Tag: Mohammad Faisal

  • Ekonom Soroti Tantangan 100 Hari Pemerintahan Prabowo: Sinkronisasi hingga Pembiayaan

    Ekonom Soroti Tantangan 100 Hari Pemerintahan Prabowo: Sinkronisasi hingga Pembiayaan

    Jakarta, Beritasatu.com – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengungkapkan sejumlah tantangan yang dihadapi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dalam 100 hari pertama. Menurut Faisal, program-program unggulan pemerintah belum sepenuhnya berjalan secara optimal.

    Dia menjelaskan salah satu tantangan utama adalah sinkronisasi antarkementerian yang belum optimal. Selain itu, masalah pembiayaan untuk sejumlah program unggulan juga dinilai masih terbatas.

    “Belum banyak program unggulan yang berjalan nyata dalam 100 hari pertama. Sinkronisasi kebijakan antarkementerian perlu ditingkatkan, begitu juga dengan rencana pembiayaan program-program,” ujar Faisal kepada Beritasatu.com, Senin (27/1/2025).

    Faisal menyoroti program pembangunan 3 juta rumah untuk masyarakat yang belum optimal. Pemerintah masih menghadapi kendala dalam menemukan lahan dan sumber pembiayaan untuk proyek tersebut.

    “Jumlah kementerian yang banyak menjadi tantangan dalam menyelaraskan kebijakan. Namun, ini wajar karena konsolidasi membutuhkan waktu,” tambahnya.

    Keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) menjadi bukti nyata tantangan pembiayaan pada 100 hari pemerintahan. Presiden Prabowo berencana melakukan penghematan APBN sebesar Rp 306 triliun.

    Penghematan tersebut, meliputi belanja operasional perkantoran, pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, pengadaan peralatan dan mesin.

    “Pemerintah ingin bergerak cepat, tetapi keterbatasan APBN menjadi kendala. Pemangkasan anggaran ini tentu berdampak pada pelaksanaan program-program,” kata Faisal.

    Faisal memuji program makan bergizi gratis (MBG) yang dinilai berjalan cukup baik. Hal ini karena program tersebut telah dipersiapkan sejak lama melalui uji coba pada 2024.

    Selain MBG, pemerintah menargetkan beberapa program strategis, seperti swasembada pangan, swasembada energi, dan hilirisasi sumber daya alam untuk meningkatkan nilai tambah.

    Namun, Faisal menilai pemerintah perlu mengevaluasi dan merumuskan strategi yang lebih matang untuk merealisasikan target-target tersebut.

    “Pada 2025 adalah tahun yang krusial untuk menentukan kesuksesan lima tahun ke depan. Oleh karena itu, pekerjaan rumah pemerintah masih sangat banyak,” pungkas Faisal terkait tantangan 100 hari Presiden Prabowo.

  • AS Tarik Diri dari Perjanjian Iklim Paris, Pendanaan Transisi Energi RI Terancam!

    AS Tarik Diri dari Perjanjian Iklim Paris, Pendanaan Transisi Energi RI Terancam!

    Jakarta

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai keputusan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menarik AS keluar dari perjanjian iklim Paris menjadi ancaman serius bagi berjalannya komitmen pendanaan transisi energi Indonesia, salah satunya melalui Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia.

    JETP adalah gabungan pendanaan yang dimobilisasi oleh negara-negara maju dalam rangka mendukung transisi energi di Indonesia. Kerja sama JETP terjalin antara Indonesia dengan International Partners Group (IPG) yang terdiri dari Jepang, AS, Kanada, Denmark, Uni Eropa, Jerman, Prancis, Norwegia, Italia, Britania Raya, dan Irlandia Utara.

    “Dampak dari Donald Trump keluar dari perjanjian Paris ini cukup signifikan karena yang jelas ini menjadi ancaman serius bagi berjalannya komitmen pendanaan transisi energi Indonesia salah satunya melalui JETP,” kata Bhima kepada detikcom, Selasa (21/1/2025).

    Dengan keluarnya AS dari perjanjian Iklim, Bhima menyebut JETP terancam dibubarkan atau tidak akan berjalan mulus. Hal itu membuat Indonesia terancam kehilangan pendonor paling besar dalam membiayai proyek untuk dukung transisi energi.

    “JETP terancam akan dibubarkan atau tidak akan berjalan mulus karena AS sebagai leading dari JETP keluar dari perjanjian Paris. Kalau JETP tidak berjalan, ya bisa jadi Indonesia akan kehilangan salah satu pinjaman atau donor paling besar di bidang transisi energi yang ini juga akan mengancam proyek-proyek yang tengah berjalan atau tengah didanai oleh AS,” ucapnya.

    Menurut Bhima, Indonesia harus mencari partner untuk mendorong kerja sama transisi energi sebagai mitigasi keluarnya AS dari perjanjian Paris. Salah satu yang dinilai potensial adalah dengan negara Timur Tengah.

    “Karena Timur Tengah adalah salah satu partner paling potensial dan Timur Tengah juga telah terbukti membantu pembangunan PLTS di Waduk Cirata yang skalanya juga cukup besar dan akan diekspansi. Jadi mencari partner baru antara AS dengan China itu juga menjadi hal yang mendesak dan Timur Tengah menjadi salah satu opsinya,” imbuhnya.

    Serupa, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menambahkan bahwa keluarnya AS dari perjanjian iklim Paris akan membuat negara-negara lebih susah untuk mencapai target menuju energi bersih. Keputusan AS disebut bisa membuat negara lain ikutan.

