Tag: Mulyadi

  • Isu Jadi CEO PT Laguna Indonesia, Yai Mim: Rahasia dan Istimewa

    Isu Jadi CEO PT Laguna Indonesia, Yai Mim: Rahasia dan Istimewa

    Malang (beritajatim.com) – Muhammad Imam Muslimin atau yang akrab disapa Yai Mim akhirnya angkat bicara terkait isu viral yang menyebut dirinya sebagai pemilik sekaligus CEO PT Laguna Indonesia. Eks dosen UIN Malang itu menanggapinya dengan nada santai namun penuh teka-teki, tanpa memberikan jawaban pasti terkait sumber kekayaannya maupun kepemilikan mobil Lexus dengan plat nomor B 1 DIX yang ramai dibicarakan.

    Saat dikonfirmasi soal jabatannya di perusahaan tersebut, Yai Mim justru menanggapinya dengan candaan. “Itu kan kata netizen… Ya itu istimewa aja. Berarti rahasia ini ya. Nanti kalau dijelaskan jadi nggak istimewa lagi,” ujarnya saat dihubungi pada Rabu (8/10/2025).

    Lebih lanjut, Yai Mim menegaskan bahwa urusan finansial dan bisnis merupakan ranah pribadi yang tidak layak diumbar ke publik. “Kalau urusan duit, urusan bisnis, yang tahu Rosyida (istrinya). Tolong dirahasiakan dong, nggak enak lah. Masa saya kiai masuk (berita karena) duit, kan ngeri, nggak pantas,” ungkapnya.

    Terkait plat nomor kendaraannya yang disebut-sebut sebagai “plat sultan”, ia juga enggan menjawab tegas. “Kalau mobil sudah kadang ketahuan ya silakan ditafsirkan sendiri aja,” tuturnya.

    Berbeda dengan sang suami, Rosyida Vignesvari justru memberikan klarifikasi singkat bahwa Yai Mim bukanlah seorang CEO. “Yai Mim itu seorang dosen. Kalau ada yang bilang CEO, ya mungkin ditanya aja ke netizen yang menjuluki itu,” ujarnya.

    Isu yang menyeret nama Yai Mim sebagai bos besar PT Laguna Indonesia bermula dari unggahan akun TikTok @bdsj.dukuhseti, yang menyebut dirinya sebagai pemilik berbagai usaha, mulai dari hotel, sarung BHS, hingga brand pakaian Hermes. Unggahan tersebut langsung viral di tengah meningkatnya perhatian publik terhadap Yai Mim akibat perseteruannya dengan tetangga di Perumahan Joyogrand, Kota Malang.

    Spekulasi makin liar setelah sejumlah video menunjukkan dirinya mencuci mobil Lexus GS300 hingga momen saat ia tampak memberikan gepokan uang kepada Dedi Mulyadi dalam kanal YouTube mantan Bupati Purwakarta itu.

    Namun, hasil penelusuran menunjukkan klaim tersebut tampaknya tidak berdasar. Berdasarkan data resmi perusahaan, PT Laguna Indonesia merupakan Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) di bidang perhotelan dan kapal pesiar yang berlokasi di Denpasar, Bali, bukan perusahaan konglomerasi seperti yang diklaim di media sosial.

    Selain itu, nama Muhammad Imam Muslimin juga tidak tercantum dalam struktur pendiri maupun manajemen perusahaan tersebut. Sejumlah warganet yang mencoba memverifikasi klaim tersebut juga menemukan hasil serupa.

    Dengan demikian, isu yang mengaitkan Yai Mim dengan PT Laguna Indonesia dapat disimpulkan sebagai disinformasi, yang kemungkinan besar dipicu oleh tren konten viral di TikTok tentang “orang sederhana yang ternyata bos besar.” [dan/beq]

  • VIDEO: Respons Purbaya Soal Kebijakan Dedi Mulyadi Tarik Rp1.000 dari Warga Jabar Buat Donasi

    L

    OlehLiputanenamDiperbaharui 08 Okt 2025, 14:56 WIB

    Diterbitkan 08 Okt 2025, 14:33 WIB

    Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa bertemu Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (7/10/2025). Keduanya membahas penyesuaian kebijakan fiskal, termasuk pemotongan dana bagi hasil (DBH) yang dialami Jakarta.

    Selain itu, Purbaya juga menanggapi kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mendorong aparatur sipil negara (ASN), pelajar, hingga masyarakat Jawa Barat untuk berdonasi Rp1.000 per hari.

