Tag: MT Haryono

  • 3
                    
                        Terbengkalai sejak 2007, Kenapa Menara Saidah Tak Dirobohkan?
                        Megapolitan

    3 Terbengkalai sejak 2007, Kenapa Menara Saidah Tak Dirobohkan? Megapolitan

    Terbengkalai sejak 2007, Kenapa Menara Saidah Tak Dirobohkan?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Hampir dua dekade telah berlalu sejak aktivitas terakhir di Menara Saidah berhenti pada 2007.
    Bangunan setinggi 28 lantai yang berdiri di tepi Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, itu hingga kini tetap tegak, namun kosong, terkurung pagar seng, dan dijauhkan dari denyut kehidupan kota yang terus bergerak di sekitarnya.
    Di tengah gencarnya pembangunan infrastruktur dan properti di Jakarta, publik pun kerap mempertanyakan hal yang sederhana namun penting: Mengapa
    Menara Saidah
    tidak juga dirobohkan?
    Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menegaskan bahwa hingga kini tidak ada dasar hukum maupun teknis untuk melakukan pembongkaran bangunan tersebut.
    Ketua Subkelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta, Kartika Andam Dewi, mengatakan bahwa Menara Saidah pernah melalui kajian teknis dan tidak dinyatakan membahayakan.
    Ia menjelaskan, dalam tata kelola bangunan gedung, pembongkaran tidak bisa dilakukan serta-merta hanya karena bangunan terbengkalai atau tidak difungsikan.
    “Pun apabila suatu bangunan dinyatakan membahayakan, lalu ada penetapan pembongkaran oleh pemerintah daerah, yang melakukan pembongkaran tetap pemilik bangunan,” kata Andam.
    Menara Saidah sendiri merupakan aset milik swasta, bukan milik Pemprov DKI Jakarta. Karena itu, kewenangan pemerintah daerah terbatas pada pengawasan dan penilaian teknis, bukan eksekusi langsung.
    Ketika ditanya apakah kajian teknis tersebut dilakukan oleh Dinas Citata atau pihak lain, Andam menegaskan bahwa pengkajian tidak dilakukan langsung oleh pemerintah.
    “Yang melakukan pengkajian dari penyedia jasa pengkajian teknis bersertifikat yang di-
    hire
    oleh pemilik bangunan,” ujarnya.
    Dengan kata lain, selama tidak ada laporan resmi, aduan masyarakat, atau hasil penilaian teknis terbaru yang menyatakan bangunan itu berbahaya, pemerintah daerah tidak memiliki dasar untuk memerintahkan pembongkaran.
    Selain itu, Andam juga tidak bisa memberikan informasi terkait alasan detail
    kenapa Menara Saidah tidak dirobohkan
    , karena bangunan milik perorangan, dan hanya pemilik yang mengetahui alasannya.
    Dari sudut pandang tata kota, keberadaan Menara Saidah yang terbengkalai di lokasi strategis menjadi anomali sekaligus ironi.
    Pengamat perkotaan Universitas Indonesia (UI), Muh Aziz Muslim, menyebutkan, Menara Saidah dulunya adalah salah satu bangunan paling ikonik di wilayah Pancoran dan Cawang.
    “Menara Saidah ini kan pernah menjadi salah satu bangunan yang paling ikonik di Jakarta, terutama di kawasan Pancoran. Dibandingkan dengan gedung-gedung di sekitarnya, dia relatif menjulang tinggi,” kata Aziz saat dihubungi, Selasa (16/12/2025).
    Namun, justru karena posisinya yang strategis itulah, ketidakjelasan nasib gedung ini kerap memicu spekulasi publik.
    “Kalau pertanyaannya kenapa belum dibongkar, itu yang justru jadi misteri. Karena dari aspek kepemilikan, gedung ini dimiliki oleh perorangan, keluarga Saidah. Maka pertanyaan utama sebenarnya harus diajukan kepada pemiliknya,” ujar Aziz.
    “Gedung ini memberi pelajaran bahwa pembangunan tidak bisa hanya mengandalkan estetika dan kemegahan. Yang lebih penting adalah aspek struktur dan keamanan,” kata dia.
    Ia mengingatkan, pengosongan Menara Saidah pada 2007 terjadi bersamaan dengan munculnya isu perubahan struktur bangunan, termasuk dugaan kemiringan gedung.
    “Dulu informasinya diduga karena dibangun di kawasan rawa. Ini tentu perlu dikonfirmasi ulang, tapi yang jelas saat itu aspek keamanan gedung mulai diragukan,” ucap Aziz.
    Dalam konteks Jakarta hari ini, Aziz menilai Menara Saidah gagal beradaptasi dengan perubahan standar keselamatan dan pergeseran pusat bisnis.
    “Sekarang sentra bisnis bergerak ke Kuningan, Sudirman, Simatupang. Jadi, selain faktor struktur, ada juga faktor perubahan lokasi strategis,” tutur dia.
    Soal pembongkaran, Aziz menilai keputusan itu tidak bisa dilihat secara sederhana.
    “Merobohkan gedung setinggi Menara Saidah itu bukan perkara mudah. Ada banyak kebutuhan teknis, pertimbangan dampak lingkungan, dan dampak sosial bagi kawasan sekitarnya. Semua itu tentu menjadi pertimbangan pemilik gedung,” kata Aziz.
    Dari perspektif lingkungan, pembongkaran bangunan sebesar Menara Saidah di kawasan padat lalu lintas dan penduduk bukan tanpa risiko.
    Pengamat lingkungan Mahawan Karuniasa menegaskan bahwa pembongkaran bangunan besar di wilayah perkotaan memiliki potensi dampak lingkungan yang signifikan.
    “Yang pertama tentu dampak kualitas udara, terutama debu halus atau PM 2,5 dan PM 10,” ujar Mahawan saat dihubungi, Rabu (17/12/2025).
    Debu halus hasil pembongkaran, kata Mahawan, berbahaya bagi kesehatan karena dapat masuk ke sistem pernapasan, bahkan aliran darah.
    “Tanpa pengendalian basah seperti
    water spraying
    , PM 2,5 bisa meningkat dua sampai lima kali lipat di sekitar lokasi pembongkaran,” kata dia.
    Selain polusi udara, kebisingan juga menjadi persoalan serius.
    “Pembongkaran bisa menghasilkan kebisingan 70 sampai 90 desibel, sementara standar WHO maksimal 55 desibel,” ujar Mahawan.
    Ia menambahkan, getaran akibat pembongkaran juga berisiko merusak bangunan di sekitarnya, terutama bangunan lama dan infrastruktur seperti pipa air atau gas.
    “Belum lagi dampak sosial. Aktivitas ekonomi warga terganggu, kenyamanan hidup menurun, dan bisa memicu konflik jika tidak ada komunikasi yang baik,” tutur dia.
    Karena itu, Mahawan menekankan bahwa persoalan utama bukan hanya ada atau tidaknya kajian, tetapi implementasi dan pengawasan di lapangan.
    “Sering kali administrasinya lengkap, tapi pengawasannya lemah. Komunikasi publik juga sering tertinggal,” kata Mahawan.
    Sebelumnya, 
    Kompas.com
    telah melakukan penelusuran ke Menara Saidah pada Jumat (7/11/2025). Bangunan tersebut kini lebih menyerupai artefak kota yang terlupakan.
    Di depan gedung, pagar seng abu-abu kusam setinggi dua meter membentang dengan tulisan merah mencolok DILARANG MASUK.
    Di atasnya, lintasan LRT menjulang, sementara halte TransJakarta Cawang di bawahnya dipadati penumpang setiap hari. Ribuan orang berlalu-lalang, hanya beberapa meter dari bangunan kosong itu.
    Begitu pagar dibuka oleh petugas keamanan, suasana berubah drastis. Sunyi. Hanya dengung kendaraan dari kejauhan dan lolongan anjing penjaga yang terdengar.
    Kompas.com
    mendapat kesempatan untuk memasuki gedung yang justru tidak satu orang pun yang diperbolehkan memasuki gedung ini kecuali penjaga dan pemilik.
    Melangkah masuk di halaman depan, marmer lobi tertutup debu dan dedaunan. Rumput liar tumbuh di sela ubin. Pilar-pilar besar bergaya Romawi memudar warnanya, sementara beberapa kaca jendela pecah.
    Di dalam, saat menjelajahi lantai satu hingga sembilan, terlihat lift menyisakan poros besi. Kabel-kabel menjuntai berkarat. Tangga darurat gelap, lembap, dan berbau besi tua.
    Di lantai atas, jendela pecah memperlihatkan kontras mencolok Jakarta yang terus bergerak di luar, sementara Menara Saidah membeku dalam waktu.
    Menara Saidah dibangun pada 1998 oleh PT Hutama Karya atas pesanan Mooryati Soedibyo dengan nama Menara Gracindo.
    Gedung itu kemudian berpindah tangan ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim dan direnovasi menjadi 28 lantai.
    Namun, bangunan yang digunakan untuk perkantoran itu ditinggalkan penyewa sejak 2007. Pengelola saat itu membantah isu kemiringan, menyebut pengosongan hanya karena masa sewa habis.
    Menurut Andam, bangunan yang tidak difungsikan otomatis kehilangan Sertifikat Laik Fungsi (SLF).
    “Pengawasan kami bergilir. Menara Saidah belum masuk jadwal pengawasan 2025,” kata Andam.
    Karena tidak ada laporan atau aktivitas, pengawasan lanjutan belum dilakukan.
    Bagi warga sekitar, Menara Saidah kini lebih dari sekadar gedung kosong.
    “Kalau malam sepi banget. Padahal di seberang sudah banyak gedung baru,” kata Puji (29), pengemudi ojek
    online
    .
    Warga lain, Wati (50), menyebut Menara Saidah seperti simbol kota yang dibiarkan tanpa arah.
    “Kalau enggak bisa dipakai lagi, ya paling tidak dirapikan. Jangan dibiarkan kumuh,” ujar dia.
    Menara Saidah berdiri di tengah megaproyek Jakarta, namun tak ikut bergerak.
    Ia menjadi pengingat bahwa pembangunan fisik tanpa kepastian hukum, tata kelola, dan keberanian mengambil keputusan, hanya akan melahirkan monumen kebisuan.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Tiket Semarang 10K 2025 Ludes dalam 30 Menit, Antusias Pelari Membludak
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        13 Desember 2025