    “Negara semaju AS saja tidak mengindahkan emisi gas rumah kaca, penggunaan energi yang lebih sustainable, yang lebih green, apa lagi negara-negara berkembang yang punya keterbatasan dari sisi anggaran, funding, teknologi. Ini bisa menjadi preseden buruk karena akan diikuti, menjadi contoh karena kalau negara maju saja tidak mengindahkan, kenapa harus negara berkembang menaati perjanjian iklim,” tutur Faisal.

    Menurut Faisal, kapasitas negara berkembang untuk memenuhi target-target penurunan emisi gas rumah kaca tidak sebesar negara-negara maju. Dengan demikian keluarnya AS dari perjanjian iklim Paris akan membuat target transisi energi baru terbarukan menjadi lebih susah dicapai.

    “Secara global tentu saja target penurunan gas rumah kaca dan target untuk meredam peningkatan suhu global itu juga menjadi lebih susah karena AS salah satu penghasil emisi terbesar karena negara besar, di samping negara-negara besar lain seperti China. Dengan demikian upaya transisi ke energi baru terbarukan menjadi lebih susah,” imbuhnya.

    Sebagai informasi, Perjanjian Paris adalah perjanjian internasional yang mengikat secara hukum mengenai perubahan iklim yang disepakati pada COP21 di Paris, Perancis, 12 Desember 2015. Tujuan utamanya untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 2,7 derajat Fahrenheit (batas 1,5 derajat Celsius) di atas tingkat pra-industri.

    (kil/kil)

  • IMF Soroti Ekonomi Indonesia Tumbuh Cemerlang dalam 2 Dekade, Ekonom: Masih Banyak PR

    IMF Soroti Ekonomi Indonesia Tumbuh Cemerlang dalam 2 Dekade, Ekonom: Masih Banyak PR

    Bisnis.com, JAKARTA — International Monetary Fund atau IMF menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia telah mengalami tranformasi yang luar biasa dalam dua dekade terakhir.

    Hal tersebut tercermin dari produk domestik bruto (PDB) 2023 yang meningkat empat kali lipat menjadi US$1,4 triliun. 

    IMF menyampaikan bahwa kenaikan PDB tersebut diiringi dengan jumlah penduduk yang hidup dengan pendapatan kurang dari US$2,15 per hari telah menurun sepuluh kali lipat, menjadi kurang dari 2%. 

    “Di Jakarta, pendapatan rata-rata hampir sama dengan Polandia dan tidak jauh berbeda dengan Portugal,” tulisnya dalam unggahan di akun resmi @the_imf, dikutip pada Senin (30/12/2024).  

    Sementara mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia 2023 yang diukur berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp20.892,4 triliun. PDB per kapita tercatat mencapai Rp75 juta atau US$4.919,7. 

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal tak menampik bahwa indikator ekonomi Indonesia memang telah bertumbuh empat kali lipat. Namun perlu juga melihat dari sisi distribusi PDB dan struktur PDB per kapita. 

    Menurutnya, kesenjangan masih sangat terlihat dari kelompok atas dan bawah maupun kesenjangan antarwilayah.  

    “Jadi walaupun PDB naik empat kali lipat, tapi ini lebih banyak digerakkan oleh kelompok atas atau sektor tertentu atau digerakkan oleh fluktuasi harga komoditas,” ujarnya, Senin (30/12/2024).  

    Faisal memandang pemerintah tidak boleh berbangga diri karena masih banyak tugas alias pekerjaan rumah (PR) untuk memperbaiki ekonomi Tanah Air. Di mana bukan hanya tumbuh lebih tinggi sebagaimana cita-cita Presiden Prabowo Subianto, namun juga lebih adil.  

    Utamanya menjadi PR bagi pemerintah untuk membuat pertumbuhan yang merata dan tidak terkonsentrasi hanya di pusat atau satu kelompok saja.  

    Belum lagi masalah kelompok menengah yang turun kelas akibat ketidakmampuan untuk berkonsumsi dan penurunan daya beli menjadi penghambat ekonomi tidak dapat tumbuh lebih cepat dan stagnan di 5%. 

    Faisal menilai walaupun sudah tumbuh empat kali lipat, itu pun masih kalah cepat dengan negara setara yang lain.  

    Sementara masalah distribusi pendapatan, banyak hal yang masih menjadi permasalahan sampai sekarang, baik dari rasio gini (tingkat ketimpangan), struktur kekayaan, hingga perbedaan kepemilikan aset.  

    Disamping pemerintah berusaha mencari sumber pertumbuhan ekonomi baru, pertumbuhan produksi masih lambat dari konsumsi. Tercermin dari komposisi konsumsi yang paling tinggi terhadap PDB.  

    Untuk 2024, pemerintah berharap ekonomi mampu tetap tumbuh di atas 5% dan mencapai 5,2% pada 2025. 

  • Pengembangan Pembangkit EBT Bisa Percepat Pertumbuhan Ekonomi Nasional – Page 3

    Pengembangan Pembangkit EBT Bisa Percepat Pertumbuhan Ekonomi Nasional – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bisa menjadi faktor pendukung dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu pemerintah harus mengambil tindakan untuk bisa mempercepat terjadinya penambahan kapasitas energi hijau yang masih melimpah di Indonesia.

    Hal ini menjadi salah satu pandangan yang mengemuka pada diskusi bertajuk “Energi Baru & Terbarukan: Pendorong atau Penghambat Pertumbuhan Ekonomi?” yang digelar oleh Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia di Jakarta.

