, dikutip Bisnis Rabu (30/7/2025).

    Sebagai asosiasi yang menaungi pelaku industri modal ventura dan investasi startup di Indonesia, Rama menyebut Amvesindo memiliki komitmen yang kuat untuk terus menjadi mitra strategis pemerintah, pelaku industri, investor, dan masyarakat dalam membangun ekosistem investasi digital yang sehat, profesional, dan berkelanjutan.

    Walaupun terdapat kasus yang sedang berjalan, sambungnya, ekosistem startup dan investasi digital Indonesia tetap memiliki kontribusi penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, membuka lapangan kerja, serta menciptakan inovasi dan solusi bagi tantangan sosial masyarakat.

    Amvesindo akan terus mendorong praktik tata kelola yang baik, kepatuhan terhadap regulasi, dan penguatan kapasitas anggota melalui pelatihan, dialog kebijakan, dan pengawasan mandiri.

    “Kami mengajak seluruh pihak untuk tetap menjaga kepercayaan terhadap potensi jangka panjang industri ini, sambil bersama-sama memperbaiki celah-celah sistemik yang ada,” kata Rama.

    Pemerintah diminta mengambil peran lebih aktif dalam mengawasi arus pendanaan ke startup.

    Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec), Tesar Sandikapura menilai perlunya langkah konkret untuk memastikan kasus serupa tidak terjadi lagi pada masa depan. Salah satunya adalah pembentukan dewan pengawas khusus untuk sektor modal ventura.

    “Mesti ada dewan pengawas modal ventura mirip OJK. Setiap ada pendanaan lewat VC, mesti diawasi semua proses dan aliran dana serta pihak-pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan. Jangan sampai ini jadi ‘gorengan di dalam’,” ujar Tesar kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).

    Menurut Tesar sejauh ini belum terdapat sistem pengawasan menyeluruh terhadap aktivitas modal ventura, yang membuka celah bagi penyalahgunaan dana dan konflik kepentingan antara investor dan startup yang didanai.

    Berbeda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda berpendapat keterlibatan pemerintah dalam pengawasan pendanaan tidak boleh berlebihan.

    Dia menilai peran utama pemerintah seharusnya sebagai regulator bukan sebagai pengawas operasional secara langsung.

    “Pemerintah hanya perlu menciptakan peraturan yang prudent dan mendukung ekosistem digital, termasuk untuk VC. Jangan sampai terlalu dalam mengawasi pendanaan, karena bisa menimbulkan intervensi yang merugikan ekosistem ke depan,” kata Huda.

    Dia menggarisbawahi bahwa regulasi yang tepat sasaran dan tetap memberi ruang gerak kepada pelaku industri jauh lebih efektif dibanding kontrol langsung yang berpotensi menyebabkan birokratisasi dan menurunkan minat investor.

    Sebagai solusi, Huda mengusulkan agar pemerintah mewajibkan VC, khususnya yang menyalurkan dana ke startup digital, untuk menyampaikan pelaporan keuangan dan kinerja secara berkala melalui badan audit independen.

    “Bisa juga melalui sistem pelaporan berbasis digital yang transparan dan bisa dipantau publik atau regulator,” ujarnya.

  • Kasus MDI Ventures–Tanihub, Pemerintah Disarankan Terlibat Kawal Pendanaan Startup

    Kasus MDI Ventures–Tanihub, Pemerintah Disarankan Terlibat Kawal Pendanaan Startup

    Bisnis.com, Jakarta — Dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang melibatkan MDI Ventures, perusahaan modal ventura milik PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk., bersama startup agritech Tanihub, menjadi pukulan serius terhadap upaya pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekosistem digital di Indonesia.

    Pemerintah diminta mengambil peran lebih aktif dalam mengawasi arus pendanaan ke startup.

    Ketua Umum Indonesia Digital Empowering Community (Idiec), Tesar Sandikapura menilai perlunya langkah konkret untuk memastikan kasus serupa tidak terjadi lagi pada masa depan. Salah satunya adalah pembentukan dewan pengawas khusus untuk sektor modal ventura.

    “Mesti ada dewan pengawas modal ventura mirip OJK. Setiap ada pendanaan lewat VC, mesti diawasi semua proses dan aliran dana serta pihak-pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan. Jangan sampai ini jadi ‘gorengan di dalam’,” ujar Tesar kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).

