Ramai Kritik Dedi Mulyadi Jadikan Vasektomi Syarat Dapat Bansos: Dianggap Haram hingga Langgar HAM
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Usulan Gubernur Jawa Barat
Dedi Mulyadi
yang menjadikan program Keluarga Berencana (KB), khususnya
vasektomi
sebagai syarat menerima
bantuan sosial
(bansos) menuai polemik dan mendapat
penolakan
dari berbagai pihak.
Untuk diketahui, ide tersebut diungkapkan Dedi dalam rapat koordinasi bidang kesejahteraan rakyat bertajuk “Gawé Rancagé Pak Kadés jeung Pak Lurah” di Pusdai Jawa Barat, Senin (28/4/2025).
Dalam rapat itu, Dedi mewacanakan kepesertaan KB, khususnya KB pria, menjadi prasyarat masyarakat prasejahtera menerima berbagai program bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat, mulai dari beasiswa pendidikan hingga bansos non-tunai.
“Jadi seluruh bantuan pemerintah nanti akan diintegrasikan dengan KB. Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tapi negara menjamin keluarga itu-itu juga,” kata Dedi Mulyadi di hadapan para pejabat kementerian dan kepala daerah.
Dedi menyatakan bahwa kebijakan ini bertujuan untuk distribusi bansos yang lebih merata dan adil.
Ia menilai selama ini bantuan banyak tertumpu pada keluarga miskin yang memiliki anak dalam jumlah besar.
“Pak Menteri, saya tidak tahu kok rata-rata keluarga miskin itu anaknya banyak. Sementara orang kaya susah punya anak. Saya pernah menemukan satu keluarga punya 22 anak, punya 16 anak,” ucapnya.
Dalam penjelasannya, Dedi juga menyebut fenomena keluarga kurang mampu yang justru memilih melahirkan dengan operasi sesar sebagai bentuk pengeluaran tidak efisien.
“Uang segitu bisa untuk bangun rumah kan. Makanya berhentilah bikin anak kalau tidak sanggup, menafkahi dengan baik,” ujarnya.
Dia menekankan bahwa KB pria dipilih karena metode kontrasepsi pada perempuan dinilai kerap bermasalah dan rentan tidak konsisten dilakukan.
“Kenapa harus laki-laki? Karena misalnya nanti perempuannya banyak problem. Misalnya lupa minum pilnya atau lainnya,” kata Dedi.
Di samping itu, Dedi menekankan bahwa program vasektomi adalah bentuk tanggung jawab pria terhadap keluarga.
Ia berharap, suami atau ayah di keluarga prasejahtera bisa menjadi peserta KB.
“Saya harapkan yang laki-lakinya, saya harapkan suaminya atau ayahnya yang ber-KB sebagai bentuk tanda tanggung jawab terhadap diri dan keluarganya, jangan terus-terusan dibebankan pada perempuan,” jelas Dedi.
Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menegaskan bahwa tidak ada aturan vasektomi sebagai syarat penerima bansos.
“Enggak ada, enggak ada. Enggak ada syarat itu,” tegas Muhaimin di Kompleks Parlemen, Sabtu (3/5/2025).
Menurutnya, pemerintah telah memiliki regulasi penyalur bansos, termasuk di dalamnya kriteria masyarakat yang berhak menerima.
Cak Imin mencontohkan ibu hamil, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas yang masuk kategori penerima bansos pemerintah.
Oleh karena itu, Cak Imin menegaskan bahwa aturan dan kriteria terkait bansos tidak boleh diubah atau ditambah secara sepihak.
“Aturan enggak ada. Tidak boleh bikin aturan sendiri,” katanya.
Senada dengan Cak Imin, Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul juga menyatakan bahwa wacana tersebut perlu dipertimbangkan secara matang, termasuk dari sisi agama dan hak asasi manusia (HAM).
“Kalau maksa, ya enggak boleh. Itu hanya imbauan sifatnya. Saya lihatnya baru sebatas gagasan saja,” kata Gus Ipul kepada Kompas.com, Sabtu (3/5/2025).
Gus Ipul menegaskan, bansos diberikan sebagai bentuk perlindungan terhadap kelompok rentan dan tidak bisa dikaitkan dengan syarat yang menyentuh wilayah hak tubuh seseorang.
“Program KB itu sendiri kan sudah lama berjalan, dan itu pun hanya berupa imbauan. Tidak ada unsur paksaan,” katanya.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro turut mengkritik usulan tersebut.
Menurutnya, menjadikan vasektomi sebagai syarat bansos berpotensi melanggar hak privasi warga negara.
“Vasektomi apa yang dilakukan terhadap tubuh itu bagian dari hak asasi. Jadi sebaiknya tidak dipertukarkan dengan bantuan sosial atau hal-hal lain,” ujar Atnike di Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Dia menambahkan, pemaksaan tindakan medis seperti vasektomi, bahkan dalam konteks hukum pidana, tidak dibenarkan.
Apalagi, jika itu dilakukan terhadap warga miskin demi menerima hak sosial mereka.
“Pemaksaan KB saja itu kan pelanggaran HAM,” tegas Atnike.
Penolakan
terhadap ide Dedi Mulyadi juga datang dari kalangan organisasi keagamaan.
Ketua Bidang Keagamaan PBNU, Ahmad Fahrur Rozi menyatakan bahwa pemaksaan vasektomi adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam.
“Kami tidak mendukung pemaksaan vasektomi untuk penerima bansos,” kata Gus Fahrur, Sabtu (3/5/2025).
