Tag: Mohammad Faisal

  • Perputaran Uang Melemah, Ekonomi Indonesia Tak Sekuat Tahun Lalu?

    Perputaran Uang Melemah, Ekonomi Indonesia Tak Sekuat Tahun Lalu?

    Jakarta: Lebaran biasanya identik dengan perputaran uang yang tinggi. Masyarakat berbelanja lebih banyak, mudik ke kampung halaman, serta membelanjakan Tunjangan Hari Raya (THR). 
     
    Namun, Lebaran 2025 justru diprediksi tidak sekencang tahun lalu.
     
    Melansir Media Indonesia, Rabu, 2 April 2025, menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CoRE), Mohammad Faisal, tahun ini perputaran uang diperkirakan lebih lemah dibandingkan dengan Lebaran 2024. 

    Apa penyebabnya? Simak ulasan berikut!

    1. Pengeluaran masyarakat menurun, belanja lebaran tak seheboh tahun lalu
    Jika biasanya pusat perbelanjaan penuh sesak menjelang Idulfitri, tahun ini kondisinya tidak seramai sebelumnya. Faisal mencatat bahwa tingkat pengeluaran masyarakat sebelum Lebaran cenderung lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
     

    2. Jumlah pemudik turun drastis, perputaran uang di daerah ikut melambat
    Mudik selalu menjadi faktor penting dalam perputaran uang saat Lebaran. Namun, tahun ini jumlah pemudik justru turun drastis!
     
    Menurut prediksi Kementerian Perhubungan pada 2024, jumlah pemudik mencapai 193 juta orang. Lalu pada 2025 diperkirakan hanya 146 juta orang.
     
    Artinya, terjadi penurunan hampir 25 persen!
     
    Ketika pergerakan masyarakat berkurang, uang yang beredar di daerah pun ikut menurun.
    3. THR tidak sepenuhnya dibelanjakan, digunakan untuk bayar utang?
    Biasanya, THR menjadi pemicu utama lonjakan konsumsi saat Lebaran. Namun, tahun ini kondisinya berbeda.
     
    Menurut Faisal, THR yang diberikan tidak semuanya langsung dibelanjakan. Banyak masyarakat yang memilih untuk menyimpan atau bahkan menggunakannya untuk membayar utang.
     
    Meskipun Lebaran tetap menjadi momen penting bagi masyarakat, namun dari sisi ekonomi, tahun ini tidak sekuat tahun sebelumnya. 
     
    Jika kondisi ini berlanjut, maka pemerintah dan pelaku usaha perlu mencari strategi untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong ekonomi tetap bergerak.

     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Direktur CORE sebut deflasi juga dipengaruhi pelemahan daya beli

    Direktur CORE sebut deflasi juga dipengaruhi pelemahan daya beli

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Direktur CORE sebut deflasi juga dipengaruhi pelemahan daya beli
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 13 Maret 2025 – 19:48 WIB

    Elshinta.com – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menyampaikan bahwa deflasi pada Februari 2024 juga dipengaruhi oleh faktor melemahnya daya beli masyarakat, bukan hanya faktor harga diatur pemerintah (adminestered price).

    Alasannya, menurut dia, selain kelompok tarif listrik, yang mengalami penurunan inflasi juga pada kelompok makanan.

    “Ini sesuatu yang tidak lazim, karena biasanya menjelang Ramadhan justru harga barang-barang sudah mulai merangkak naik, terutama akan meningkat lebih tinggi lagi pada Ramadhan dan Lebaran. Harganya itu justru mengalami penurunan, nah ini sesuatu yang tidak biasa dan bisa dikaitkan dengan penurunan daya beli secara umum,” ujar Faisal kepada Antara di Jakarta, Kamis.

    Di sisi lain, Ia tidak memungkiri bahwa faktor pendorong deflasi terbesar pada Februari 2024 yaitu dari harga diatur pemerintah (adminestered price), utamanya pada kelompok tarif listrik.