    Menurut Purbaya, pemerintah pusat tidak pernah mewajibkan pemerintah daerah (Pemda) untuk menggalang donasi dari ASN atau masyarakat, seperti yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

  • Pemkot Butuh Lahan 20 Hektar untuk Bangun Stadion Bertaraf Internasional di Depok
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 Oktober 2025

    Pemkot Butuh Lahan 20 Hektar untuk Bangun Stadion Bertaraf Internasional di Depok Megapolitan 8 Oktober 2025

    Pemkot Butuh Lahan 20 Hektar untuk Bangun Stadion Bertaraf Internasional di Depok
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com
    – Pemerintah Kota Depok membutuhkan lahan sekitar 20 hektar untuk membangun stadion bertaraf internasional.
    Rencananya, pembangunan stadion ini akan dilakukan di lahan area Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Cisalak, Kota Depok.
    “Kita usulkan permintaan 20 hektare. Tapi mungkin nanti menyesuaikan dengan kebutuhan,” ucap Wali Kota Depok Supian Suri kepada wartawan di UIII, Rabu (8/10/2025).
    Supian mengatakan, kebutuhan lahan bisa disesuaikan tergantung kesepakatan bersama pihak UIII yang mempunyai total luas lahan keseluruhan sekitar 142 hektar.
    Rencana ini juga disambut positif oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mulanya stadion akan dibangun di Tanah Merah, Cipayungjaya.
    Apalagi, anggaran pembangunan juga disebutkan sudah tersedia.
    “Alokasi anggaran dari Kementerian PU sudah ada, kemarin kita upayakan di Tanah Merah tapi ada rencana Tanah Merah untuk Batalyon,” ujar Supian.
    Oleh karena itu, Pemkot Depok bakal berkoordinasi lebih lanjut dengan Kemenpora perihal perubahan lahan stadion internasional.
    Sebelumnya, Pemkot Depok berencana membangun stadion berskala internasional di kawasan Tanah Merah, Cipayungjaya, Kota Depok.
    “Alhamdulillah tadi dalam pertemuan saya menyampaikan beberapa harapan masyarakat Kota Depok, termasuk pembangunan stadion dan infrastruktur lainnya, seperti pelebaran Jalan Raya Sawangan dan penambahan akses tol,” tutur Supian sebagaimana dilansir situs resmi Pemkot Depok, Sabtu (5/7/2025).
    Nyatanya, rencana ini menuai respon keberatan dari pihak perusahaan yang mengeklaim memiliki lahan tersebut, yaitu PT Tjitajam.
    Kuasa Hukum PT Tjitajam Reynold Thohak menjelaskan, kliennya merupakan pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 257/Cipayung Jaya tertanggal 25 Agustus 1999. Kepemilikan ini disebut telah diperkuat oleh sejumlah keputusan hukum yang sah.
    “Bahwa kepemilikan dari klien terhadap SHGB No. 257 telah dikuatkan oleh 10 putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Reynold.
    Saat ini, tanah tersebut tengah berada dalam status Sita Jaminan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dedi Mulyadi Dorong Kementerian PU Bangun Stadion Internasional Depok di UIII
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        8 Oktober 2025

    Dedi Mulyadi Dorong Kementerian PU Bangun Stadion Internasional Depok di UIII Megapolitan 8 Oktober 2025

    Dedi Mulyadi Dorong Kementerian PU Bangun Stadion Internasional Depok di UIII
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com
    – Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi akan mendorong Kementerian Perumahan Umum (PU) untuk membantun stadion bertaraf internasional di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Kota Depok.
    Hal ini disampaikan usai Dedi mendatangi kampus UIII memberikan kuliah umum bertajuk “Bersama Membangun Jabar: Dari Kearifan Lokal ke Panggung Global”.
    “Artinya, sudah klik ini (toh) kan anggarannya dari Menteri PU, dibangun di tanah negara, selesai dan enggak ada masalah,” ucap Dedi kepada wartawan di UIII, Rabu (8/10/2025).
    Ia memaparkan, Kemenpora sempat menganggap UIII sebagai kampus swasta yang sulit dijadikan opsi membangun stadion sebab terkendala akta hibah.
    “Namun karena ini kampus negeri dan ini aset negara maka pembangunan stadion sudah tidak terhalang lagi oleh aspek prosedural,” ujar Dedi.
    Sementara itu, Wali Kota Depok Supian Suri menjelaskan, lahan di Tanah Merah, Cipayungjaya yang semula hendak menjadi tempat dibangunnya stadion ternyata akan dialihfungsikan sebagai batalyon.
    “Alokasi anggaran dari Kementerian PU sudah ada, kemarin kita upayakan di Tanah Merah tapi ada rencana Tanah Merah untuk Batalyon,” ujar Supian.
    Disebutkan, kebutuhan luas lahan untuk stadion internasional Depok akan berkisar 20 hektar.
    Namun, hal itu masih bersifat sementara selagi menyesuaikan dengan ketersediaan lahan di UIII.
    “Tapi mungkin nanti menyesuaikan dengan kebutuhan, artinya bisa juga kurang dari 20 hektare. Mudah-mudahan ini bisa, jadi mohon doanya lah,” kata Supian.
    Sebelumnya, Pemkot Depok berencana membangun stadion berskala internasional di kawasan Tanah Merah, Cipayungjaya, Kota Depok.
    “Alhamdulillah tadi dalam pertemuan saya menyampaikan beberapa harapan masyarakat Kota Depok, termasuk pembangunan stadion dan infrastruktur lainnya, seperti pelebaran Jalan Raya Sawangan dan penambahan akses tol,” tutur Supian sebagaimana dilansir situs resmi Pemkot Depok, Sabtu (5/7/2025).
    Nyatanya, rencana ini menuai respon keberatan dari pihak perusahaan yang mengeklaim memiliki lahan tersebut, yaitu PT Tjitajam.
    Kuasa Hukum PT Tjitajam Reynold Thohak menjelaskan, kliennya merupakan pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 257/Cipayung Jaya tertanggal 25 Agustus 1999. Kepemilikan ini disebut telah diperkuat oleh sejumlah keputusan hukum yang sah.
    “Bahwa kepemilikan dari klien terhadap SHGB No. 257 telah dikuatkan oleh 10 putusan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ujar Reynold.
    Saat ini, tanah tersebut tengah berada dalam status Sita Jaminan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Dedi Mulyadi Tanggapi Wacana Pemotongan Transfer ke Daerah: Kita Tak akan Menyerah, Tarung

