Tag: Nailul Huda

  • Kala Prabowo Turun Tangan Bereskan Masalah Keracunan MBG

    Kala Prabowo Turun Tangan Bereskan Masalah Keracunan MBG

    Bisnis.com, JAKARTA — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi unggulan Presiden Prabowo Subianto tengah disorot imbas melonjaknya kasus keracunan yang belakangan ini terjadi. Namun, alih-alih menghentikan sementara, pemerintah memastikan program tersebut tetap berlanjut.

    Untuk menindaklanjuti maraknya temuan kasus keracunan, Presiden Prabowo pun langsung turun tangan memanggil sejumlah pejabat terkait sepulangnya dari agenda lawatan di luar negeri.

    Prabowo menegaskan bahwa kasus ribuan siswa yang keracunan MBG menjadi perhatian pemerintah dan akan dicarikan penanganan terbaik. Bahkan, dia menyebut kasus keracunan MBG ini sebagai masalah besar yang perlu segera ditangani.

    “Kita akan diskusikan. Ini masalah besar [penyediaan MBG di seluruh Indonesia] jadi pasti ada kekurangan dari awal ya. Tapi saya juga yakin bahwa kita akan selesaikan dengan baik,” kata Prabowo di Bandara Halim, Sabtu (27/9/2025).

    Pada saat yang sama, Presiden menyebut pihaknya berharap proyek makan bergizi gratis yang menyebabkan sejumlah siswa keracunan jangan sampai dipolitisir. “Kita harus waspada,” ujarnya.

    Kantor Staf Presiden sebelumnya mengungkap data terbaru terkait kasus keracunan makanan dalam program MBG. Data dari BGN menunjukkan, sebanyak 46 kasus dengan 5.080 orang mengalami keracunan per 17 September.

    Sementara itu, data dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) ada sebanyak 60 kasus dengan 5.207 penderita per 16 September, sedangkan BPOM melaporkan 55 kasus dengan 5.320 penderita per 10 September.

    Badan Gizi Nasional (BGN) menegaskan bahwa penghentian program MBG hanya dilakukan secara terbatas kepada dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang terindikasi terlibat dalam insiden keracunan.

    Wakil Kepala BGN Sony Sonjaya mengatakan bahwa penangguhan program MBG dilakukan secara selektif alias bukan menyeluruh. Adapun penghentian SPPG itu nantinya bakal dilakukan berbarengan dengan proses investigasi.

    “Dihentikan bagi SPPG yang terlibat. Jadi SPPG yang ketika ada keracunan langsung kan berhenti. Berhenti, lakukan investigasi. Yang dihentikan adalah SPPG yang terlibat. Yang lain kan kita kaji terus, kita perbaiki terus,” kata Sony saat ditemui di Hotel Artotel Cibubur, Jawa Barat, Kamis (25/9/2025).

    Untuk itu, Sony menegaskan program MBG akan tetap dilanjutkan meski kasus keracunan melonjak “Tetap berjalan. [SPPG] yang bermasalah yang dihentikan,” imbuhnya.

    Lebih lanjut, dia menjelaskan penghentian itu akan berlangsung sampai investigasi rampung. Setelahnya, barulah akan dikaji lebih lanjut apa penyebab dari kasus keracunan yang terjadi dalam program MBG.

    “Sampai investigasi selesai, kemudian nanti dikaji kembali apa sih permasalahannya. Kan tidak semuanya dipukul rata permasalahannya sama kan,” tuturnya.

    Evaluasi Total

    Di sisi lain, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda justru menyoroti masifnya kasus keracunan pada program MBG. Bahkan, Huda meminta agar program tersebut dihentikan total.

    “Dengan semakin masif kasus keracunan MBG, saya dapat katakan program MBG harus dihentikan total guna dilakukan evaluasi dan audit,” kata Huda kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (28/9/2025).

    Huda menjelaskan, evaluasi tersebut harus mencakup segala proses produksi MBG, yakni mulai dari penyediaan bahan baku, proses memasak, penyimpanan, distribusi, pemberian ke penerima, hingga proses pencucian. 

    Selain itu, lanjut dia, evaluasi MBG juga harus didasarkan pada standar menjaga kebersihan yang sudah ditetapkan baik oleh BGN maupun instansi lainnya.

    “Banyaknya kasus keracunan dan makanan yang basi, disebabkan adanya proses yang salah, baik di sisi hulu, tengah, hingga hilirnya,” ujarnya.

    Untuk itu, Huda menyebut harus ada standar operasional yang dibuat berdasarkan keamanan makanan. Standay yang dimaksud harus didasarkan zero tolerance terhadap kasus keracunan program yang berurusan dengan kesehatan,” imbuhnya.

    Selain itu, menurut Huda, juga penting dilakukan audit keuangan dan transparansi dalam pemanfaatan dana negara, serta dilakukan secara menyeluruh.

    “Audit pertama di sistem penunjukkan mitra MBG ataupun penetapan SPPG. Badan Pemeriksa Keuangan harus masuk ke proses penetapan mitra dan SPPG di awal,” tuturnya.

    Setelahnya, audit dalam penggunaan uang pajak rakyat menjadi bahan baku hingga menjadi makanan MBG. Dalam audit ini harus mencakup daftar bahan baku berkualitas yang dibeli SPPG hingga infrastruktur penunjang.

    “Apakah benar yang dibeli adalah bahan baku berkualitas? Hingga pembelian infrastruktur penunjang di dapur SPPG dan Mitra MBG. Itu harus dicek semua apakah sesuai peruntukannya,” tuturnya.

    Polemik Food Tray

    Sementara itu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai maraknya kasus keracunan MBG menunjukkan ketidaksiapan pelaksanaan pada program tersebut.

    Ketua YLKI Niti Emiliana mengatakan konsumen penerima manfaat MBG berhak mendapat keamanan, kenyamanan dan keselamatan.