    “Kalau melihat dari komponen inflasi yang dikeluarkan memang yang paling besar sumbangannya adalah deflasi pada kelompok tarif listrik terutama. Tapi, jangan lupa juga bahwa yang deflasi bukan hanya itu ya,” ujar Faisal.

    Dalam konferensi pers APBN KiTa Edisi Maret 2025, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membantah deflasi pada Februari 2024 terjadi akibat pelemahan daya beli masyarakat, melainkan karena intervensi pemerintah.

    “Banyak yang memberikan interpretasi kita deflasi karena masyarakat lesu. Tidak juga,” ujar Sri Mulyani.

    Ia pun menilai rekor deflasi itu justru menjadi prestasi bagi Indonesia, mengingat banyak negara lain yang kesulitan untuk meneka angka inflasi yang relatif tinggi.

    “Jadi, ini adalah salah satu pencapaian Indonesia untuk stabilitas yang luar biasa bagus,” ujar Sri Mulyani.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat perekonomian Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,09 persen year-on-year (yoy) pada Februari 2025.

    Menurut Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti, deflasi itu merupakan yang pertama kali terjadi sejak deflasi tahunan terakhir tercatat pada Maret 2000.

    Adapun, deflasi pada Februari 2025 sebagian besar dipengaruhi oleh diskon tarif listrik sebesar 50 persen untuk pemakaian Januari dan Februari 2025 bagi pelanggan PLN dengan daya listrik 2.200 volt ampere (VA) atau lebih rendah yang termasuk dalam komponen harga diatur pemerintah.

    Sumber : Antara

  • Indonesia Deflasi Dua Bulan Berturut-turut, Ekonom CORE: Tidak Biasa Jelang Ramadan – Halaman all

    Indonesia Deflasi Dua Bulan Berturut-turut, Ekonom CORE: Tidak Biasa Jelang Ramadan – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal berpendapat, deflasi selama dua bulan berturut dinilai tidak biasa apalagi menjelang Ramadan.

    Faisal bilang, deflasi pada Februari 2025 utamanya didorong oleh diskon tarif listrik untuk kalangan menengah yang berlaku selama dua bulan mulai Januari hingga Februari 2025. Namun, dia juga melihat pendorong deflasi berasal dari kelompok makanan.

    “Tapi di luar faktor insentif, sebenarnya pada Februari masih ada deflasi di beberapa komoditas pangan. Nah kalau dilihat dari keseluruhan kelompok makanan mengalami deflasi walaupun tingkat deflasi nya tidak sedalam dengan listrik ya,” ujar Faisal saat dihubungi Tribunnews, Senin (3/3/2025).

    Menurut Faisal, untuk komoditas makanan seharusnya mengalami inflasi apalagi menjelang Ramadan. Meskipun inflasinya tipis dan akan meningkat pada Ramadan yakni bulan Maret ini.

    “Tetapi menjelangnya harusnya sudah ada dorongan kenaikan harga-harga namun kali ini tidak. Jadi itu suatu perbedaan tidak biasa terjadi pada tahun-tahun sebelumnya,” papar Faisal.

    Bahkan, Faisal menyoroti belum ada dampak peningkatan supply dari faktor produksi padahal bulan Februari ini sudah memasuki musim panen di berbagai wilayah.

    “Jadi artinya ini lebih besar karena faktor demand dari sisi permintaan. Yang artinya merefleksikan dari sisi daya beli masyarakat belum pulih pada saat sekarang” ujarnya.
     
    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terjadi deflasi secara tahunan atau year on year sebesar 0,09 persen atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 105,58 pada Februari 2024 menjadi 105,48 pada Februari 2025.

    Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, deflasi tahun ini utamanya didorong oleh kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga yang mengalami deflasi sebesar 12,08 persen secara tahunan.

    Kelompok tersebut memberikan andil deflasi sebesar 1,92 persen dengan komoditas andil deflasi tahun ini oleh tarif listrik sebesar 2,61 persen.