    Dedi Mulyadi Tanggapi Wacana Pemotongan Transfer ke Daerah: Kita Tak akan Menyerah, Tarung

    Sebelumnya, Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa telah menerima Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) pada Selasa, 7 Oktober 2025. Pertemuan itu membahas mekanisme Transfer ke Daerah (TKD) dan Dana Bagi Hasil (DBH).

    Menkeu Purbaya menuturkan, setiap kebijakan akan disesuaikan dengan kondisi keuangan nasional dan daerah agar tercipta keseimbangan yang adil tanpa mengganggu stabilitas fiskal negara secara keseluruhan.

    “(Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia) mau protes? Bisa saja, kita lihat keuangan daerah kita seperti apa, keuangan pemerintah seperti apa, kita atur sesuai kondisi keuangan,” ujar Purbaya, seperti dikutip dari Antara, Rabu (8/10/2025).

    Menkeu Purbaya juga meminta pemerintah daerah memperbaiki kualitas belanja dan tata kelola anggaran agar dana transfer ke daerah memberikan dampak optimal bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

    “Jadi begini, ini semuanya tergantung pada kepala daerahnya lagi nanti kedepannya,” ujar Menkeu Purbaya.

    Ia menuturkan, tanggapannya terkait protes Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) atas penurunan Transfer ke Daerah (TKD) dengan menekankan pentingnya perbaikan tata kelola pemerintahan daerah.

  • Obral Nyawa: Di Balik Berbagai Tragedi di Negeri Ini
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Oktober 2025

    Obral Nyawa: Di Balik Berbagai Tragedi di Negeri Ini Nasional 8 Oktober 2025

    Obral Nyawa: Di Balik Berbagai Tragedi di Negeri Ini
    Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
    TRAGEDI
    kemanusiaan di Indonesia terjadi berulang, dari yang paling mengejutkan hingga yang paling sunyi, dari yang disiarkan langsung ke seluruh negeri hingga yang luput dari berita sama sekali.
    Di balik semua itu, satu benang merah mengikat: harga nyawa manusia di negeri ini sangat murah. Negara gagal, baik dalam mencegah hilangnya nyawa secara massal maupun dalam menegakkan keadilan setelah tragedi terjadi.
    Inkompetensi, kelalaian, dan budaya impunitas telah menjadi wajah nyata dari cara negara ini memperlakukan warganya.
    Runtuhnya bangunan di Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, yang menewaskan puluhan santri, menjadi salah satu contoh paling terang bagaimana kelalaian struktural bisa berujung pada kematian. Data terakhir, 67 orang tewas dalam peristiwa itu.
    Bangunan tersebut dibangun tanpa izin resmi, tanpa perencanaan teknis dari tenaga ahli, dan tanpa standar keselamatan minimum.
     