    Menurut Tesar sejauh ini belum terdapat sistem pengawasan menyeluruh terhadap aktivitas modal ventura, yang membuka celah bagi penyalahgunaan dana dan konflik kepentingan antara investor dan startup yang didanai.

    Berbeda, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda berpendapat keterlibatan pemerintah dalam pengawasan pendanaan tidak boleh berlebihan.

    Dia menilai peran utama pemerintah seharusnya sebagai regulator bukan sebagai pengawas operasional secara langsung.

    “Pemerintah hanya perlu menciptakan peraturan yang prudent dan mendukung ekosistem digital, termasuk untuk VC. Jangan sampai terlalu dalam mengawasi pendanaan, karena bisa menimbulkan intervensi yang merugikan ekosistem ke depan,” kata Huda.

    Dia menggarisbawahi bahwa regulasi yang tepat sasaran dan tetap memberi ruang gerak kepada pelaku industri jauh lebih efektif dibanding kontrol langsung yang berpotensi menyebabkan birokratisasi dan menurunkan minat investor.

    Sebagai solusi, Huda mengusulkan agar pemerintah mewajibkan VC, khususnya yang menyalurkan dana ke startup digital, untuk menyampaikan pelaporan keuangan dan kinerja secara berkala melalui badan audit independen.

    “Bisa juga melalui sistem pelaporan berbasis digital yang transparan dan bisa dipantau publik atau regulator,” ujarnya.

    Sebelumnya, Kejari Jakarta Selatan telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana investasi pada Tani Group atau TaniHub. Salah satunya adalah CEO PT MDI Ventures.

    Berdasarkan akun Instagram Kejari Jakarta Selatan, tiga tersangka itu yakni Direktur PT MDI Ventures, DSW; mantan Direktur Utama PT Tani Group Indonesia (TGI), IAS; dan eks Direktur PT TGI ETPLT.

    Adapun penetapan tersangka dilakukan pada Senin (28/7/2025). Di hari yang sama, penyidik Kejari Jakarta Selatan juga melakukan penahanan untuk kepentingan penyidikan.

    “Pada hari ini Senin, 28 Juli 2025, Penyidik pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan telah menetapkan tersangka dan melakukan penahanan terhadap 3 orang [DSW, IAS dan ETPLT],” tulis akun @Kejari.jaksel, dikutip Rabu (30/7/2025).

    Kejari Jaksel menjelaskan bahwa perkara ini berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang dana investasi PT MDI dan PT BRI Ventura Investama pada Tani Group.

    “Pada PT Tani Group Indonesia startup bidang pertanian tani hub dan afiliasinya tahun 2019-2023,” pungkasnya.

  • Imbas Kasus MDI Ventures–Tanihub, Reputasi Modal Ventura di Mata Investor Meredup?

    Imbas Kasus MDI Ventures–Tanihub, Reputasi Modal Ventura di Mata Investor Meredup?

    Bisnis.com, Jakarta  —  Kasus dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang menyeret nama MDI Ventures dan startup agritech Tanihub dikhawatirkan berdampak pada persepsi investor global terhadap industri modal ventura (venture capital/VC) di Tanah Air.

    MDI Ventures, yang merupakan entitas investasi milik salah satu BUMN, dinilai gagal menjaga akuntabilitas dalam proses pendanaan. Padahal, sebagai lengan investasi perusahaan negara, MDI memegang peran penting dalam penguatan ekosistem startup nasional.

    Sementara itu, Tanihub yang sebelumnya banyak dipuji sebagai startup agritech yang menjanjikan, kini turut terseret dalam pusaran kasus tersebut.

    Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda mengatakan kasus yang MDI Ventures berpotensi berdampak jangka panjang bagi sektor investasi digital di Indonesia. Dia khawatir ini akan menjadi bola salju yang terus membesar. 

    Menurut Huda, gelombang kasus yang menimpa sektor startup, terutama yang berkaitan dengan VC, dapat membentuk persepsi negatif dari investor baik dalam maupun luar negeri terhadap sistem permodalan di Indonesia.

