Jember (beritajatim.com) – Dua pakar hukum Universitas Jember di Kabupaten Jember, Jawa Timur, menyoroti celah dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) oleh Komisi III DPR RI.
M. Arief Amrullah, pakar hukum pidana, mengatakan, ada sejumlah kelemahan yang perlu diperbaiki dalam KUHAP. Selama ini, KUHAP lebih banyak memberi perhatian kepada pelaku. “Sementara hak-hak korban sering kali terabaikan,” katanya, sebagaimana dilansir Humas Unej, Jumat (31/1/2025).
Proses Tahapan pra penuntutan dinilai Arief sering kali berbelit-belit dan memakan waktu terlalu lama, karena bolak-baliknya berkas perkara antara penyidik dan jaksa penuntut umum. Selain itu, penghilangan tahap penyelidikan juga menjadi isu yang perlu dicermati dengan hati-hati.
“Jika tidak diatur dengan baik, hal ini bisa berpotensi menghambat keadilan dan memperlambat penanganan perkara,” kata Arief.
Justru rancangan KUHAP baru, menurut Arief, perlu memastikan asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan agar benar-benar dapat terpenuhi. Pemanfaatan teknologi dalam proses hukum perlu dipertimbangkan.
“Dengan sistem digital terintegrasi, setiap pertanyaan atau kekurangan dalam berkas dapat segera dilengkapi di waktu yang sama. Hal ini akan memangkas waktu dan meningkatkan efisiensi proses hukum,” kata Arief.
Penggunaan teknologi ini bisa meningkatkan transparansi dan kesetaraan antara penyidik dan jaksa penuntut umum. “Tidak akan ada lagi kecurigaan atau ketidakseimbangan dalam proses hukum,” kata Arief.
Arief tak ingin ada tumpang tindih kewenangan antara jaksa dan polisi, namun dengan tetap memastikan hukum pidana terus berkembang dan dapat menjawab tantangan zaman. “Tanpa mengorbankan prinsip-prinsip keadilan bagi semua pihak,” katanya.
Sementara itu, ahli hukum tata negara Eddy Mulyono menyoroti pentingnya sinergi dan kolaborasi antarpenegak hukum dalam implementasi R-KUHAP. Idealnya, sinergi-kolaborasi antara aparat penegak hukum menjadi kunci utama.
“Namun, jika revisi KUHAP ini justru menimbulkan persaingan atau kompetisi tidak sehat, maka perlu dikaji ulang agar revisi ini tidak berdampak negatif terhadap proses peradilan,” kata Eddy.
Eddy mengingatkan, aspek hukum tata negara harus menjadi pedoman utama dalam pembentukan dan implementasi R-KUHAP agar dapat berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusionalisme. Sistem peradilan yang efektif harus didukung dengan peraturan yang jelas dan tegas. “Namun tetap memberikan ruang bagi kolaborasi antar lembaga hukum,” katanya.
Eddy berharap KUHAP menjadi ketentuan payung yang nantinya akan ditindaklanjuti oleh undang-undang sektoral, menyesuaikan KUHAP yang mengatur seluruh penegak hukum. “Dengan demikian tidak terjadi tumpang tindih dalam melaksanakan kewenangan masing-masing,” katanya.
Eddy ingin para pemangku kebijakan dapat mempertimbangkan berbagai masukan dari akademisi, praktisi hukum, serta masyarakat. “Tujuannya gar revisi ini dapat mencerminkan kebutuhan hukum yang lebih baik di masa mendatang,” katanya. [wir]