Menurutnya, mayoritas ulama mengharamkan metode vasektomi karena dianggap sebagai tindakan pemandulan permanen.
“Karena vasektomi itu ulama masih berbeda pendapat dan mayoritas mengharamkan apabila mencegah kelahiran secara total,” ucapnya.
Dia menambahkan, pemerintah seharusnya cukup menganjurkan KB tanpa memaksakan jenis kontrasepsi tertentu.
“Saya kira ajaran ber-KB sudah cukup, tidak harus dipaksakan vasektomi,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua MUI Jawa Barat KH Rahmat Syafei menegaskan bahwa vasektomi bertentangan dengan syariat Islam, kecuali dalam kondisi tertentu yang mendesak secara medis.
“Pada intinya vasektomi itu haram dan itu sesuai Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se-Indonesia IV di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat pada 2012,” kata Rahmat, Jumat (2/5/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Mulyadi
-
/data/photo/2025/05/02/681448484c7aa.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ramai Kritik Dedi Mulyadi Jadikan Vasektomi Syarat Dapat Bansos: Dianggap Haram hingga Langgar HAM
-
/data/photo/2025/03/05/67c876803f639.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
6 Gubernur Tanpa Ruang Dialog Regional
Gubernur Tanpa Ruang Dialog
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pasundan & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat
DALAM
sunyi yang riuh oleh konten, seorang gubernur berbicara. Ia bicara bukan kepada DPRD, bukan kepada pendidik, bukan kepada orangtua yang resah di bawah tenda sekolah.
Ia bicara kepada kamera. Dan dari kamera, kepada layar. Lalu, dari layar, kepada kita yang menonton, tanpa bisa menjawab.
Demokrasi, kadang bukan tentang siapa yang paling lantang berbicara, tapi tentang siapa yang sungguh mau mendengar. Dan di Jawa Barat hari ini, suara-suara itu tak lagi punya ruang.
Dedi Mulyadi
bukan gubernur biasa. Ia datang dari rahim politik yang penuh kontradiksi. Dua periode ia menjabat Bupati Purwakarta, lalu melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR RI dari Partai Golkar.
Ia pernah memimpin DPD Golkar Jawa Barat, sebelum akhirnya pindah ke Partai Gerindra dan mendukung Prabowo Subianto dalam kontestasi nasional.
Namun yang membuatnya menonjol bukan hanya langkah politiknya, melainkan caranya membangun panggung dari kamera, mikrofon, dan jutaan penonton yang mengenalnya dari layar, bukan dari ruang kebijakan.
Dari situ, tumbuh kekuasaan yang lebih suka disetujui daripada didengar.
Kisahnya dimulai dari sekolah. Tempat anak-anak membentuk masa depan, tempat guru mencetak harapan. Namun, di tangan kekuasaan yang percaya pada simbol ketegasan, sekolah menjadi objek pendisiplinan.
Dedi melarang wisuda sekolah. Alasannya: membebani orangtua. Logika sosial yang masuk akal, dalam dunia yang mengukur beban dari pengeluaran.
Namun, ia tak menyisakan ruang bagi diskusi. Tak bertanya pada anak-anak, apa arti kelulusan. Tak berdialog dengan orangtua, apakah mereka benar-benar tertekan atau justru bersyukur. Di sinilah yang hilang: ruang dialog.
Tak lama kemudian, datang kebijakan baru. Anak-anak yang “nakal”—kata yang tak pernah didefinisikan secara adil—akan dikirim ke barak militer. Untuk dibina. Untuk dijinakkan. Untuk didisiplinkan oleh tangan negara yang berseragam.
Saya mencoba membayangkan anak-anak itu. Anak yang tumbuh dalam keluarga pecah, yang lari ke jalan karena sekolah gagal menjadi rumah.
Anak yang mencoba menyuarakan diri dalam bentuk amarah. Dan negara membalasnya dengan pelatihan fisik, bukan pelukan. Dengan barak, bukan konseling.
Barak adalah simbol ketertiban. Tapi tak semua kekacauan bisa diobati dengan seragam. Tak semua kenakalan lahir dari kemauan. Kadang, ia lahir dari kesedihan yang tak punya nama.
Pendidikan, bagi Dedi Mulyadi, adalah soal kontrol. Ia bicara tentang moral, tentang karakter, tentang disiplin. Ia lupa: pendidikan bukan sekadar mengatur tubuh, tapi juga membentuk jiwa. Dan jiwa tak bisa dijinakkan oleh algoritma TikTok atau format baris-berbaris.
Ia memang berhasil menurunkan anggaran iklan provinsi dari Rp 50 miliar menjadi Rp 3 miliar. Iklan itu kini digantikan oleh dirinya sendiri. Ia adalah spanduk bergerak, narator tunggal dalam republik yang semakin sempit ruang bantahnya. Ia bicara tentang efisiensi, tapi menghapus keberagaman suara.
Apakah pendidikan sedang dipimpin oleh algoritma? Apakah masa depan siswa ditentukan oleh impresi,
likes
, dan
share
?
Dalam satu babak berikutnya, ia menghapus dana hibah untuk pesantren. Alokasi yang sebelumnya Rp 153 miliar, menyusut drastis menjadi Rp 9,25 miliar. Alasannya: ketidakteraturan dan keinginan merapikan distribusi.
Secara administratif, mungkin bisa dibenarkan. Namun secara sosiologis, itu mencabut denyut nadi dari lembaga yang selama ini menjadi sandaran pendidikan masyarakat kecil.
Pesantren adalah ruang spiritual, sekaligus ruang sosial. Ia bukan hanya soal kitab, tapi juga soal dapur, soal hidup.