    “Komoditas dengan andil deflasi terbesar pada kelompok ini adalah tarif listrik dengan andil deflasi sebesar 2,16 persen,” kata Amalia dalam Rilis BPS, Senin (3/3/2025).

    Amalia menyebut, komoditas lain di luar kelompok perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga yang juga memberikan andil deflasi cukup dalam adalah beras, tomat, dan cabai merah dengan andil deflasi masing-masing sebesar 0,11 persen.

    Adapun berdasarkan wilayah, deflasi secara tahunan terjadi pada 22 provinsi. Deflasi terdalam terjadi di Papua Barat yaitu 1,98 persen. Posisi kedua Bengkulu sebesar 1,26 persen dan ketiga Sulawesi Selatan sebesar 1,09 persen.

    “Sebaran inflasi tahunan menurut wilayah secara tahunan, 22 provinsi mengalami deflasi sementara 16 lainnya mengalami inflasi. Deflasi terdalam terjadi di Papua Barat yaitu 1,98 persen,” jelas Amalia.

    Sebelumnya, pada Februari 2025 Indonesia mengalami deflasi sebesar 0,48 persen atau terjadi penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 105,99 pada Januari 2025 menjadi 105,48 pada Februari 2025.

    Tingkat deflasi bulanan atau month to month pada Februari turun 0,76 persen dibandingkan Januari 2025. Kelompok penyumbang deflasi pada Februari yaitu diskon tarif listrik.

    “Kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah perumahan, air, listrik dan bahan bakar rumah tangga dengan deflasi sebesar 3,59 persen dan memberikan andil deflasi 0,52 persen,” kata Amalia.

  • Pertamina NRE bangun pabrik perakitan panel surya di Jawa Barat

    Pertamina NRE bangun pabrik perakitan panel surya di Jawa Barat

    Jakarta (ANTARA) – Pertamina New and Renewable Energy (NRE) menyatakan tengah membangun fasilitas produksi panel surya di Jawa Barat, dengan nilai investasi pada tahap pertama sebesar 40 juta dolar AS atau Rp657,6 miliar (kurs Rp16.441).

    Direktur Keuangan Pertamina NRE Nelwin Aldriansyah ditemui usai acara Indonesia Green Energy Investment Dialogue 2025 di Jakarta, Kamis menyatakan pembangunan pabrik tersebut dilakukan bersama dengan salah satu perusahaan manufaktur dari China.

    “Untuk tahap pertama ini sekitar 40 juta dolar AS, dan itu akan ditanggung bersama,” katanya.

    Lebih lanjut, menurut dia pembangunan fasilitas produksi itu ditujukan untuk memenuhi tingkat komponen dalam negeri (TKDN) minimal 40 persen dari pemerintah.

    Selain itu, ia mengatakan, fasilitas produksi tersebut ditargetkan bisa beroperasi pada tahun 2026.

    “Ini dalam persiapan. Nantinya kita harapkan bisa mulai berproduksi di tahun 2026,” ujarnya.

    Pengembangan pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) dinilai bisa menjadi faktor pendukung dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu pemerintah harus mengambil tindakan untuk bisa mempercepat terjadinya penambahan kapasitas energi hijau yang masih melimpah di Indonesia.

    “Kehadiran pembangkit EBT sangat diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Pasalnya, energi fosil yang menopang pembangkit di Indonesia tidak akan cukup jika tidak diiringi dengan peningkatan pembangkit EBT,” ujar Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal.

    Berdasarkan perhitungan dengan metode konservatif yang dilakukan CORE Indonesia, Faisal mengatakan, ketersediaan bahan bakar fosil ini diprediksi akan segera habis. Ia menyebut ketersediaan batu bara di Indonesia akan habis dalam 28 tahun ke depan. Lalu minyak bumi dan gas, masing-masing ketersediaannya hanya mampu bertahan hingga 21 tahun serta 19 tahun ke depan saja.

    Pewarta: Ahmad Muzdaffar Fauzan
    Editor: Zaenal Abidin
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pertumbuhan Ekonomi RI Melambat, Imbas Kelas Menengah Tertekan?