    Tiket Semarang 10K 2025 Ludes dalam 30 Menit, Antusias Pelari Membludak Regional 13 Desember 2025

    Tiket Semarang 10K 2025 Ludes dalam 30 Menit, Antusias Pelari Membludak
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com
    – Ajang lari Semarang 10K 2025 akan digelar pada Minggu (14/12/2025) dengan titik start dan finis di Balai Kota Semarang.
    Tahun ini, jumlah peserta mencapai 3.000 pelari dari dalam dan luar negeri. Jumlah ini tercatat sebagai rekor tertinggi sejak event tersebut pertama kali diselenggarakan.
    Lonjakan jumlah peserta tersebut menegaskan posisi
    Semarang 10K
    sebagai salah satu lomba lari kota yang terus berkembang dan semakin diminati.
    Pada edisi sebelumnya, jumlah peserta tercatat sekitar 2.500 orang.
    Manager Event Harian Kompas, Sri Aswito Zainul, mengatakan peningkatan peserta menjadi salah satu pembeda utama Semarang 10K tahun ini.
    “Yang paling signifikan ada dua. Pertama dari jumlah peserta, tahun lalu 2.500 sekarang menjadi 3.000.”
    “Kedua, tahun ini kami menerapkan
    cut off point
    yang sebelumnya belum pernah dilakukan,” ujar Aswito saat pengambilan race pack di Tha Park Mall Semarang pada Sabtu (13/12/2025).
    Pada Semarang 10K 2025, panitia menerapkan cut off point (COP) di kilometer 8,2, tepatnya di kawasan Simpang Jembatan Mberok. Peserta wajib melewati titik tersebut dalam waktu maksimal 60 menit.
    Peserta yang tidak memenuhi batas waktu tersebut tidak diperkenankan melanjutkan lomba dan tidak berhak mendapatkan medali.
    “Dengan COP ini, Semarang 10K menjadi lebih kompetitif,” kata Aswito.
    Rute Semarang 10K tahun ini tidak banyak berubah. Pelari akan melintasi sejumlah ikon kota seperti Tugu Muda, Simpang Lima, Jalan MT Haryono, Kota Lama, hingga Jalan Pemuda.
    Karakter rute yang relatif datar menjadikan Semarang 10K dikenal sebagai ajang favorit untuk mengejar personal best (PB).
    “Dengan rute ini dan adanya COP, pelari benar-benar ditantang,” ujar Aswito.
    Selain kategori 10K utama, Semarang 10K 2025 juga menghadirkan kids race sebagai pembaruan. 
    Komposisi peserta kids race didominasi anak laki-laki sekitar 65 persen, dan sisanya perempuan.
    Berdasarkan data panitia, sekitar 60–70 persen peserta berasal dari luar Kota Semarang. Daerah asal terbanyak dari Jakarta, Bekasi, dan Surabaya.
    Meski demikian, Kota Semarang tetap menjadi penyumbang peserta terbesar secara individu.
    Antusiasme peserta terlihat sejak pendaftaran dibuka. Tiket lomba habis dalam waktu kurang dari 30 menit, meski sempat terkendala proses pembayaran di sistem.
    “Kalau peserta mendaftar paling habis 15 menit,” kata Aswito.
    Pengambilan race pack telah dilaksanakan pada Sabtu (13/12/2025) di The Park Mall Semarang, sehari sebelum lomba digelar.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Daftar SPBU Shell kembali Jual Bensin Shell Super di Jakarta, Banten, dan Jabar

    Daftar SPBU Shell kembali Jual Bensin Shell Super di Jakarta, Banten, dan Jabar

    Bisnis.com, JAKARTA — Stok BBM besutan Shell khususnya Shell Super kembali tersedia di sejumlah SPBU per Minggu (7/12/2025) ini. Tercatat bensin beroktan 92 itu kini tersedia di sejumlah SPBU di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat.

    “Shell Super mulai tersedia kembali di SPBU Shell. Selain bensin, produk BBM jenis diesel [Shell V-Power Diesel] dan layanan di Shell Select, Bengkel SPBU Shell, serta Shell Recharge tetap terus tersedia,” tulis Shell di laman resmi perusahaan.

    Adapun stok Shell Super kembali tersedia usai Shell resmi membeli 100.000 barel base fuel dari PT Pertamina Patra Niaga. Stok bensin di SPBU Shell sendiri sebelumnya kosong sejak akhir Agustus 2025 lalu.

    Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga Roberth MV Dumatubun menuturkan, mekanisme penyediaan pasokan kepada Shell Indonesia dengan menggunakan prosedur sesuai dengan aturan yang berlaku dan menjunjung tinggi mekanisme compliance serta governance secara business to business (B2B).

    Pertamina Patra Niaga dan Shell Indonesia juga berkomitmen memastikan ketersediaan BBM serta distribusi energi dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. 

    Proses B2B dari sisi jumlah kebutuhan berdasarkan volume permintaan, pelaksanaan tender supplier yang dilakukan dengan aspek GCG dan konfirmasi berulang dengan customer, pelaksanaan join surveyor, sampai dengan mekanisme open book untuk negosiasi aspek komersial dilaksanakan, sampai akhirnya proses bongkar dilaksanakan dan diterima BU swasta untuk disalurkan kepada masyarakat. 