Dan kebijakan ini, seperti sebelumnya, diambil tanpa musyawarah. Seolah-olah, kepercayaan publik bisa diatur lewat
caption
. Seolah-olah, lembaga pendidikan tradisional hanya beban anggaran. Seolah-olah, suara kiai dan santri tak lebih penting dari suara di kolom komentar.
Ada yang berubah dalam politik hari ini. Dulu, rakyat menonton debat di parlemen. Kini, mereka menonton konten di TikTok. Dulu, kritik muncul dalam forum. Kini, kritik datang dari remaja bernama Aura Cinta yang berani beradu pendapat dengan sang gubernur.
Dalam masyarakat yang makin visual, kritik bisa di-frame ulang. Suara bisa diedit. Ketegangan bisa dijadikan konten. Dan kekuasaan makin lihai menyulap perlawanan menjadi konsumsi.
Dedi Mulyadi adalah arsitek dari panggung semacam itu. Ia tak butuh media. Ia adalah medianya sendiri. Ia tak butuh pembelaan. Ia punya jutaan penonton yang siap mengklik dan membela.
Namun di balik sorot kamera, kita tahu, ada birokrasi yang membeku. Ada lembaga yang kehilangan fungsi deliberatifnya.
Puncaknya datang ketika ia mengusulkan vasektomi sebagai syarat menerima bansos. Insentif Rp 500.000 ditawarkan kepada pria miskin yang bersedia disterilisasi.
Ini bukan lagi soal efisiensi. Ini soal pengendalian. Soal tubuh rakyat kecil yang dijadikan titik tekan dari program sosial.
Dalam kebijakan ini, negara tidak hanya mengatur apa yang boleh dimiliki rakyat, tapi juga siapa yang boleh dilahirkan.
Tubuh pria miskin menjadi medan baru untuk kekuasaan. Dalam nalar semacam ini, kemiskinan bukan persoalan struktural, tapi moral. Dan moral itu, seperti biasa, diukur oleh negara, ditentukan oleh elite.
Apa yang terjadi pada demokrasi ketika bantuan sosial dikaitkan dengan sterilitas? Apakah rakyat miskin hanya layak dibantu jika mereka tunduk? Jika mereka menyerahkan tubuhnya?
Dalam semua kontroversi ini, satu hal paling mencolok: ketiadaan ruang dialog. Tak ada dengar pendapat dengan guru sebelum larangan wisuda. Tak ada konsultasi dengan psikolog pendidikan sebelum program barak.
Tak ada musyawarah dengan ulama sebelum dana pesantren dipotong. Tak ada audiensi dengan organisasi masyarakat sipil sebelum vasektomi diumumkan.
Gubernur berbicara, tapi tidak mendengar. Gubernur tampil, tapi tidak hadir. Gubernur merekam, tapi tidak menyimak.
Dan karena itu, publik merasa ditinggalkan. DPRD kehilangan fungsi kontrol. LSM kehilangan mitra kerja. Lembaga keagamaan kehilangan akses. Dan rakyat kecil kehilangan suara.
Goethe pernah menulis, “Kita hanya mendengar apa yang sudah kita pahami.” Tapi kekuasaan yang terlalu yakin pada dirinya tak mau memahami, apalagi mendengar.
Dedi Mulyadi adalah wajah baru dari populisme konten: tampak hangat, tampak merakyat, tapi sering tak menyisakan ruang bagi bantahan.
Ia tampak berbicara kepada rakyat, tapi sejatinya sedang berbicara kepada dirinya sendiri—dengan gaya, dengan framing, dengan narasi yang dibentuk sepihak.
Gubernur seperti ini bukan tak punya niat baik, tapi niat baik tanpa ruang dialog hanya akan melahirkan kehendak yang membabi buta.
Dan ketika kehendak itu mencengkeram anak-anak, pesantren, dan tubuh rakyat miskin, maka yang lahir adalah kekuasaan yang tak kenal malu untuk memaksa.
Di sinilah kita hari ini: di provinsi besar yang dipimpin dari layar kecil, dengan suara kecil yang tak diberi ruang untuk tumbuh.
Dan mungkin, yang paling dibutuhkan hari ini bukan program baru, bukan larangan baru, bukan hukuman baru. Tapi kesediaan sederhana untuk mengatakan: “Mari kita bicara.”
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Gubernur Pramono 2 Kali Tolak Kebijakan Dedi Mulyadi Diterapkan di Jakarta, Simak Alasan Singkatnya
TRIBUNJAKATRTA.COM – Gubernur Jakarta, Pramono Anung dua kali menolak menerapkan kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, d i wilayahnya.
Padahal, dua kebijakan Dedi ramai mendapat sambutan positif warga Jawa Barat.
Pramono menegaskan, Jakarta memiliki cara tersendiri.
Dua kebijakan itu adalah soal pemutihan tunggakan pajak kendaraan bermotor, dan yang terbaru soal siswa bermasalah dididik di barak TNI.
Tolak Siswa Dididik di Barak
Pramono hanya mengutarakan alasan singkat saat ditanya soal cara Dedi Mulyadi menangani siswa bermasalah.
Politikus senior PDIP itu igah meniru cara Dedi untuk mengirim siswa ke barak TNI.
Namun ia enggan berbicara panjang lebar. Alasannya hanya karena dirinya memiliki cara sendiri, tanpa memberi penjelasan lebih lanjut.
“Jakarta punya kebijakan tersendiri, terima kasih,” ucapnya singkat saat ditemui di Balai Kota Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Sementara itu, Dedi sudah memulai pendidikan siswa bermasalah ke barak TNI ini pada awal Mei 2025.