    Bahkan bila perlu, sambung Niti, program MBG dilakukan penghentian sementara untuk menjamin evaluasi perbaikan secara sempurna dan menyeluruh. Sebab, dia mewanti-wanti program MBG bisa menjadi bom waktu atas keracunan makanan.

    “Jika tidak dilakukan evaluasi perbaikan secara serius dan komprehensif maka, MBG akan menjadi bom waktu bagi penerima manfaat lainnya dalam peningkatan angka kesakitan pada kasus keracunan,” ujar Niti dalam keterangan tertulis.

    Lebih lanjut, Niti juga mendesak adanya peningkatan standar higiene dan sanitasi dapur, kejelasan kehalalan food tray, serta keterlibatan tenaga ahli gizi dalam pengawasan kualitas makanan.

    “Bila terbukti food tray tersebut tidak terjamin kehalalannya, maka perlu ada penarikan dan penggantian alternatif untuk food tray,” sambungnya.

    Di samping itu, dia mendorong adanya audit sistem secara menyeluruh dari hulu ke hilir untuk memastikan keamanan pangan, termasuk pembentukan sistem pengaduan masyarakat.

    “Pemerintah wajib hadir dan bertanggung jawab terhadap setiap kasus/kerugian yang dialami oleh penerima manfaat,” pungkasnya.

  • Bos BGN Lapor ke Prabowo: Keracunan MBG Terjadi Imbas SPPG Minim Jam Terbang

    Bos BGN Lapor ke Prabowo: Keracunan MBG Terjadi Imbas SPPG Minim Jam Terbang

    Bisnis.com, JAKARTA — Badan Gizi Nasional (BGN) melaporkan penyebab terjadinya keracunan massal dalam pelaksanaan program makan bergizi gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto.

    Dadan menyebut hal tersebut terjadi karena kurangnya pengalaman sumber daya manusia (SDM) di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) menjadi penyebab maraknya terjadi insiden keracunan makanan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Kepala BGN Dadan Hindayana mengatakan sebagian besar insiden atau kejadian luar biasa (KLB) yang terjadi dalam operasional SPPG disebabkan oleh tenaga kerja yang masih minim jam terbang.

    “Data menunjukkan bahwa kasus banyak dialami oleh SPPG yang baru beroperasi karena SDM masih membutuhkan jam terbang,” kata Dadan dalam keterangan tertulis, Minggu (28/9/2025).

    Berdasarkan data BGN, sepanjang 6 Januari—31 Juli 2025, sebanyak 2.391 SPPG telah berdiri dan tercatat 24 kasus KLB. Sementara itu, pada 1 Agustus—27 September 2025 bertambah 7.244 SPPG dengan 47 kasus kejadian.

    Adapun, secara total, dari 9.615 SPPG yang beroperasi, Dadan mengeklaim program MBG telah melayani lebih dari 31 juta penerima manfaat.

    Selain rendahnya pengalaman tenaga dapur, Dadan juga mengungkap bahwa kualitas bahan baku, kondisi air, serta pelanggaran terhadap standar operasional prosedur (SOP) turut berkontribusi terhadap terjadinya insiden keracunan makanan pada program MBG.

    Sebelumnya, Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda meminta agar program MBG dihentikan total. Hal ini menyusul maraknya insiden keracunan makanan dalam program tersebut.

    “Dengan semakin masif kasus keracunan MBG, saya dapat katakan program MBG harus dihentikan total guna dilakukan evaluasi dan audit,” kata Huda kepada Bisnis, dikutip pada Minggu (28/9/2025).

    Huda menjelaskan, evaluasi tersebut harus mencakup segala proses produksi MBG, yakni mulai dari penyediaan bahan baku, proses memasak, penyimpanan, distribusi, pemberian ke penerima, hingga proses pencucian. 

    Selain itu, dia menilai evaluasi MBG juga harus didasarkan pada standar menjaga kebersihan yang sudah ditetapkan baik oleh BGN maupun instansi lainnya.

    “Banyaknya kasus keracunan dan makanan yang basi, disebabkan adanya proses yang salah, baik di sisi hulu, tengah, hingga hilirnya,” tuturnya.

    Untuk itu, Huda menyebut harus ada standar operasional yang dibuat berdasarkan keamanan makanan.

    “Standar harus didasarkan zero tolerance terhadap kasus keracunan program yang berurusan dengan kesehatan,” ucapnya.

    Selain itu, menurut Huda, juga penting dilakukan audit keuangan dan transparansi dalam pemanfaatan dana negara secara menyeluruh.

    “Audit pertama di sistem penunjukkan mitra MBG ataupun penetapan SPPG. Badan Pemeriksa Keuangan harus masuk ke proses penetapan mitra dan SPPG di awal,” pungkasnya.

  • Volume Trasaksi E-Commerce Naik, Warga Cari Barang Murah di Shopee-TikTok Cs

    Volume Trasaksi E-Commerce Naik, Warga Cari Barang Murah di Shopee-TikTok Cs

    Bisnis.com, JAKARTA— Lonjakan transaksi yang terjadi di e-commerce dinilai sebagai upaya masyarakat mencari barang murah di tengah kondisi yang menantang. 

    Bank Indonesia (BI) mencatat belanja masyarakat lewat e-commerce masih kencang pada Januari–Juli 2025. 

    Secara volume, e-commerce tumbuh 6,64% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan secara tahunan 16,89% (year-on-year/YoY) menjadi sebesar 466,93 juta transaksi. 

    Dari sisi nominal, nilai belanja online meningkat 6,41% secara bulanan. Jika dibandingkan periode sama tahun lalu, transaksi naik 2,32% dengan total mencapai Rp44,4 triliun. Rata-rata belanja per transaksi atau ticket size pun ikut naik menjadi sekitar Rp95.000.

    Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) menegaskan konsumsi rumah tangga tetap menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II/2025 dengan kontribusi 5,12% yoy. 

    BPS menyebut shifting belanja ke online menjadi motor penggerak konsumsi masyarakat.

