Tag: Musdah Mulia

  • Santri Progresif dari Jombang, Elza Nikma Tawarkan Visi Baru untuk KOPRI PMII Jatim

    Santri Progresif dari Jombang, Elza Nikma Tawarkan Visi Baru untuk KOPRI PMII Jatim

    Jombang (beritajatim.com) – Berangkat dari pesantren dan ruang kaderisasi akar rumput, Elza Nikma Yunita kini melangkah menuju panggung wilayah. Ia resmi mencalonkan diri sebagai Ketua KOPRI PMII (Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri) Jawa Timur dengan membawa visi feminisme Islam dan keberdayaan digital.

    Ia datang ke kantor Badan Pekerja Konkoorcab PKC PMII Jatim di Surabaya, Selasa (27/5/2025), didampingi Ketua Umum PC PMII Jombang dan Ketua KOPRI PC PMII Jombang.

    Mengenakan jas biru khas PMII dan kerudung hitam, perempuan kelahiran Jombang, 15 Juni 2001 ini mencatatkan langkah penting dalam sejarah kaderisasi perempuan di tubuh PMII. Ia menjadi salah satu dari sedikit kader perempuan yang memulai dari akar basis: rayon, komisariat, hingga cabang, dan kini menuju wilayah.

    Perjalanan intelektual dan spiritual Elza dimulai dari Tebuireng hingga Kediri. Ia merupakan alumnus Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng, dan saat ini sedang menempuh studi magister di UIN Syekh Wasil Kediri dengan fokus pada Ekonomi Syariah.

    “Pendidikan adalah ruang pertama perjuangan perempuan. Saya ingin membuktikan bahwa menjadi santri tidak membatasi kita untuk berpikir progresif dan melangkah jauh,” kata Elza, Rabu (28/5/2025).

    Elza juga pernah menjabat sebagai Ketua Komisariat PMII Hasyim Asy’ari Unhasy Tebuireng (2022–2023) dan Sekretaris KOPRI PC PMII Jombang (2024–2025). Ia merupakan santri dari Pondok Pesantren As-Sa’idiyyah 2 Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang.

    Kini, ia membawa visi besar untuk KOPRI Jawa Timur: “KOPRI PKC PMII Jawa Timur sebagai ruang aman, inklusif, dan progresif bagi perempuan muda untuk tumbuh, memimpin, dan memberi dampak nyata dalam perubahan sosial di era digital.”

    Visi tersebut ditopang oleh lima misi strategis: penguatan kepemimpinan progresif, keadilan gender, kaderisasi adaptif, solidaritas strategis, dan optimalisasi teknologi digital.

    Elza menegaskan bahwa arah perjuangan KOPRI harus berlandaskan Islam progresif, feminisme kritis, dan literasi digital taktis. “Islam tidak pernah membungkam perempuan. Islam datang membebaskan,” tegasnya, mengutip pemikiran KH. Husein Muhammad.

    Pemikiran Elza juga banyak dipengaruhi oleh tokoh feminis seperti Nancy Fraser, Musdah Mulia, dan Silvia Federici. Ia membangun narasi perlawanan terhadap kapitalisme patriarkal dan sistem sosial-politik yang bias gender.

    Salah satu gagasan penting yang ia usung adalah penguasaan ruang digital sebagai arena perjuangan perempuan masa kini.

    “Teknologi harus kita rebut kembali, bukan sebagai sarana eksistensi personal, tapi sebagai alat perjuangan kolektif,” jelasnya sambil mengutip pemikiran Zeynep Tufekci.

    Bagi Elza, perjuangan perempuan kini hadir juga di layar gawai, di antara tagar dan data, tempat narasi dan identitas perempuan dipertaruhkan.

    Pendaftaran Elza bukan sekadar proses administratif. Ia adalah pernyataan sikap bahwa KOPRI bukan hanya organisasi, melainkan ruang politik etis perempuan muda — tempat mereka bisa bertumbuh, memimpin, dan menebar dampak.

    “Perempuan tidak hanya butuh tempat untuk tumbuh, tapi juga ruang untuk memimpin. KOPRI harus jadi tempat itu,” ucapnya penuh kepercayaan diri. [suf]

  • Politik Identitas, Bahaya Politisasi Agama dalam Demokrasi

    Politik Identitas, Bahaya Politisasi Agama dalam Demokrasi

    Bisnis.com, JAKARTA – Agama masih sering sekali dipakai menjadi alat politik di Indonesia, khususnya saat Pilkada dan Pemilu. Kondisi ini sangat mengancam demokrasi Indonesia.

    Aktivis perempuan sekaligus dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Siti Musdah Mulia mengungkapkan bahwa menggunakan politik identitas merupakan cara paling mudah dan paling murah, tetapi ini sangat berbahaya. Sebab, masyarakat di Indonesia masih bersifat pragmatis.

    “Orang-orang menggunakan politik identitas dan jualan agama dalam aktivitas demokrasi adalah orang yang melakukan aksi culas,” ungkapnya dalam Workshop Kebijakan Publik dan Demokrasi di AJI Jakarta, Minggu (23/3/2025).

    Menurutnya, ada 4 alasan yang menyebabkan terjadinya jualan politik identitas agama saat Pemilu. Pertama, karena politik identitas adalah cara paling murah dan mudah untuk melakukan mobilisasi massa demi memenangkan pertarungan politik. Kedua, politik identitas cara paling efektif menggugah emosional individu dan masyarakat.

    Ketiga, politik identitas dengan berbagai dinamikanya telah menciptakan momentum bagi kebangkitan kelompok islamis atau Islam formalis. Keempat, politik identitas masih akan terus dipakai selama daya kritis masyarakat rendah dan wacana kebohongan yang intens berhasil menciptakan keraguan.

    Musdah Mulia mengatakan bahwa orang-orang yang mudah terpapar dengan politik identitas adalah orang yang berliterasi rendah. Nah, mayoritas masyarakat di Indonesia masih memiliki literasi rendah dan tidak kritis, serta masih mudah dibohongi, dengan jualan agama.

    “Harusnya agama digunakan untuk bermaslahat. Banyak orang beragama tetapi amoral dan korupsi. Agama harus berfungsi menciptakan solidaritas sosial, bukan perpecahan,” tegas Musdah.

    Dia menambahkan ada 4 bahaya bila politik identitas atau jualan agama terus menerus dilakukan saat proses demokrasi di Indonesia. Pertama, pragmatisme politik akan semakin mengaburkan posisi agama dan negara dalam konteks demokrasi. Agama akan selalu digunakan utk kepentingan politik jangka pendek. Sebaliknya, negara akan dijadikan tameng pembela agama demi kekuasaan semata.

    Kedua, membiarkan politik identitas berarti memberikan ruang pada gerakan islamisme yang mengedepankan sikap intoleran dan eksklusifisme yang menggiring pada konflik dan kekerasan ekstremisme.

    Ketiga, tindakan intoleransi akan semakin mengeras dan persekusi di wilayah publik akan semakin luas. Kondisi ini semakin parah akibat rendahnya tingkat literasi masyarakat dan budaya kritis serta penegakan hukum.

    Keempat, perpecahan di masyarakat yang tidak pernah disiapkan solusinya pasca Pilpres, menjadi residu yang tidak pernah terurai. Kelima, jika terjadi deadlock politik karena margin yang kecil, sangat potensial menyulut konflik sosial.