Ammar Zoni, Narkoba, dan Kisah Peredaran dari Dalam Rutan Salemba
Editor
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mantan artis Ammar Zoni kembali terseret kasus narkotika karena diduga terlibat peredaran sabu dan tembakau sintetis dari dalam Rutan Salemba.
Kasus ini menambah daftar panjang masalah hukum yang menimpa Ammar sejak pertama kali terseret kasus narkoba pada 2017.
Informasi terbaru dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Pusat menyebut, Ammar Zoni bersama lima tersangka lain telah dilimpahkan tahap dua dari penyidik Polsek Cempaka Putih, Rabu (8/10/2025).
“Iya benar, sudah tahap dua. Ada enam tersangka dalam perkara ini, salah satunya MAA alias AZ,” ujar Plt Kasi Intel Kejari Jakarta Pusat, Agung Irawan, Kamis (9/10/2025). Keenam tersangka segera menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Kasus ini bermula dari temuan petugas keamanan rutan yang mencurigai aktivitas sejumlah tahanan di dalam blok hunian.
Dari pemeriksaan, ditemukan paket sabu dan ganja sintetis yang disembunyikan di bagian atas kamar tahanan.
“Ammar Zoni ini berperan sebagai penampung atau gudang narkotika di dalam rutan. Barang-barang itu ia simpan di bagian atas ruangan,” terang Kanit Reskrim Polsek Cempaka Putih, Iptu Mulyadi.
Modus operandi sindikat ini melibatkan pengiriman narkotika dari luar ke dalam rutan.
Ammar menerima sabu dan sinte dari jaringan luar dan menyalurkannya ke sesama tahanan melalui perantara.
Salah satu tersangka lain, MR, menyebut Ammar menyimpan barang, bukan langsung menjual.
Komunikasi dengan jaringan luar dilakukan menggunakan aplikasi terenkripsi Zangi, dengan satu kurir bernama Asep bertugas menyerahkan narkoba dari luar ke dalam.
Sementara itu, satu penghubung utama dari luar, Andre, masih masuk daftar pencarian orang (DPO).
Hasil penggeledahan polisi menyita sejumlah paket sabu, ganja kering, dan tembakau sintetis (MDMB-4en PINACA).
Jumlah barang bukti disebut cukup untuk dikategorikan sebagai peredaran dalam rutan.
Semua tersangka, termasuk Ammar, kini ditahan menunggu persidangan.
Kasus ini memperlihatkan jaringan peredaran narkoba yang lebih luas dari sebelumnya.
Jika terbukti bersalah, Ammar dan lima tersangka lain terancam hukuman penjara minimal lima tahun hingga maksimal 20 tahun sesuai Undang-Undang Narkotika.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Mulyadi
-
/data/photo/2024/03/28/6604f1fce6a54.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Ammar Zoni, Narkoba, dan Kisah Peredaran dari Dalam Rutan Salemba Megapolitan 9 Oktober 2025
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5375304/original/078237400_1759917802-Gubernur_Jawa_Barat_Dedi_Mulyadi.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Dedi Mulyadi Tanggapi Wacana Pemotongan Transfer ke Daerah: Kita Tak akan Menyerah, Tarung
Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa telah menerima Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) pada Selasa, 7 Oktober 2025. Pertemuan itu membahas mekanisme Transfer ke Daerah (TKD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Menkeu Purbaya menuturkan, setiap kebijakan akan disesuaikan dengan kondisi keuangan nasional dan daerah agar tercipta keseimbangan yang adil tanpa mengganggu stabilitas fiskal negara secara keseluruhan.
“(Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia) mau protes? Bisa saja, kita lihat keuangan daerah kita seperti apa, keuangan pemerintah seperti apa, kita atur sesuai kondisi keuangan,” ujar Purbaya, seperti dikutip dari Antara, Rabu (8/10/2025).
Menkeu Purbaya juga meminta pemerintah daerah memperbaiki kualitas belanja dan tata kelola anggaran agar dana transfer ke daerah memberikan dampak optimal bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
“Jadi begini, ini semuanya tergantung pada kepala daerahnya lagi nanti kedepannya,” ujar Menkeu Purbaya.