    Ironisnya, setelah tragedi terjadi, pihak Pengasuh Ponpes Al-Khoziny, KH Abdul Salam Mujib, memberikan pernyataan: “Saya kira memang ini takdir dari Allah. Jadi semuanya harus bisa bersabar dan mudah-mudahan diberi ganti oleh Allah yang lebih baik.”
    Ini bukan hanya penghindaran tanggung jawab, tapi juga bentuk manipulasi atas keyakinan masyarakat agar menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak perlu dipersoalkan.
    Dalam konteks inilah, pernyataan Bagus Mulyadi dalam salah satu podcast youtube MalakaProjectid menjadi relevan dan menggugah: “Inkompetensi membunuh lebih banyak orang dari kejahatan manapun.”
    Namun, Al Khoziny bukan satu-satunya tragedi akibat kelalaian. Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang suporter bola adalah bukti lain dari rusaknya sistem manajemen keselamatan publik.
    Gas air mata kedaluwarsa milik aparat kepolisian yang ditembakkan di stadion tertutup, pintu evakuasi yang terkunci, dan pengabaian terhadap standar FIFA menunjukkan bahwa yang mati malam itu bukan hanya suporter, tapi juga nalar sehat institusi keamanan.
    Investigasi dilakukan, beberapa pihak dijatuhi hukuman ringan, dan seperti biasa, aktor struktural yang seharusnya bertanggung jawab tetap aman dalam posisinya.
    Ini bukan sekadar kegagalan prosedur—ini adalah bentuk lain dari kekerasan negara akibat inkompetensi yang dilegalkan.
    Tragedi kemanusiaan di Indonesia juga muncul dari program-program negara yang justru dirancang untuk menyelamatkan warganya.
    Program Makanan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, yang bertujuan menurunkan angka gizi buruk dan stunting, justru melahirkan kasus keracunan massal di berbagai daerah.
    Di banyak kasus, ribuan anak sekolah mengalami muntah, diare, hingga harus dirawat di rumah sakit setelah mengonsumsi makanan dari program MBG.
    Kegagalan ini terjadi karena proses pengadaan yang tidak transparan, penyedia makanan yang tidak tersertifikasi, dan pelaksanaan yang tergesa-gesa demi pencitraan politik.
    Program gizi yang seharusnya menyelamatkan justru berbalik menjadi alat distribusi racun, dan seperti biasa, tak satu pun pejabat tinggi dimintai pertanggungjawaban serius.
    Lebih dari itu, tragedi MBG adalah cermin dari masalah lebih besar, negara yang tidak benar-benar peduli terhadap keselamatan warganya, terutama yang miskin dan tidak bersuara.
    Dalam banyak kasus lain, ribuan anak di Indonesia masih mati karena gizi buruk, terutama di wilayah seperti Papua, NTT, atau perbatasan Kalimantan.
     
    MBG seharusnya menjadi solusi terhadap masalah ini, tapi ketika dijalankan dengan cara yang serampangan, ia berubah dari intervensi sosial menjadi bencana terstruktur.
    Ini adalah bentuk kekerasan negara dalam wajah paling halus, kekerasan yang lahir dari ketidakmampuan, bukan dari niat jahat.
    Sayangnya, semua ini bukan hal baru. Indonesia punya sejarah panjang pelanggaran kemanusiaan yang tidak pernah dituntaskan.
    Pembantaian 1965, penembakan mahasiswa 1998, penghilangan paksa aktivis, pembantaian Talangsari, operasi militer di Papua dan Aceh, hingga kekerasan terhadap warga adat, semuanya terjadi dalam pola yang sama “penghilangan nyawa tanpa pertanggungjawaban”.
    Di masa lalu, negara menggunakan senjata untuk membungkam warganya. Di masa kini, negara menggunakan kelambanan dan ketidakefisienan birokrasi untuk membiarkan warganya mati pelan-pelan. Bedanya hanya cara, tapi hasilnya sama: nyawa melayang, dan negara bungkam.
    Inilah yang disebut sebagai budaya impunitas, yaitu ketika pelanggaran tidak pernah diikuti oleh hukuman. Bahkan lebih dari itu, impunitas di Indonesia justru dirawat dan dilanggengkan.
    Pejabat yang lalai tetap naik jabatan, institusi yang gagal tetap mendapatkan anggaran, dan tragedi yang semestinya menjadi pelajaran malah dikubur oleh pernyataan-pernyataan klise seperti “kami akan evaluasi” atau “kami serahkan semua pada Tuhan”.
    Di sini, kita tidak hanya berhadapan dengan inkompetensi teknis, tapi juga inkompetensi moral dan politik, di mana keengganan untuk bertanggung jawab telah menjadi norma dalam birokrasi.
    Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap bagaimana budaya sosial memperkuat siklus impunitas ini.
    Dalam banyak kasus, taklid buta terhadap tokoh agama, pejabat, atau figur publik membuat masyarakat enggan mengkritik, bahkan ketika mereka tahu ada kesalahan fatal.
    Pengurus pesantren yang lalai tetap dihormati karena status keagamaannya. Pejabat yang meloloskan izin ilegal tetap dipuji karena dekat dengan tokoh masyarakat.
    Di sinilah akar dari lemahnya kontrol sosial kita: kritik dianggap sebagai bentuk pemberontakan, bukan sebagai kewajiban moral untuk menyelamatkan sesama manusia dari kesalahan yang sama.
    Semua ini terjadi karena kita hidup dalam sistem di mana keselamatan bukan prioritas, tapi kompromi.
    Infrastruktur dibangun asal-asalan agar cepat jadi. Regulasi diterbitkan tapi tak ditegakkan. Program sosial diluncurkan tapi tanpa pengawasan. Dan ketika sesuatu salah, semua berlindung di balik kata “takdir”.
    Jika bangsa tidak mampu melindungi anak-anaknya dari bangunan yang ambruk, dari makanan sekolah yang beracun, dari peluru aparat atau dari kelaparan yang seharusnya bisa dicegah, maka bangsa itu belum pantas menyebut dirinya beradab.
    Inkompetensi adalah kejahatan, bukan karena ia disengaja, tapi karena ia dibiarkan. Dan impunitas adalah dosa struktural, karena ia mengamankan para pelaku dan mengabaikan para korban.
    Sudah terlalu banyak nyawa yang diobral di negeri ini. Bukan hanya oleh mereka yang berniat jahat, tetapi juga oleh mereka yang tidak cakap, tidak peduli, dan tidak pernah dihukum.
    Kita tidak bisa berharap tragedi berhenti jika sistem yang melahirkannya terus dipelihara. Perubahan baru akan datang ketika kita berhenti menoleransi inkompetensi sebagai kekhilafan, dan mulai memperlakukannya sebagai kejahatan yang sesungguhnya.
    Sebab pada akhirnya, bangsa yang besar bukan diukur dari seberapa banyak bangunan yang didirikan, tetapi dari seberapa kuat komitmennya melindungi satu nyawa warganya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 10
                    
