Tag: Mukhamad Misbakhun

  • Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Tax Amnesty Jilid III, Dari Siapa dan Untuk Siapa?

    Bisnis.com, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Wacana pemberlakuan kembali program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III pun terkuak.

    Alhasil, muncul berbagai pertanyaan di kalangan masyarakat: siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut? Untuk siapa program tax amnesty jilid III itu? Demi kepentingan negara atau malah segelintir pihak?

    Usulan RUU Tax Amnesty sendiri pertama kali muncul dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah dan DPD pada Senin (18/11/2024). Ketika itu, RUU Tax Amnesty ditulis sebagai usulan dari Baleg DPR.

    Dalam perkembangan, Komisi XI DPR—yang menangani perihal keuangan negara—bersurat kepada Baleg DPR untuk ‘mengambil alih’ usulan RUU Tax Amnesty.

    Meski demikian, Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mengaku tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Dia menekankan, Komisi XI hanya mengambil alih usulan RUU Tax Amnesty dari Baleg.

    “Cek ke Baleg,” ujar Misbakhun di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Sementara itu, Ketua Baleg DPR Bob Hasan mengaku bahwa RUU Tax Amnesty sudah ada dalam daftar panjang Program Legislasi Nasional (Prolegnas), sebelum DPR periode 2024—2029.

    Oleh sebab itu, RUU Tax Amnesty hanya operan dari DPR periode sebelumnya yang belum sempat dibahas secara serius. Bob pun tidak tahu siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut.

    “Mau tanya dari mana, dari apa, segala macam, kami ini [Baleg periode 2024—2029] orang baru, sudah masuk dalam list waktu itu. Ya dulu-dulu kan [DPR periode sebelumnya] ada pembahasan mungkin, kan gitu,” ujar Bob kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).

    Di samping itu, politisi Partai Gerindra itu merasa tidak terlalu penting siapa yang pertama kali mengusulkan RUU Tax Amnesty tersebut. Entah pengusulnya pengusaha, pemerintah, maupun DPR, Bob meyakini yang terpenting adalah kebermanfaatan beleid tersebut untuk negara.

    Dia mengingatkan bahwa pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto memerlukan dana yang tidak sedikit untuk mengeksekusi berbagai program unggulan seperti makan bergizi gratis hingga renovasi dan pembangunan sekolah-sekolah.

    Menurutnya, program tax amnesty bisa menjadi salah satu cara untuk meraih dana segar jumbo secara instan bagi pemerintah. Bagaimanapun, para konglomerat akan membayar uang tebusan atas pengungkapan atau deklarasi harta yang selama ini tidak dipajaki.

    “Intinya itu pemerintah butuh duit. Untuk ngolah-ngolah semua ini kan enggak mungkin dengan selalu pinjam-pinjam,” jelas Bob.

    Bisnisgrafik Tax Amnesty: Mengampuni ‘Pendosa’ Pajak. / Bisnis-M. Imron GhozaliPerbesar

    Tax Amnesty Jilid III, Untuk Apa?

    Sebagai informasi, dalam 10 tahun terakhir, pemerintah sebenarnya sudah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan tax amnesty yaitu jilid I (periode 18 Juli 2016—31 Maret 2017) dan jilid II (1 Januari—30 Juni 2022) melalui Program Pengungkapan Sukarela atau PPS.

    Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono meyakini bahwa semua wacana tax amnesty jilid III tersebut tidak pernah hadir dari ruang hampa.

    Prianto mencontohkan sebelumnya pemerintah mengungkap fenomena penghindaran pajak di sektor perkebunan. Tidak hanya itu, pemerintah juga menyatakan akan berupaya mengejar pajak shadow economy seperti aktivitas ekonomi ilegal.

    Dia menilai bahwa ada dua cara penegakan hukum untuk mengejar pengemplang pajak (tax evader) dan pelaku penghindaran pajak (tax avoider) tersebut. Pertama, penegakan hukum administrasi hingga penegakan hukum pidana pajak. 

    Pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia itu mengungkapkan bahwa cara pertama cenderung mendapatkan perlawanan dari terduga tax evader maupun tax avoider seperti lewat proses sengketa pajak hingga ke Pengadilan Pajak hingga Mahkamah Agung.

    “Cara pertama di atas tidak gampang dan belum tentu mendapatkan pajak sesuai ekspketasi pemerintah. Alih-alih banyak menang sengketa pajak, pemerintah justru hampir 60% mengalami kekalahan ketika ada sengketa [banding dan gugatan] di pengadilan pajak,” ujar Prianto kepada Bisnis, pekan lalu.

    Kedua, melalui tax amnesty. Dia berpendapat bahwa tax amnesty merupakan cara yang lebih sederhana dan cenderung tanpa ada proses perlawanan.

    Kebijakan tax amnesty, lanjutnya, cenderung digulirkan ketika pemerintah belum mampu mengatasi permasalah tax evasion dan tax avoidance. Oleh sebab itu, Prianto menilai tidak ada yang salah dengan wacana tax amnesty jilid III ketika negara butuh dana instan dari masyarakat.