Ia menuturkan, tanggapannya terkait protes Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) atas penurunan Transfer ke Daerah (TKD) dengan menekankan pentingnya perbaikan tata kelola pemerintahan daerah.
-
/data/photo/2025/10/08/68e598d1c8a21.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Obral Nyawa: Di Balik Berbagai Tragedi di Negeri Ini Nasional 8 Oktober 2025
Obral Nyawa: Di Balik Berbagai Tragedi di Negeri Ini
Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
TRAGEDI
kemanusiaan di Indonesia terjadi berulang, dari yang paling mengejutkan hingga yang paling sunyi, dari yang disiarkan langsung ke seluruh negeri hingga yang luput dari berita sama sekali.
Di balik semua itu, satu benang merah mengikat: harga nyawa manusia di negeri ini sangat murah. Negara gagal, baik dalam mencegah hilangnya nyawa secara massal maupun dalam menegakkan keadilan setelah tragedi terjadi.
Inkompetensi, kelalaian, dan budaya impunitas telah menjadi wajah nyata dari cara negara ini memperlakukan warganya.
Runtuhnya bangunan di Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, yang menewaskan puluhan santri, menjadi salah satu contoh paling terang bagaimana kelalaian struktural bisa berujung pada kematian. Data terakhir, 67 orang tewas dalam peristiwa itu.
Bangunan tersebut dibangun tanpa izin resmi, tanpa perencanaan teknis dari tenaga ahli, dan tanpa standar keselamatan minimum.
Ironisnya, setelah tragedi terjadi, pihak Pengasuh Ponpes Al-Khoziny, KH Abdul Salam Mujib, memberikan pernyataan: “Saya kira memang ini takdir dari Allah. Jadi semuanya harus bisa bersabar dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik.”
Ini bukan hanya penghindaran tanggung jawab, tapi juga bentuk manipulasi atas keyakinan masyarakat agar menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan.
Dalam konteks inilah, pernyataan Bagus Mulyadi dalam salah satu podcast youtube MalakaProjectid menjadi relevan dan menggugah: “Inkompetensi membunuh lebih banyak orang dari kejahatan manapun.”
Namun, Al Khoziny bukan satu-satunya tragedi akibat kelalaian. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang suporter bola adalah bukti lain dari rusaknya sistem manajemen keselamatan publik.
Gas air mata kedaluwarsa milik aparat kepolisian yang ditembakkan di stadion tertutup, pintu evakuasi yang terkunci, dan pengabaian terhadap standar FIFA menunjukkan bahwa yang mati malam itu bukan hanya suporter, tapi juga nalar sehat institusi keamanan.
Investigasi dilakukan, beberapa pihak dijatuhi hukuman ringan, dan seperti biasa, aktor struktural yang seharusnya bertanggung jawab tetap aman dalam posisinya.
Ini bukan sekadar kegagalan prosedur—ini adalah bentuk lain dari kekerasan negara akibat inkompetensi yang dilegalkan.
Tragedi kemanusiaan di Indonesia juga muncul dari program-program negara yang justru dirancang untuk menyelamatkan warganya.
Program Makanan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, yang bertujuan menurunkan angka gizi buruk dan stunting, justru melahirkan kasus keracunan massal di berbagai daerah.
Di banyak kasus, ribuan anak sekolah mengalami muntah, diare, hingga harus dirawat di rumah sakit setelah mengonsumsi makanan dari program MBG.
Kegagalan ini terjadi karena proses pengadaan yang tidak transparan, penyedia makanan yang tidak tersertifikasi, dan pelaksanaan yang tergesa-gesa demi pencitraan politik.
Program gizi yang seharusnya menyelamatkan justru berbalik menjadi alat distribusi racun, dan seperti biasa, tak satu pun pejabat tinggi dimintai pertanggungjawaban serius.
Lebih dari itu, tragedi MBG adalah cermin dari masalah lebih besar, negara yang tidak benar-benar peduli terhadap keselamatan warganya, terutama yang miskin dan tidak bersuara.
Dalam banyak kasus lain, ribuan anak di Indonesia masih mati karena gizi buruk, terutama di wilayah seperti Papua, NTT, atau perbatasan Kalimantan.
MBG seharusnya menjadi solusi terhadap masalah ini, tapi ketika dijalankan dengan cara yang serampangan, ia berubah dari intervensi sosial menjadi bencana terstruktur.