    Dalam diskusi ini tampil sebagai pembicara adalah Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal; Strategic and Operation Team Green Business of IDSurvey, Risky Aulia Ulfa; dan Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Sekjen Himpi) sekaligus Tenaga Ahli Menteri ESDM, Anggawira.

    Faisal mengatakan kehadiran pembangkit EBT sangat diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto.

    Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang stabil tersebut, Indonesia memerlukan energi yang cukup dan stabil pertumbuhannya setiap tahun.

    “Energi fosil yang menopang pembangkit di Indonesia tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan peningkatan pembangkit EBT,” katanya.

    Berdasarkan perhitungan dengan metode konservatif yang dilakukan CORE Indonesia, Faisal mengatakan, ketersediaan bahan bakar fosil ini diprediksi akan segera habis.

    Ia menyebut ketersediaan batu bara di Indonesia ini akan habis dalam 28 tahun ke depan. Lalu minyak bumi dan gas, masing-masing ketersediaannya hanya mampu bertahan hingga 21 tahun serta 19 tahun ke depan saja.

    “Sementara jika menggunakan skenario agresif, bahan bakar fosil akan habis sebelum 20 tahun. Kondisi ini tentunya tidak akan mampu dalam menopang kebutuhan energi menuju Indonesia Emas 2045,” ujarnya.

    Kondisi tersebut, Faisal menilai pengembangan pembangkit EBT itu menjadi sangat penting buat Indonesia demi mencapai target menjadi negara maju pada 2045. Sayangnya, ia melihat, proses transisi energi di Indonesia masih belum banyak memberikan percepatan.

  • Ekonom Usul Anggaran Makan Bergizi Gratis Tak Dipukul Rata Rp 10.000 di Semua Daerah

    Ekonom Usul Anggaran Makan Bergizi Gratis Tak Dipukul Rata Rp 10.000 di Semua Daerah

    Jakarta, Beritasatu.com– Anggaran program makan bergizi gratis dipangkas dari semula Rp 15.000 menjadi Rp 10.000 per porsi per orang. Pemerintah dinilai tak boleh memukul rata biaya produksi makanan dan perlu mempertimbangkan variasi biaya hidup di setiap daerah.

    Ekonom senior sekaligus Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyampaikan, anggaran Rp 10.000 per porsi sangat minim, apalagi jika diterapkan di daerah dengan biaya produksi dan biaya hidup tinggi.

    “Nilai Rp 10.000 itu sudah tipis banget untuk makan bergizi gratis. Apalagi kalau mempertimbangkan variasi biaya hidup antardaerah. Di luar Jawa terutama, rata-rata lebih mahal dibandingkan di Jawa,” ungkap Faisal, saat ditemui di kantor Core Indonesia, Jakarta, Kamis (19/12/2024).

    Menurut Faisal, langkah pemerintah memangkas anggaran makan bergizi gratis demi menjaring sebanyak-banyaknya penerima manfaat adalah keputusan kurang tepat. 

    “Kita lihat dari UMR (upah minimum regional) saja, UMR itu kan jauh banget bedanya. Antara Jawa Tengah sama Jawa Barat itu saja bisa jauh banget. Nah itu titik hal yang perlu diperhatikan. Jadi jangan one size fits all. Jangan Rp 10.000 untuk seluruh daerah,” tambahnya.

    Faisal khawatir, minimnya anggaran makan bergizi gratis tersebut dapat mengurangi kualitas makanan dan pilihan menu. “Artinya, jika diterapkan di daerah-daerah yang biaya produksinya mahal, bisa menurunkan mutu makanannya,” kata dia.

    Faisal menilai, kualitas dan pilihan menu makanan yang tidak sesuai dapat berujung pada timbulnya masalah baru, yakni food waste. Apalagi, makan bergizi gratis ini menyasar anak-anak dan ibu hamil yang kerap memiliki preferensi menu tertentu.

    “Jadi banyak juga kasus makanan yang sudah dikasihkan saat pilot project (makan bergizi gratis) itu terbuang, karena terima menunya bukan dari preferensi mereka,” tuturnya.

  • Yang perlu diketahui publik soal kenaikan PPN 12 persen

    Yang perlu diketahui publik soal kenaikan PPN 12 persen

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (tengah) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (ketiga kanan), Menteri Perindustrian Agus Gumiwang (kedua kanan), Menteri UMKM Maman Abdurrahman (kanan), Menteri Perdagangan Budi Santoso (kedua kiri), Menteri Ketenagakerjaan Yassierli (kiri), dan Menteri Perumahan dan Kawasan Pemukiman Maruarar Sirait (ketiga kiri) berpegangan tangan usai konferensi pers di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12/2024). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha

    Yang perlu diketahui publik soal kenaikan PPN 12 persen
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Kamis, 19 Desember 2024 – 07:38 WIB

    Elshinta.com – Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen resmi dilanjutkan oleh Pemerintah. Tarif ini bakal berlaku mulai 1 Januari 2025.

    Bersamaan dengan itu, Pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut paket stimulus itu dirancang sekomprehensif mungkin untuk bisa memberikan keseimbangan antara data perekonomian dengan masukan dari berbagai pihak.

    Namun, reaksi publik menyangsikan keputusan Pemerintah yang dianggap makin menekan kemampuan ekonomi rakyat. Publik masih belum berhenti meminta Pemerintah untuk membatalkan kebijakan PPN 12 persen.

    Penjelasan PPN 12 persen

    Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, utamanya menyasar kelompok barang mewah.