    “Kebijakan tax amnesty di banyak negara pada kenyataannya juga berulang meskipun teorinya menyatakan bahwa seharusnya tax amnesty itu cukup sekali untuk satu generasi wajib pajak,” tutupnya.

    Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato dalam acara sosialisasi Tax Amnesty di Medan, Sumatra Utara pada Kamis (21/7/2016). / dok. KemensetnegPerbesar

    Pendapat berbeda disampaikan oleh Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar. Menurutnya, tidak ada urgensinya penerapan Tax Amnesty Jilid III.

    Kebijakan tersebut, sambung Fajry, hanya akan mencederai rasa keadilan bagi wajib pajak yang telah patuh. Sejalan dengan itu, dia khawatir akan banyak Wajib Pajak yang semakin melakukan penghindaran pajak.

    “Buat apa untuk patuh, toh ada tax amnesty lagi?” kata Fajry kepada Bisnis, pekan lalu.

    Dia menilai Tax Amnesty Jilid III akan menjadi langkah mundur pemerintah. Apalagi, wacana pengampunan pajak untuk orang tajir itu bergulir ketima pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tahun depan.

    Oleh sebab itu, Fajry tidak heran apabila nantinya banyak penolakan dari berbagi kalangan masyarakat ihwal wacana Tax Amnesty Jilid III.

    “Terlebih, tax amnesty ini untuk siapa? Sebagian besar konglomerat sebenarnya sudah masuk ke Tax Amnesty Jilid I dan sebagian lagi melengkapinya kemarin,” jelasnya.

    Tanggapan Pengusaha soal Tax Amnesty Jilid III

    Kalangan pengusaha mengakui program pengampunan pajak atau tax amnesty tidak terlalu ideal, tetapi dibutuhkan untuk menambah penerimaan negara.

    Analis Kebijakan Ekonomi Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Ajib Hamdani menilai tax amnesty mempunyai sisi negatif yakni memberikan rasa ketidakadilan bagi wajib pajak yang telah patuh.

    Apalagi, tax amnesty sudah pernah pernah dilakukan selama dua kali yaitu pada 2016—2017 dan 2022. Akibatnya, masyarakat akan cenderung meremehkan kebijakan-kebijakan umum tentang perpajakan karena secara rutin pemerintah mengeluarkan program tax amnesty.

    “Inilah yang membuat kebijakan tax amnesty ini adalah program yang kurang ideal,” jelas Ajib dalam keterangannya, Rabu (20/11/2024).

    Di samping itu, lanjutnya, secara umum literasi perpajakan masih rendah. Akibatnya, budaya taat pajaknya juga rendah.

    Dia mengingatkan, pemerintah berencana memberlakukan kebijakan core tax system atau sistem inti administrasi perpajakan pada tahun depan. Ajib berpendapat, sistem tersebut membutuhkan prasyarat penting yaitu wajib pajak harus mempunyai pemahaman dan kepatuhan pajak yang lebih baik.

    “Hal ini yang membuat tax amnesty dibutuhkan oleh masyarakat,” katanya.

    Selain itu, sambungnya, secara praktis tax amnesty juga akan menambah pemasukan buat APBN. Dengan pengampunan pajak, harta yang dilaporkan oleh wajib pajak yang sebelumnya tidak dilaporkan akan muncul masuk ke Sistem Keuangan Indonesia sehingga ke depan menjadi aset yang lebih produktif untuk perekonomian nasional.

    Bahkan, menurut Ajib, tax amnesty bisa memberikan daya ungkit untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8% karena penerima manfaatnya tidak akan ragu lagi membelanjakan uang yang telah dilaporkan.

    “Secara prinsip, fungsi pajak adalah untuk keuangan negara atau budgeteir dan juga fungsi mengatur ekonomi atau regulerend. Dalam konteks kebijakan tax amnesty ini, aspek budgeteir dan regulerend bisa didorong bersama dan memberikan manfaat,” tutupnya.

  • Solusi Alternatif DPR untuk Siasati Kenaikan Tarif PPN Jadi 12 Persen pada 2025

    Solusi Alternatif DPR untuk Siasati Kenaikan Tarif PPN Jadi 12 Persen pada 2025

    Jakarta, Beritasatu.com – Komisi XI DPR menyatakan, kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 nanti, harus diimbangi dengan kompensasi. Komisi XI mengusulkan agar pemerintah bisa memberikan pembebasan (exemption) terhadap produk-produk yang dikenakan PPN.

    “Jadi impact (kenaikan PPN) ke masyarakat itu masih bisa kita kelola. Misalnya, menambah jenis barang (yang dikecualikan), yakni makanan olahan yang sekarang  sudah jadi kebutuhan pokok. Jadi UU tetap berjalan, lalu ada kategorisasi exemption yang diperluas tanpa melanggar UU,” ucap Ketua Komisi XI DPR Misbakhun saat ditemui di Graha Bhakti Budaya, Jakarta pada Sabtu (23/11/2024).