                        Dedi Mulyadi Bocorkan Cara Baru Dapat Kerja Tanpa Capek Lamar-lamar
                        Bandung

    10 Dedi Mulyadi Bocorkan Cara Baru Dapat Kerja Tanpa Capek Lamar-lamar Bandung

    Dedi Mulyadi Bocorkan Cara Baru Dapat Kerja Tanpa Capek Lamar-lamar
    Tim Redaksi
    INDRAMAYU, KOMPAS.com
    – Bupati Indramayu Lucky Hakim menyebut peluncuran aplikasi “Nyari Gawe” menjadi solusi nyata bagi pencari kerja yang kesulitan mendapatkan informasi lowongan secara jelas dan tepercaya.
    Aplikasi tersebut resmi diluncurkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi dalam kegiatan di PT Sun Bright Lestari, Kecamatan Krangkeng, Indramayu, Selasa (7/10/2025).
    “Mereka sampai banyak yang datang langsung ke pabrik menanyakan langsung, sebenarnya sudah dibuka belum sih,” kata Lucky Hakim dalam acara tersebut.
    Lucky mengatakan, selama ini Pemkab Indramayu melalui Dinas Tenaga Kerja sudah aktif menyediakan informasi lowongan, tetapi belum sepenuhnya tersosialisasi dengan baik.
    “Apabila sudah pun, terkadang mereka bingung cara masuknya itu harus seperti apa,” ujarnya.
    Ia juga menyoroti maraknya pungutan liar berkedok rekrutmen kerja yang merugikan masyarakat.
    “Ada yang katanya harus bayar Rp 2 sampai 2,5 juta agar bisa diterima di pabrik sepatu. Ini sudah sering saya ingatkan lewat media sosial, tidak boleh ada pungutan seperti itu,” kata Lucky.
    Dengan hadirnya aplikasi Nyari Gawe, Lucky berharap perekrutan menjadi lebih transparan dan efisien.
    Selain itu, ia menyebut Indramayu tengah bersiap menjadi kawasan industri baru dengan pembangunan pabrik di sejumlah wilayah seperti Krangkeng, Losarang, dan Sukra.
    “Tapi di sini saya berharap orang Indramayu harus punya
    skill
    , nanti kami dari Pemda akan melakukan pembekalan bekerja sama juga dengan provinsi dan pusat,” katanya.
    Sementara itu, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjelaskan, aplikasi Nyari Gawe dirancang untuk mempertemukan pelaku industri dengan tenaga kerja lokal secara cepat dan efisien.
    “Kemudian, oleh HRD dipanggil untuk seleksi, tidak perlu melamar. Jadi tidak usah capek-capek,” ujar Dedi.
    Dedi menambahkan, peluncuran aplikasi ini bukan sekadar digitalisasi, melainkan juga langkah konkret menciptakan lapangan kerja baru di Jawa Barat, khususnya di wilayah industri seperti Indramayu.
    Dalam kegiatan tersebut, terdapat 100 pencari kerja yang hadir langsung. Sebanyak 16 perusahaan membuka lowongan dengan total kebutuhan sekitar 530 orang, sedangkan 17 perusahaan lain bergabung secara daring dengan potensi 11.500 lowongan hingga akhir 2025.
    Adapun potensi lowongan kerja di Indramayu hingga 2026 diperkirakan meningkat 25 persen, mencapai 14.375 formasi pekerjaan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kebijakan Dedi Mulyadi Minta Warga Donasi Rp 1.000 per Hari Bakal Dijalankan di Cianjur