    Pertumbuhan Ekonomi RI Melambat, Imbas Kelas Menengah Tertekan?

    Bisnis.com, JAKARTA — Pertumbuhan ekonomi tercatat terus melambat dalam dua tahun terakhir. Para ekonom meyakini ketidakberpihakan pemerintah terhadap kelas menengah menjadi penyebab utamanya.

    Sebagai informasi, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 tercatat sebesar 5,31%, sedangkan pada 2023 sebesar 5,05%. Lalu, pada tahun lalu, meski masih berada pada level 5%, tetapi melambat ke 5,03%.

    Selama ini, konsumsi rumah tangga kerap menjadi komponen terbesar pembentuk produk domestik bruto (PDB). Misalnya pada 2024, distribusi konsumsi rumah tangga mencapai 54,04% terhadap pertumbuhan ekonomi.

    Secara historis, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga tidak pernah lebih dari 5% sejak 2020. Selama itu juga, pertumbuhan konsumsi rumah tangga kerap di bawah pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

    Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto meyakini belakangan beban hidup masyarakat kelas menengah semakin besar.

    Perbesar

    Sumber: BPS

    Masalahnya, kelas menengah merupakan kelompok masyarakat yang paling berkontribusi atas pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Misalnya selama 2024, Eko melihat banyak barang/jasa kebutuhan kelas menengah yang terus naik harganya seperti transportasi untuk liburan hingga pulsa/paket data.

    Dia melihat pemerintah selama ini seakan hanya fokus mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada kelas bawah seperti lewat bantuan sosial (bansos). Sementara itu, kelas menengah malah terbebani dengan berbagai pungutan pajak dan sejenisnya.

    Oleh sebab itu, Eko tidak heran apabila konsumsi rumah tangga tidak bisa tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

    “Itu tanda-tanda perlambatan daya beli. Jelas sekali karena dulu-dulunya itu kita pertumbuhan konsumsinya lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi atau setidaknya setara,” kata Eko kepada Bisnis, Kamis (6/2/2025).

    Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal menjelaskan sejak pandemi Covid-19, daya beli kelas menengah belum pulih. Padahal, menurutnya, kelas menengah berkontribusi lebih dari 60% dari total konsumsi rumah tangga.

    Sementara itu, dia mencatat daya beli kelas bawah sudah setara seperti masa pra-pandemi dan daya beli kelas atas sudah pulih sejak lama.

    “Karena ternyata setelah pandemi intervensi kebijakan yang kaitannya memengaruhi income [upah] dan juga biaya hidup ini tidak cukup, bahkan bertambah bebannya misalkan pungutan-pungutan perpajakan dan lain-lain,” ujar Faisal kepada Bisnis, Rabu (5/2/2025).

    Akibatnya, terjadi tren perlambatan pertumbuhan ekonomi dalam dua tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi mencapai 5,31% pada 2022, kemudian melemah ke 5,05% pada 2023, dan terakhir kembali melemah menjadi 5,03% pada 2024.

    Waswas Target Pertumbuhan

    Pernyataan kini, dengan pelemahan daya beli kelas menengah, mungkinkah target pertumbuhan ekonomi 5,2% pada 2025 bisa tercapai? Apalagi, Presiden Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi 8% dalam lima tahun.

    Eko melihat target tersebut masih realistis tercapai, tetapi pemerintah harus mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak kepada kelas menengah.

    Mantan analisis Badan Supervisi Bank Indonesia ini pun mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang melakukan penghematan belanja pemerintah hingga Rp306,69 triliun untuk tahun anggaran 2025.

    Kendati demikian, Eko menekankan agar hasil penghematan anggaran tersebut harus dialokasikan untuk pembiayaan sektor produktif. Dia mencontohkan, pemerintah harus mendorong produktivitas industri. “Sektor yang menaungi kelas menengah kan rata-rata ya industri,” ujar Eko.