    Kenaikan tarif PPN 12 persen dijalankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).  Dalam UU HPP Pasal 7 disebutkan, tarif PPN yaitu sebesar 11 persen mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022. Sedangkan tarif PPN sebesar 12 persen mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

    Namun, apabila ditelisik lebih dalam, pada regulasi itu disebutkan bahwa barang atau jasa yang yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah barang kebutuhan pokok, berupa beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Demikian pula pembebasan pada bidang jasa yang meliputi, jasa pelayanan kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa transportasi umum, dan jasa ketenagakerjaan.

    Menurut Misbakhun, ketentuan pengecualian ini harus diperluas dengan lebih speisifik. Langkah ini akan menjadi titik temu antara keinginan pemerintah menaikkan tarif PPN, tetapi pada saat yang sama juga tidak memberatkan konsumsi masyarakat. Namun, dia menyerahkan keputusan terkait penerapan kenaikan tarif PPN ini ke tangan pemerintah.

    “Karena pemerintah masih menimbang opsinya, mau tetap dinaikkan atau apa. Jadi kalau memang tetap dinaikkan, kami minta pemerintah untuk lebih punya wisdom. Nah peluang-peluang itu di exemption,” kata Misbakhun.

    Sebelumnya, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, kebijakan kenaikan PPN saat ini  tidak menginsentifkan pertumbuhan sektor ekonomi formal. Sebaliknya, kenaikan PPN jadi 12 persen ini, justru akan rentan dan menambah skala sektor ekonomi informal yang secara struktural menciptakan beban pertumbuhan ekonomi jangka menengah-panjang.

    Pemerintah akan kesulitan untuk meningkatkan rasio perpajakan (tax ratio) dan kesulitan peningkatan kesejahteraan pekerja di sektor informal  serta merugikan konsumen.

    “Oleh karena itu, kami menghimbau agar pemerintah mengkaji lagi kenaikan PPN menjadi 12 persen agar tidak membebani masyarakat sebagai konsumen maupun pelaku usaha sektor formal. Idealnya, kenaikan PPN terjadi ketika pertumbuhan ekonomi sedang tinggi sehingga tidak menjadi beban terhadap potensi pertumbuhan ekonomi maupun terhadap kesejahteraan masyarakat,” tutur dia.

  • Munculnya Rencana Tax Amnesty Jilid III hingga Ditjen Pajak Buka Suara

    Munculnya Rencana Tax Amnesty Jilid III hingga Ditjen Pajak Buka Suara

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) merespons terkait usulan DPR RI mengenai pelaksanaan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III pada 2025. Pihaknya menyatakan akan mendalami rencana tersebut.

    “Terkait Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty, kami akan mendalami rencana tersebut,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti dalam keterangan tertulis, Jumat (22/11/2024).

    Sebagai informasi DPR memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025. Artinya, RUU tersebut akan diprioritaskan untuk dibahas dan disahkan pada tahun depan.

    Jika berjalan lancar, maka pada 2025 nanti akan ada kebijakan tax amnesty jilid III. Sebelumnya, selama dua periode Presiden Joko Widodo tax amnesty berlangsung 2 kali, yaitu periode 2016-2017, dan 2022.

    Masuknya usulan RUU Pengampunan Pajak dalam Prolegnas Prioritas 2025 secara tiba-tiba, dan disetujui dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (19/11). Padahal rencana tersebut belum pernah muncul dalam rapat-rapat sebelumnya.

    “Jadi kalau Baleg itu kan menerima usulan dari setiap komisi, dari Komisi XI itu ada pengampunan pajak. Nah mengapa dan apa isinya, nanti Komisi XI yang membahas. Kami hanya mensinkronisasi nanti kalau mereka sudah selesai,” ucap Pimpinan Badan Legislasi (Baleg) Martin Manurung kepada wartawan usai paripurna.

    Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengatakan tax amnesty memberikan kesempatan bagi wajib pajak kelas kakap untuk ‘bertaubat’ dari ketidakpatuhan pajak.

    “Kita tetap berusaha melakukan pembinaan untuk wajib pajak itu tetap patuh. Tapi pada saat yang sama, kita juga harus memberikan peluang terhadap kesalahan-kesalahan di masa lalu untuk diberikan sebuah program,” kata Misbakhun ditemui di Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Selasa (19/11).

    Dia mengatakan DPR tak ingin para pengemplang pajak untuk menghindar terus-menerus. Tax amnesty, kata dia, adalah jalan keluar untuk mengampuni kesalahan pajak itu.

    “Jangan sampai orang menghindar terus dari pajak, tapi tidak ada jalan keluar untuk mengampuni. Maka amnesty ini salah satu jalan keluar,” ujar dia.

    Pandangan lain disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi Gerindra, Mohamad Hekal. Menurutnya, usulan pelaksanaan tax amnesty lebih kepada semangat dalam membantu pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencari dukungan pembiayaan.

    “Saya lihat semangatnya lebih ke teman-teman ingin membantu pemerintah baru mencari pembiayaan untuk proyek-proyek ataupun agenda politik yang masuk Asta Cita,” kata Hekal ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta Selatan, Rabu (20/11).