    “Komoditas BBM yang dipasok kepada BU swasta yang dalam hal ini Shell Indonesia telah memenuhi seluruh requirements yang dimintakan dari BU swasta sebagai bentuk komitmen tindak lanjut atas arahan pemerintah,” ucap Roberth melalui keterangan resmi, Jumat (5/12/2025).

    Berikut daftar SPBU yang kembali menjual Shell Super per 7 Desember 2025:

    Jakarta

    – Jakarta Barat

    1. SHELL ARJUNA UTARA-1

    2. SHELL DAAN MOGOT-1

    3. SHELL IMAM BONJOL

    4. SHELL JORR-1

    5. SHELL KYAI TAPA-1

    6. SHELL LATUMETEN-2

    7. SHELL MERUYA UTARA-1

    8. SHELL PETA SELATAN-1

    9. SHELL POS PENGUMBEN-1

    10. SHELL PURI-1

    11. SHELL S PARMAN-1

    12. SHELL WEST JORR-2

    – Jakarta Pusat

    13. SHELL GN SAHARI-1

    14. SHELL MENTENG-1

    15 SHELL SALEMBA-1

    16. SHELL SUPRAPTO-2

    -Jakarta Selatan

    17. SHELL ANTASARI-1

    18. SHELL ARTERI PI-1

    19. SHELL CIPUTAT RAYA-1

    20. SHELL CIPUTAT RAYA-2

    21. SHELL FATMAWATI-1

    22. SHELL GATOTSUBROTO-1

    23. SHELL KAHFI-1

    24. SHELL KEMANG RAYA-1

    25. SHELL LAPANGAN ROS-1

    26. SHELL LENTENG AGUNG-1

    27. SHELL MAMPANG-1

    28. SHELL PETUKANGAN-1

    29. SHELL RADIO DALAM-1

    30. SHELL SATRIO-1

    31. SHELL SOEPOMO-1

    32. SHELL TB SIMATUPANG-1

    33. SHELL TENDEAN-1

    34. SHELL TJ BARAT

    – Jakarta Timur

    35. SHELL BASUKI RAHMAT-1

    36. SHELL JGC-1

    37. SHELL MT HARYONO-1

    38. SHELL PEMUDA-1

    39. SHELL RADEN INTEN

    – Jakarta Utara

    40. SHELL KELAPA GADING-1

    41. SHELL PIK-1

    42. SHELL PLUIT SELATAN-1

    43. SHELL PLUIT SELATAN-2

    44. SHELL SEMPER-1 JKT

    45. SHELL SUNTER UT-1

    46. SHELL YOS SUDARSO-1

    Banten
    – Tangerang

    47. SHELL ALAM SUTERA-1

    48. SHELL BINTARO-1

    49. SHELL BSD-1

    50. SHELL BSD-2

    51. SHELL BSD-3

    52. SHELL BSD-4

    53. SHELL CEGER RAYA-1

    54. SHELL CIKOKOL-1

    55. SHELL CITRA RAYA-1

    56. SHELL GADING SERPONG-1

    57. SHELL GRAHA RAYA-1

    58. SHELL HUSEIN SASTRA-1

    59. SHELL KARANG TENGAH-1

    57. SHELL LIPPO KARAWACI-1

    58. SHELL METLAND CYBER CITY (EX PURI)

    59. SHELL OTISTA-1

    60. SHELL PAMULANG-1

    61. SHELL PIK-2 

    62. SHELL PONDOK CABE

    63. SHELL SERANG BALARAJA-1

    64. SHELL SERANG CIKUPA-1

    65. SHELL SERPONG-1 KM8

    66. SHELL SOEWARNA SOETTA-1

    67. SHELL SUVARNA SUTERA-1

    – Cilegon

    68. SHELL AHMAD YANI

    – Serang

    69. SHELL SERANG BARAT-1

    Jawa Barat

    – Bogor

    70. SHELL CIBINONG-1

    71. SHELL JAGORAWI TOLL KM21

    72. SHELL KOTA WISATA

    73. SHELL PAJAJARAN-1

    74. SHELL PASIR ANGIN

    75. SHELL SENTUL CITY

    76. SHELL YASMIN – 1

    – Depok

    77. SHELL CIBUBUR-1

    78. SHELL CINERE RAYA-1

    79. SHELL MARGONDA RAYA-1

    80. SHELL RAYA MUCHTAR-1

    81. SHELL SAWANGAN-1

    – Bekasi

    82. SHELL AHMAD YANI-1

    83. SHELL BEKASI RAYA-1

    84. SHELL CUT MEUTIA-1

    85. SHELL DELTAMAS-1

    86. SHELL GRAND WISATA-1

    87. SHELL I GUSTI NGURAH RAI-1

    88. SHELL JABABEKA-1

    89. SHELL JATIMEKAR-1

    90. SHELL LINGKAR UTARA-1

    91. SHELL LIPPO CIKARANG-1

    92. SHELL MANGUNJAYA-1

    93. SHELL NOER ALI-2

    94. SHELL PONDOK GEDE-1

    95. SHELL WIBAWA MUKTI-1

    – Bandung

    96. SHELL KOTA BARU PARAHYANGAN-1

    97. SHELL PASTEUR-1

    98. SHELL PELAJAR PEJUANG-1

    99. SHELL RANCAEKEK-1

    100. SHELL TERS BUAH BATU-1

    – Cirebon

    101. SHELL CITRALAND-1

    102. SHELL KESAMBI-1

    – Karawang

    103. SHELL KARAWANG BARAT-1

    104. SHELL SYEH QURO-1

  • Distamhut lakukan penopingan pohon serentak di Jakarta

    Distamhut lakukan penopingan pohon serentak di Jakarta

    Jakarta (ANTARA) – Dinas Pertamanan dan Hutan Kota (Distamhut) DKI Jakarta menggelar kerja bakti penopingan pohon secara serentak di lima wilayah ibu kota.

    “Langkah antisipasi ini dilakukan guna menghadapi puncak musim hujan dan potensi angin kencang yang diprediksi berlangsung hingga akhir tahun,” kata Kepala Dinas Pertamanan dan Hutan Kota DKI Jakarta Fajar Sauri di Jakarta, Sabtu.

    Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah mengeluarkan peringatan mengenai peningkatan intensitas hujan, potensi angin kencang, serta hujan ekstrem yang dapat terjadi secara sporadis hingga akhir Desember 2025.

    Kondisi tersebut dapat memicu kerentanan pada pohon, terutama yang sudah menua, memiliki struktur batang rapuh, atau berada di titik-titik rawan.

    Untuk itu, kata Fajar, Distamhut DKI melakukan penopingan dan peremajaan pohon di enam lokasi prioritas yang memiliki tingkat mobilitas tinggi.

    Pekerjaan tersebut dilaksanakan pada akhir pekan atau malam hari untuk meminimalkan gangguan terhadap aktivitas warga.

    Enam lokasi yang menjadi fokus penanganan itu meliputi:

    Jalan Panjang, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

    Jalan Prof. Moh. Yamin Sutan Syahrir, Menteng, Jakarta Pusat

    Jalan TB. Simatupang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan

    Jalan Danau Sunter Selatan, Tanjung Priok, Jakarta Utara

    Jalan Dr. KRT Radjiman Widyodiningrat, Cakung, Jakarta Timur

    Jalan MT Haryono, Tebet, Jakarta Selatan

    Fajar menjelaskan, selain kegiatan rutin penopingan yang dilakukan setiap hari Rabu, pihaknya juga meningkatkan intensitas pemangkasan dan pemeriksaan kesehatan pohon sepanjang tahun ini.

    “Sejak Januari hingga awal November 2025, sebanyak 63.444 pohon telah kami lakukan penopingan, dan 6.513 pohon sudah melalui pemeriksaan kesehatan. Ini merupakan langkah preventif untuk memastikan keamanan warga dan pengguna jalan,” terang Fajar.