    Kebijakan Dedi Mulyadi Minta Warga Donasi Rp 1.000 per Hari Bakal Dijalankan di Cianjur

    Liputan6.com, Jakarta Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi terkait donasi warga Rp 1.000 per hari bakal diterapkan di Cianjur. Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cianjur, melibatkan seluruh kalangan masyarakat mulai dari pegawai pemerintah sampai pelajar guna mendukung Program rereoangan sapoe sarebu (Poe Ibu) atau sumbangan Rp1.000 per hari yang difokuskan untuk pendidikan dan kesehatan.

    Bupati Cianjur Mohammad Wahyu Ferdian di Cianjur menilai Program Poe Ibu dapat membantu semua kalangan.

    “Program Poe Ibu akan dilaksanakan di Kabupaten Cianjur, sebelumnya akan digelar rapat koordinasi terlebih dahulu untuk membahas mekanisme dan teknis di lapangan, setelah itu baru dijalankan,” katanya.

    Nantinya, dana yang terkumpul akan difokuskan menjawab persoalan utama di tengah masyarakat. Mulai dari akses kesehatan dan pendidikan. Tahap awal, penerapan akan dimulai dari lingkungan pemerintah daerah. Selanjutnya akan diberlakukan mulai dari tingkat RT/RW, masyarakat umum, dan pelajar. Dia menegaskan, donasi atau kontribusi uang dari warga bersifat sukarela tanpa paksaan dan tidak diwajibkan.

    “Hari ini mungkin kita yang memberi, suatu saat bisa jadi kita yang membutuhkan, sehingga kami berharap desa dan masyarakat akan mengikuti setelah pelaksanaan di lingkungan pemerintah berjalan,” katanya.

    Meski tidak wajib, lanjutnya, program tersebut dapat berarti besar karena suatu hari bisa saja yang memberikan bantuan akan membutuhkan bantuan, sehingga hal baik tersebut dapat diikuti semua kalangan masyarakat di Cianjur.

  • Urusi Kasus Yai Mim di Malang Jawa Timur, KDM Tuai Kritik Tajam: Apakah Dia Kurang Kerjaan atau Cari Perhatian?

    Urusi Kasus Yai Mim di Malang Jawa Timur, KDM Tuai Kritik Tajam: Apakah Dia Kurang Kerjaan atau Cari Perhatian?

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi atau akrab dengan akronim KDM (Kang Dedi Mulyadi) kembali jadi sorotan dan mendapat kritikan tajam publik.

    Pasalnya, KDM pada Senin, 6 Oktober 2025, kemarin mengunjungi Yai Mim dan Sahara langsung di kediaman mereka di Malang, Jawa Timur. Dia datang hendak mendamaikan.

    Terkait hal tersebut, penulis kondang Indonesia, Tere Liye, menyampaikan kritik bernada satire terhadap politisi dari Partai Gerindra itu.

    “Sebagai penduduk Jawa Barat, saya bangga sekali dengan Gubernur satu ini,” tulis Tere Liye dikutip dari akun media sosialnya, Selasa (7/10/2025).

    Secara sarkas, alumni Fakutas Ekonomi UI itu mengulas soal Jawa Barat dengan kenyataan yang terbalik. “Semua masalah di Jawa Barat sudah beres tuntas, Jawa Barat telah menjadi provinsi maju, luar biasa sejahtera, PHK tidak ada, pekerjaan di mana-mana, udara segar nan indah, kualitas pendidikan top, bahkan loteng SMAN terbaik di Bandung jebol pun tidak ada. Sempurna,” sindir Tere Liye.

    Pria bernama asli Darwis ini pun menyebut Gubernur Jabar itu kini sibuk mengurusi urusan yang terjadi di Malang yang kebetulan viral.

    “Maka bisa dimaklumi dia tidak punya pekerjaan lagi di Jawa Barat. Dia sibuk mengurusi urusan di Malang sekalipun. Top banget. Banget,” sindirnya lagi.