    Ekonom Digital dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menjelaskan ada dua hal yang terlihat dari meningkatnya transaksi e-commerce. 

    Pertama adalah proses moving dari belanja offline ke online masih berlangsung pesat. 

    “Orang semakin ‘malas’ beli lewat toko offline. Toko offline hanya untuk lihat-lihat saja, belinya online. Maka muncul fenomena rohana dan rojali. Selain itu, belanja kebutuhan sehari-hari pun sudah pake egroceries seperti Alfagift dan Indomaret Klik,” kata Huda kepada Bisnis pada Jumat (12/9/2025).

    Kedua, lanjut Huda, daya beli masyarakat yang tertekan membuat konsumen cenderung memilih belanja online yang menawarkan harga lebih murah. 

    Ilustrasi e-commerce

    Kondisi ini, menurutnya, berkaitan erat dengan dompet masyarakat yang semakin menipis, sementara kebutuhan maupun keinginan tetap ada. Alhasil, mereka mencari alternatif barang secara online.

    “Terlebih dua platform besar masih bakar uang juga meskipun berkurang dan diambil dari ‘biaya’ seller,” imbuhnya.

    Namun demikian, Huda mengingatkan tren pertumbuhan e-commerce berpotensi menghadapi tantangan besar di masa depan. 

    Dia menilai, ketika regulasi perdagangan online diberlakukan setara dengan penjual offline, maka harga produk akan mengalami kenaikan akibat beban pajak dan biaya tambahan lain. 

    Di sisi lain, akses pendanaan yang semakin ketat membuat banyak platform mulai mengambil keuntungan dari seller, sehingga harga produk ikut terdorong naik.

    “Akibatnya harga dari seller akan meningkat. Jika permintaan turun, maka seller akan moving ke media sosial. Mereka akan lebih banyak berjualan via medsos,” katanya. 

    Dari sisi asosiasi, Sekretaris Jenderal Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Budi Primawan menilai tren positif ini sebagai bukti belanja online semakin menjadi kebiasaan masyarakat.

    “Kenaikan transaksi e-commerce dua digit sampai Juli 2025 menunjukkan belanja online makin jadi bagian dari keseharian masyarakat,” kata Budi. 

    Budi mengatakan pertumbuhannya didorong oleh literasi digital yang makin baik, promo tematik dari platform, kemudahan layanan pembayaran digital, dan jangkauan logistik yang makin luas. 

    Budi menambahkan fokus asosiasi menjaga agar pertumbuhan ini tetap sehat. Selain itu, mendorong perlindungan konsumen dan mekanisme komplain yang jelas.

    Pihaknya juga aktif membantu UMKM lewat program literasi digital, fasilitasi onboarding, advokasi kebijakan yang adil, dan promosi produk lokal supaya makin dikenal. 

    “Harapannya ekosistem e-commerce bisa tetap inklusif dan kompetitif bagi semua,” katanya.

  • Ekonom Nilai Penciptaan Lapangan Kerja Belum Sesuai Harapan

    Ekonom Nilai Penciptaan Lapangan Kerja Belum Sesuai Harapan

    Jakarta

    Penciptaan lapangan kerja baru di Indonesia belum optimal. Kondisi ini terlihat dari jumlah penciptaan lapangan kerja baru yang masih tergolong kecil, jumlah pekerja ter-PHK yang terus meningkat, dan jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar jika dibandingkan pekerja formal.

    Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad berpendapat untuk meningkatkan kualitas penciptaan lapangan kerja baru di Indonesia, salah satu langkah yang bisa dilakukan pemerintah adalah menurunkan nilai pajak yang dikenakan ke masyarakat.

    Sebagai contoh pemerintah bisa saja menurunkan pajak penambahan nilai (PPN) yang saat ini di 11%, untuk diturunkan kembali ke 10% atau bahkan kalau bisa lebih rendah dari itu. Dengan begitu harga barang dan jasa bisa turun, yang kemudian menjadi lebih terjangkau oleh masyarakat.

    “Misalnya PPN diturunkan dari 11% ke 10% atau lebih rendah dari 10 bahkan jauh lebih bagus lagi, akan lebih diapresiasi kalau beberapa tarif itu diturunkan untuk mendorong daya beli,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Tauhid berpendapat jika pajak, seperti PPN terlalu besar maka daya beli masyarakat akan menurun dan di saat yang bersamaan akan meningkatkan beban perusahaan. Di sisi lain, saat daya beli turun maka produk yang dibeli masyarakat akan ikut berkurang.

    Alhasil penjualan perusahaan akan ikut menurun yang menyebabkan pengurangan laba. Akhirnya untuk bisa bertahan, para pengusaha akan cenderung untuk menahan ekspansi yang secara langsung mengurangi pembukaan lapangan kerja baru. Belum lagi dalam kondisi terburuk, tak sedikit perusahaan harus melakukan efisiensi yang menambahkan jumlah PHK dalam negeri.

    “Perpajakan dan bea cukai itu kan bisa bermata dua ya. Kalau dia terlalu tinggi ya dia akan meningkatkan cost, itu berarti menurunkan pendapatan. Nah kalau terlalu rendah itu juga akhirnya mengurangi pendapatan negara,” ucapnya.

    “Nah katakanlah ketika PPN 11% turun ke 10% atau bahkan lebih rendah itu memang secara per individu, per perusahaan penerimaan pajak turun. Tapi itu akan meningkatkan aktivitas ekonomi yang pada akhirnya bisa meningkatkan pendapatan pajak juga, daya belinya naik, yang bayar lebih banyak. Kalau sekarang ya langsung turun saja,” terang Tauhid lagi.

    Begitu juga dengan cukai rokok yang menurutnya saat ini sudah sangat tinggi, membuat harga rokok jadi sangat mahal dan mengakibatkan peralihan konsumsi dari rokok legal ke ilegal.