    “Persepsi investor ke VC kita akan negatif, padahal VC ini menjadi pemegang urat nadi startup digital di Indonesia. Dalam hal ini sudah tepat jika kasus ini dipandang sebagai pintu masuk untuk pengelolaan VC yang lebih baik,” kata Huda kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).

    Huda menekankan perlunya reformasi dalam mekanisme pendanaan oleh VC agar kasus serupa tidak terulang. Dia menekankan bahwa VC tidak hanya bertugas memberikan dana, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk mengawasi efektivitas dan integritas penggunaan dana tersebut.

    “Setelah pendanaan pun, VC juga harus bertanggung jawab terhadap penggunaan dananya,” kata Huda. 

    Jika kondisi ini terus berlangsung, Huda memperingatkan bahwa aliran pendanaan ke sektor digital Indonesia bisa semakin menyusut.

    Dalam menciptakan iklim pendanaan yang lebih baik, Huda mengatakan modal ventura harus dapat memastikan ke depan peluang startup untuk tumbuh.

    Selain itu memastikan bahwa startup penerima pendanaan memiliki solusi yang jelas dan berkelanjutan, terakhir dia meminta agar modal ventura tidak lepas tangan atas kondisi startup yang sekarat. 

    Sebelumnya, Kejari Jakarta Selatan telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan dana investasi pada Tani Group atau TaniHub. Salah satunya adalah CEO PT MDI Ventures.

    Berdasarkan akun Instagram Kejari Jakarta Selatan, tiga tersangka itu yakni Direktur PT MDI Ventures, DSW; mantan Direktur Utama PT Tani Group Indonesia (TGI), IAS; dan eks Direktur PT TGI ETPLT.

  • Dampak Ekonomi Koperasi Merah Putih Dinilai Hanya Temporer, Mengapa?

    Dampak Ekonomi Koperasi Merah Putih Dinilai Hanya Temporer, Mengapa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies atau Celios menyebut bahwa pelaksanaan program Koperasi Desa Merah Putih yang akan meluncur besok, Senin (21/7/2025), memang dapat mengerek ekonomi. Namun, hanya pada tahun pertama saja. 

    Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda menilai penciptaan produk domestik bruto (PDB) positif hanya terjadi di tahun pertama pelaksanaan program Koperasi Merah Putih karena ada tambahan modal sebesar Rp 141,62 triliun yang disalurkan oleh Perbankan. 

    Sementara pada tahun-tahun berikutnya, Nailul melihat akan terjadinya penurunan PDB akibat opportunity cost dan risiko pembiayaan yang berpotensi terjadi. 

    “Kontraksi yang cukup tajam dan berkelanjutan dimulai dari penurunan Rp24,01 triliun di tahun kedua hingga mencapai minus Rp59,76 triliun di tahun keenam,” ujarnya dalam Laporan Dampak Ekonomi Koperasi Merah Putih, dikutip pada Minggu (20/7/2025). 

    Nailul memandang, kondisi itu menunjukkan efek positif program hanya terjadi di awal dan bersifat temporer. “Tidak ada aspek keberlanjutan program yang ditandai dengan risiko yang semakin membesar,” lanjutnya. 

    Lebih jauh lagi, akibat PDB yang diperkirakan menurun setelah tahun pertama, penyerapan tenaga kerja juga akan mengalami penurunan serupa. 

    Dia melanjutkan, memang pada tahun pertama program ini tampaknya menciptakan efek positif dengan tambahan lapangan kerja sebesar 621.800 jiwa, akibat aktivitas awal seperti pembentukan kelembagaan, pembangunan fasilitas, dan rekrutmen. 

    Kendati begitu, mulai tahun kedua hingga tahun keenam, terjadi tren penurunan penyerapan tenaga kerja secara konsisten dan tajam, mencapai 497.790 jiwa pada tahun keenam. 

    Bahkan, menurut Nailul, fenomena ini mengindikasikan bahwa program Koperasi Merah Putih tidak mampu mempertahankan atau memperluas penciptaan lapangan kerja dalam jangka menengah—panjang.  

    Turunnya kapasitas serapan tenaga kerja bisa mencerminkan gagalnya model bisnis koperasi dalam menghasilkan nilai ekonomi berkelanjutan.“Alih-alih menjadi solusi pengangguran, program ini justru menciptakan distorsi pasar tenaga kerja,” ujarnya. 