    (acd/acd)

  • Bukan Revisi, Aturan Tax Amnesty Jilid III Akan Beda Jauh dengan Jilid I dan II

    Bukan Revisi, Aturan Tax Amnesty Jilid III Akan Beda Jauh dengan Jilid I dan II

    Bisnis.com, JAKARTA — RUU tentang Pengampunan Pajak yang masuk Prolegnas Prioritas DPR 2025 bukanlah revisi dari aturan lama. Akibatnya, ketentuan tax amnesty jilid III kemungkinan besar akan berbeda jauh dari tax amnesty jilid I maupun jilid II.

    Usulan RUU Tax Amnesty pertama kali muncul dalam rapat kerja antara Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan pemerintah dan DPD pada Senin (18/11/2024). Ketika itu, RUU Tax Amnesty ditulis sebagai usulan dari Baleg DPR.

    Ketua Baleg DPR Bob Hasan menjelaskan bahwa pihaknya mengusulkan beleid dengan nomenklatur RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak. Artinya, Baleg DPR ingin merevisi UU Tax Amnesty yang lama.

    Kendati demikian, Bob mengungkap bahwa Komisi XI DPR bersurat kepada Baleg DPR untuk ‘mengambil alih’ usulan RUU Tax Amnesty tersebut. Dalam usulan Komisi XI, ternyata nomenklaturnya diganti menjadi RUU tentang Pengampunan Pajak (Tax Amnesty).

    Oleh sebab itu, Komisi XI bukan ingin merevisi UU Tax Amnesty yang lama melainkan membuat beleid baru dari nol sehingga akan terjadi banyak perubahan ketentuan dalam pelaksanaan tax amnesty jilid III nantinya.

    “Kalau sudah sampai 50% perubahan di setiap Undang-Undang itu, ya sudah judulnya bukan revisi tapi ya judul baru,” jelas Bob kepada Bisnis, Jumat (22/11/2024).

    Di samping itu, politisi Partai Gerindra tersebut paham betul muncul sejumlah kritik atas wacana penerapan kembali pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III.

    Kendati demikian, dia mengingatkan bahwa pemerintah baru Presiden Prabowo Subianto memerlukan dana yang tidak sedikit untuk mengeksekusi berbagai program unggulan seperti makan bergizi gratis hingga renovasi dan pembangunan sekolah-sekolah.

    Menurutnya, program tax amnesty bisa menjadi salah satu cara untuk meraih dana segar jumbo secara instan bagi pemerintah. Bagaimanapun, para konglomerat akan membayar uang tebusan atas pengungkapan atau deklarasi harta yang selama ini tidak dipajaki.

    “Intinya itu pemerintah butuh duit. Untuk ngolah-ngolah semua ini kan enggak mungkin dengan selalu pinjam-pinjam,” jelas Bob.

    Sebagai informasi, dalam 10 tahun terakhir, pemerintah sebenarnya sudah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan tax amnesty.

    Pertama, tax amnesty jilid I pada 18 Juli 2016—31 Maret 2017. Program tersebut dijalankan berdasarkan UU Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak, yakni UU yang ingin direvisi oleh DPR.

    Tax amnesty jilid I diperuntukkan untuk seluruh wajib pajak, baik orang pribadi maupun badan usaha. Tarifnya pun berbeda-beda tergantung waktu pelaporan dan repatriasi harta, mulai dari 2% hingga 10%.

    Kedua, tax amnesty jilid II atau Program Pengungkapan Sukarela (PPS) pada 1 Januari—30 Juni 2022. Dasar hukumnya berdasarkan UU Nomor 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang kemudian diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 196/PMK.03/2021.

    Peruntukan tax amnesty jilid II/PPS dibagi menjadi dua. Kebijakan I, untuk wajib pajak yang telah mengikuti tax amnesty jilid I tetapi masih memiliki harta yang belum dilaporkan; Kebijakan II, untuk wajib pajak orang pribadi yang memiliki harta yang diperoleh pada 2016—2020 tetapi belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) 2020.

    Sedangkan tarifnya lebih tinggi dibanding tax amnesty jilid I. Kebijakan I, 6%—11% tergantung pada repatriasi atau investasi; Kebijakan II, 12%—18% tergantung lokasi harta (dalam atau luar negeri) dan pengalihan ke investasi dalam negeri.

    Belakangan, muncul wacana tax amnesty Jilid III usai DPR resmi memasukkan RUU Tax Amnesty ke dalam Prolegnas Prioritas 2025. Kendati demikian, belum jelas arah RUU Tax Amnesty yang baru tersebut.

    Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menjelaskan bahwa pembahasan RUU Tax Amnesty masih akan sangat panjang. Setelah disahkan masuk Prolegnas Prioritas 2025, pimpinan DPR masih akan menentukan RUU Tax Amnesty nantinya akan menjadi inisiatif pemerintah atau parlemen.

    Jika menjadi inisiatif DPR maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Komisi XI. Sebaliknya, jika menjadi inisiatif pemerintah maka naskah akademik dan draf RUU Tax Amnesty akan disusun oleh Kementerian Keuangan.