    Tidak hanya membuat penerimaan negara dari cukai berkurang karena peralihan ke rokok ilegal, tapi juga merugikan perusahaan karena penurunan penjualan. Pada akhirnya saat perusahaan tidak bisa bertahan, mereka akan melakukan efisiensi.

    “Cukai rokok kan sekarang 10%. Memang kebijakannya 2 tahun sekali naik. Kemarin 10%, itu terlalu tinggi, sekarang ya harusnya bisa diturunin. Bahkan beberapa jenis golongan rokok bisa lebih rendah, supaya nggak seperti kemarin ada kabar PHK ramai sekali itu,” paparnya.

    Sementara itu, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan salah satu langkah yang bisa dilakukan pemerintah meningkatkan kualitas penciptaan lapangan kerja dalam negeri adalah dengan melanjutkan pemberian insentif untuk industri dan perusahaan.

    “Insentif fiskal dari sisi tax holiday dan sebagainya itu kan mesti diterapkan juga. Nah kita melihat mungkin bisa diterapkan di sektor-sektor tertentu, misalkan sektor padat karya. Tapi kalau itu sudah banyak insentif, sudah digelontorkan insentif dan sebagainya tapi tidak bergerak positif ya berarti otomatis salah perusahaannya,” kata Nailul.

    Selain pemberian insentif, ia menilai pemberian insentif langsung ke masyarakat juga bisa mendorong terciptanya lapangan kerja baru. Sebab jika daya beli masyarakat terbantu berkat adanya insentif, sektor industri dan dunia usaha akan ikut bergeliat yang kemudian bisa menambah lapangan kerja baru.

    “Kalau konsumsi yang naik kan otomatis itu juga akan main di kuantiti kan sebenarnya, dan itu mungkin akan membantu industri yang ujung-ujungnya juga akhirnya bisa ekspansi dan penambahan lapangan kerja kan,” jelasnya.

    Tonton juga video “Menaker Sebut Koperasi Merah Putih Mampu Ciptakan Lapangan Kerja” di sini:

    (igo/fdl)

  • Gaji Rp 7,5 Juta Bebas Pajak Bisa Bikin Penerimaan PPh Berkurang, tapi…

    Gaji Rp 7,5 Juta Bebas Pajak Bisa Bikin Penerimaan PPh Berkurang, tapi…

    Jakarta

    Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diminta untuk dinaikkan ambang batasnya, dari semula Rp 4,5 juta per bulan, menjadi Rp 7,5 juta per bulan. Usulan ini paling kencang disuarakan oleh serikat buruh dan diungkapkan langsung saat bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat beberapa waktu yang lalu.

    Menaikkan PTKP jelas akan berdampak ke penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi ke kantong negara. Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengungkapkan ketika PTKP dinaikkan pada 2013, penerimaan negara dari PPh orang pribadi anjlok Rp 13 triliun. Saat itu, PTKP hanya naik 53%.

    “Jelas kita perlu melihat sisi fiskalnya. Ada pengalaman menarik di 2013. Waktu itu pemerintah menaikkan PTKP cukup besar, sekitar 53%. Dampaknya? Penerimaan PPh orang pribadi turun sekitar Rp 13 triliun,” sebut Yusuf Rendy kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Nah, saat ini usulan kenaikan PTKP yang diberikan buruh jauh lebih ekstrem daripada 2013. Bila PTKP naik menjadi Rp 7,5 juta, artinya kenaikan itu sebesar 70%. Bila kenaikan PTKP 53% saja bisa menghilangkan Rp 13 triliun, potensi kehilangan pendapatan negara dari PPh orang pribadi bisa jauh lebih besar jika usulan buruh diakomodir.

    Di tengah belanja pemerintah yang tinggi-tingginya, turunnya penerimaan dari PPh orang pribadi bisa membuat defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melebar. Bisa jadi, terjadi kenaikan tarif pajak lain untuk menggantikan potensi pendapatan yang hilang dari kenaikan PTKP.

    “Potensi kehilangan penerimaan negara tentu jauh lebih besar. Padahal belanja pemerintah lagi tinggi-tingginya, subsidi energi, bantuan sosial, kesehatan, pendidikan. Kalau basis pajak formal menyempit terlalu drastis, risiko defisit melebar dan negara terpaksa menutup celah itu lewat utang atau dengan menaikkan pajak jenis lain, misalnya PPN atau cukai,” papar Yusuf Rendy.

    Di sisi lain, masih berkaca pada kenaikan PTKP pada 2013, Rendy mengatakan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan kala itu menemukan pola data yang unik. Usai PTKP naik, turunnya penerimaan PPh orang pribadi hanya terjadi 1-2 tahun saja, setelahnya ekonomi bergerak dengan cepat dan penerimaan pajak secara keseluruhan kembali normal.

    “Namun kajian Badan Kebijakan Fiskal menemukan penurunan itu hanya berlangsung 1-2 tahun. Setelah ekonomi pulih, penerimaan pajak kembali naik normal, sementara di sisi lain konsumsi, investasi, bahkan penciptaan lapangan kerja justru terdorong,” kata Yusuf Rendy.

    Kenaikan PTKP Bisa Bertahap

    Namun secara prinsip, Rendy melihat usulan buruh menaikkan PTKP masuk akal dan punya dasar kuat, yaitu biaya hidup yang melonjak, sementara PTKP tak berubah bertahun-tahun. Namun, agar fiskal tetap sehat, lebih realistis kalau pemerintah menaikkan PTKP secara bertahap tak perlu sampai langsung menjadi Rp 7,5 juta per bulan.

    “Hal itu dilakukan sambil memperluas insentif berbasis tanggungan keluarga atau kebutuhan hidup layak. Dengan begitu, tujuan melindungi daya beli tercapai, tetapi keberlanjutan keuangan negara juga tetap terjaga,” jelas Yusuf Rendy.

    Penerimaan PPN Bisa Meningkat

    Di sisi lain, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda justru menilai potensi turunnya penerimaan dari PPh orang pribadi karena kenaikan PTKP bisa digantikan penerimaan pajak yang lain.