Ada tiga kategori kenakalan remaja yang akan diprioritaskan mengikuti program ini, yaitu siswa yang sulit dibina, siswa yang terindikasi terlibat pergaulan bebas, serta siswa yang terlibat tindakan kriminal.
Bahkan, siswa yang kecanduan game mobile legend juga bisa dimasukan dalam barak militer ala Dedi Mulyadi ini.
“Tukang main mobile legend, yang kalau malam kemudian bangunnya sore,” ucapnya di Gedung DPR RI, Selasa (29/4/2025) kemarin.
Menurut rencana, Dedi Mulyadi bakal menggandeng pihak TNI-Polri untuk menjalankan program pendidikan karakter bagi siswa bermasalah ini.
Peserta pendidikan militer ini nantinya akan dipilih berdasarkan kesepakatan antara orang tua dengan pihak sekolah.
“Selama enam bulan siswa akan dibina di barak dan tidak mengikuti sekolah formal,” kata eks Bipati Purwakarta ini.
Pemutihan Pajak
Sebelumnya, Pramono juga menegaskan tak akan mengikuti langkah Dedi Mulyadi, yang membuat aturan soal pemutihan pajak kendaraan.
Pasalnya di Jakarta, satu orang warga bisa memiliki lebih dari satu kendaraan.
Kondisi ini disebut Pramono berbeda dibandingkan daerah lain, tak terkecuali dengan Jawa Barat.
“Setelah saya pelajari, Jakarta ini mungkin berbeda dengan daerah lain. Saya tidak mengkritik daerah lain, sama sekali enggak. Tapi ketika kami dalami, maka rata-rata mobil kedua dan ketiga yang tidak bayar pajak di Jakarta,” ucapnya saat ditemui di Rusun Tambora, Jakarta Barat, Rabu (26/3/2025).
Melihat fenomena ini, Pram mengaku lebih memilih mengejar penunggak pajak ketimbang memberi keringanan lewat program pemutihan.
Pasalnya, orang-orang tersebut dianggap mampu lantaran memiliki banyak kendaraan.
“Saya akan mengejar, mau punya mobil berapapun monggo saja, tetapi harus bayar pajak. Mungkin berbeda dengan daerah lain yang mobil pertama, tapi di Jakarta, baik mobil maupun motor (yang menunggak pajak) rata-rata bukan mobil dan motor pertama, tapi kedua dan ketiga,” ujarnya.
“Dan untuk itu, karena dia dianggap sebagai orang mampu, maka akan kami kejar bayar pajak,” tambahnya menjelaskan.
Sebagai informasi, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi sebelumnya membuat gebrakan dengan program pemutihan pajak kendaraan.
Hingga 30 Juni 2025 mendatang, warga Jawa Barat hanya perlu membayar pajak sesuai tarif tahun berjalan tanpa dikenakan biaya tunggakan.
“Saya sudah memaafkan kesalahan (tunggakan pajak), saya juga meminta maaf jika belum memberikan pelayanan terbaik,” ucapnya dalam video yang diunggah di akin Tiktok Kang Dedi Mulyadi.
Politikus senior Gerindra ini pun meminta warganya memanfaatkan dengan baik program pemutihan pajak kendaraan ini.
“Bagi yang tidak membayar pajak setelah dua bulan pasca-lebaran, maka kendaraan tanpa pajak jangan lewat jalan-jalan di Jawa Barat. Hayo, nanti mau lewat mana? Mau lewat udara?” ujarnya.
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5149743/original/092495400_1741009197-IMG_8573.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Mensos soal Vasektomi Jadi Syarat Terima Bansos: Kita Perlu Waktu untuk Mencerna Idenya Kang Dedi – Page 3
Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggulirkan program kepesertaan keluarga berencana (KB) melalui vasektomi. Hal itu disampaikan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi usai memimpin rapat bersama seluruh OPD lintas daerah di Balai Kota Depok.
Terkait hal itu, Menteri Sosial (Mensos) Saifullah Yusuf atau Gus Ipul mengatakan, masih perlu waktu untuk mencermati ide dari Dedi Mulyadi tersebut.
“Ya, kita perlu waktu untuk mencerna idenya Kang Dedi (Dedi Mulyadi) itu,” kata dia seperti dilansir dari Antara, Sabtu (3/5/2025).
Gus Ipul menjelaskan, usulan perlunya vasektomi untuk pemberian bansos tersebut harus dipertimbangkan secara menyeluruh, mengingat bansos selama ini diberikan dalam kerangka perlindungan dan jaminan sosial.
Bansos melalui Program Keluarga Harapan (PKH), kata dia, selama ini dirancang untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan dasar sekaligus membuka jalan menuju kemandirian.
“Memotivasi penerima bansos untuk bisa naik kelas, untuk bisa hidup lebih mandiri, untuk memiliki keterampilan dan membuka akses,” ungkap Gus Ipul.
Dia menegaskan, Jika ingin menambahkan syarat baru dalam penyaluran bansos, tak bisa dilakukan secara sepihak mengingat banyak pertimbangan yang harus dikaji.
“Kalau itu ditambahkan dengan syarat-syarat di luar rancangan program, harus kita diskusikan. Apalagi kalau kita mengambil keputusan dengan harus mempertimbangkan nilai-nilai agama, nilai-nilai HAM, dan pertimbangan lain,” jelas Gus Ipul.
Soal adanya fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait vasektomi, dirinya tak menampik bahwa hal tersebut menjadi salah satu alasan perlunya pembahasan lintas sektor.