    Dari konferensi pers Senin (16/12), Pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen, namun dengan fasilitas pembebasan terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas.

    Barang dan jasa kebutuhan pokok yang dimaksud dalam definisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), adalah barang dan jasa kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, di antaranya beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

    Untuk jasa, mencakup jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja. Buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum pun termasuk yang mendapat fasilitas pembebasan PPN.

    Sementara itu, terdapat tiga komoditas yang seharusnya termasuk dalam objek pajak PPN 12 persen, tetapi kenaikan tarif 1 persen ditanggung oleh Pemerintah karena dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum. Ketiga komoditas itu  adalah tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat atau MinyaKita.

    Di luar dua kelompok itu, tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12 persen.

    Terkait barang mewah, Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen.

    Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada ketentuan pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non-kendaraan bermotor.

    Untuk non-kendaraan bermotor, rinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.

    Adapun dalam konteks PPN 12 persen, Pemerintah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu — atau yang disebut oleh Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.

    Mengacu pada definisi di UU HPP, kelompok-kelompok tersebut seharusnya mendapat fasilitas pembebasan PPN. Namun, karena sifatnya yang premium, Pemerintah bakal menarik PPN 12 persen terhadap barang dan jasa tersebut.

    Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan yang dikenakan tarif PPN 12 persen. Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas yang dibebaskan dari PPN, tetapi salmon dan tuna yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelompok atas bakal diterapkan tarif 12 persen.

    Adapun untuk jasa pendidikan, yang termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, layanan VIP menjadi contoh jasa yang dianggap premium.

    Listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA juga akan dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12 persen.

    Untuk detail lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang menjadi objek pajak PPN 12 persen maupun yang diberikan insentif akan dituangkan dalam peraturan yang diterbitkan belakangan, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah.

    Paket stimulus ekonomi

    Paket stimulus disiapkan untuk meredam efek kenaikan tarif PPN.

    Untuk merespons risiko daya beli masyarakat, Pemerintah menyediakan tiga stimulus untuk mendukung rumah tangga,  yakni bantuan beras sebanyak 10 kilogram per bulan yang akan dibagikan pada Januari dan Februari 2025, PPN DTP untuk tiga komoditas, dan diskon sebesar 50 persen untuk listrik di bawah 2.200 VA.

    Untuk memitigasi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), Pemerintah memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap nilai manfaat dan masa klaim. Besarannya diubah menjadi 60 persen untuk enam bulan masa penerimaan manfaat (dari sebelumnya 45 persen pada tiga bulan pertama dan 25 persen pada tiga bulan berikutnya) dengan masa klaim diperpanjang menjadi enam bulan setelah terkena PHK.

    Program JKP juga menyediakan akses informasi pasar kerja serta pelatihan keterampilan untuk membantu peserta program mendapatkan pekerjaan baru.

    Untuk risiko kerentanan pengusaha, disiapkan stimulus untuk UMKM, yakni perpanjangan insentif PPh final sebesar 0,5 persen bagi pengusaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun.

    Paket stimulus ekonomi berikutnya menyasar industri padat karya. Terdapat insentif PPh 21 DTP bagi pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan, bantuan pembiayaan dengan subsidi bunga 5 persen, serta bantuan jaminan kecelakaan kerja sebesar 50 persen selama 6 bulan.

    Pemerintah juga menyiapkan insentif untuk pembelian kendaraan listrik dan hibrida berupa PPN dan PPnBM, dengan rincian PPN DTP sebesar 10 persen untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) completely knocked down (CKD), PPnBM DTP 15 persen untuk KBLBB impor completely built up (CBU) dan CKD, serta bea masuk 0 persen untuk KBLBB CBU. Juga, PPnBM DTP sebesar 3 persen untuk kendaraan bermotor hibrida.

    Terakhir, paket stimulus menyasar sektor properti, dengan memperpanjang insentif PPN DTP untuk rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar. PPN yang ditanggung maksimal untuk harga Rp2 miliar, dengan rincian diskon 100 persen untuk Januari-Juni 2025 dan 50 persen untuk Juli-Desember 2025.

    Dampak terhadap ekonomi

    Salah satu dampak yang disorot dari kebijakan tarif PPN 12 persen adalah potensi inflasi yang tinggi pada tahun depan. Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025 bisa meningkatkan inflasi hingga ke level 4,11 persen. Sebagai catatan, inflasi per November 2024 tercatat sebesar 1,55 persen (year-on-year/yoy).

    Celios juga menghitung kenaikan PPN bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.

    Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menyebut dampak PPN 12 persen terhadap inflasi tak terlalu signifikan. Berdasarkan proyeksi Deputi Gubernur BI Aida S Budiman, efek PPN terhadap inflasi berkisar 0,2 persen.

    Dari sisi Pemerintah, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menyebut risiko kenaikan inflasi itu telah diantisipasi, yang terefleksi pada kehadiran paket stimulus bantuan pangan dan diskon listrik 50 persen pada Januari-Februari 2025. Insentif diberikan selama dua bulan untuk menjaga tingkat inflasi pada kuartal I, yang diyakini berperan penting dalam menentukan tingkat inflasi sepanjang tahun.

    Namun, efektivitas dari paket stimulus yang disiapkan Pemerintah banyak dipertanyakan. Salah satu komentar datang dari Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede yang menyebut keuntungan stimulus bersifat jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, perlu ada evaluasi lebih lanjut oleh Pemerintah.

    Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan bahwa pemberian berbagai insentif tidak cukup untuk mengurangi dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Pasalnya, kinerja permintaan maupun industri sudah terlanjur melemah. Meski ada insentif untuk industri padat karya, misalnya, industri ini sudah telanjur terpuruk, seperti yang terlihat pada industri tekstil dan industri alas kaki.

    Di sisi lain, juga ada sejumlah optimisme terhadap kebijakan tarif PPN 12 persen.

    Contohnya, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang menilai paket stimulus bersifat inklusif dalam memitigasi dampak kenaikan tarif PPN. Tetapi, dia turut mewanti-wanti soal terbatasnya durasi dan jangkauan tiap insentif.

    Kemudian, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendapat insentif diskon listrik dapat membantu meringankan beban biaya hidup, terutama bagi keluarga dengan penghasilan terbatas yang sebagian besar bergantung pada tarif listrik bersubsidi. Dia meminta Pemerintah memastikan pemberian diskon tarif listrik pada awal tahun depan agar tepat sasaran.

    Selain itu, ia juga mendorong Pemerintah melakukan evaluasi secara hati-hati agar efek kebijakan tidak hanya bersifat sementara, tetapi berdampak besar pada pola konsumsi jangka panjang.

    Bila hasil evaluasi menunjukkan dampak positif terhadap peningkatan konsumsi masyarakat, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk melanjutkan stimulus tersebut.

    Secara keseluruhan, paket stimulus Pemerintah dinilai bersifat temporer. Terlebih, rata-rata insentif merupakan perpanjangan atau penguatan dari kebijakan yang telah ada sebelumnya.

    Direktur Celios Bhima Yudhistira menyerukan agar Pemerintah mengkaji alternatif kebijakan tarif PPN. Menurutnya, memperluas basis pajak, penerapan pajak kekayaan, dan memberantas celah penghindaran pajak, lebih efektif meningkatkan penerimaan negara tanpa perlu membebani masyarakat.

    Sumber : Antara

  • PPN 12 persen, paket stimulus dan dampak terhadap ekonomi

    PPN 12 persen, paket stimulus dan dampak terhadap ekonomi

    Jakarta (ANTARA) – Rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen resmi dilanjutkan oleh Pemerintah. Tarif ini bakal berlaku mulai 1 Januari 2025.

    Bersamaan dengan itu, Pemerintah menyiapkan paket stimulus ekonomi yang menyasar enam aspek, yakni rumah tangga, pekerja, UMKM, industri padat karya, mobil listrik dan hibrida, serta properti.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut paket stimulus itu dirancang sekomprehensif mungkin untuk bisa memberikan keseimbangan antara data perekonomian dengan masukan dari berbagai pihak.

    Namun, reaksi publik menyangsikan keputusan Pemerintah yang dianggap makin menekan kemampuan ekonomi rakyat. Publik masih belum berhenti meminta Pemerintah untuk membatalkan kebijakan PPN 12 persen.

    Penjelasan PPN 12 persen

    Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Presiden Prabowo Subianto maupun DPR menyatakan tarif PPN 12 persen akan diterapkan secara selektif, utamanya menyasar kelompok barang mewah.

    Dari konferensi pers Senin (16/12), Pemerintah mengumumkan tarif tunggal PPN, yakni sebesar 12 persen, namun dengan fasilitas pembebasan terhadap barang dan jasa kebutuhan pokok serta pajak ditanggung pemerintah (DTP) terhadap tiga komoditas.

    Barang dan jasa kebutuhan pokok yang dimaksud dalam definisi Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), adalah barang dan jasa kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak, di antaranya beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran.

    Untuk jasa, mencakup jasa kesehatan, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum, dan jasa tenaga kerja. Buku, vaksin polio, rumah sederhana dan sangat sederhana, rusunami, serta pemakaian listrik dan air minum pun termasuk yang mendapat fasilitas pembebasan PPN.

    Sementara itu, terdapat tiga komoditas yang seharusnya termasuk dalam objek pajak PPN 12 persen, tetapi kenaikan tarif 1 persen ditanggung oleh Pemerintah karena dianggap sangat dibutuhkan oleh masyarakat umum. Ketiga komoditas itu adalah tepung terigu, gula untuk industri, dan minyak goreng rakyat atau MinyaKita.

    Di luar dua kelompok itu, tarif PPN yang dikenakan adalah sebesar 12 persen.

    Terkait barang mewah, Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap definisi barang mewah dalam kebijakan PPN 12 persen.

    Dari paparan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, konsep barang mewah selama ini mengacu pada ketentuan pengenaan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), yang terdiri dari dua kelompok, yaitu kendaraan bermotor dan non-kendaraan bermotor.

    Untuk non-kendaraan bermotor, rinciannya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023, di antaranya hunian mewah, balon udara, peluru dan senjata api, pesawat udara, serta kapal pesiar mewah.

    Adapun dalam konteks PPN 12 persen, Pemerintah memperluas kelompok barang mewah dengan turut menyasar barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, dan jasa pendidikan yang dikonsumsi oleh kalangan mampu — atau yang disebut oleh Sri Mulyani sebagai barang dan jasa premium.

    Mengacu pada definisi di UU HPP, kelompok-kelompok tersebut seharusnya mendapat fasilitas pembebasan PPN. Namun, karena sifatnya yang premium, Pemerintah bakal menarik PPN 12 persen terhadap barang dan jasa tersebut.

    Sebagai contoh, dalam UU HPP, daging termasuk barang kebutuhan pokok yang dibebaskan dari PPN. Namun, daging wagyu dan kobe nantinya bakal termasuk golongan yang dikenakan tarif PPN 12 persen. Sama halnya, ikan juga termasuk komoditas yang dibebaskan dari PPN, tetapi salmon dan tuna yang lebih banyak dikonsumsi masyarakat kelompok atas bakal diterapkan tarif 12 persen.