    Sebab, menurut Huda, kenaikan PTKP akan memberikan penghasilan bersih kepada masyarakat sebagai pekerja jauh lebih besar. Dengan begitu daya beli meningkat dan masyarakat pun berbelanja. Pada ujungnya, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akan terkerek imbas kenaikan belanja masyarakat.

    “Hasil bagi penerimaan negara memang bisa negatif di pajak penghasilan karyawan tapi bisa positif di pajak lainnya, salah satunya Pajak Pertambahan Nilai atau PPN. Dengan ada ruang konsumsi lebih besar, masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak. Harapannya adalah konsumsi rumah tangga meningkat dan penerimaan PPN juga melonjak. Jadi, penurunan di PPh 21 karyawan akan terkompensasi dengan kenaikan penerimaan PPN. Jadi, hasilnya tetap positif dan kebijakan ini bisa diterapkan,” sebut Huda ketika dihubungi detikcom.

    Tonton juga video “17+8 Tuntutan Rakyat Dijawab DPR, TNI, dan Polri” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (hal/ara)

  • Buruh Mau Gaji Rp 7,5 Juta Bebas Pajak, Ekonom Sebut Bisa Dongkrak Ekonomi

    Buruh Mau Gaji Rp 7,5 Juta Bebas Pajak, Ekonom Sebut Bisa Dongkrak Ekonomi

    Jakarta

    Kalangan pekerja meminta pemerintah untuk menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Permintaan ini disampaikan langsung ke Presiden Prabowo Subianto saat beberapa serikat pekerja besar di Indonesia diundang ke Istana beberapa waktu lalu.

    Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengusulkan agar batas PTKP yang awalnya cuma Rp 4,5 juta per bulan menjadi Rp 7,5 juta per bulan. Lantas, seberapa besar urgensi permintaan buruh untuk meningkatkan penghasilan tidak kena pajak?

    Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda menilai kebijakan reformasi pajak jelas dapat menggerakkan perekonomian, tak terkecuali peningkatan ambang batas PTKP.

    Dia menilai saat ini memang PTKP pekerja di Indonesia terlampau sangat rendah, yaitu Rp 4,5 juta per bulan. Hal ini membuat penghasilan masyarakat kelas menengah menjadi lebih banyak yang terpotong pajak.

    “Pajak sebagai instrumen yang tepat untuk menggerakkan perekonomian yang sedang lesu. Salah satunya adalah melalui peningkatan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). PTKP saat ini terbilang sangat rendah, Rp 54 juta selama setahun atau Rp 4,5 juta sebulan,” beber Huda ketika dihubungi detikcom, Senin (8/9/2025).

    Kenaikan PTKP Bisa Dongkrak Daya Beli

    Menurutnya, jika batas PTKP dinaikkan menjadi Rp 7,5 juta per bulan, maka ruang bagi masyarakat sebagai pekerja untuk berbelanja bisa meningkat. Sebab, pendapatan masyarakat kelas menengah dapat menjadi lebih besar, pada akhirnya daya beli meningkat dan juga bisa menggerakkan perekonomian.

    “Pendapatan disposable masyarakat bisa meningkat. Perekonomian bisa berjalan lebih cepat,” sebut Huda.

    Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet juga mendukung wacana kenaikan PTKP. Menurutnya, batas penghasilan bebas pajak terakhir kali disesuaikan 2016, sementara itu hingga kini biaya hidup sudah terus merangkak naik. Menurutnya, memang sudah saatnya PTKP disesuaikan.

    “Kalau kita bicara PTKP, batas penghasilan tidak kena pajak ini terakhir disesuaikan pada 2016 dan masih di Rp 4,5 juta per bulan. Padahal, biaya hidup di kota besar sekarang sudah jauh di atas itu. Jadi wajar kalau buruh mengusulkan kenaikan PTKP ke Rp 7,5 juta,” ungkap Rendy ketika dihubungi detikcom.

    Senada dengan Huda, Rendy menilai kenaikan PTKP jelas kabar baik bagi pekerja. Kenaikan PTKP artinya membuat pajak yang dipotong lebih kecil, take-home pay alias penghasilan bersih bertambah, daya beli ikut naik. Indonesia yang bertumpu pada konsumsi domestik sebagai mesin utama pertumbuhan ekonomi jelas akan mengalami pergerakan ekonomi yang begitu besar.

    “Mengingat konsumsi rumah tangga adalah mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, efek ini bisa jadi stimulus yang cukup kuat,” pungkas Rendy.

    Tonton juga video “17+8 Tuntutan Rakyat Dijawab DPR, TNI, dan Polri” di sini:

    Halaman 2 dari 2

    (hal/ara)

  • Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya sudah menciptakan banyak lapangan kerja. Ia juga mengatakan potensi pembukaan lapangan kerja ke depan akan sangat besar.

    “Kita mengerti masalah kesulitan mendapat lapangan kerja di tempat-tempat tertentu dan pada golongan-golongan tertentu. Tapi kita sudah buktikan pemerintah yang saya pimpin sudah ciptakan cukup banyak lapangan kerja dan potensi lapangan kerja ke depan sangat besar,” kata Prabowo di Hambalang akhir pekan ini.

    Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan pernyataan Prabowo ini secara umum memang benar. Menurut data BPS yang dilihatnya, jumlah penduduk bekerja pada Februari 2025 sebanyak 145,77 juta orang, naik 3,59 juta orang dibandingkan Februari 2024.

    Ia mengatakan data tersebut memang mengindikasikan adanya pembukaan dan penyerapan lapangan kerja baru. Namun jika dibandingkan dengan target lapangan kerja baru yang sebelumnya dijanjikan Prabowo, yakni sebesar 19 juta lapangan kerja, menurutnya angka ini masih terlalu kecil.