“Makanya itu salah satunya, banyak. Ini harus dihitung secara bersama,” kata Gus Ipul.
Gus Ipul juga mengingatkan, sebagian besar bansos dari pemerintah selama ini ditujukan untuk kebutuhan dasar masyarakat, seperti asupan gizi untuk ibu hamil dan anak-anak.
“Ini harus diberikan untuk kebutuhan ibu hamil, untuk anak, bayi. Jadi, sudah jelas peruntukannya,” kata dia.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5207288/original/030661100_1746192384-WhatsApp_Image_2025-05-02_at_20.14.13.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Pesta Juara Tertunda: Nobar Persib Bakal Digelar Lagi, Dedi Mulyadi Beri Pesan ke Bobotoh
Liputan6.com, Bandung – Persib Bandung batal mengunci gelar juara BRI Liga 1 setelah kalah di kandang Malut United dengan skor tipis 1-0 pada laga lanjutan pekan ke-31 di Stadion di Gelora Kie Raha, Ternate, Maluku Utara, Jumat, 2 Mei 2025.
Diketahui, acara nonton bareng atau nobar serentak dihelat di Kota Bandung. Setiap kecamatan bahkan diwajibkan agar menggelarnya pada Jumat malam. Namun, kekalahan itu memaksa warga Kota Bandung, umumnya Bobotoh di Jawa Barat, untuk bersabar menunda perayaan.
Kekalahan ini tidak menggoyahkan posisi Persib di puncak klasemen BRI Liga 1 2024/2025. Mereka mengoleksi 64 poin, unggul 10 angka dari peringkat dua Dewa United.
Dewa United sudah tak bisa menggejar Persib meski berada di urutan dua. Satu-satunya tim yang masih mungkin menyalip Persib secara matematis adalah peringkat empat Persebaya Surabaya yang tertinggal 11 angka tapi masih punya empat laga sisa. Malut United sendiri naik ke posisi tiga menggeser Persebaya dengan koleksi 53 poin.
Oleh karenanya, Persib masih menjadi tim yang paling diunggulkan untuk kembali menjuarai liga secara back-to-back, setelah mampu menyandang gelar juara pada musim sebelumnya.
Pemerintah Kota Bandung sendiri telah memastikan akan tetap menggelar nobar serentak pada laga-laga sisa Persib Bandung. Ada tiga laga terakhir yang masih harus dilakoni Persib yakni pada tanggal 9, 16, dan 25 Mei.
“Seluruh 30 kecamatan berkomitmen menggelar nobar. Tidak hanya malam ini, tapi juga pada tanggal 2, 9, 16, dan 25 Mei,” kata Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, Jumat malam, 2 Mei 2025.
Farhan mengimbau masyarakat, khususnya bobotoh, agar tidak mengekspresikan euforia secara berlebihan jika Persib berhasil meraih kemenangan dan memastikan gelar juara.
“Kita pasti bahagia kalau Persib juara. Tapi jangan sampai kebahagiaan itu diekspresikan secara berlebihan. Tunjukkan bahwa kita sebagai pecinta sepak bola bisa merayakan dengan cara-cara yang elegan dan bisa diterima semua pihak. Jangan sampai ada stigma negatif terhadap bobotoh,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menitip sebuah pesan kepada para Bobotoh dan semua pendukung Persib Bandung.
“Buat para Bobotoh dan seluruh pendukung Persib Bandung jangan pernah menyerah,” katanya disampaikan Dedi Mulyadi lewat media sosial Instagram miliknya, dalam unggahan pada Sabtu, 3 Mei 2025.
Ia yakin pertandingan berikutnya akan menjadi milik Persib Bandung, mampu menang dan mengunci gelar juara. “Tetap semangat kita punya keyakinan di pertandingan berikutnya akan dimenangkan, dan Persib akan jadi juara,” katanya.
Pemuda Tenggelam di Sungai Pamali Brebes Ditemukan Meninggal
-

Mensos Minta Waktu Kaji Rencana Program Vasektomi Penerima Bansos Dedi Mulyadi
Bisnis.com, JAKRATA – Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan perlu mengkaji dengan cermat ide Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang ingin menjadikan vasektomi sebagai syarat bagi masyarakat untuk menerima bantuan sosial (bansos).
Menurut dia, usulan seperti itu harus dipertimbangkan secara menyeluruh, terutama karena bantuan sosial selama ini diberikan dalam kerangka perlindungan dan jaminan sosial.
“Ya, kita perlu waktu untuk mencerna idenya Kang Dedi [Dedi Mulyadi] itu,” ujar Mensos Saifullah dilansir dari Antara, Sabtu (3/5/2025).
Bansos melalui Program Keluarga Harapan (PKH), kata dia, selama ini dirancang untuk membantu masyarakat miskin memenuhi kebutuhan dasar sekaligus membuka jalan menuju kemandirian.
Menurutnya, jika ingin menambahkan syarat baru dalam penyaluran bantuan, tidak bisa dilakukan secara sepihak mengingat banyak pertimbangan yang harus dikaji, mulai dari aspek agama hingga hak asasi manusia (HAM).
“Kalau itu ditambahkan dengan syarat-syarat di luar rancangan program, harus kita diskusikan. Apalagi kalau kita mengambil keputusan dengan harus mempertimbangkan nilai-nilai agama, nilai-nilai HAM, dan pertimbangan lain,” kata dia.
Saat disinggung soal fatwa haram dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait vasektomi, Saifullah tak menampik bahwa hal tersebut menjadi salah satu alasan perlunya pembahasan lintas sektor.