    Adapun untuk jasa pendidikan, yang termasuk objek pengenaan PPN adalah sekolah dengan iuran tinggi. Untuk jasa kesehatan, layanan VIP menjadi contoh jasa yang dianggap premium.

    Listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA juga akan dimasukkan dalam objek pajak tarif PPN 12 persen.

    Untuk detail lebih lanjut mengenai barang dan jasa yang menjadi objek pajak PPN 12 persen maupun yang diberikan insentif akan dituangkan dalam peraturan yang diterbitkan belakangan, bisa berupa peraturan menteri maupun peraturan pemerintah.

    Paket stimulus ekonomi

    Paket stimulus disiapkan untuk meredam efek kenaikan tarif PPN.

    Untuk merespons risiko daya beli masyarakat, Pemerintah menyediakan tiga stimulus untuk mendukung rumah tangga, yakni bantuan beras sebanyak 10 kilogram per bulan yang akan dibagikan pada Januari dan Februari 2025, PPN DTP untuk tiga komoditas, dan diskon sebesar 50 persen untuk listrik di bawah 2.200 VA.

    Untuk memitigasi risiko pemutusan hubungan kerja (PHK), Pemerintah memperkuat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Pemerintah melakukan penyesuaian terhadap nilai manfaat dan masa klaim. Besarannya diubah menjadi 60 persen untuk enam bulan masa penerimaan manfaat (dari sebelumnya 45 persen pada tiga bulan pertama dan 25 persen pada tiga bulan berikutnya) dengan masa klaim diperpanjang menjadi enam bulan setelah terkena PHK.

    Program JKP juga menyediakan akses informasi pasar kerja serta pelatihan keterampilan untuk membantu peserta program mendapatkan pekerjaan baru.

    Untuk risiko kerentanan pengusaha, disiapkan stimulus untuk UMKM, yakni perpanjangan insentif PPh final sebesar 0,5 persen bagi pengusaha dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun.

    Paket stimulus ekonomi berikutnya menyasar industri padat karya. Terdapat insentif PPh 21 DTP bagi pekerja dengan gaji sampai dengan Rp10 juta per bulan, bantuan pembiayaan dengan subsidi bunga 5 persen, serta bantuan jaminan kecelakaan kerja sebesar 50 persen selama 6 bulan.

    Pemerintah juga menyiapkan insentif untuk pembelian kendaraan listrik dan hibrida berupa PPN dan PPnBM, dengan rincian PPN DTP sebesar 10 persen untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) completely knocked down (CKD), PPnBM DTP 15 persen untuk KBLBB impor completely built up (CBU) dan CKD, serta bea masuk 0 persen untuk KBLBB CBU. Juga, PPnBM DTP sebesar 3 persen untuk kendaraan bermotor hibrida.

    Terakhir, paket stimulus menyasar sektor properti, dengan memperpanjang insentif PPN DTP untuk rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar. PPN yang ditanggung maksimal untuk harga Rp2 miliar, dengan rincian diskon 100 persen untuk Januari-Juni 2025 dan 50 persen untuk Juli-Desember 2025.

    Dampak terhadap ekonomi

    Salah satu dampak yang disorot dari kebijakan tarif PPN 12 persen adalah potensi inflasi yang tinggi pada tahun depan. Center of Economics and Law Studies (Celios) memperkirakan kenaikan tarif PPN 12 persen pada 2025 bisa meningkatkan inflasi hingga ke level 4,11 persen. Sebagai catatan, inflasi per November 2024 tercatat sebesar 1,55 persen (year-on-year/yoy).

    Celios juga menghitung kenaikan PPN bisa menambah pengeluaran kelompok miskin sebesar Rp101.880 per bulan. Sementara kelompok kelas menengah mengalami kenaikan pengeluaran sebesar Rp354.293 per bulan.

    Sementara itu, Bank Indonesia (BI) menyebut dampak PPN 12 persen terhadap inflasi tak terlalu signifikan. Berdasarkan proyeksi Deputi Gubernur BI Aida S Budiman, efek PPN terhadap inflasi berkisar 0,2 persen.

    Dari sisi Pemerintah, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara Kemenko Perekonomian Ferry Irawan menyebut risiko kenaikan inflasi itu telah diantisipasi, yang terefleksi pada kehadiran paket stimulus bantuan pangan dan diskon listrik 50 persen pada Januari-Februari 2025. Insentif diberikan selama dua bulan untuk menjaga tingkat inflasi pada kuartal I, yang diyakini berperan penting dalam menentukan tingkat inflasi sepanjang tahun.

    Namun, efektivitas dari paket stimulus yang disiapkan Pemerintah banyak dipertanyakan. Salah satu komentar datang dari Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede yang menyebut keuntungan stimulus bersifat jangka pendek. Sementara untuk jangka panjang, perlu ada evaluasi lebih lanjut oleh Pemerintah.

    Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan bahwa pemberian berbagai insentif tidak cukup untuk mengurangi dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Pasalnya, kinerja permintaan maupun industri sudah terlanjur melemah. Meski ada insentif untuk industri padat karya, misalnya, industri ini sudah telanjur terpuruk, seperti yang terlihat pada industri tekstil dan industri alas kaki.

    Di sisi lain, juga ada sejumlah optimisme terhadap kebijakan tarif PPN 12 persen.