    Bagi perbankan, menurutnya juga berpotensi dirugikan dengan adanya opportunity cost selama masa pengembalian dana. Di mana program Koperasi Merah Putih dapat menyebabkan perbankan tidak dapat membiayai sektor yang lebih produktif dan dana desa tidak digunakan untuk perbaikan ekonomi masyarakat. Sementara, kedua kebijakan tersebut dapat menyerap tenaga kerja secara berkelanjutan. 

    Adapun, Presiden Prabowo Subianto akan meluncurkan Kopdes Merah Putih pada Senin (21/7/2025)—usai diundur dari rencana awal pada 19 Juli 2025. Menjelang peluncuran Kopdes Merah Putih, setidaknya sudah ada sekitar 80.048 unit yang sudah berbadan hukum per 20 Juli 2025.

  • Risiko Gagal Bayar Hantui 80.000 Kopdes Merah Putih, Kerugian Bisa Capai Triliunan

    Risiko Gagal Bayar Hantui 80.000 Kopdes Merah Putih, Kerugian Bisa Capai Triliunan

    Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies (Celios) menyebut risiko gagal bayar hingga kerugian ekonomi masih menghantui 80.000 Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih. Bahkan, hadirnya Kopdes Merah Putih ini dikhawatirkan bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.

    Untuk diketahui, Presiden Prabowo Subianto bakal meresmikan sebanyak 80.000 unit Kopdes/Kel Merah Putih di Desa Bentangan, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Klaten pada 21 Juli 2025.

    Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda memandang, Kopdes/Kel Merah Putih masih menimbulkan pertanyaan publik, baik dari implementasi maupun mitigasi risiko yang akan dihadapi.

    Bahkan, Nailul menilai konsep Kopdes/Kel Merah Putih masih sangat mentah, meski Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mengeklaim telah ada 80.000 Kopdes/Kel Merah Putih.

    “Sampai saat ini, saya tidak mendengar bagaimana operasional koperasi ini berjalan seperti model bisnis. Ada potensi risiko gagal bayar yang cukup tinggi jika operasional sampai saat ini tidak ada kejelasan,” kata Nailul kepada Bisnis, Jumat (18/7/2025).

    Padahal, Nailul menjelaskan bahwa modal awal yang dapat diajukan Kopdes/Kel Merah Putih kepada perbankan mencapai Rp3 miliar per koperasi.

    “Jika kita jumlahkan dengan angka 80.000 [Kopdes/Kel Merah Putih], ada Rp240 triliun keluar dari perbankan dengan risiko yang tinggi,” ujarnya.

    Selain itu, Nailul juga menyoroti risiko gagal bayar pelaku UMKM, di mana Kopdes/Kel Merah Putih masih berbentuk usaha UMKM sebesar 4,5%. Berdasarkan kalkulasinya, kerugiannya bisa mencapai Rp7 triliun per tahun.

    Bahkan, sambung dia, jika mengacu pada tenor pinjaman utang 6 tahun. Pada tahun keenam, minimal risiko gagal bayar mencapai Rp28 triliun. Alhasil, potensi kerugian ini bisa memperlambat pertumbuhan ekonomi.

    “Jika potensi kerugian ini tidak tertutup, maka jangankan pertumbuhan ekonomi 8%, yang ada justru memperlambat pertumbuhan ekonomi,” ungkapnya.

    Celios juga melihat adanya biaya kehilangan kesempatan (opportunity cost) yang dialami perbankan lantaran menyalurkan pembiayaan ke Kopdes/Kel Merah Putih mencapai Rp76,51 triliun secara akumulatif dalam 6 tahun masa pinjaman.

    Menurutnya, perbankan yang semestinya bisa mengantongi pendapatan lebih tinggi, menjadi kehilangan kesempatan untuk mendapatkan profit. Padahal, sambung dia, saat ini perbankan menjadi sektor yang menyumbang dividen paling besar.

    “Hal ini dapat memengaruhi pendapatan perbankan secara umum dan operasional Danantara secara khusus,” sambungnya.

    Di samping itu, Celios menyebut alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan, ada potensi ratusan ribu lapangan pekerjaan yang seharusnya menyerap tenaga kerja justru menghilang.