Ini adalah bentuk kekerasan negara dalam wajah paling halus, kekerasan yang lahir dari ketidakmampuan, bukan dari niat jahat.
Sayangnya, semua ini bukan hal baru. Indonesia punya sejarah panjang pelanggaran kemanusiaan yang tidak pernah dituntaskan.
Pembantaian 1965, penembakan mahasiswa 1998, penghilangan paksa aktivis, pembantaian Talangsari, operasi militer di Papua dan Aceh, hingga kekerasan terhadap warga adat, semuanya terjadi dalam pola yang sama “penghilangan nyawa tanpa pertanggungjawaban”.
Di masa lalu, negara menggunakan senjata untuk membungkam warganya. Di masa kini, negara menggunakan kelambanan dan ketidakefisienan birokrasi untuk membiarkan warganya mati pelan-pelan. Bedanya hanya cara, tapi hasilnya sama: nyawa melayang, dan negara bungkam.
Inilah yang disebut sebagai budaya impunitas, yaitu ketika pelanggaran tidak pernah diikuti oleh hukuman. Bahkan lebih dari itu, impunitas di Indonesia justru dirawat dan dilanggengkan.
Pejabat yang lalai tetap naik jabatan, institusi yang gagal tetap mendapatkan anggaran, dan tragedi yang semestinya menjadi pelajaran malah dikubur oleh pernyataan-pernyataan klise seperti “kami akan evaluasi” atau “kami serahkan semua pada Tuhan”.
Di sini, kita tidak hanya berhadapan dengan inkompetensi teknis, tapi juga inkompetensi moral dan politik, di mana keengganan untuk bertanggung jawab telah menjadi norma dalam birokrasi.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap bagaimana budaya sosial memperkuat siklus impunitas ini.
Dalam banyak kasus, taklid buta terhadap tokoh agama, pejabat, atau figur publik membuat masyarakat enggan mengkritik, bahkan ketika mereka tahu ada kesalahan fatal.
Pengurus pesantren yang lalai tetap dihormati karena status keagamaannya. Pejabat yang meloloskan izin ilegal tetap dipuji karena dekat dengan tokoh masyarakat.
Di sinilah akar dari lemahnya kontrol sosial kita: kritik dianggap sebagai bentuk pemberontakan, bukan sebagai kewajiban moral untuk menyelamatkan sesama manusia dari kesalahan yang sama.
Semua ini terjadi karena kita hidup dalam sistem di mana keselamatan bukan prioritas, tapi kompromi.
Infrastruktur dibangun asal-asalan agar cepat jadi. Regulasi diterbitkan tapi tak ditegakkan. Program sosial diluncurkan tapi tanpa pengawasan. Dan ketika sesuatu salah, semua berlindung di balik kata “takdir”.
Jika bangsa tidak mampu melindungi anak-anaknya dari bangunan yang ambruk, dari makanan sekolah yang beracun, dari peluru aparat atau dari kelaparan yang seharusnya bisa dicegah, maka bangsa itu belum pantas menyebut dirinya beradab.
Inkompetensi adalah kejahatan, bukan karena ia disengaja, tapi karena ia dibiarkan. Dan impunitas adalah dosa struktural, karena ia mengamankan para pelaku dan mengabaikan para korban.
Sudah terlalu banyak nyawa yang diobral di negeri ini. Bukan hanya oleh mereka yang berniat jahat, tetapi juga oleh mereka yang tidak cakap, tidak peduli, dan tidak pernah dihukum.
Kita tidak bisa berharap tragedi berhenti jika sistem yang melahirkannya terus dipelihara. Perubahan baru akan datang ketika kita berhenti menoleransi inkompetensi sebagai kekhilafan, dan mulai memperlakukannya sebagai kejahatan yang sesungguhnya.
Sebab pada akhirnya, bangsa yang besar bukan diukur dari seberapa banyak bangunan yang didirikan, tetapi dari seberapa kuat komitmennya melindungi satu nyawa warganya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

/data/photo/2025/10/08/68e637496e5f8.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/10/08/68e6415db6b7e.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/10/07/68e534cc9a04b.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5373954/original/000817400_1759834862-Bupati_Cianjur_Mohammad_Wahyu_Ferdian.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