    Contohnya, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet yang menilai paket stimulus bersifat inklusif dalam memitigasi dampak kenaikan tarif PPN. Tetapi, dia turut mewanti-wanti soal terbatasnya durasi dan jangkauan tiap insentif.

    Kemudian, Kepala Center of Food, Energy and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendapat insentif diskon listrik dapat membantu meringankan beban biaya hidup, terutama bagi keluarga dengan penghasilan terbatas yang sebagian besar bergantung pada tarif listrik bersubsidi. Dia meminta Pemerintah memastikan pemberian diskon tarif listrik pada awal tahun depan agar tepat sasaran.

    Selain itu, ia juga mendorong Pemerintah melakukan evaluasi secara hati-hati agar efek kebijakan tidak hanya bersifat sementara, tetapi berdampak besar pada pola konsumsi jangka panjang.

    Bila hasil evaluasi menunjukkan dampak positif terhadap peningkatan konsumsi masyarakat, Pemerintah dapat mempertimbangkan untuk melanjutkan stimulus tersebut.

    Secara keseluruhan, paket stimulus Pemerintah dinilai bersifat temporer. Terlebih, rata-rata insentif merupakan perpanjangan atau penguatan dari kebijakan yang telah ada sebelumnya.

    Direktur Celios Bhima Yudhistira menyerukan agar Pemerintah mengkaji alternatif kebijakan tarif PPN. Menurutnya, memperluas basis pajak, penerapan pajak kekayaan, dan memberantas celah penghindaran pajak, lebih efektif meningkatkan penerimaan negara tanpa perlu membebani masyarakat.

    Editor: Slamet Hadi Purnomo
    Copyright © ANTARA 2024

  • Ekonom nilai perlu perkuat lini bisnis sebelum bentuk “holding” UMKM

    Ekonom nilai perlu perkuat lini bisnis sebelum bentuk “holding” UMKM

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan pemerintah perlu memperkuat sinergi lini bisnis UMKM sebelum membentuk holding bagi para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah tersebut.

    “(Kuncinya adalah) sinergi dari sisi lini bisnisnya karena kan bisnisnya kan bisa apa saja gitu ya, jangan sampai nanti tercampur-campur lini bisnis yang tidak ada hubungannya gitu,” ucap Mohammad Faisal di Jakarta, Rabu.

    Ia menuturkan bahwa sebaiknya holding tersebut terdiri dari satu lini bisnis, sehingga pemerintah perlu mendetailkan desain holding tersebut serta menentukan pelaku usaha mana saja yang akan ditargetkan untuk bergabung, apakah pelaku usaha nano, mikro, kecil, atau menengah.

    Untuk itu, ia mengatakan bahwa lini bisnis UMKM di Indonesia perlu didata secara lebih menyeluruh dan akurat, terutama para pelaku usaha nano dan mikro.

    “Mereka (pelaku usaha nano dan mikro) tipikalnya kan dinamis, gampang berubah. Jadi besok mau jualan buah, besok mau jualan beras, gampang sekali berubah,” kata Faisal.

    Selain itu, ia menyatakan bahwa pemerintah perlu meningkatkan kemitraan antara UMKM dengan industri maupun perusahaan besar lainnya untuk memperluas akses pasar domestik dan merambah ke pasar ekspor.

    “Nah kalau holding-nya mau diarahkan ke situ, itu bagus menurut saya, jadi kalau (usaha) menengahnya nanti kalau di holding mau dimitrakan kuat dengan industri tertentu ini targetnya ekspor gitu,” ujarnya.

    Faisal pun berharap pembentukan holding tersebut tidak hanya akan mengarusutamakan dan mengumpulkan aset UMKM, tapi juga memberikan manfaat bagi para anggotanya, misalnya produksi yang semakin efisien atau adanya penambahan modal.

    “Sebetulnya satu pertimbangannya yang utama adalah tujuan daripada holding tersebut. Tujuan daripada holding-nya apa? Apakah hanya mengarusutamakan saja? Tapi, yang perlu dilihat, sebetulnya bukan hanya mengarusutamakan saja, tapi ada manfaat yang diperoleh dari masing-masing unit,” imbuhnya.

    Menteri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman mengatakan di Jakarta, Selasa (10/12), bahwa pihaknya akan membuat UMKM holding yang bertujuan untuk menghubungkan pengusaha UMKM dengan industri besar.

    Ia juga melihat bahwa kesempatan bahwa UMKM mampu berkembang lebih jauh lewat holding tersebut.

    Kementerian UMKM akan memberikan dukungan melalui pelatihan produksi, akses pembiayaan, perencanaan bisnis hingga disiapkan rantai pasok serta investor sehingga dalam ekosistem holding ini menjadi sebuah kesatuan yang tidak lagi terpecah atau terpisah satu sama lain.

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: Guido Merung
    Copyright © ANTARA 2024

  • Ekonom sebut insentif tak cukup redam dampak PPN naik jadi 12 persen

    Ekonom sebut insentif tak cukup redam dampak PPN naik jadi 12 persen

    Jakarta (ANTARA) – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyatakan bahwa pemberian berbagai insentif tidak cukup untuk mengurangi dampak kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    “Insentif yang sudah diberikan sebagai kaitannya dengan PPN 12 persen itu dibutuhkan, tapi menurut saya itu tidak cukup menjawab semua permasalahan yang ada sekarang,” ujar Mohammad Faisal di Jakarta, Rabu.

    Ia mengatakan bahwa permasalahan yang muncul di industri sekarang adalah menurunnya permintaan akibat menipisnya jumlah kelas menengah yang merupakan pendorong konsumsi dalam negeri.