“Makanya itu salah satunya, banyak. Ini harus dihitung secara bersama,” kata dia.
Gus Ipul juga mengingatkan bahwa sebagian besar bansos dari pemerintah selama ini ditujukan untuk kebutuhan dasar masyarakat, seperti asupan gizi untuk ibu hamil dan anak-anak.
“Ini harus diberikan untuk kebutuhan ibu hamil, untuk anak, bayi. Jadi, sudah jelas peruntukannya,” tutur Mensos.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi berencana menjadikan kepesertaan KB sebagai syarat bagi masyarakat untuk menerima bantuan mulai beasiswa hingga berbagai bantuan sosial dari provinsi.
Dedi di Bandung, Senin (28/4), mengatakan rencana tersebut bertujuan agar pemberian bantuan pemerintah, termasuk dari provinsi, lebih merata dan tidak terfokus pada satu pihak atau satu keluarga saja.
Seluruh bantuan pemerintah nanti, kata dia, akan diintegrasikan dengan KB.
Dedi menekankan bahwa ke depan, data penerima bantuan sosial harus terintegrasi dengan data kependudukan. Lebih spesifik lagi, dalam data kependudukan tersebut harus memuat data peserta KB, terutama KB laki-laki atau vasektomi.
“Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tetapi negara menjamin keluarga itu-itu juga. Yang dapat beasiswa, yang bantuan melahirkan, perumahan keluarga, bantuan nontunai keluarga dia, nanti uang negara mikul di satu keluarga,” ujar Dedi.
-

Makna Filosofi Dedi Mulyadi Naik Mobil Selalu Duduk di Depan Ogah di Tengah, Ada yang Bikin Tertawa
TRIBUNJAKARTA.COM – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi selalu duduk di kursi depan saat menaiki mobil.
Dedi Mulyadi kerap memperlihatkan duduk di samping sopir saat berada di dalam mobil.
Ternyata ada makna filosofi di balik alasan Dedi Mulyadi duduk di kursi depan.
“Karena saya pemimpin, kalau pemimpin harus di depan,” kata Dedi Mulyadi dikutip TribunJakarta.com dari akun instagram @alnatha, Sabtu (3/5/2025).
Dedi sempat membuat tertawa para hadirin saat mengungkapkan alasan pertama.
Ia mengungkit dirinya yang berstatus duda.
“Apa sebabnya, karena mata saya tidak bisa diam, yang pertama karena duda,” kata Dedi disambut tawa.
“Kalau di tengah yang cantik keduluan terlihat sama sopir,” sambungnya.
Dedi lalu mengungkapkan alasan kedua. Politikus Gerindra itu menyebutkan dirinya selalu melihat ke berbagai arah saat berada di kursi bagian depan.
“Lihat ke kiri ada apa, ke kanan ada apa, di depan ada apa, ngelirik ke sopir siapa tahu ngantuk, kalau saya begitu,” imbuhnya.
Dedi akan meminta sopir untuk menghentikan kendaraannya bila terlihat mengantuk.
Hal itu, kata Dedi, tidak bisa dilakukannya bila dirinya duduk di kursi tengah.
“Kalau di tengah saya tidur, sopir tak terkendali, ajudan tak terkendali, saya tidak bisa memeriksa semua keadaan, pemimpin,” imbuhnya.
Tinjau Pendidikan Karakter
Sementara itu, Sabtu (3/5/2025), kegiatan Dedi Mulyadi pada hari ini yakni meninjau langsung kegiatan pendidikan karakter 39 pelajar SMP yang saat ini menjalani pembinaan di Resimen Artileri Medan 1 Sthira Yudha, Batalyon Artileri Medan 9, Kabupaten Purwakarta.
Dengan penuh semangat, Dedi berjalan menyusuri barisan anak-anak yang tengah berlatih baris-berbaris. Suara lantang penuh keceriaan menggema di halaman markas.
“Saya lihat mereka gembira, makan pun saya cek. Gizi harus cukup. Ini soal masa depan,” ucap Dedi Mulyadi.
Pendidikan berkarakter yang berlangsung di barak militer kerap dianggap negatif oleh sejumlah orang. Dedi Mulyadi pun menanggapi munculnya kontroversi seputar program tersebut dengan santai.
“Saya dari dulu sudah terbiasa dengan tuduhan, nyinyiran, kebencian. Tapi kalau niat kita demi bangsa, jangan pernah menyerah,” ujarnya.
Lebih lanjut, ia menyinggung banyaknya orang tua yang kewalahan menghadapi kenakalan anak.
“Kalau sudah engga sanggup, ya harus ada yang menangani. Kami siapkan itu dan bekerja sama dengan TNI. Jangan salah, TNI ini sudah lama melahirkan generasi hebat,” ujarnya.
Ia mengatakan, program pendidikan ini bukan soal militerisasi. Namun, kata dia, ini tentang membangun karakter, seperti bangun pagi, mandi, shalat Subuh, sarapan, olahraga, dan belajar disiplin hidup.
Bahkan, lanjut Dedi Mulyadi, cara makan pun diajarkan dengan detail.
“Cara pegang sendok, cara duduk, tidak makan sambil ngobrol, itu semua diajarkan oleh tentara. Ini bukan sekadar makan, ini pendidikan etika,” ucap Dedi.
“Kalau mereka besar nanti, duduk di meja makan, engga ada yang bilang ‘itu anak bekas nakal.’ Yang ada, orang akan bilang, ‘itu anak berkarakter,” tambahnya.