    Oleh sebab itu, Misbakhun mengaku belum bisa menjelaskan substansi yang akan dibahas dalam RUU Tax Amnesty. Kendati demikian, dia tidak menampik bahwa nantinya akan ada tax amnesty jilid III apabila beleid tersebut selesai dibahas.

    “Sektor apa saja yang akan dicakup di dalam tax amnesty itu, tax amnesty itu meliputi perlindungan apa saja, ya nanti kita bicarakan sama pemerintah,” ujar Misbhakun di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Bisnisgrafik Tax Amnesty: Mengampuni ‘Pendosa’ Pajak. / Bisnis-M. Imron GhozaliPerbesar

  • DJP Buka Suara soal Rencana Tax Amnesty Jilid III

    DJP Buka Suara soal Rencana Tax Amnesty Jilid III

    Jakarta

    Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) buka suara terkait usulan DPR RI mengenai pengampunan pajak atau tax amnesty jilid III pada 2025. Pihaknya menyatakan akan mendalami rencana tersebut.

    “Terkait Rancangan Undang-Undang Tax Amnesty, kami akan mendalami rencana tersebut,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti dalam keterangan tertulis, Jumat (22/11/2024).

    Sebagaimana diketahui, DPR RI memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2025. Artinya peraturan tersebut akan diprioritaskan untuk dibahas dan disahkan pada tahun depan.

    Masuknya RUU Pengampunan Pajak dalam Prolegnas Prioritas 2025 terjadi secara tiba-tiba yang disetujui dalam rapat paripurna DPR RI pada Selasa (19/11). Padahal rencana tersebut belum pernah muncul dalam rapat-rapat sebelumnya.

    Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengatakan tax amnesty memberikan kesempatan bagi wajib pajak kelas kakap untuk ‘bertaubat’ dari ketidakpatuhan pajak.

    “Kita tetap berusaha melakukan pembinaan untuk wajib pajak itu tetap patuh. Tapi pada saat yang sama, kita juga harus memberikan peluang terhadap kesalahan-kesalahan di masa lalu untuk diberikan sebuah program,” kata Misbakhun ditemui di Kementerian PPN/Bappenas, Jakarta, Selasa (19/11).

    Dia mengatakan DPR tak ingin para pengemplang pajak untuk menghindar terus-menerus. Tax amnesty, kata dia, adalah jalan keluar untuk mengampuni kesalahan pajak itu.

    “Jangan sampai orang menghindar terus dari pajak, tapi tidak ada jalan keluar untuk mengampuni. Maka amnesty ini salah satu jalan keluar,” ujar dia.

    Pandangan lain disampaikan Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Fraksi Gerindra, Mohamad Hekal. Menurutnya, usulan pelaksanaan tax amnesty lebih kepada semangat dalam membantu pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk mencari dukungan pembiayaan.

    “Saya lihat semangatnya lebih ke teman-teman ingin membantu pemerintah baru mencari pembiayaan untuk proyek-proyek ataupun agenda politik yang masuk Asta Cita,” kata Hekal ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta Selatan, Rabu (20/11).

    Lihat juga video: Indef Sebut Pemerintah Punya Opsi Lain untuk Jaga Stabilitas Ekonomi

    (acd/acd)

  • Mayoritas Fraksi DPR Minta Kenaikan PPN 12 Persen Ditunda dan Dipertimbangkan Lagi

    Mayoritas Fraksi DPR Minta Kenaikan PPN 12 Persen Ditunda dan Dipertimbangkan Lagi

    Jakarta, Beritasatu.com – Mayoritas fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali dan menunda pemberlakuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang rencananya berlaku mulai 1 Januari 2025.

    Meskipun kenaikan tersebut merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), DPR menilai pemerintah masih memiliki ruang hukum untuk menunda pemberlakuan PPN 12% tanpa perlu merevisi UU HPP.

    Penyebab utama DPR mendesak penundaan ini adalah kondisi ekonomi masyarakat yang saat ini masih tertekan. Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PDIP, Dolfie OFP, mengungkapkan pemerintah tidak perlu ragu untuk menunda bahkan menurunkan PPN 12%, karena dalam UU HPP sudah diatur mekanisme penentuan tarif PPN dalam kisaran 5% hingga 15%.

    “Tidak perlu revisi UU HPP, karena sudah ada mekanisme di dalam undang-undang,” kata Dolfie di gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (20/11/2024). Ia menilai situasi ekonomi saat UU HPP disusun pada 2021 berbeda dengan keadaan ekonomi saat ini, yang tengah tertekan oleh inflasi dan daya beli masyarakat yang lesu.

    Senada dengan Dolfie, Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi PKB, Muhammad Hanif Dhakiri, juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan kenaikan PPN 12%. Menurut Hanif, kebijakan ini dirasa membebani masyarakat, terutama dunia usaha dan UMKM, yang saat ini sedang berjuang menghadapi ketidakpastian ekonomi.