    “Menurut saya kalau lapangan kerja tercipta, iya. Cuma target 19 juta lapangan kerja kayaknya berat begitu ya, karena kan rata-rata lapangan kerja baru mungkin sekitar 1,5 juta per tahun begitu ya. Artinya kalau dalam 5 tahun itu hanya sekitar katakanlah 7,5 juta,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Belum lagi, ia memaparkan seiring penambahan lapangan kerja baru, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Kondisi ini kemudian membuat angka pengangguran per Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang, naik 0,08 juta orang dibandingkan periode sebelumnya.

    “Pada saat yang sama lapangan kerja tercipta, pengangguran yang PHK juga terjadi. Nah, penciptaan lapangan kerja biasanya buat yang fresh graduate, sementara yang PHK ini kan yang sudah lama dan sebagainya,” paparnya.

    Tidak hanya soal jumlah, menurut Tauhid saat ini kualitas penciptaan lapangan kerja di Indonesia juga masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari tingginya persentase para pekerja informal dibandingkan pekerja formal.

    Masalahnya, penciptaan lapangan kerja yang kurang berkualitas ini membuat daya beli masyarakat kian tergerus. Sebab para pekerja informal secara umum memiliki upah atau penghasilan yang tidak sebesar pekerja formal. Ini membuat dana di kantong para pekerja sangat terbatas, apalagi untuk dibelanjakan.

    “Nah problem-nya adalah meskipun lapangan kerja tercipta, itu sebagian besar masuk ke sektor informal. Nah ini yang membuat ekonomi dan daya beli kita tidak kuat walaupun penciptaan lapangan kerja tercipta. Karena masuk ke sektor informal dengan penerimaan utama yang lebih rendah daripada mereka kerja di lapangan formal,” terangnya.

    Senada, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan sekarang ini pembukaan lapangan kerja baru memang masih ada. Namun secara jumlah terus mengecil tiap tahun.

    “Kalau kita lihat, menurut Bappenas ya, di awal 2010 itu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap tenaga kerja sampai 440 ribu tenaga kerja. Artinya pada saat itu kan pertumbuhan ekonomi 5-6%, ya katakanlah itu bisa membuka 2,4 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Nah sekarang 1% pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa membuka 110 ribu tenaga kerja saja. Artinya dengan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4-5% ini cukup kecil,” jelas Nailul.

    Kemudian ia juga menyoroti banyak PHK yang membuat jumlah pengangguran ikut meningkat seiring pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pekerja yang terkena PHK pada semester I ini tercatat sudah naik 32% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

    “Mengacu ke BPS itu memang menyebutkan untuk tingkat pengangguran terbuka ya itu turun, tapi pengangguran secara jumlah itu meningkat. Kemudian PHK itu juga masif sampai Juni 2025, kalau akumulasi dari Januari tumbuhnya sampai 32% dibandingkan dengan periode Januari-Juni di 2024. Artinya ini semakin banyak pengangguran,” terangnya.

    Pada akhirnya, mereka yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal berpindah ke sektor informal, membuat proporsi pekerja formal dan informal tidak sebanding. Padahal menurutnya jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar dapat mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.

    “Lebih dari 60% pekerja kita adalah sektor informal, sedangkan yang formal itu 40%. Begitu juga dengan setengah pengangguran yang dia hari ini bekerja besok tidak,” ucap Nailul.

    “Karena kalau kita diserap sama sektor industri, sektor formal, gaji setara minimal setara UMR, ada jaminan, Alhamdulillah kan orang juga daya belinya secara agregat jadi semakin meningkat. Dengan daya beli meningkat, artinya multiplier efeknya juga akan meningkat. Makanya ini yang tidak dimiliki ketika kita lebih banyak bertumpu pada sektor informal,” terangnya lagi.

    Tonton juga video “Prabowo: Pengangguran Turun, 3,6 Juta Lapangan Kerja Baru Diciptakan” di sini:

    (igo/fdl)

  • Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Benarkah Pemerintahan Prabowo Sudah Ciptakan Banyak Lapangan Kerja?

    Jakarta

    Presiden Prabowo Subianto mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya sudah menciptakan banyak lapangan kerja. Ia juga mengatakan potensi pembukaan lapangan kerja ke depan akan sangat besar.

    “Kita mengerti masalah kesulitan mendapat lapangan kerja di tempat-tempat tertentu dan pada golongan-golongan tertentu. Tapi kita sudah buktikan pemerintah yang saya pimpin sudah ciptakan cukup banyak lapangan kerja dan potensi lapangan kerja ke depan sangat besar,” kata Prabowo di Hambalang akhir pekan ini.

    Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad mengatakan pernyataan Prabowo ini secara umum memang benar. Menurut data BPS yang dilihatnya, jumlah penduduk bekerja pada Februari 2025 sebanyak 145,77 juta orang, naik 3,59 juta orang dibandingkan Februari 2024.

    Ia mengatakan data tersebut memang mengindikasikan adanya pembukaan dan penyerapan lapangan kerja baru. Namun jika dibandingkan dengan target lapangan kerja baru yang sebelumnya dijanjikan Prabowo, yakni sebesar 19 juta lapangan kerja, menurutnya angka ini masih terlalu kecil.

    “Menurut saya kalau lapangan kerja tercipta, iya. Cuma target 19 juta lapangan kerja kayaknya berat begitu ya, karena kan rata-rata lapangan kerja baru mungkin sekitar 1,5 juta per tahun begitu ya. Artinya kalau dalam 5 tahun itu hanya sekitar katakanlah 7,5 juta,” kata Tauhid kepada detikcom, Senin (8/9/2025).

    Belum lagi, ia memaparkan seiring penambahan lapangan kerja baru, banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor. Kondisi ini kemudian membuat angka pengangguran per Februari 2025 sebesar 7,28 juta orang, naik 0,08 juta orang dibandingkan periode sebelumnya.

    “Pada saat yang sama lapangan kerja tercipta, pengangguran yang PHK juga terjadi. Nah, penciptaan lapangan kerja biasanya buat yang fresh graduate, sementara yang PHK ini kan yang sudah lama dan sebagainya,” paparnya.