Langkah Dedi Mulyadi ini mendapat dukungan luas dari para bupati dan wali kota di Jawa Barat. Menurutnya, pendidikan karakter berbasis disiplin TNI diyakini dapat menjadi solusi atas krisis moral dan kenakalan remaja yang tak tertangani lewat jalur hukum formal.
“Ini bukan hanya soal anak-anak hari ini. Ini tentang arah bangsa ke depan,” ucapnya. (TribunJakarta.com/TribunJabar)
Akses TribunJakarta.com di Google News atau WhatsApp Channel TribunJakarta.com. Pastikan Tribunners sudah install aplikasi WhatsApp ya
-

Cak Imin Sentil Dedi Mulyadi: Jangan Buat Aturan Sendiri – Halaman all
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini pun mengingatkan kepala daerah tak boleh membuat aturan sendiri atau berbeda dengan pemerintah pusat
Tayang: Sabtu, 3 Mei 2025 22:15 WIB
Tribunnews.com/Reza Deni
VASEKTOMI SYARAT BANSOS – Menko Bidang Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar atau Cak Imin menegaskan pemerintah tidak mencantumkan syarat khusus terkait pemberian bantuan sosial (bansos) terhadap warga miskin. Hal itu dikatakan Cak Imin saat ditanya terkait kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mengusulkan syarat vasektomi untuk penerima bansos.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Koordinator bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM), Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin mengingatkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk tak buat aturan sendiri.
Hal itu disampaikan Cak Imin merepons soal Dedi Mulyadi yang berencana membuat kebijakan vasektomi atau steril bagi laki-laki dewasa sebagai syarat penerimaan Bantuan Sosial (Bansos).
Mulanya, Cak Imin menegaskan bahwa penerima bansos tak perlu memenuhi persyaratan tersebut.
“Enggak ada. Enggak ada syarat itu,” kata Cak Imin di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Sabtu (3/5/2025).
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini pun mengingatkan kepala daerah tak boleh membuat aturan sendiri atau berbeda dengan pemerintah pusat.
“Tidak boleh bikin aturan sendiri,” tegasnya.
Diberitakan, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi mewacanakan vasektomi atau steril bagi laki-laki dewasa karena melihat banyak keluarga tidak mampu atau kategori miskin memiliki anak dengan jumlah banyak.
Kader Partai Gerindra ini tidak ingin, bantuan dari pemerintah atau Pemda hanya diberikan kepada keluarga yang sama dan waktu yang lama.
“Seluruh bantuan pemerintah nanti akan diintegrasikan dengan Keluarga Berencana.
Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tapi negara menjamin keluarga itu-itu juga,” kata dia seperti dikutip Kompas TV.
“);
$(“#latestul”).append(“”);
$(“.loading”).show();
var newlast = getLast;
$.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:’1′,img:’thumb2′}, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) {
if(val.title){
newlast = newlast + 1;
if(val.video) {
var vthumb = “”;
var vtitle = ” “;
}
else
{
var vthumb = “”;
var vtitle = “”;
}
if(val.thumb) {
var img = “”+vthumb+””;
var milatest = “mr140”;
}
else {
var img = “”;
var milatest = “”;
}
if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
else subtitle=””;
if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
else cat=””;$(“#latestul”).append(“”+img+””);
}
else{
$(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
$(“#test3”).val(“Done”);
return false;
}
});
$(“.loading”).remove();
});
}
else if (getLast > 150) {
if ($(“#ltldmr”).length == 0){
$(“#latestul”).append(‘Tampilkan lainnya’);
}
}
}
});
});function loadmore(){
if ($(“#ltldmr”).length > 0) $(“#ltldmr”).remove();
var getLast = parseInt($(“#latestul > li:last-child”).attr(“data-sort”));
$(“#latestul”).append(“”);
$(“.loading”).show();
var newlast = getLast ;
if($(“#test3”).val() == ‘Done’){
newlast=0;
$.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest”, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) {
if(val.title){
newlast = newlast + 1;
if(val.video) {
var vthumb = “”;
var vtitle = ” “;
}
else
{
var vthumb = “”;
var vtitle = “”;
}
if(val.thumb) {
var img = “”+vthumb+””;
var milatest = “mr140”;
}
else {
var img = “”;
var milatest = “”;
}
if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
else subtitle=””;
if(val.c_url) cat = “”+val.c_title+””;
else cat=””;
$(“#latestul”).append(“”+img+””);
}else{
return false;
}
});
$(“.loading”).remove();
});
}
else{
$.getJSON(“https://api.tribunnews.com/ajax/latest_section/?callback=?”, {start: newlast,section:sectionid,img:’thumb2′,total:’40’}, function(data) {
$.each(data.posts, function(key, val) {
if(val.title){
newlast = newlast+1;
if(val.video) {
var vthumb = “”;
var vtitle = ” “;
}
else
{
var vthumb = “”;
var vtitle = “”;
}
if(val.thumb) {
var img = “”+vthumb+””;
var milatest = “mr140”;
}
else {
var img = “”;
var milatest = “”;
}
if(val.subtitle) subtitle = “”+val.subtitle+””;
else subtitle=””;$(“#latestul”).append(“”+img+””);
}else{
return false;
}
});
$(“.loading”).remove();
});
}
}Berita Terkini
-
/data/photo/2025/04/27/680d9f61af5a7.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
10 Usul Vasektomi Jadi Syarat Bansos, PBNU: Menyedihkan, Orang Miskin Harus Dimandulkan Nasional
Usul Vasektomi Jadi Syarat Bansos, PBNU: Menyedihkan, Orang Miskin Harus Dimandulkan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Ketua Bidang Keagamaan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (
PBNU
), Ahmad Fahrur Rozi meminta pemerintah mengkaji usulan
vasektomi
menjadi syarat mendapatkan bantuan sosial (bansos).