    “Ekonomi sedang lesu dan daya beli masyarakat terus tertekan. Tarif PPN ini akan dirasakan oleh semua orang, terutama kalangan UMKM dan masyarakat umum,” jelas Hanif.

    Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS, Ecky Awal Mucharam, juga menilai kebijakan tersebut kontraproduktif dengan kondisi ekonomi saat ini. Sementara itu, Herman Khaeron dari Fraksi Partai Demokrat mengingatkan pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek, terutama daya beli masyarakat, jika kenaikan PPN 12% tetap dilaksanakan.

    Beberapa anggota DPR lainnya, seperti Ahmad Najib Qodratullah dari Fraksi PAN, juga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan secara matang kebijakan ini sebelum diputuskan. Ia menilai kebijakan kenaikan PPN tersebut bisa membebani masyarakat yang sudah menghadapi pelemahan ekonomi.

    Namun, Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar, Misbakhun, mengungkapkan keputusan terkait kenaikan PPN 12% sepenuhnya diserahkan kepada pemerintah. Ia optimistis pemerintah akan mempertimbangkan aspirasi masyarakat dalam membuat keputusan terkait kebijakan ini.

    Selain itu, Wakil Ketua Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Mohamad Hekal, menyatakan perubahan atau penundaan kebijakan PPN harus melalui pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah, mengingat kebijakan ini sudah diatur dalam UU HPP.

    Anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Jiddan, mengimbau agar pemerintah melakukan sosialisasi dan edukasi secara masif kepada masyarakat terkait kenaikan PPN ini. Sosialisasi yang jelas penting agar masyarakat tidak salah paham tentang kebijakan tersebut, dan mengetahui sektor-sektor mana saja yang akan terkena dampak, serta sektor mana yang dikecualikan seperti sektor kesehatan dan pendidikan.

    Kenaikan tarif PPN merupakan amanat dari UU HPP yang disahkan pada 2021 dengan tujuan untuk memperkuat sistem perpajakan, meningkatkan kepatuhan, dan menambah penerimaan negara. Kementerian Keuangan memperkirakan kenaikan PPN menjadi 12% dapat menambah pendapatan negara hingga Rp 250 triliun per tahun, yang akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan.

  • Wacana Tax Amnesty Jilid III, Sri Mulyani Ubah Haluan?

    Wacana Tax Amnesty Jilid III, Sri Mulyani Ubah Haluan?

    Bisnis.com, JAKARTA — Wacana pemberlakuan kembali program pengampunan pajak alias Tax Amnesty Jilid III mencuat. Padahal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat menyatakan pemerintah tidak akan lagi memberlakukan program serupa.

    Pernyataan itu sempat disampaikan Sri Mulyani usai berakhirnya masa Tax Amnesty Jilid II dua tahun lalu.

    “Kami tidak akan lagi memberikan program pengampunan pajak,” tegas Sri Mulyani di Kantor Pusat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak, Jumat (1/7/2022).

    Dengan demikian, sambungnya, semua data yang diperoleh lewat Tax Amnesty Jilid I dan II akan menjadi database di Ditjen Pajak Kementerian Keuangan untuk menegakkan kepatuhan wajib pajak ke depannya.

    Tak hanya itu, bendahara negara tersebut menegaskan, Indonesia akan bekerjasama secara global melalui Automatic Exchange of Information (AEOI). Selain itu, di dalam forum G20 juga sudah disepakati mengenai dua pilar mengenai perpajakan internasional.

    Menurutnya, kerjasama tersebut akan semakin mempersempit langkah wajib pajak melakukan penghindaran pajak. Dalam yurisdiksi manapun, lanjut dia, wajib pajak pasti akan tertangkap oleh para petugas pajak bila ditemukan melanggar aturan yang berlaku.

    “Mau pajak di sini, pajak di sana, semuanya sekarang seluruh dunia makin memiliki kesepakatan bahwa pajak adalah instrumen penting bagi pembangunan bagi semua negara,” ujarnya.

    Wacana Tax Amnesty Jilid III

    Sebagai informasi, pemerintah sebenarnya sudah pernah dua kali mengeluarkan kebijakan tax amnesty, yaitu Jilid I (periode 18 Juli 2016—31 Maret 2017) dan Jilid II (1 Januari—30 Juni 2022).

    Kendati demikian, belakangan muncul wacana Tax Amnesty Jilid III usai DPR resmi memasukkan RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11/2016 tentang Pengampunan Pajak alias tax amnesty ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

    Rancangan beleid tersebut diusulkan oleh Komisi XI DPR yang membidangi keuangan. Ketua Komisi XI DPR Misbakhun tidak menampik, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya sempat menyatakan tidak akan memberlakukan lagi tax amnesty.

    Hanya saja, Misbakhun mengingatkan bahwa pemerintahan sudah berganti. Politisi Partai Golkar itu merasa perlu pemberlakuan kembali program tax amnesty untuk mengawal berbagai visi misi pemerintah baru Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

    Dia menyatakan bahwa DPR, terkhusus Komisi XI, akan turut membantu mengawal berbagai visi misi pemerintah Presiden Prabowo Subianto. Jika salah satu cara mencapai visi misi dengan tax amnesty maka Komisi XI akan mendukungnya.