    “Potensi penyerapan tenaga kerja yang hilang mencapai 824.000 lapangan pekerjaan,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, Nailul menambahkan, juga terdapat risiko gagal bayar Kopdes/Kel Merah Putih selama 6 tahun masa pinjaman sebesar Rp85,96 triliun dan risiko tersebut ditanggung oleh pemerintah desa atau sekitar 20% total dana desa selama enam tahun.

    Dia menuturkan bahwa penggunaan dana desa merupakan hak dari pemerintah desa guna pembangunan di desa tersebut sesuai dengan kebutuhan warga desa, sesuai dengan peruntukan di UU Desa.

    “Dana desa tidak boleh dijadikan jaminan program yang payung hukumnya pun tidak ada,” tambahnya.

    Terlebih, dia menjelaskan bahwa kebutuhan setiap desa itu berbeda. Begitu pula dengan karakteristik ekonominya pun yang berbeda dan tidak bisa disamakan kepentingan antara desa satu dengan desa lainnya.

    “Jika disamakan, maka tujuan dari UU Desa akan terganggu. Prabowo yang mencatatkan tinta hitam pembangunan desa,” sambungnya.

    Di sisi lain, lanjut dia, di desa juga sudah ada Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) dan ada dana desa yang diikutsertakan dalam modal BUMDes.

    Jadi ketika ada Kopdes/Kel Merah Putih, Nailul menyebut akan ada kanibalisme antar usaha yang dimiliki oleh desa. Di samping itu, juga ada usaha eksisting milik swasta.

    Potensi lainnya adalah terdapat kerugian perekonomian negara sebesar Rp9,85 triliun dari operasional Kopdes/Kel Merah Putih selama 6 tahun masa peminjaman.

    “Kerugian ini ditimbulkan dari dana desa yang menjadi jaminan pengembalian dana perbankan yang dipinjam oleh Koperasi Merah Putih,” pungkasnya.

    Dana Desa Jadi Jaminan

    Menteri BUMN Erick Thohir menegaskan dana desa bisa dialihkan sebagai penjamin (guarantor) untuk membayar pinjaman Kopdes Merah Putih jika mengalami masalah.

    Erick menuturkan nantinya Kementerian Desa (Kemendes) akan bertindak sebagai asuransi dari Kopdes Merah Putih. Ini artinya, jika suatu hari Kopdes Merah Putih besutan Presiden Prabowo Subianto itu bermasalah, maka dana desa bisa digunakan sebagai jaminannya.

    Terlebih, Erick menekankan bahwa bank Himpunan Bank Milik Negara alias Himbara memberikan akses plafon pinjaman untuk menjalankan unit usaha Kopdes Merah Putih senilai Rp3 miliar, bukan sekadar mendapatkan uang tunai.

    “Nanti ada program Kementerian Desa sebagai juga asuransi insurance. Kalau sampai misalnya dari program koperasi ini sampai ada kendala, itu bisa saja dana desanya di-shift sebagai guarantor pembayaran berikutnya, makanya kan nilainya cuma Rp3 miliar,” kata Erick dalam Rapat Kerja Komisi VI dengan Menteri Perdagangan dan Menteri BUMN di Kompleks Senayan DPR, Jakarta, Selasa (20/5/2025).

    Dia menjelaskan, plafon pinjaman senilai Rp3 miliar itu harus ditanggung desa melalui alokasi dana desa. Namun, pinjaman ini menggunakan skema cicilan selama enam tahun.

    “Kalau Rp3 miliar dana desa itu, tergantung desanya ada Rp800 juta sampai Rp2 miliar setahun, artinya itu bisa dicicil selama 6 tahun,” imbuhnya.

    Menurut Erick, skema cicilan yang menggunakan dana desa ini tidak akan mengganggu alokasi dana desa yang sudah berlangsung. Sebab, sebanyak 80% anggaran tersebut dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur dan sisanya untuk keperluan lain.

    Di sisi lain, Erick menilai pembangunan infrastruktur di desa juga sudah berjalan, sehingga sebagian anggaran infrastruktur dana desa nantinya akan dialihkan untuk mendukung Kopdes Merah Putih.