    Selain itu, dia menegaskan pentingnya agar UMKM sebagai penyerap tenaga kerja terbanyak naik level. Menurutnya, UMKM didominasi oleh usaha mikro sehingga usaha menengahnya harus diperbanyak.

    Oleh sebab itu, Eko mendorong agar pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bisa mendorong agar UMKM menerima bunga yang lebih terjangkau.

    Lebih lanjut, dia meyakini perlunya pemerintah mengoptimalkan kerja sama internasional yang sudah dibangun sehingga bisa menarik investasi yang lebih besar dan menjangkau pasar ekspor yang lebih luas bagi Indonesia. “Kalau itu bisa dilakukan sih, saya rasa 5,2% itu bisa tercapai bahkan lebih,” titip Eko.

    Sementara itu, Faisal meyakini nasib kelas menengah harus menjadi perhatian utama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ke depan. Dia menyarankan tiga langkah yang perlu diikuti pemerintah untuk memulihkan daya beli masyarakat.

    Pertama, pemerintah tidak boleh menambah beban kelas menengah dari sisi biaya hidup. Menurutnya, pemerintah pusat maupun daerah tidak menambah beban pajak, cukai, hingga retribusi kelas menengah.

    Kedua, pemerintah memberikan insentif dari sisi biaya. Dia mengapresiasi insentif potongan tarif listrik 50% yang diberikan pemerintah.

    Hanya saja, dia menyayangkan insentif tersebut hanya berlaku selama dua bulan. Padahal, menurutnya, pemulihan daya beli masyarakat perlu berbulan-bulan.

    “Jadi, tidak bisa intervensi hanya dua bulan atau enam bulan. Memang perlu lebih banyak dan lebih panjang,” katanya.

    Ketiga, perlunya kebijakan yang mendorong peningkatan upah masyarakat kelas menengah. Faisal mencontohkan, perlunya insentif lebih banyak untuk mendukung usaha mikro dan kecil, memberikan akses pasar melalui kebijakan perdagangan.

    “Kemudian yang kaitannya untuk supaya menghindari misalkan terjadinya PHK, deal-deal-an dengan perusahaan di sektor yang rentan,” tutupnya.

  • Sempat Heboh di Level Rp 8.000-an, Begini Ramalan Dolar AS Pekan Depan

    Sempat Heboh di Level Rp 8.000-an, Begini Ramalan Dolar AS Pekan Depan

    Jakarta

    Indeks nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpantau menguat ke level Rp 8.000-an pada Sabtu (1/2/2025) kemarin. Naas, penguatan rupiah terhadap dolar AS pada Google Search terjadi akibat kesalahan yang mempengaruhi informasi nilai tukar rupiah.

    Diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terhadap di situs pencarian Google pada Sabtu (1/2/2025) tiba-tiba anjlok ke Rp 8.170,65. Dalam keterangan pencarian Google, nilai tukar Dolar serendah ini merupakan data pada 1 Februari 2009.

    Sementara pekan depan, Senin (3/2/2025), dolar AS diramal akan kembali menekan rupiah. Hal itu terjadi seiring ketetapan Presiden AS, Donald Trump, menetapkan kenaikan tarif impor pada produk-produk Kanada, Meksiko, dan China.

    Adapun Trump pada hari Sabtu (1/2/2025) lalu menandatangani perintah kenaikan tarif sebesar 25% pada impor produk asal Kanada dan Meksiko dan 10% pada barang-barang dari China mulai Selasa mendatang, dengan risiko memicu perang dagang baru, memperlambat pertumbuhan ekonomi global, dan memicu kembali peningkatan inflasi.

    “Untuk pekan depan, oleh pengenaan tarif pada Meksiko, Kanada dan China, dolar AS diperkirakan akan kembali menguat dan menekan rupiah dan diperkirakan akan berkisar Rp 16.250 hingga Rp 16.400,” kata Analis Mata Uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, kepada detikcom, Minggu (2/2/2025).