    Pewarta: Lifia Mawaddah Putri
    Editor: Rr. Cornea Khairany
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • 5
                    
                        Menara Saidah, Bayangan Kemegahan yang Terbengkalai di Tengah Megaproyek Jakarta
                        Megapolitan

    5 Menara Saidah, Bayangan Kemegahan yang Terbengkalai di Tengah Megaproyek Jakarta Megapolitan

    Menara Saidah, Bayangan Kemegahan yang Terbengkalai di Tengah Megaproyek Jakarta
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Di antara hiruk-pikuk kendaraan di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, berdiri sebuah menara yang seolah berhenti dalam waktu.
    Menara Saidah
    , dengan tiang-tiang korintus dan fasad bergaya Romawi klasik, kini hanya menjadi bayangan kemegahan masa lalu yang perlahan memudar di tengah pesatnya pembangunan Ibu Kota.
    Bangunan setinggi 28 lantai itu pernah menjadi simbol kemajuan kawasan bisnis Cawang pada awal 2000-an.
    Namun, hampir dua dekade berlalu, ia menjelma menjadi monumen bisu menggambarkan rumitnya tata kelola ruang Kota Jakarta dan lemahnya penegakan hukum terhadap aset-aset terabaikan.
    Penelusuran
    Kompas.com
    , Jumat (7/11/2025), menunjukkan bahwa Menara Saidah kini seperti artefak kota yang terlupakan.
    Di depan gedung, pagar seng berwarna abu-abu kusam setinggi dua meter membentang sepanjang sisi jalan, dengan tulisan besar berwarna merah:
    DILARANG MASUK
    .
    Setiap hari, orang-orang melintas hanya beberapa meter dari bangunan ini tanpa pernah benar-benar tahu apa yang tersisa di balik pagar itu.
    Begitu pagar seng dibuka oleh petugas keamanan, suasana berubah drastis. Sunyi. Hanya terdengar dengung mesin kendaraan dari kejauhan dan lolongan anjing penjaga di bawah naungan pohon besar yang tumbuh liar di depan lobi.
    Dua pos jaga kecil berdiri di sisi kanan dan kiri gerbang, terbuat dari kayu lapuk yang sebagian atapnya sudah bocor.
    “Kami jaga empat orang, siang malam bergantian,” ujar Juliadi (40), salah satu penjaga yang sudah bekerja di sana sejak 2014.
    “Tugasnya cuma jaga biar enggak ada yang masuk tanpa izin. Banyak anak muda penasaran, kadang nekat manjat pagar,” lanjutnya.
    Di halaman depan, lantai marmer yang dulu berkilau kini tertutup debu, pecahan genteng, dan dedaunan kering.
    Rumput liar tumbuh menembus sela ubin, membentuk lanskap alami yang menelan keanggunan desain arsitektur klasik Eropa yang dulu diagungkan.
    Fasad bangunan menampilkan enam pilar besar berwarna hijau tua dengan ukiran emas yang kini memudar. Ornamen berbentuk bunga teratai di atas atap lobi menghitam akibat jamur dan cuaca.
    Di bagian dalam lobi utama, dua patung klasik berwarna putih, satu berbentuk bust laki-laki dan satu lagi patung singa, duduk berdiri di tengah debu.
    Kedua patung itu kotor, tertutup jelaga dan sarang laba-laba, tetapi masih menjaga aura kemewahan masa lalu.
    Di langit-langit lobi, lukisan langit berwarna biru muda dengan awan putih masih tampak samar, diapit sisa ornamen emas di tepiannya.
    Lift yang dulu menjadi penghubung antar lantai kini hanya menyisakan poros besi vertikal tanpa kabin. Kabel-kabel menjuntai dari langit-langit, berkarat, dan sebagian putus.
    Dinding-dinding di sekitar tangga darurat mengelupas, menampakkan lapisan bata merah dan kerangka besi bangunan.
    Tangga sempit menuju lantai dua dan seterusnya tak diterangi cahaya. Udara terasa lembap dan berbau besi tua.
    Lantai atas tampak seperti ruang terbuka yang membisu. Beberapa ruangan kosong masih memiliki sisa meja, sebagian besar berdebu dan berkarat.
    Di salah satu ruangan yang menghadap Jalan MT Haryono, kaca jendelanya sudah pecah, memberikan pemandangan Kota Jakarta yang terus bergerak di luar sana, di antaranya LRT melintas, mobil melaju, dan gedung-gedung baru tumbuh di sekitarnya.
    Kontras itu terasa menyesakkan seolah Menara Saidah tidak hanya ditinggalkan secara fisik, tetapi juga secara makna. Ia berdiri tegak, tetapi tak lagi menjadi bagian dari kehidupan kota.
    “Dulu pernah ada yang mau syuting, tapi itu udah lama banget,” kata Juliadi lagi.
    “Pemerintah belum pernah datang lagi. Katanya mau direvitalisasi, tapi cuma rencana,” imbuhnya.
    Sementara di sisi belakang gedung, pemandangan tak kalah miris. Dinding pembatas yang roboh memperlihatkan kontras antara kemegahan dan kesederhanaan permukiman padat warga Cikoko Timur yang hanya berjarak beberapa meter dari fondasi bangunan berlantai 28 itu.
    Area parkir bawah juga bisa dilalui dengan tangga besi melingkar di sisi kanan gedung. Area parkir ini kosong dan gelap, hanya diiringi ilalang serta bunyi dedaunan yang bergesekan di sekitar bangunan.
    Menara Saidah bukan sekadar bangunan kosong. Ia menyimpan riwayat panjang kepemilikan yang berlapis.
    Bangunan ini awalnya dibangun oleh PT Hutama Karya pada 1998 atas pesanan Mooryati Soedibyo, pendiri Mustika Ratu, dengan nama Menara Gracindo.
    Beberapa tahun kemudian, gedung itu dilelang dan berpindah tangan ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim, pemilik Merial Group.
    Sang putra, Fajri Setiawan, melakukan renovasi besar-besaran, menambah jumlah lantai dari 18 menjadi 28 dan mengganti namanya menjadi Menara Saidah, mengabadikan nama sang ibu.
    Pada awal 2000-an, gedung ini sempat digunakan oleh beberapa lembaga negara, termasuk Sekretariat Panitia Pemilu 1999 (kini KPU) dan Kementerian Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
    Namun pada 2007, seluruh aktivitas perkantoran di dalam Menara Saidah berhenti. Beredar kabar bahwa gedung miring beberapa derajat.