    Tidak hanya soal jumlah, menurut Tauhid saat ini kualitas penciptaan lapangan kerja di Indonesia juga masih sangat rendah. Hal ini terlihat dari tingginya persentase para pekerja informal dibandingkan pekerja formal.

    Masalahnya, penciptaan lapangan kerja yang kurang berkualitas ini membuat daya beli masyarakat kian tergerus. Sebab para pekerja informal secara umum memiliki upah atau penghasilan yang tidak sebesar pekerja formal. Ini membuat dana di kantong para pekerja sangat terbatas, apalagi untuk dibelanjakan.

    “Nah problem-nya adalah meskipun lapangan kerja tercipta, itu sebagian besar masuk ke sektor informal. Nah ini yang membuat ekonomi dan daya beli kita tidak kuat walaupun penciptaan lapangan kerja tercipta. Karena masuk ke sektor informal dengan penerimaan utama yang lebih rendah daripada mereka kerja di lapangan formal,” terangnya.

    Senada, Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Nailul Huda mengatakan sekarang ini pembukaan lapangan kerja baru memang masih ada. Namun secara jumlah terus mengecil tiap tahun.

    “Kalau kita lihat, menurut Bappenas ya, di awal 2010 itu 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap tenaga kerja sampai 440 ribu tenaga kerja. Artinya pada saat itu kan pertumbuhan ekonomi 5-6%, ya katakanlah itu bisa membuka 2,4 juta tenaga kerja setiap tahunnya. Nah sekarang 1% pertumbuhan ekonomi itu hanya bisa membuka 110 ribu tenaga kerja saja. Artinya dengan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 4-5% ini cukup kecil,” jelas Nailul.

    Kemudian ia juga menyoroti banyak PHK yang membuat jumlah pengangguran ikut meningkat seiring pembukaan lapangan kerja baru. Jumlah pekerja yang terkena PHK pada semester I ini tercatat sudah naik 32% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.

    “Mengacu ke BPS itu memang menyebutkan untuk tingkat pengangguran terbuka ya itu turun, tapi pengangguran secara jumlah itu meningkat. Kemudian PHK itu juga masif sampai Juni 2025, kalau akumulasi dari Januari tumbuhnya sampai 32% dibandingkan dengan periode Januari-Juni di 2024. Artinya ini semakin banyak pengangguran,” terangnya.

    Pada akhirnya, mereka yang tidak mendapat pekerjaan di sektor formal berpindah ke sektor informal, membuat proporsi pekerja formal dan informal tidak sebanding. Padahal menurutnya jumlah pekerja sektor informal yang terlalu besar dapat mempengaruhi daya beli masyarakat secara keseluruhan.

    “Lebih dari 60% pekerja kita adalah sektor informal, sedangkan yang formal itu 40%. Begitu juga dengan setengah pengangguran yang dia hari ini bekerja besok tidak,” ucap Nailul.

    “Karena kalau kita diserap sama sektor industri, sektor formal, gaji setara minimal setara UMR, ada jaminan, Alhamdulillah kan orang juga daya belinya secara agregat jadi semakin meningkat. Dengan daya beli meningkat, artinya multiplier efeknya juga akan meningkat. Makanya ini yang tidak dimiliki ketika kita lebih banyak bertumpu pada sektor informal,” terangnya lagi.

    Tonton juga video “Prabowo: Pengangguran Turun, 3,6 Juta Lapangan Kerja Baru Diciptakan” di sini:

    (igo/fdl)

  • Jadi Pembiayaan Program Prabowo, Burden Sharing Dapat Sentimen Negatif Ekonom

    Jadi Pembiayaan Program Prabowo, Burden Sharing Dapat Sentimen Negatif Ekonom

    Jakarta

    Skema burden sharing yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) dan Kementerian Keuangan menuai kritik. Burden sharing sendiri dilakukan untuk mendanai program prioritas Presiden Prabowo Subianto, khususnya Perumahan Rakyat serta Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes/Kel) Merah Putih.

    Dukungan melalui burden sharing diberikan melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder dengan realisasi mencapai Rp 200 triliun. Namun, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira Adhinegara menyebut menyoroti burden sharing yang dilakukan tidak pada saat krisis.

    “Burden sharing dilakukan tidak pada saat krisis (kecuali memang pemerintah dan BI menganggap saat ini kondisi krisis),” ujarnya dalam keterangan kepada detikcom, Jumat (5/9/2025).

    Bhima juga menilai independensi BI semakin tidak ada dan lebih mirip seperti Dewan Moneter pada masa Orde Baru. Dewan Moneter adalah lembaga negara yang mengendalikan kebijakan moneter, kredit, dan perbankan, dengan Menteri Keuangan sebagai ketua serta Gubernur BI sebagai anggota.

    Lembaga ini membuat Bank Indonesia tidak independen karena keputusan moneter harus sejalan dengan kebijakan pemerintah. BI sendiri sudah menjadi independen mulai 1999.

    Bhima juga mewanti-wanti ancaman inflasi akibat uang beredar naik tanpa disertai kenaikan permintaan riil. Selain itu, beban fiskal dilimpahkan ke moneter yang bisa mengganggu stabilitas keuangan hingga neraca BI jangka panjang.

    Lebih jauh, ia menyoroti dampak jangka panjang terhadap reputasi fiskal Indonesia. Kredibilitas pemerintah berpotensi tertekan apabila skema ini terus dipakai untuk membiayai program yang bermasalah.

    “Rating utang pemerintah (sovereign bond rating) terancam downgrade karena BI membiayai program yang bermasalah terutama Kopdes MP (Merah Putih),” tegas Bhima.

    Independensi BI

    Senada, Ekonom sekaligus Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda menyebut kebijakan burden sharing akan melunturkan independensi BI yang seharusnya menjaga kebijakan moneter Indonesia.