    Tere Liye pun menyampaikan terkait konstelasi politik ke depan karena nama KDM kini ramai dielukan pendukungnya, terlebih gubernur Jabar itu memang dikenal publik karena doyan membuat konten di media sosial.

    “Yes! Segera pilpres, banyak yang tidak sabar buat nyoblos. Habis itu bisa jadi ketua PBB, dll dsbgnya,” sambung Tere Liye.

  • Pajak, Plat, dan Ekologi: Logika Eksternalitas di Balik Kebijakan Gubernur Bobby
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        7 Oktober 2025

    Pajak, Plat, dan Ekologi: Logika Eksternalitas di Balik Kebijakan Gubernur Bobby Regional 7 Oktober 2025

    Pajak, Plat, dan Ekologi: Logika Eksternalitas di Balik Kebijakan Gubernur Bobby
    Aktivis dan peneliti; Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, IPB University.
    SAYA
    lahir dan besar di Medan. Sejak kecil, jalan lintas Medan-Binjai-Langkat adalah pemandangan harian saya: berderet truk-truk besar, banyak di antaranya berplat BL dari Aceh.
    Setiap tahun, kondisi jalan itu kian memburuk, aspal mengelupas, lubang di mana-mana, dan debu makin tebal.
    Saya tidak menulis ini karena pro pada Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. Saya menulis sebagai warga Sumut yang melihat ketimpangan logika fiskal di jalanan sendiri.
    Kendaraan yang menimbulkan kerusakan dan polusi di wilayah ini justru membayar pajaknya ke provinsi lain.
    Bagi saya, ini bukan soal plat atau sentimen daerah. Ini soal tanggung jawab eksternalitas. Setiap aktivitas ekonomi, terutama yang menggunakan infrastruktur publik dan menghasilkan dampak lingkungan, semestinya menyumbang kembali kepada wilayah yang menanggung akibatnya. Dalam hal ini, Sumatera Utara.
    Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) menegaskan bahwa kendaraan bermotor wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Sementara itu, Pasal 9 menjelaskan bahwa dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) mencakup faktor kerusakan jalan dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
     