    Pihak pengelola, PT Gamlindo Nusa, membantah isu tersebut dan menegaskan bahwa pengosongan dilakukan hanya karena masa sewa habis. Namun, sejak saat itu pintu gedung ditutup rapat.
    “Kalau bangunan sudah tidak dimanfaatkan, otomatis Sertifikat Laik Fungsi (SLF)-nya sudah tidak berlaku,” jelas Kartika Andam Dewi, Ketua Subkelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (Citata) DKI Jakarta, saat dihubungi
    Kompas.com
    .
    “Pengawasan kami bergilir, dan Menara Saidah belum termasuk daftar 2025. Mungkin baru masuk di jadwal 2026. Karena belum ada laporan aduan atau aktivitas di sana, kami belum melakukan pengawasan lanjutan,” sambungnya.
    Andam menegaskan, Menara Saidah merupakan milik swasta, bukan aset Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta. Karena itu, pemerintah daerah tidak bisa serta-merta melakukan penindakan atau revitalisasi tanpa koordinasi dan izin pemilik.
    “Kalau nanti ada laporan visual bahwa bangunan itu membahayakan, baru kami bisa melakukan survei insidental,” katanya.
    Fakta ini menunjukkan kerumitan persoalan hukum dan administrasi yang membelit Menara Saidah.
    Pemprov DKI tak punya kewenangan langsung, sedangkan pemilik tidak lagi menampakkan inisiatif untuk memanfaatkan aset yang nilainya bisa mencapai ratusan miliar rupiah itu.
    Upaya menyelamatkan Menara Saidah sebenarnya pernah dibahas. Pada 2016, Pemprov DKI Jakarta sempat berencana mengambil alih pemanfaatan bangunan tersebut. Namun rencana itu urung terlaksana.
    Tawaran dari Universitas Satyagama pada 2011 juga kandas karena pemilik tak bersedia menunjukkan gambar struktur gedung.
    Warga sekitar mengaku sudah terbiasa melihat bangunan itu diam tanpa perubahan.
    “Dulu waktu masih ramai, memang sempat katanya mau direnovasi gitu,” kata Siti (45), pedagang di Cikoko Timur belakang gedung Menara Saidah.
    “Sayang banget ya, bangunan segede itu nganggur. Kalau bisa dimanfaatin buat kantor pemerintah atau pusat UMKM kan enak,” ujarnya.
    Pandangan serupa disampaikan Puji (29), pengemudi ojek
    online
    yang sering melintas di sana.
    “Kalau siang enggak apa-apa, tapi kalau malam sepi banget. Lihat aja catnya udah pudar, kaca banyak yang retak. Padahal di seberang udah banyak gedung baru, tapi yang ini kayak ditinggalin gitu aja,” tuturnya.
    Menurut Puji, warga sering bertanya-tanya mengapa pemerintah membiarkan bangunan strategis di tengah kota itu terbengkalai begitu saja.
    “Katanya punya swasta, tapi masa iya enggak bisa dibenerin bareng-bareng? Jadinya kayak simbol Jakarta yang setengah maju, setengah berantakan,” tambahnya.
    Bagi sebagian warga, Menara Saidah telah kehilangan maknanya sebagai simbol kemajuan.
    “Sekarang malah kalah dan kayak monumen gagalnya tata kota. Kan di kelilingi wilayah Jakarta Pusat, Jakarta Timur juga, tapi jadi satu-satunya gedung yang tidak dihuni bertahun-tahun,” ujar Tio (41), pegawai kantoran di seberang Menara Saidah.
    Pengamat infrastruktur dan tata kota, Yayat Supriatna, mengatakan, persoalan Menara Saidah bukan semata bangunan mangkrak, melainkan mencerminkan ketidaktegasan pemerintah dalam mengelola ruang kota.
    “Kelayakan bangunan itu yang paling penting adalah aspek keselamatan dan keamanan penggunaan. Kalau aman dan
    clear
    dari sengketa hukum, sebenarnya Menara Saidah sangat strategis,” ujarnya kepada
    Kompas.com
    .
    Ia menilai, posisi gedung yang dekat dengan LRT, KRL, dan TransJakarta semestinya menjadi keunggulan.
    “Sangat cocok kalau dikembangkan jadi
    mixed-use building
    atau hunian
    transit oriented development
    (TOD),” katanya.
    Namun, Yayat mengingatkan bahwa revitalisasi baru bisa dilakukan jika aspek hukum dan keselamatan sudah tuntas.
    “Optimalisasi aset telantarnya harus
    clear and clean
    dulu. Kalau ada sengketa atau masalah struktur, itu harus diselesaikan dulu sebelum dibangkitkan kembali,” tegasnya.
    Yayat bahkan menilai, jika dibongkar dan dibangun ulang sebagai rumah susun terjangkau, lokasinya akan sangat diminati generasi muda yang membutuhkan hunian dekat transportasi publik.
    “Posisinya strategis banget. Dekat ke bandara, dekat ke Halim, dekat ke stasiun. Tapi ya, harus berani pemerintah turun tangan untuk memastikan kejelasan statusnya,” katanya.
    Menara Saidah kini hanya menjadi latar diam bagi perjalanan ribuan orang yang melintas setiap hari.
    Di bawahnya, bus TransJakarta melaju, LRT berderu di atas, dan KRL lewat di sampingnya, tanda Jakarta terus bergerak. Namun di tengah dinamika itu, satu bangunan dibiarkan membeku.
    “Kami enggak tahu siapa pemiliknya, siapa yang tanggung jawab. Pemerintah juga enggak pernah datang bahas. Jadinya kayak dibiarkan
    aja
    begitu,” ujar Wati (50), warga Cikoko Timur yang tinggal di belakang gedung sejak sebelum pembangunan.
    Bagi Wati, Menara Saidah bukan sekadar gedung kosong, melainkan simbol kota yang kehilangan arah dalam menata ruangnya.
    “Kalau enggak bisa difungsikan lagi, ya paling tidak dirapikan. Jangan dibiarkan kumuh begitu. Bikin kesan Jakarta ini kayak kota yang enggak dirawat,” katanya menutup percakapan.
    Menara Saidah, dengan segala kisah kemegahan dan kebisuannya, kini menjadi pengingat bahwa pembangunan fisik tanpa tata kelola dan kepastian hukum hanyalah ilusi kemajuan.
    Ia berdiri tegak, tapi tanpa jiwa sebuah bayangan kemegahan yang terbengkalai di tengah megaproyek Jakarta yang terus berlari.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 7
                    