    “Dengan melakukan burden sharing, kewajiban pemerintah untuk menjaga kesehatan fiskal akan semakin luntur dan dibebankan kepada BI. Harusnya sektor moneter yang dikelola oleh BI tidak boleh melonggarkan kebijakan fiskal,” sebut Nailul.

    Ia menilai fiskal harus bisa berhemat dengan cara kebijakan fiskal seperti realisasi anggaran dan sebagainya. Kondisi tersebut bisa dikecualikan ketika terjadi ancaman krisis ataupun untuk memberi bantuan langsung ke masyarakat.

    “Saat Covid, sektor swasta tidak bisa bergerak lebih cepat, sehingga bantuan ke masyarakat dibutuhkan secara langsung dan cepat. Saat ini, kondisi tersebut tidak terjadi dimana sektor ekonomi masih banyak yang bergerak, pemerintah memberikan stimulus melalui kebijakan fiskal. Bukan meminta BI untuk menanggung utang secara bersama,” bebernya.

    Terlebih utang yang beban bunganya ditanggung oleh BI dan pemerintah, digunakan untuk program yang menurut Nailul akan rugi besar. Ia menyebut pemerintah sebenarnya tahu bahwa program KMP dan perumahan ini risikonya tinggi sehingga meminta BI menanggung risikonya.

    Ketika program dengan risiko tinggi ini dibiayai dengan utang, maka risikonya bukan hanya saat ini, tapi risiko fiskalnya akan besar ke depan. Pembayaran untuk bunga utang akan semakin besar, kapasitas fiskal pemerintah untuk membuat kebijakan ekonomi pro rakyat akan semakin sempit.

    “Strategi ini nampaknya BI mungkin akan memanfaatkan kas yang ada terlebih dahulu, baru ketika tidak mencukupi pasti akan cetak uang. Jadi BI membeli SBN dengan kas yang ada atau mencetak uang, sehingga likuiditas di masyarakat bisa terjaga. Tapi cara membeli SBN-nya ini nampaknya dengan mencetak uang baru setelah kas BI habis. Nampaknya sih akan mencetak uang ya,” jelas Nailul.

    Sebagai informasi, skema burden-sharing pernah dilakukan untuk membiayai pemulihan ekonomi selama pandemi COVID-19. Dalam skema ini, Kementerian Keuangan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) kepada Bank Indonesia (BI) dengan acuan suku bunga reverse repo.

    “Pemerintah membayar bunga/yield sesuai jatuh tempo, tapi di hari yang sama BI mengembalikan bunga itu ke pemerintah sebagai bentuk kontribusi sesuai skema. Sederhananya, ini adalah cara mencetak uang yang kemudian disalurkan ke Kemenkeu untuk mendukung belanja fiskal,” jelas publikasi Asian Development Bank, dikutip Jumat (5/9/2025)

    Halaman 2 dari 2

    (ily/eds)

  • Ekonom Desak Srimul Dipecat Imbas Kinerja Jeblok

    Ekonom Desak Srimul Dipecat Imbas Kinerja Jeblok

    GELORA.CO -Kinerja Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 2025 dinilai semakin memburuk dari tahun-tahun sebelumnya.

    Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda mengatakan, Sri Mulyani selayaknya dicopot dari jabatannya karena gagal menjaga penerimaan negara, belanja pendidikan, hingga defisit fiskal.

    “Kalau kita lihat di tahun 2025, penyerapan penerimaan negara dan penyerapan anggaran itu sama-sama jeblok. Pertumbuhan penerimaan negara lebih rendah dibandingkan tahun 2022, 2023, maupun 2024. Begitu juga dengan pajak yang hingga Mei masih minus,” kata Huda dalam konferensi pers pada Kamis 4 September 2025.

    Huda menjelaskan, realisasi penerimaan pajak hingga Mei 2025 hanya mencapai 31,21 persen. Angka itu jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang bisa tembus 38 persen pada periode yang sama, bahkan tahun 2022 sempat mencapai 48 persen. 

    “Realisasi belanja yang mengalami penurunan, ada efisiensi di sini ya. Ini menunjukkan bahwa kinerja dari Sri Mulyani itu tahun ini jelek. Padahal kalau kita lihat, di tahun depan pajak itu penerimaan pepajakan itu naik 13 persen,” kata Huda.

    Kondisi ini disebut sebagai dampak dari hilangnya kepercayaan publik terhadap institusi perpajakan, hingga aplikasi pajak yang belum maksimal.

    “Ini kenapa terjadi? Ada masalah Coretax di sini. Ada masalah ketidakpercayaan masyarakat terhadap institusi pajak. Nah ini yang menyebabkan pertumbuhan pajak sampai Mei (2025) itu masih minus,” kata Huda.

    Selain penerimaan negara, Huda juga menyoroti masalah pengalokasian anggaran pendidikan. Menurutnya, klaim pemerintah bahwa anggaran pendidikan naik 9,8 persen pada 2026 menjadi Rp757,8 triliun tidak sepenuhnya benar. 

    Pasalnya, sekitar Rp223,6 triliun atau 30 persen dari pos anggaran pendidikan itu dialokasikan untuk program MBG yang justru melanggar Undang-Undang Sisdiknas.

    “Kalau dihitung tanpa MBG, anggaran pendidikan justru turun menjadi Rp534,2 triliun, atau kurang dari 20 persen dari total belanja negara. Ini perampokan dana pendidikan yang dilakukan oleh Sri Mulyani,” ujar Huda.

    Ia juga memperingatkan bahaya defisit APBN yang berpotensi melebar pada 2026. Dengan penerimaan negara yang terus melemah, dividen BUMN yang dialihkan ke Danantara, beban utang semakin berat, sementara belanja negara terus membengkak.

    “Artinya, untuk bayar utang kita harus berutang lagi. Itu membuat fiskal kita tidak sustain. Inilah kinerja buruk yang harus jadi alasan kuat Sri Mulyani harus dievaluasi bahkan diicopot dari kursi Menteri Keuangan,” pungkas Huda