Fahrur menuturkan, akan sangat menyedihkan apabila melihat masyarakat yang kekurangan ekonomi harus dipaksa vasektomi hanya karena bansos.
“Itu sangat menyedihkan bagaimana orang miskin harus dimandulkan, sesuatu yang saya kira harus dinilai kembali secara nalar,” ujar Gus Fahrur, panggilan akrabnya, kepada Kompas.com, Sabtu (3/5/2025).
Menurut Gus Fahrur, ajakan menggunakan alat kontrasepsi sudah cukup jika digunakan sebagai syarat bansos.
“Saya kira ajaran ber-KB sudah cukup, tidak harus dipaksakan vasektomi,” ucapnya.
Gus Fahrur menuturkan, penerapan vasektomi perlu mengutamakan aspek keagamaan, bukan hanya sekedar menjadi syarat bansos.
Sejumlah ulama juga telah mengeluarkan fatwa bahwa vasektomi adalah tindakan yang haram berdasarkan syariat Islam.
“Karena vasektomi itu ulama masih berbeda pendapat dan mayoritas mengharamkan apabila mencegah kelahiran secara total, adapun alat KB lainnya diperbolehkan,” tuturnya.
Karenanya, pemerintah tidak boleh melakukan pemaksaan karena vasektomi berkaitan dengan hukum halal atau haram yang dihormati bagi keyakinan setiap warga negara Indonesia.
“Saya kira itu harus dipertimbangkan jika pemerintah mau cukup mulai dengan program KB,” kata Gus Fahrur.
Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat
Dedi Mulyadi
mengusulkan agar penerima bansos di Jawa Barat mengikuti program KB, termasuk vasektomi sebagai syarat utama.
la menilai langkah itu bisa mengendalikan laju kelahiran di kalangan keluarga prasejahtera, sekaligus memastikan distribusi bantuan pemerintah menjadi lebih adil.
“Seluruh bantuan pemerintah nanti akan diintegrasikan dengan KB. Jangan sampai kesehatannya dijamin, kelahirannya dijamin, tetapi negara menjamin keluarga itu-itu juga,” kata Dedi dikutip dari Kompas.com, Selasa (29/4/2025).
Dedi menilai, kebijakan vasektomi ini merupakan solusi atas fenomena banyaknya keluarga prasejahtera yang melahirkan melalui operasi caesar dengan biaya sekitar Rp 25 juta per tindakan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Tinjau Siswa di Barak Militer, KDM: Dulu Mereka Sulit Tidur, Sekarang Jam 8 Malam Sudah Terlelap – Halaman all
TRIBUNNEWS.COM – Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menjelaskan kebijakan mengirim siswa nakal ke barak militer sebagai bagian dari program pendidikan karakter.
Ia menilai program ini berhasil membentuk generasi muda yang lebih disiplin dan semangat.
Dedi Mulyadi, yang akrab disapa KDM, menyampaikan pandangannya saat meninjau kegiatan di Resimen Armed 1 Sthira Yudha, Purwakarta, pada Sabtu, 3 Mei 2025.
Ia mengungkapkan, siswa yang sebelumnya sulit diatur kini menunjukkan perubahan signifikan.
“Dulu mereka sulit tidur, sekarang jam 8 malam sudah terlelap. Dulu susah bangun, sekarang jam 4 pagi sudah bangkit,” ungkapnya dengan antusias.
KDM menekankan bahwa program ini bukan hanya pendidikan keras, melainkan juga terapi kejut bagi siswa.
“Coba lihat tempat nongkrong sekarang bersih. Anak-anak yang biasanya bolos enggak kelihatan,” tambahnya.
Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa efek siswa ditempatkan di barak militer sangat nyata.
“Kalau disuruh guru mereka diledek, tapi begitu ketemu jajaran TNI langsung nurut. Ada efek kejut di sana,” jelasnya.
Program ini direncanakan akan diperluas ke Bandung, Bekasi, dan Sumedang, serta seluruh kabupaten/kota di Jawa Barat.
Dedi juga mengungkapkan bahwa Subang telah menjalin kerja sama dengan Lanud Kalijati untuk pelatihan yang tidak hanya ditujukan bagi siswa SMP dan SMA.
KDM menambahkan, jika program ini berhasil, ia akan menyiapkan konsep serupa untuk orang dewasa yang terlibat dalam kenakalan, seperti nongkrong, mabuk, dan tawuran.
“Sebulan ke depan, kalau ini berhasil, saya akan siapkan konsep untuk orang dewasa, yang suka nongkrong, mabuk, tawuran. Saya akan tangani juga,” ujarnya.
Selain itu, Dedi Mulyadi berharap program ini dapat mempersiapkan generasi muda untuk dunia kerja.
“Saya ingin anak-anak yang baik ini bisa terhubung dengan industri. Kita siapkan pelatihan berpola militer sebelum masuk ke dunia kerja,” tuturnya.
Dedi Mulyadi menaruh harapan besar pada program pendidikan karakter ini, berharap anak-anak akan menjadi disiplin, terarah, dan memiliki visi untuk masa depan.
“Ini bukan soal keras, ini soal masa depan,” tegasnya.
Sebagian artikel ini telah tayang di TribunJabar.id dengan judul Dedi Mulyadi Tengok Siswa di Barak Militer Purwakarta, Sebut Jadi Efek Kejut Siswa Lain.
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).