                        Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi
                        Megapolitan

    7 Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi Megapolitan

    Sejarah dan Rumitnya Status Kepemilikan Menara Saidah yang Tak Kunjung Direvitalisasi
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Di antara padatnya arus kendaraan di Jalan MT Haryono, Jakarta Selatan, berdiri sebuah bangunan megah yang seolah terjebak di masa lalu.
    Pilar-pilar tinggi bergaya Korintus, patung marmer khas Italia, serta ukiran Eropa klasik kini kusam tertutup debu dan lumut.
    Gedung itu adalah
    Menara Saidah
    , ikon arsitektur era 1990-an yang kini menjelma menjadi simbol stagnasi tata kota Jakarta.
    Menara Saidah bukan sekadar gedung, melainkan monumen ambisi modernisasi Jakarta di penghujung dekade 1990-an.
    Dibangun oleh PT Hutama Karya dan rampung pada 1998, menara ini menelan biaya sekitar Rp 50 miliar.
    Awalnya bernama “Gracindo Building” dan dimiliki oleh Mooryati Soedibyo, pendiri Mustika Ratu.
    Kepemilikan gedung kemudian berpindah ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim, pemilik Merial Group.
    Putranya, Fajri Setiawan, melakukan renovasi besar-besaran dengan menambah jumlah lantai dari 18 menjadi 28 dan mengganti nama menjadi “Menara Saidah”, mengabadikan nama sang ibu.
    Dikutip dari Arsip Harian
    Kompas
    (2 September 1999), gedung ini sempat menjadi kantor berbagai instansi penting, termasuk Sekretariat Panitia Pemilu 1999 (kini KPU) dan Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia.
    Kala itu, Menara Saidah menjadi pusat aktivitas bisnis dan pemerintahan. Bahkan, acara pernikahan artis Inneke Koesherawati dan Fahmi Darmawansyah digelar di sini pada 2004.
    Namun, di balik gemerlapnya, fondasi masalah mulai muncul.
    Tahun 2007 menjadi titik balik. Satu per satu penyewa hengkang setelah beredar kabar bahwa gedung miring beberapa derajat dan berisiko roboh.
    Hingga kini, tak pernah ada pernyataan resmi dari pihak pemilik maupun Suku Dinas Pengawasan dan Penertiban Bangunan (P2B) mengenai kondisi struktur tersebut.
    Pihak pengelola PT Gamlindo Nusa membantah isu kemiringan. Mereka menegaskan bahwa pengosongan terjadi semata karena masa sewa
    tenant
    telah berakhir.
    Namun, sejak saat itu, akses ke Menara Saidah ditutup total untuk umum.
    Warga sekitar menyebut sempat ada renovasi kecil pada 2015, tetapi berhenti dua bulan kemudian. Rencana pemerintah untuk mengambil alih pada 2016 pun tak pernah terealisasi.
    Kini, Menara Saidah hanya dijaga empat satpam, dikelilingi pagar seng berkarat setinggi dua meter bertuliskan besar “
    Dilarang Masuk
    ”.
    Menurut Kartika Andam Dewi, Ketua Sub Kelompok Penggunaan Bangunan Dinas Cipta Karya, Tata Ruang, dan Pertanahan (CKTRP) DKI Jakarta, hingga kini belum ada perkembangan berarti terkait status hukum, kondisi bangunan, maupun kepemilikannya.
    “Sejauh ini belum ada
    update
    . Kalau tidak salah, satu atau dua tahun lalu sempat dibahas, tapi bukan di bawah kami. Sampai sekarang belum ada kabar terbaru lagi,” ujar Kartika kepada
    Kompas.com
    , Jumat (7/11/2025).
    Ia menjelaskan, Menara Saidah masih terdaftar sebagai bangunan swasta, bukan aset Pemprov DKI.
    Sertifikat Laik Fungsi (SLF) pun kemungkinan sudah tidak berlaku karena bangunan tidak lagi digunakan.
    “Karena tidak ada permohonan penggunaan kembali, kami belum melakukan pengecekan lapangan lagi. Pengawasan rutin dilakukan bergilir, dan Menara Saidah kemungkinan baru masuk jadwal pengecekan pada 2026,” lanjutnya.
    Artinya, hingga kini tidak ada instansi pemerintah yang aktif memantau kondisi bangunan tersebut.
    Data perizinan lama bahkan disebut telah “terkubur” dalam arsip yang belum dibuka kembali.
    Pengamat tata kota Yayat Supriatna menilai, kasus Menara Saidah mencerminkan kegagalan tata kelola aset di Jakarta.
    “Masalah utamanya bukan sekadar bangunan miring atau tidak, tapi soal kepastian hukum dan tanggung jawab pengelolaan,” katanya.
    Menurutnya, lokasi Menara Saidah yang strategis, diapit jalur LRT, KRL, dan TransJakarta, seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai simpul transit atau kawasan hunian vertikal modern.
    “Kalau direvitalisasi, bisa jadi pusat
    co-housing
    atau apartemen terjangkau bagi generasi muda yang membutuhkan akses transportasi publik,” ujarnya.
    Namun, ia menegaskan, langkah revitalisasi baru bisa dilakukan jika status kepemilikan dan kelayakan struktur bangunan telah jelas.
    “Sebelum bicara pemanfaatan, harus
    clear and clean
    dulu. Apakah ada sengketa utang, piutang, atau korporasi yang belum selesai? Karena selama itu belum dituntaskan, pemerintah juga tidak bisa masuk,” tambah Yayat.
    Penelusuran
    Kompas.com
    memperlihatkan kontras mencolok. Dari luar, Menara Saidah tampak gagah; tetapi di balik pagar seng pembatas, yang terlihat hanyalah puing, rumput liar, dan debu.
    Lobi megah dengan enam pilar besar kini lusuh, catnya pudar, dan atapnya berlumut.
    Patung-patung marmer Eropa klasik masih ada, dua bust laki-laki dan satu patung singa putih, kini tertutup debu tebal.
    Lift tak berfungsi, kabel menggantung, dan tangga menuju lantai atas lembap serta gelap.
    Menurut Juliadi (40), satpam yang menjaga sejak 2014, bangunan dijaga empat orang secara bergantian.
    “Kami jaga biar enggak ada yang masuk sembarangan. Kadang ada anak muda atau mahasiswa penasaran mau lihat ke dalam. Tapi enggak boleh, bahaya,” katanya.
    Selama 10  tahun bertugas, ia belum pernah melihat tinjauan resmi dari pemerintah.
    “Pernah dengar mau direvitalisasi, tapi enggak jadi-jadi. Pemerintah juga belum pernah datang langsung ke sini,” ujarnya.
    Di permukiman belakang menara, kehidupan berjalan biasa. Warga sudah terbiasa melihat gedung besar itu sebagai pemandangan sehari-hari, meski menyimpan rasa kecewa dan harapan.
    Siti (45), pedagang nasi uduk, bercerita bagaimana ekonomi lesu setelah gedung itu kosong.
    “Dulu waktu masih ramai, saya bisa jual dua panci nasi uduk, sekarang paling separuh,” ujarnya.
    “Sayang banget ya, bangunan segede itu nganggur. Kalau bisa dimanfaatin lagi kan enak, buat kantor pemerintah kek, atau pusat UMKM,” tambahnya.
    Puji (29), pengemudi ojek
    online
    , menilai bangunan itu membuat kawasan tampak “setengah jadi.”
    “Catnya udah pudar, kaca banyak yang retak. Padahal di seberangnya banyak gedung baru. Ini kayak simbol Jakarta yang setengah maju, setengah berantakan,” katanya.
    Tio (41), karyawan swasta, menyebut Menara Saidah sebagai “monumen kegagalan tata kota.”
    “Waktu awal 2000-an, gedung ini kebanggaan. Sekarang dibiarkan kayak bangkai. Pemerintah kayak enggak tahu harus ngapain,” ujarnya.
    Bagi Wati (60), warga lama di sekitar gedung, ketidakjelasan sudah berlangsung terlalu lama.
    “Kami enggak tahu siapa pemiliknya, siapa yang harus tanggung jawab. Pemerintah juga enggak pernah datang bahas. Jadinya kayak dibiarkan aja begitu,” katanya.
    “Kalau enggak bisa difungsikan lagi, ya paling tidak dirapikan. Jangan dibiarkan kumuh begitu, bikin kesan Jakarta ini kayak kota yang enggak dirawat,” imbuhnya.
    Menara Saidah hanyalah satu dari puluhan gedung tidur di Jakarta yang belum tersentuh kebijakan revitalisasi.
    Data Pemprov DKI pada 2024 mencatat sedikitnya 19 bangunan bertingkat tak lagi difungsikan, sebagian besar berada di koridor bisnis lama.
    Namun, Menara Saidah menonjol karena letaknya strategis dan nilai historisnya tinggi.
    Sayangnya, ketidakjelasan kepemilikan, sengketa bisnis, dan status hukum membuatnya mandek.
    “Pemerintah tidak bisa begitu saja mengambil alih karena ini milik swasta. Tapi di sisi lain, tidak ada pihak yang aktif menjaga agar tidak membahayakan,” kata Yayat Supriatna.
    Fenomena ini menyoroti lemahnya mekanisme pengawasan aset swasta yang mangkrak.
    Banyak bangunan kosong luput dari prioritas, padahal berdampak besar terhadap estetika kota dan kehidupan sosial warga.
    Kini, Menara Saidah bukan lagi menara bisnis, melainkan menara kenangan, saksi bisu laju pembangunan kota yang terus berjalan tanpa arah yang jelas. Di balik pagar sengnya, waktu seolah berhenti.
    “Kalau bisa, jangan dibiarkan terus. Sayang, gedungnya bagus. Tapi sekarang cuma jadi cerita,” ujar Siti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Top 3: Sejarah dan Cerita Horor Menara Saidah

    Top 3: Sejarah dan Cerita Horor Menara Saidah

    Menara Saidah tak henti-hentinya mencuri perhatian. Gedung yang telah lama terbengkalai dan terkenal angker ini belum lama ini kembali viral di media sosial. Sebab, dalam sebuah video yang beredar di media sosial, menampilkan tirai salah satu jendela di Menara Saidah terbuka dan tertutup. Padahal seperti diketahui, gedung ini telah lama terbengkalai dan tidak dihuni.

    Berikut rangkuman sejarah dan cerita-cerita mistis terkait Menara Saidah.

