Konflik PTSL di Berau Kaltim: Tanah Warga Diserobot, Mediasi Berulang Kali Buntu
Tim Redaksi
BERAU, KOMPAS.com
– Program
Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap
(
PTSL
) yang digagas pemerintah dengan tujuan memberikan kepastian hukum atas tanah secara gratis, kini menghadapi ujian berat di lapangan, khususnya di Kalimatan Timur (
Kaltim
).
Diharapkan jadi solusi, program yang menargetkan 79 juta bidang tanah bersertifikat hingga 2025 ini justru disalahgunakan oleh oknum tak bertanggung jawab, memicu konflik
penyerobotan lahan
yang merugikan masyarakat.
Salah satu kasus mencolok terjadi di Kampung Suaran, Kecamatan Sambaliung, Kabupaten
Berau
. Tanah seluas 7,5 hektare milik Masrani diduga diserobot dan sertifikatnya diterbitkan melalui program PTSL tanpa sepengetahuannya.
Masrani mengungkapkan, ia telah mengelola lahan tersebut sejak tahun 1993, jauh sebelum pemukiman di sekitarnya terbentuk.
“Saya sudah garap dari awal, sebelum ada orang yang garap di lahan tersebut. Saya sudah membuka lahan di tempat itu, bahkan sebelum pemukiman itu ada,” terang Masrani, Selasa (15/7/2025).
Kekecewaan Masrani memuncak ketika pada 2023, tanah yang ia kelola sah secara hukum justru masuk dalam proyek PTSL dan sertifikatnya diterbitkan tanpa pemberitahuan atau konsultasi.
“Saya enggak tahu, tiba-tiba langsung jadi surat tersebut atas persetujuan kepala kampung, program PTSL. Itu kan masuknya ke ranah RT dan Kepala Kampung, langsung menuju ke BPN” ujarnya dengan nada kecewa.
Masrani menuturkan, pada era 1980-an, ia adalah karyawan perusahaan kayu di daerah kampung tersebut.
Kemudian pada 1993, bersama kelompok tani Kurnia yang dibentuk atas inisiatif Bupati saat itu, ia mulai menggarap lahan untuk pencadangan masyarakat.
“Tetapi kepemilikan kami pakai bersawah sudah sejak tahun 80-an itu,” imbuhnya.
Ia mengklaim, dari 14 orang yang sempat menguasai lahannya, 11 orang telah menyerahkan kembali setelah mediasi di Polsek Sambaliung. Namun, tiga orang lainnya masih bertahan.
Mediasi telah dilakukan berulang kali, baik di lapangan, Polsek, hingga kantor kecamatan, namun tanpa hasil. Bukti kepemilikannya adalah surat garapan tanggal 15 Juni 1993.
Pernyataan Masrani didukung oleh kesaksian Marsawi, seorang warga yang telah tinggal di sana sejak 1997.
“Kalau masalah lahan ini, saya ikut sama beliau tadi, Pak Haji Maskani, itu mulai tahun 97,” kata Martawi.
Ia membenarkan bahwa lahan tersebut awalnya berupa belukar yang dibuka oleh Masrani.
“Memang lahan ini blukar gitu, Bukan artinya hutan-hutan besar kayak kayu alam gitu lah, nah kalau sudah pernah dirintis, berarti nanti tumbuhnya gak alami, ada tumbuhan kedua,” jelasnya.
Marsawi juga mengindikasikan adanya kegiatan “mengkapling” atau pembagian lahan oleh pihak-pihak lain di kemudian hari.
“Orang-orang ini tambah lama, tambah ada rumah-rumah. Tiba-tiba menyerobot,” tambahnya.
Ketua RT 5 setempat, Rusdi Syam, yang menjabat sejak 2014, mengakui adanya warga yang menempati lahan sengketa tersebut.
“Saya lihat memang ada beberapa warga yang sudah ada menempati di situ. Cuma saya enggak tahu dari tahun berapa,” ujar Rusdi.
Ia menyebut ada sekitar 7-8 warga yang sudah berumah atau menggarap lahan di sana. Namun, ia tidak dapat memastikan legalitas kepemilikan mereka dan hanya bertindak sebagai fasilitator mediasi.
Persoalan tumpang tindih klaim kepemilikan lahan ini kembali mencuat setelah mediasi kesekian kalinya di Kantor Kecamatan Sambaliung, berakhir tanpa titik temu.
Mediasi sebelumnya juga telah dilakukan lebih dari lima kali, baik di tingkat kampung, kepolisian, maupun kecamatan.
Ironisnya, saat
Kompas.com
mencoba menemui Kepala Kampung Suaran untuk konfirmasi, gedung kantor dalam jam dinas terlihat kosong, hanya menyisakan beberapa staf.
Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban Kecamatan Sambaliung, Didi Mulyadi, yang memimpin mediasi, menjelaskan akar masalahnya.
Menurutnya, persoalan utama adalah tumpang tindih antara surat kepemilikan lama milik Masrani yang diterbitkan pada tahun 1993, dengan munculnya sekitar 10 sertifikat baru yang terbit melalui program PTSL pada tahun 2022.
Sertifikat-sertifikat baru ini diduga berasal dari surat garapan yang diajukan warga dan masuk dalam proyek strategis nasional.
“Jadi di atas lahan milik Pak Haji Masrani itu, muncul sekitar 10 sertifikat PTSL. Ini yang jadi persoalan. Surat lama sudah ada sejak 1993, tapi muncul yang baru dan menimbulkan salah paham,” terang Didi.
Pihak kecamatan telah mengimbau aparat kampung, mulai dari RT hingga kepala kampung, untuk menunda semua proses administrasi terkait lahan sengketa hingga persoalan ini tuntas.
“Kami sudah sampaikan, tolong jangan ditindaklanjuti dulu. Ini belum selesai. Jangan sampai masyarakat yang sudah telanjur bangun rumah jadi makin bingung,” tegas Didi.
Didi juga mengapresiasi itikad baik dari Masrani yang sempat menawarkan sebagian lahan sebagai bentuk kebijakan terhadap warga yang sudah terlanjur bermukim di sana. Namun, tawaran tersebut belum mendapat respons seimbang dari pihak lawan.
Sebagai fasilitator, Didi berharap sengketa ini dapat diselesaikan secara musyawarah mufakat, tanpa harus berujung di pengadilan.
“Kalau sampai ke pengadilan, hasilnya pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Yang menang belum tentu untung, yang kalah bisa pulang tangan kosong. Kita ingin semuanya selesai lewat musyawarah,” pungkas Didi, menekankan pentingnya penyelesaian damai.
Dikutip dari laman Kementerian Kominfo, PTSL adalah inisiatif pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang memungkinkan masyarakat membuat
sertifikat tanah
tanpa pungutan biaya.
Program ini mencakup semua objek pendaftaran tanah yang belum terdaftar di sebuah desa atau kelurahan, dengan target ambisius 79 juta bidang tanah tersertifikasi pada tahun 2025.
Landasan hukum PTSL tertuang dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 6 Tahun 2018 dan diperkuat oleh Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Masyarakat yang ingin mendaftarkan tanahnya melalui PTSL diwajibkan melampirkan data fisik berupa hasil pengukuran bidang tanah dan tanda batas, serta data yuridis berupa dokumen bukti kepemilikan atau penguasaan tanah seperti surat keterangan saksi atau pernyataan bersangkutan melalui aparat desa atau setingkatnya untuk diajukan kepada BPN.
Tujuan utamanya adalah memberikan jaminan kepastian hukum atau hak atas tanah kepada masyarakat.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.