    Misbakhun menjelaskan bahwa pemerintah dan DPR akan tetap terus berupaya melakukan pembinaan agar wajib pajak tetap patuh. Di saat yang bersamaan, sambungnya, mereka juga ingin memberi peluang kepada orang yang menghindari pajak agar ke depan bisa memperbaiki diri.

    “Jangan sampai orang menghindar terus dari pajak, tapi tidak ada jalan keluar untuk mengampuni, maka amnesty ini salah satu jalan keluar,” jelasnya di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Misbakhun mengaku belum bisa menjelaskan substansi yang akan dibahas dalam RUU Tax Amnesty tersebut. Kendati demikian, tidak menampik bahwa akan ada Tax Amnesty Jilid III apabila beleid tersebut selesai dibahas.

    “Sektor apa saja yang akan dicakup di dalam tax amnesty itu, tax amnesty itu meliputi perlindungan apa saja, sektor apa saja, ya nanti kita bicarakan sama pemerintah,” ujarnya.

    Tax Ada Urgensi?

    Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengaku bingung dengan wacana penerapan Tax Amnesty Jilid III. Menurutnya, tidak ada urgensinya melakukan pembersihan dosa para pelaku penghindaran pajak lagi.

    Kebijakan tersebut, sambung Fajry, hanya akan mencederai rasa keadilan bagi wajib pajak yang telah patuh. Sejalan dengan itu, dia khawatir akan banyak wajib pajak yang akan melakukan penghindaran pajak.

    “Buat apa untuk patuh, toh ada tax amnesty lagi?” kata Fajry kepada Bisnis, Selasa (19/11/2024).

    Dia menilai Tax Amnesty Jilid III akan menjadi langkah mundur pemerintah. Apalagi, wacana pengampunan pajak untuk orang tajir itu bergulir ketika pemerintah berencana menaikkan tarif PPN menjadi 12% pada tahun depan.

    Oleh sebab itu, Fajry tidak heran apabila nantinya banyak penolakan dari berbagi kalangan masyarakat ihwal wacana Tax Amnesty Jilid III.

    “Terlebih, tax amnesty ini untuk siapa? Sebagian besar konglomerat sebenarnya sudah masuk ke Tax Amnesty Jilid I dan sebagian lagi melengkapinya kemarin,” jelasnya.

  • RUU Tax Amnesty Jilid III, Komisi XI DPR Sebut Tak Revisi Aturan Lama
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        19 November 2024

    RUU Tax Amnesty Jilid III, Komisi XI DPR Sebut Tak Revisi Aturan Lama Nasional 19 November 2024

    RUU Tax Amnesty Jilid III, Komisi XI DPR Sebut Tak Revisi Aturan Lama
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua
    Komisi XI DPR
    RI
    Mukhamad Misbakhun
    mengatakan, Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty (Pengampunan Pajak) tidak akan merevisi undang-undang yang telah ada sebelumnya.
    RUU ini telah dimasukkan ke dalam daftar program legislasi nasional (prolegnas) prioritas pada 2025.
    “Jadi, kalau menurut saya, jika ada tax amnesty berikutnya, itu adalah jilid tiga,” kata Misbakhun usai acara diskusi Fraksi Partai Golkar bertajuk “Mencari Cara Ekonomi Tumbuh Tinggi” di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Selasa (19/11/2024).
    Misbakhun menjelaskan bahwa DPR RI bersama pemerintah akan merumuskan kembali
    RUU Tax Amnesty
    jilid III ini.
    “Ya kita konsepkan kembali seperti apa? Pemerintah punya konsep seperti apa? Didiskusikan dengan DPR seperti apa? Nanti akan menjadi keputusan inisiatif siapa? Nah ini kan tinggal kita bicarakan,” ujarnya.
    Ia juga menekankan bahwa RUU Tax Amnesty tidak akan merevisi undang-undang sebelumnya.
    Menurutnya, beleid Tax Amnesty jilid I dan jilid II adalah dua aturan yang tidak saling berkaitan.
    “Jadi,
    one of regulation
    . Undang-undang Tax Amnesty pertama sudah tertutup. Pengampunan sukarela juga sudah tutup,” jelasnya.
    Lebih lanjut, Misbakhun mengungkapkan bahwa RUU Tax Amnesty awalnya merupakan usulan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, bukan dari Komisi XI.
    Namun demikian, Komisi XI kemudian mengambil alih RUU tersebut untuk menjadi usulannya, mengingat urusan
    tax amnesty
    berkaitan dengan mitra kerja mereka, yaitu Kementerian Keuangan.
    “Nah itulah kemudian saya rapatkan internal dengan persetujuan semua anggota Komisi XI. Diputuskan bahwa Komisi XI untuk prolegnas prioritas meminta kepada Badan Legislasi melalui surat untuk dijadikan prolegnas prioritas yang diusulkan oleh Komisi XI,” ungkap Misbakhun.
    Diketahui, RUU Tax Amnesty telah resmi masuk ke dalam daftar prolegnas prioritas 2025, yang dikonfirmasi oleh Wakil Ketua Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia.
    Hal ini ditetapkan dalam rapat pembahasan mengenai daftar prolegnas prioritas 2025 dan prolegnas jangka menengah 2025-2029 yang berlangsung pada Senin (18/11/2024) sore.
    “(RUU Tax Amnesty) jadi masuk tadi,” ujar Doli kepada wartawan.
    Dalam rapat paripurna DPR RI yang berlangsung hari ini juga ditetapkan bahwa RUU Tax Amnesty akan dibahas tahun depan.
    Copyright 2008 – 2024 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PPN Mau Naik Jadi 12% Diprotes Rakyat, Begini Sikap DPR