    Menara Saidah, sebuah ikon arsitektur di Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta Selatan, telah lama menjadi sorotan publik. Gedung pencakar langit yang megah ini, dibangun antara tahun 1995 hingga 1998, kini berdiri kosong dan terbengkalai sejak ditutup pada tahun 2007. Keberadaannya tidak hanya menyimpan sejarah panjang kepemilikan dan kontroversi, tetapi juga diselimuti berbagai cerita horor yang melegenda di kalangan masyarakat.

    Awalnya dikenal sebagai Menara Drassindo atau Gedung Gracindo, bangunan ini merupakan buah karya Mooryati Soedibyo sebelum beralih kepemilikan ke keluarga Saidah Abu Bakar Ibrahim. Penutupan gedung yang mendadak pada tahun 2007 memicu beragam spekulasi, mulai dari isu fondasi yang miring hingga masalah internal manajemen dan kisruh kepemilikan. Hal ini menjadikan Menara Saidah sebagai salah satu misteri perkotaan yang belum terpecahkan sepenuhnya.

    Baca artikel selengkapnya di sini

  • Guntur Romli: Tampar Soeharto dan Selidiki Korupsinya!

    Guntur Romli: Tampar Soeharto dan Selidiki Korupsinya!

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Jubir PDIP sekaligus Aktivis Nahdatul Ulama (NU), Guntur Romli dalam unggahannya membahas sejarah kelam bangsa Indonesia berkaitan dengan G30S PKI.

    Gun Romli mengutip salah satu berita yang dijadikannya sebagai rujukan untuk membahas kasus ini.

    Dia secara spesifik membahas dugaan korupsi yang dilakukan Presiden ke-2 RI, Soeharto.

    Sebelum menjabat sebagai Presiden, Soeharto merupakan elite TNI. Tahun 1958 Soeharto adalah Panglima Tentara Teritorial Diponegoro (sekarang Pangdam Diponegoro) pangkat Kolonel.

    Saat meniabat Soeharto diterpa isu soal dugaan korupsi gula, penyeludupan beras hingga penyeludupan truk-truk tentara.

    “Tampar Soeharto dan Selidiki Korupsi Soeharto, 5 dari 7 Jenderal Menjadi Korban G30S, Siapa Saja? Sekitar tahun 1958, Soeharto kala itu menjabat sebagai Panglima Tentara Teritorial Diponegoro (sekarang Pangdam Diponegoro) dgn pangkat Kolonel dan diterpa isu korupsi gula.Saat itu, Soeharto dituduh korupsi beras, gula hingga penyelundupan 200 truk,”

    tulisnya dikutip Jumat (7/11/2025).

    Dia melanjutkan menurut penelusurannya, Soeharto dibantu oleh anak buahnua dengan menjalin kerja sama dengan pengusaha Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.

    “Saat itu, Soeharto dituduh korupsi beras, gula hingga penyelundupan 200 truk truk tentara yang dibantu beberapa anak buahnya dan bekerjasama dengan pengusaha Bob Hasan dan Liem Sioe Liong.,” sambungnya.

    Kasus ini sempat diselidiki dan diperiksa oleh Inspeksi Angkatan Darat dipimpin Mayjen Soeprapto dgn anggota Mayjen MT Haryono, Mayjen S.Parman dan Mayjen Sutoyo Siswomihardjo.

  • Macet Parah di Jakarta Semalam Bikin Pengendara Terjebak Berjam-jam

    Macet Parah di Jakarta Semalam Bikin Pengendara Terjebak Berjam-jam

    Jakarta

    Semalam, hampir semua jalanan di Jakarta macet usai hujan mengguyur. Kondisi ini membuat pengendara terjebak macet berjam-jam lamanya.

    Kemacetan makin parah pada saat jam pulang kerja, Kamis (30/10/2025). Pada pukul 18.32 WIB, kemacetan terjadi di Jalan MT Haryono, Cawang, arah Pancoran, Jakarta Selatan. Kendaraan mengular di sekitar Stasiun LRT Cikoko dekat Stasiun Cawang.

    Kemacetan juga terjadi di Jalan Gatot Subroto Pancoran arah Kuningan. Kendaraan roda dua dan empat mengular di lokasi.

    Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Komarudin mengatakan titik-titik kemacetan terjadi di hampir seluruh ruas jalan Jakarta. Dia menyebut kemacetan cukup parah terjadi di Jalan Kemang Raya.

    “Malam ini macet hampir di semua ruas jalan, terutama di wilayah selatan ya cukup parah Kemang,” kata Komarudin kepada wartawan, Kamis (30/10).

    Komarudin mengatakan lalu lintas di Kemang macet parah karena sempat banjir setinggi hampir satu meter. Kemacetan juga terjadi di Jalan Bangka yang kemudian sudah terurai.

    “Karena Kemang Raya itu banjir satu meter ketinggian satu meter tampaknya sampai ke Kemang Raya termasuk terdampak ke Bangka tapi Bangka sudah terurai kita tutup jalannya sementara waktu,” ujarnya.

    Banjir di Jalan Kemang Raya, Jakarta Selatan (Jaksel), Kamis (30/10). (Devi/detikcom)

    Kemacetan juga terjadi di Jalan Prapanca hingga Antasari. Pihak kepolisian tengah mengurai kemacetan.

    “Kemudian dampak yang dari Prapanca ini nyambung sampai ke Antasari. Jadi wilayah yang cukup parah wilayah selatan, untuk wilayah lain relatif padat namun bisa kita alirkan pelan-pelan karena peningkatan volume,” ungkapnya.

    Komarudin mengatakan kemacetan di hampir semua ruas jalan di Jakarta ini karena adanya genangan imbas hujan deras yang mengguyur Jakarta. Pihaknya telah menempatkan personel di lokasi-lokasi macet.

    “Pelambatan atau kepadatan terjadi karena genangan di beberapa ruas jalan, di kisaran nggak terlalu tinggi cukup menghambat karena genangan sebagian besar memperlambat kecepatannya. Saat ini seluruh simpul kita tempatkan anggota untuk melakukan penguraian,” ungkapnya.

    Macet di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Kamis (30/10). (Foto: dok Istimewa)

    Pengendara Terjebak Berjam-jam di Jalan

    Macet membuat pengendara terjebak berjam-jam di jalan. Seorang pemotor sampai menghabiskan waktu 2,5 jam dari Senayan menuju Pasar Minggu.

    Syahrul Kurniawan berbagi cerita soal perjalanan pulang pada sore kemarin. Waktu perjalanan pulangnya menjadi begitu panjang karena sejumlah jalan tergenang banjir.

    “Gara-gara banjir, saya baru banget sampe ini, masih capek 2,5 jam dari Senayan ke Pasming (Pasar Minggu),” kata Syahrul saat dihubungi.

    Dalam perjalanan pulang dari Senayan menuju Pasar Minggu, Syahrul menemui sejumlah titik kemacetan. Dia harus melalui jalan macet dari kawasan Blok M hingga Kemang.

    “Titik sumber macetnya di Kemang. Macetnya dari M-Bloc depan Kejagung sampe Kemang. Apalagi perempatan Antasari itu yang bikin lebih parah, lampu merah pada nggak ada yang mau ngalah,” ungkapnya.

    Begitu di Jalan Pangeran Antasari, Syahrul memilih untuk beristirahat sejenak. Di sana, juga ada sejumlah pemotor yang berhenti.

    Dia mengaku, jika kondisi normal, perjalanan Senayan menuju Pasar Minggu hanya seperlima waktu perjalanan dibanding sore ini.

    “(Hanya) 30 menit sampai kalau normal mah. Capek juga sih, makanya banyak juga kan tuh yang istirahat, Antasari menjadi rest area dadakan,” ujarnya.

    Kemacetan terjadi di banyak ruas jalan di Jakarta akibat genangan usai hujan deras. Seorang pemotor menempuh 2,5 jam dari Senayan menuju Pasar Minggu, Jaksel. (dok Pribadi/IG @syahrulkrnwn).