    Sama halnya mata uang negara lain, kata Lukman, rupiah masih akan tertekan dengan kekuatan dolar AS. Pasalnya, data ekonomi AS masih terpantau perkasa seiring dengan turunnya prospek pemangkasan suku bunga oleh the Fed.

    Lukman juga menilai, revisi Peraturan Pemerintah (PP) Devisa Hasil Ekspor (DHE) Sumber Daya Alam (SDA) 100% dalam kurun waktu setahun dapat menopang stabilitas rupiah. Selain itu, ia menilai kebijakan tersebut dapat menghindari volatilitas.

    “Tentunya, kebijakan tarif Trump yang dikhawatirkan akan memicu perang dagang global masih akan menjadi faktor yang paling kuat. Namun untunglah, revisi PP DHE 100% 1 Tahun akan sedikit banyak bisa menahan pelemahan rupiah yang tajam dan cepat, paling tidak bisa menghindari volatilitas,” tutupnya.

    Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal mengatakan, dampak kebijakan Trump akan berimbas pada nilai tukar pada prospek jangka panjang, kala inflasi meningkat dan investasi asing kembali ke AS.

    “Kelihatan mungkin tidak sekarang tapi harus di antisipasi di waktu-waktu yang tidak dalam waktu yang sangat dekat, maksud saya mungkin persisnya di semester kedua (2025),” kata Faisal kepada detikcom.

    Ia mengatakan, penguatan dolar AS terhadap mata uang Garuda terjadi imbas kebijakan Trump yang berusaha menarik investasi ke AS. Di samping itu, kenaikan tarif impor terhadap tiga negara mitra utama dagang AS juga akan menekan rupiah jangka panjang.

    Pada titik tertentu, sikap Trump ini akan memicu naiknya angka inflasi dan suku bunga acuan the Fed. “Ini tentu saja akan berpengaruh terhadap capital flow ke Amerika yang artinya penguatan dolar dan pelemahan mata uang di negara-negara lain, termasuk diantaranya Indonesia,” jelasnya.

    Namun begitu, Faisal meyakini Bank Indonesia (BI) telah menyiapkan langkah untuk menjaga stabilitas rupiah. Menurutnya, BI saat ini juga mencatat cadangan devisa yang meningkat di akhir tahun 2024.

    Diketahui, BI melaporkan posisi cadangan devisa Indonesia pada akhir Desember 2024 mencapai US$ 155,7 miliar. Angka tersebut meningkat dari US$ 150,2 miliar pada akhir November 2024.

    “Untuk saat sekarang, dari kondisi amunisi di Indonesia sendiri, Bank Indonesia juga dari foreign exchange reserves-nya, cadangan devisa ini juga akan meningkatkan 150 billion US Dollar. Jadi artinya ada amunisi untuk kemudian melakukan stabilisasi rupiah mestinya,” tutupnya.

    (kil/kil)

  • Untung-Rugi Perang Dagang AS vs Kanada cs ke Ekonomi RI

    Untung-Rugi Perang Dagang AS vs Kanada cs ke Ekonomi RI

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menandatangani perintah kenaikan tarif impor terhadap Kanada, Meksiko, dan China. Dinamika perekonomian global dinilai akan berdampak secara tidak langsung terhadap ekonomi Indonesia.

    Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin mengatakan, secara tidak langsung Indonesia tidak akan mendapat manfaat maupun kerugian akibat meningkatnya tensi perang dagang global. Akan tetapi, dinamika perekonomian ini berpotensi memengaruhi nilai tukar rupiah.

    Pada titik tertentu, Wijayanto menilai, Foreign Direct Investment (FDI) atau nilai transaksi investasi langsung yang terjadi lintas batas negara dalam periode waktu tertentu, akan terhambat.

    “Dinamika ekonomi global berpotensi membuat nilai tukar Rp dan harga komoditas global tidak stabil, serta aliran FDI dan portfolio investment terhambat; hal ini akan berdampak bagi ekonomi kita,” kata Wijayanto kepada detikcom, Minggu (2/2/2025).