    PPN Mau Naik Jadi 12% Diprotes Rakyat, Begini Sikap DPR

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun buka suara mengenai sikap wakil rakyat mengenai rencana penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% di 2025. Dia mengatakan, Komisi XI DPR menyerahkan keputusan itu kepada pemerintah.

    “Sekarang kami kembalikan kepada pemerintah, karena undang-undang itu sudah disepakati,” kata dia ditemui di kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Jakarta, Selasa, (19/11/2024).

    Misbakhun mengatakan rencana kenaikan PPN dari 10% ke 11% dan menjadi 12% dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memang sudah dibahas dan disetujui oleh DPR pada 2021. Namun, kata dia, saat aturan itu diketok, DPR belum mengantisipasi terjadinya penurunan daya beli yang dialami masyarakat Indonesia seperti sekarang.

    Misbakhun mengatakan penurunan daya beli itu diikuti dengan munculnya fenomena banyaknya kelas menengah yang turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah. Menurut dia, hal tersebut seharusnya juga menjadi pertimbangan dalam penerapan PPN 12%.

    “Nah, apakah itu jadi pertimbangan. Kalau pemerintah tidak menjadikan itu pertimbangan, berarti pemerintah masih beranggapan bahwa kondisi ekonomi masih stabil, ekonomi masih tidak terpengaruh dengan daya beli masyarakat,” kata dia.

    “Kita serahkan sepenuhnya itu menjadi wilayah pemerintah untuk memutuskan apakah PPN, kenaikan PPN menjadi 12% itu akan dijalankan atau tidak,” ujar dia lagi.

    (miq/miq)

  • RUU Tax Amnesty Masuk Prolegnas DPR, Ini Penjelasan Ketua Komisi XI

    RUU Tax Amnesty Masuk Prolegnas DPR, Ini Penjelasan Ketua Komisi XI

    Jakarta, CNBC Indonesia – Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun mengakui munculnya usulan untuk memasukkan revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025 bersifat dadakan.

    “Tiba-tiba Baleg itu memasukkan dalam Prolegnas long list,” kata dia ditemui di kantor Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kota Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2024).

    Misbakhun mengatakan Komisi XI baru mengetahui adanya usulan itu ketika sedang menggelar rapat dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada Senin (18/11/2024) malam. Di hari yang sama, Baleg sedang menggelar rapat kerja dengan perwakilan pemerintah mengenai Prolegnas Prioritas ini.

    “Tiba-tiba diberitahu oleh anggota Komisi XI yang ada di Baleg, bahwa ada Prolegnas, dan di long list itu ada tax amnesty,” kata dia.

    Mengetahui tentang itu, Misbakhun mengatakan Komisi XI kemudian mengambil inisiatif menjadi pengusul RUU tersebut. Menurut dia, Komisi XI dirasa lebih tepat menjadi pengusul karena memiliki pengalaman membahas mengenai pengampunan pajak dalam tax amnesty yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya.

    “Kalau kemudian mau dijadikan prolegnas prioritas, maka sebagai Ketua Komisi XI yang selama ini bermitra dengan Menteri Keuangan, yang di dalamnya itu ada Direktorat Jenderal Pajak, maka Komisi XI berinisiatif untuk kemudian mengusulkan itu menjadi prioritas di 2025,” kata dia.

    Sebelumnya, DPR telah menyepakati revisi UU 11/2016 tentang tax amnesty masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2025. Ini berarti revisi mengenai UU tax amnesty akan diprioritaskan untuk disahkan pada tahun depan.

    Usulan itu pertama kali muncul dalam rapat kerja antara Baleg dengan pemerintah pada Senin, (18/11/2024). Dalam rapat tersebut, awalnya usulan mengenai UU tax amnesty datang dari Baleg. Namun, pada rapat lanjutan malam hari, Komisi XI mengambil inisiatif untuk menjadi pengusul RUU tersebut.

    Sebagai catatan, Tax Amnesty telah dilaksanakan sebanyak dua kali, yakni Jilid I periode 2016-2017 dan Jilid II pada 2022. Program Tax Amnesty bertujuan untuk menarik uang dari para wajib pajak yang disinyalir menyimpan aset-asetnya di sejumlah negara suaka pajak. Pemerintah berharap kebijakan ini bisa mengalihkan uang mereka kembali ke Indonesia.

    (miq/miq)