    Selain itu, ia menyoroti periode pemberian insentif yang terlalu pendek, misalnya hanya dua bulan untuk diskon tarif listrik sebesar 50 persen.

    “Potongan tarif listrik 50 persen untuk (pengguna daya listrik) 450 VA (voltampere) sampai 2200 VA, kalau tidak salah ya, nah itu sebetulnya bagus, karena (kebijakan) itu sudah menyasar kelas (menengah), tapi sayangnya (hanya) dua bulan gitu,” ucapnya.

    Faisal menuturkan bahwa insentif yang diberikan untuk industri padat karya juga diperkirakan belum cukup untuk meredam dampak kenaikan PPN tersebut karena sudah terlalu banyak sektor industri yang terpuruk, seperti industri tekstil dan industri alas kaki.

    Meskipun pemerintah memberikan insentif khusus untuk industri padat karya, ia menyatakan bahwa daya beli masyarakat yang masih lemah membuat pemberian insentif tersebut menjadi tidak banyak berdampak.

    Ia mengatakan bahwa jika kondisi tersebut tidak ditangani secara hati-hati, maka kenaikan PPN tersebut bisa saja meningkatkan potensi PHK.

    Tidak hanya insentif, Faisal menuturkan bahwa diperlukan juga kebijakan yang dapat melindungi produk-produk dalam negeri agar permintaannya tidak semakin menurun.

    Berdasarkan kajian pihaknya, barang-barang impor dari China banyak yang dibanderol separuh atau bahkan kurang dari separuh harga produk dalam negeri.

    Ia pun meminta pemerintah untuk memperketat kontrol terhadap produk-produk impor agar produk dalam negeri masih dapat bersaing.

    “Karena di sana (China) sendiri kan ada subsidi, ada dumping bahkan begitu ya. Belum lagi yang masuk lewat cara tidak benar, nah masalahnya kan masuknya itu bukan hanya legal, tapi juga ilegal,” imbuh Faisal.

    Pewarta: Uyu Septiyati Liman
    Editor: Guido Merung
    Copyright © ANTARA 2024

  • Trump Tebar Ancaman ke China, Tekstil RI Bakal Terimpit?

    Trump Tebar Ancaman ke China, Tekstil RI Bakal Terimpit?

    Bisnis.com, JAKARTA – Arah kebijakan dagang presiden terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump terhadap China berpotensi membuat industri tekstil dalam negeri makin terimpit.

    Trump memberi sinyal akan mengetatkan kebijakan proteksi dagangnya dengan menerapkan tarif impor yang lebih tinggi terhadap produk-produk China dan sejumlah negara lainnya. Ekonom menilai kebijakan pembatasan perdagangan yang dilakukan Trump terhadap China akan berdampak secara global, termasuk dirasakan oleh Indonesia.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mencontohkan untuk industri tekstil, kebijakan proteksionisme Trump tak hanya berpotensi membuat Indonesia kehilangan pasar ekspornya, tetapi juga berpotensi membuat Indonesia dibanjiri oleh produk tekstil impor dari China.

    “Khusus ke tekstil yang perlu kita perhatikan juga adalah dampak dari kebijakan Trump itu bukan hanya hambatan ekspor, tapi ketika China dijadikan sasaran utama untuk tidak boleh masuk, maka dia akan mencari pasar alternatif, apalagi kondisi sekarang sudah oversupply,” kata Faisal dalam Outlook Sektor Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Tahun 2025, Selasa (17/12/2024).

    Faisal menilai Indonesia dengan instrumen trade measures yang minim maka tak heran menjadi sasaran pasar dari pasokan produk manufaktur China yang berlebih. Terlebih, RI saat ini memiliki kebijakan relaksasi impor untuk sejumlah komoditas lewat aturan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 8/2024.

    Sementara itu, berdasarkan data Kementerian Perindustrian, Indonesia memiliki 207 jenis instrumen trade measures untuk menahan laju impor masuk ke pasar domestik, sementara anggota WTO lain seperti China dan Amerika Serikat berturut-turut memiliki 1.569 dan 4.597 jenis instrumen trade measures.

    “Kombinasi dari masih lemahnya konsumsi domestik dan potensi kebijakan proteksionis AS berpotensi semakin mendorong peningkatan impor barang-barang murah, termasuk tekstil dan produk tekstil, khususnya dari China,” ujar Faisal.

    Untuk diketahui, kebijakan ekonomi perdagangan yang diberlakukan Trump yaitu berupa pemangkasan pajak operasional produksi industri hingga tarif impor yang dinaikkan 10%, khusus China naik menjadi 60%, tarif impor khusus untuk Meksiko, serta penggunaan anggaran pemerintah.

    “Ini ke depan berarti ada potensi, terutama kita prediksikan di semester kedua 2025, itu sudah mulai kelihatan efek dari pada, atau sudah mulai dijalankan kebijakan-kebijakan Trumpnya, karena kami prediksikan di semester pertama ini masih harus ada proses yang diselesaikan dengan Senat,” tuturnya.

    Tekanan Industri Tekstil

    Adapun, gempuran produk impor membuat industri tekstil dalam negeri menghadapi tekanan berat. Puluhan pabrik berguguran dan pemutusan hubungan kerja merajalela.

    Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament (APSyFI) melaporkan sebanyak 60 perusahaan tekstil terpaksa tutup dalam 2 tahun terakhir yang memicu PHK sebanyak 250.000 karyawan.