    PIM-Mampang Butuh Waktu 4 Jam

    Seorang pengendara sepeda motor, Dandy, ikut terjebak kemacetan. Dandy mengatakan kemacetan membuat jarak tempuh dari kawasan Pondok Indah Mall (PIM) ke Mampang, Jakarta Selatan, menjadi 4 jam.

    “Kurang lebih 4 jam. Saya dari PIM jam 6 sore, ini baru sampai rumah,” kata Dandy saat dihubungi pukul 21.59 WIB, kemarin.

    Dandy terjebak macet di Jalan Radio Dalam, Jalan Panglima Polim, hingga Jalan Pangeran Antasari. Berdasarkan foto yang diberikan Dandy, tampak jalanan padat merayap.

    “Macet di Radio Dalam, Stasiun Cipete kalau nggak salah arah ke Panglima Polim sampai ke Antasari,” tutur dia.

    Macet di Jakarta, Kamis (30/10). (Foto: dok. Istimewa/foto dari narsum Dandy)

    Kondisi kemacetan diperparah karena jalan terendam banjir. Bahkan, Dandy terpaksa memutar rute karena Jalan Kemang Raya tak bisa dilintasi akibat banjir.

    “Iya karena ada banjir. Seharusnya saya bisa lewat Kemang Raya kalau nggak banjir. Saya jadi muter lewat Jeruk Purut itu pun masih kena macet juga,” tutur dia.

    Biasanya, jarak tempuh dari PIM hingga Mampang, hanya ditempuh Dandy sekitar 30 menit. Namun, malam ini jarak tempuh hingga 4 jam.

    “Saya biasanya ya kalau hujan biasa cuman 30 menit itu pun naik motornya jalan santai ya. Malam ini rekor saya dari PIM sampai Mampang bisa 4 jam, kayak Jakarta-Bogor aja itu mah,” ucapnya.

    Jarak Tempuh GBK-Halim 2 Jam

    Pengendara lainnya juga terjebak macet di Jalan Gatot Subroto, Jaksel. Jarak tempuh yang dilalui dari Gelora Bung Karno (GBK) di wilayah Halim, Jakarta Timur memakan waktu 2 jam. Cerita tersebut dibagikan oleh pemotor bernama Ferrys.

    “Luar biasa Semanggi-Halim dua jam,” kata Ferrys dalam unggahan Instragramnya.

    Saat dihubungi, Ferrys mengatakan bahwa dirinya berkendara dari GBK ke Halim. Begitu masuk ke Jalan Gatot Subroto di Semanggi, dia langsung terjebak macet.

    “Dari GBK saya keluar ke arah Gatsu full sampai sekitaran bandara Halim, di GBK itu juga macet karena ada penukaran tiket apa gitu saya nggak tau, kayak ada event lari kayaknya,” kata Ferrys saat dihubungi.

    Macet di Jakarta Kamis (30/10/2025) (Foto: dok. Istimewa/foto diberikan narsum Ferrys)

    Di Jalan Gatot Subroto, Ferrys melihat ada truk mogok. Dia menyebut polisi juga melakukan rekayasa lalu lintas bagi kendaraan dari Jalan Jenderal Sudirman ke Gatsu.

    “Nah sepanjang Gatsu nemuin truk mogok 1, terus ternyata dari Sudirman yang mau keluar Jalan Gatsu itu sistem buka tutup sama Polantas,” kata dia.

    Ferry menyebut sempat terjadi kecelakaan di Semanggi. Kondisi ini membuat kemacetan tambah parah.

    “Ada senggolan mobil di depan GT Semanggi, taksi sama mobil Panther, bikin macet juga, ampun,” katanya.

    Lalu lintas di Kuningan arah Mampang juga terlihat macet. Kemacetan, kata Ferrys, terjadi karena adanya genangan.

    “Kuningan macet kemungkinan arah Mampang sama Kemang, ada genangan belum surut itu titik macetnya luar biasa. Betul baru rasain beneran,” jelasnya.

    Lalu lintas di Jalan Gatsu selepas flyover Kuningan, kata Ferry, sempat lancar. Kemudian macet lagi menjelang flyover Pancoran.

    “Terus sendat sedikit lagi di Pancoran arah Tebet sama Pasar Minggu, parah pisan,” tutur dia.

    Ferrys biasanya menempuh jarak GBK ke Halim hanya 45 menit hingga 1 jam. Kali ini, kata dia, terjadi kemacetan parah.

    “Bisanya 45 menit, hari Sabtu-Minggu jalanan lancar, macet biasa hari biasa 1 jaman lah. Ini motoran, nggak tahu dah yang pakai mobil pada pulang jam berapa itu,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 4

    (lir/zap)

  • Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus buka posko tangani keluhan konsumen

    Pertamina Patra Niaga Jatimbalinus buka posko tangani keluhan konsumen

    Sebagai bentuk keterbukaan layanan publik, Pertamina menyediakan tiga titik posko untuk melayani keluhan dan pelaporan masyarakat

    Tuban, Jawa Timur (ANTARA) – PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Timur, Bali dan Nusa Tenggara (Jatimbalinus) mendirikan posko pengaduan untuk menangani keluhan konsumen yang mengalami kendala mesin setelah mengisi bahan bakar minyak (BBM) di beberapa SPBU wilayah Kabupaten Tuban, Jawa Timur.

    “Sebagai bentuk keterbukaan layanan publik, Pertamina saat ini menyediakan tiga titik posko untuk melayani keluhan dan pelaporan masyarakat,” kata Area Manager Communication, Relations & CSR Pertamina Patra Niaga Regional Jatimbalinus Ahad Rahedi di Tuban, Jawa Timur, Selasa.

    Ahad menyebutkan tiga posko tersebut berada di Kabupaten Bojonegoro SPBU 5462101 Jalan MT Haryono Kelurahan Jetak, dan di SPBU 5462106 Jalan Sawunggaling Kelurahan Ngrowo.

    Sedangkan di Kabupaten Tuban terdapat di SPBU 5462305, Gang Buntu Nomor 10, Wire, Gedongombo Kecamatan Semanding.

    “Namun untuk wilayah terdampak lainnya di luar lokasi posko tersebut dapat menghubungi SPBU terakhir pembelian BBM,” ujarnya.

    Menurut dia, Pertamina Patra Niaga mendirikan posko bermula dari adanya aduan dari konsumen mengenai penggunaan BBM produk Pertalite yang terindikasi menimbulkan gangguan pada mesin kendaraan bermotor pada Sabtu (25/10).

    Setelah adanya aduan konsumen, Pertamina Patra Niaga menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan laboratorium lanjutan terhadap produk Pertalite yang berasal dari Fuel Terminal Tuban untuk memastikan kualitas dan kesesuaian spesifikasi produk.

    Padahal seluruh proses distribusi BBM, lanjut Ahad, telah dilaksanakan sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP) yang berlaku, termasuk pemeriksaan mutu produk melalui pengujian laboratorium sebelum disalurkan kepada masyarakat.

    “Prioritas utama kami adalah menjamin keamanan suplai dan mutu produk BBM yang diterima masyarakat sesuai dengan regulasi yang berlaku, setiap tahapan distribusi dilakukan berdasarkan standar yang telah ditetapkan untuk memastikan kualitas produk tetap terjaga,” katanya.

    Pertamina juga memastikan bahwa pasokan BBM ke seluruh SPBU tetap berjalan lancar sehingga kebutuhan energi masyarakat tidak terganggu dan mengimbau kepada masyarakat untuk menggunakan BBM secara bijak.

    “Pertamina memastikan seluruh produk yang disalurkan telah melalui proses pengawasan ketat, mulai dari terminal pengirim hingga lembaga penyalur resmi, sebagai wujud komitmen kami dalam menghadirkan produk yang aman dan berkualitas bagi masyarakat,” katanya.

    Pewarta: Astrid Faidlatul Habibah/Muhammad Yazid
    Editor: Agus Salim
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.