    Ketentuan ini mengandung filosofi bahwa PKB bukan sekadar pajak atas kepemilikan, tetapi juga mekanisme fiskal untuk menginternalisasi dampak ekologis dari aktivitas transportasi.
    Lebih lanjut, Pasal 10 ayat (4) menegaskan bahwa kepemilikan kendaraan bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan (NIK), dan/atau alamat yang sama.
    Dengan demikian, lokasi pendaftaran dan pemungutan pajak ditentukan oleh alamat administratif pemilik kendaraan.
    Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memperkuat hubungan antara aspek fiskal dan lingkungan.
    Pasal 5 ayat (1) menegaskan bahwa dasar pengenaan PKB merupakan hasil perkalian antara nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
    Klausul ini menjadi bukti yuridis bahwa beban ekologis (kerusakan jalan dan polusi) sudah diinternalisasi dalam struktur pajak kendaraan itu sendiri.
    Artinya, PKB secara konseptual memang dirancang untuk menanggung sebagian dari eksternalitas negatif akibat aktivitas kendaraan di wilayah tertentu.
    Dengan pemahaman itu, bila kendaraan berplat Aceh (BL) terdaftar di Aceh, tetapi beroperasi di Sumatera Utara, maka pajaknya tetap disetor ke kas Pemerintah Provinsi Aceh.
    Sumatera Utara tidak memperoleh bagian dari PKB tersebut, meskipun jalan dan lingkungannya menanggung beban eksternalitas negatif berupa kerusakan, polusi, dan kemacetan.
    Dengan kata lain, Sumatera Utara hanya menerima dampak ekologis tanpa kompensasi fiskal.
    Saya menduga, inilah logika yang melandasi kebijakan Gubernur Bobby untuk menertibkan kendaraan plat luar daerah.
    Kebijakan ini bukan sekadar penegakan administrasi, melainkan bagian dari upaya menyeimbangkan antara kewajiban fiskal dan tanggung jawab ekologis atas aktivitas ekonomi lintas wilayah.
    Konsep eksternalitas pertama kali diperkenalkan oleh Arthur C. Pigou (1920) dalam
    The Economics of Welfare
    .
    Pigou menjelaskan bahwa setiap aktivitas ekonomi menimbulkan dampak sosial di luar harga pasar, baik berupa manfaat maupun kerugian.
    Untuk mengoreksinya, pemerintah perlu mengenakan pajak korektif (
    Pigouvian tax
    ) agar pelaku ekonomi menanggung biaya sosial yang ditimbulkannya.
    Pandangan ini diperkuat oleh Musgrave dan Musgrave (1989) yang menegaskan bahwa fungsi pajak publik adalah mengoreksi kegagalan pasar akibat eksternalitas.
    Joseph Stiglitz (2000) menambahkan bahwa eksternalitas negatif seperti polusi atau kerusakan jalan menuntut kebijakan fiskal yang mampu menginternalisasi biaya sosial, sehingga tidak dibebankan kepada masyarakat luas.
    Dalam konteks Indonesia, Fauzi (2006) menjelaskan bahwa eksternalitas merupakan dampak dari suatu tindakan pihak tertentu terhadap pihak lain tanpa mekanisme kompensasi.
    Eksternalitas negatif terjadi ketika aktivitas seseorang menimbulkan kerugian bagi pihak lain tanpa pembayaran balik, sehingga menimbulkan inefisiensi alokasi sumber daya.
    Bila teori tersebut diterapkan, maka kerusakan jalan dan pencemaran akibat kendaraan berat berplat BL di Sumatera Utara adalah bentuk nyata eksternalitas negatif.
    Biaya sosialnya ditanggung oleh masyarakat Sumut, sedangkan penerimaan pajaknya justru dinikmati oleh daerah lain.
    Inilah yang tampaknya menjadi dasar kebijakan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Penertiban kendaraan plat luar bukan tindakan emosional, melainkan upaya mengoreksi ketimpangan fiskal dan ekologis yang sudah lama terjadi.
    Tujuannya adalah menyamakan lokasi pemungutan pajak dengan lokasi timbulnya dampak, terutama bagi kendaraan yang beroperasi penuh di Sumut.
    Langkah ini juga tidak sepenuhnya represif. Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memberikan insentif penghapusan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB) bagi perusahaan yang bersedia memindahkan pendaftaran armadanya ke Sumut.
    Artinya, kebijakan ini bukan menambah pajak baru, melainkan menata ulang domisili fiskal agar sejalan dengan domisili aktivitas ekonomi.
    Kebijakan seperti ini bukan hal baru di Indonesia. Di Jawa Barat, Gubernur Dedi Mulyadi memberikan pembebasan PKB dan BBNKB bagi kendaraan mutasi dari luar daerah ke Jabar, agar pajak kendaraan yang beroperasi di wilayah Jabar masuk ke kas daerah.
    Di Banten, Gubernur Andra Soni menetapkan pembebasan pokok PKB bagi kendaraan mutasi dari luar provinsi, untuk mendorong armada operasional perusahaan di wilayahnya mengganti plat luar dan menyumbang PAD provinsi.
    Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa langkah Pemerintah Provinsi Sumatera Utara memiliki preseden administratif di provinsi lain, meskipun dengan pendekatan berbeda.
    Di daerah lain berbasis insentif, sedangkan di Sumut dilakukan melalui penertiban dan imbauan tegas.
    Pada konteks ini, kebijakan tersebut juga berfungsi sebagai upaya mendorong, menertibkan, sekaligus menyadarkan para pengusaha asal Aceh yang beroperasi di Sumatera Utara agar menunaikan kompensasi fiskal atas biaya eksternalitas di wilayah operasinya.
    Prinsipnya sederhana: siapa pun yang memanfaatkan infrastruktur publik dan menimbulkan dampak sosial-ekologis di suatu wilayah, wajib berkontribusi pada pembiayaan publik di wilayah tersebut.
    Dari sisi teori eksternalitas, kebijakan ini merupakan bentuk internalisasi spasial, yaitu memastikan biaya sosial dibayar di tempat dampak muncul.
    Manfaatnya ada tiga: efisiensi fiskal, karena penerimaan daerah sejalan dengan beban publik yang ditanggung; keadilan ekologis, karena daerah yang menanggung kerusakan memperoleh kompensasi yang layak; dan disiplin pasar, karena pelaku usaha akan memperhitungkan biaya lingkungan dalam keputusan bisnisnya.
    Sebagai warga Medan, saya melihat kebijakan ini bukan sebagai konflik antarprovinsi, melainkan sebagai upaya memperbaiki tata kelola pajak daerah yang selama ini salah alamat.
    Jalan yang rusak tidak peduli plat mana yang melintas, tetapi rakyat yang melintas setiap hari menanggung akibatnya.
    Sumatera Utara membutuhkan keadilan fiskal. Dan keadilan itu bermula dari kesadaran sederhana: siapa pun yang memanfaatkan infrastruktur publik untuk kegiatan ekonominya, harus menanggung biaya sosial di tempat ia menimbulkan dampak.
    Jadi, ketika Gubernur Sumatera Utara menertibkan kendaraan plat luar, sesungguhnya ia sedang menyuarakan prinsip yang jauh lebih universal dari sekadar otonomi daerah, yaitu keadilan ekologis dalam perpajakan.
    Pajak seharusnya mengikuti dampak, bukan sekadar mengikuti alamat di STNK.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.