    Ia mengatakan, hal krusial yang akan terjadi akibat perang dagang ini ketika pemerintah Indonesia hendak melakukan refinancing atau proses penggantian pinjaman yang sudah ada dengan pinjaman baru.

    “Yang paling krusial, ini terjadi di saat kita perlu melakukan refinancing utang dan menerbitkan utang baru sebesar Rp 1.575 triliun di tahun 2025 dan nilai yang hampir sama di tahun 2026,” terangnya.

    Akibatnya, kata Wijayanto, Indonesia kemungkinan harus menaikkan suku bunga. Bahkan, ia menilai adanya kemungkinan terburuk, yakni terjadi reversal, di mana asing justru melepas Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).

    Adapun Bank Indonesia (BI) sebelumnya merilis premi CDS RI 5 tahun per 30 Januari 2025 sebesar 74,74 bps, naik dibanding dengan 24 Januari 2025 sebesar 72,93 bps.

    Sementara berdasarkan data transaksi 30 Januari 2025, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp 0,82 triliun, terdiri dari jual neto sebesar Rp 0,40 triliun di pasar saham, jual neto Rp 0,43 triliun di pasar SBN, dan beli neto Rp 5 miliar di SRBI.

    Selama tahun 2025, berdasarkan data setelmen hingga 30 Januari 2025, nonresiden tercatat jual neto sebesar Rp 1,72 triliun di pasar saham, beli neto sebesar Rp 2,11 triliun di pasar SBN dan beli neto Rp 12,93 triliun di SRBI.

    Indonesia tidak akan mendapatkan manfaat ataupun mudharat langsung dari perang dagang tersebut. Tetapi dinamika ekonomi global berpotensi membuat nilai tukar Rp dan harga komoditas global tidak stabil, serta aliran FDI dan portfolio investment terhambat; hal ini akan berdampak bagi ekonomi kita.

    “Kita kemungkinan harus menaikkan suku bunga; bahkan kemungkinan terburuk adalah terjadi reversal, di mana asing justru melepas SBN dan SRBI, boro-boro menambah kepemilikan,” jelasnya.

    Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal mengatakan, pengenaan tarif impor AS pada Kanada dan Meksiko dianggap cukup mengejutkan sejumlah pihak. Pasalnya, pada periode era kepemimpinan pertamanya, Trump sempat menggandeng Kanada dan Meksiko untuk menekan impor produk China ke AS.

    Meski begitu, keputusan Trump dinilai terbaca lantaran pada masa kampanye presiden 2024 lalu, ia berkomitmen untuk menaikkan tarif terhadap tiga negara tersebut. Ia menduga, langkah itu diambil untuk menekan defisit perdagangan akibat banjirnya produk impor Kanada dan Meksiko.

    “Defisit dengan Meksiko malah meningkat, dengan Vietnam meningkat, dengan Kanada meningkat. Nah jadi pada botom line-nya adalah Trump ini ingin menyasar pada negara-negara yang berkontribusi terhadap peningkatan trade defisit yang mana sekarang bukan hanya China,” kata Faisal kepada detikcom.

    Faisal menilai, kondisi ini bisa menjadi peluang bagi produk ekspor Indonesia untuk lebih bersaing. Apalagi, Indonesia tidak masuk sebagai negara utama yang dikenakan kenaikan tarif impor AS.

    Di sisi lain, produk impor Indonesia ke AS memiliki kemiripan dengan Vietnam. Faisal menduga, ke depan AS juga akan memberlakukan hal yang sama pada produk-produk impor Vietnam dengan kenaikan tarifnya.

    “Mungkin next saya rasa mungkin juga Vietnam ya (dikenakan kenaikan tarif). Nah ini semestinya negara-negara lain yang yang belum dikenakan tarif atau mungkin akan ditarif tapi lebih kecil. Nah ini bisa lebih “diuntungkan” untuk bisa, artinya peluang untuk bersaing di pasar Amerika-nya, di produk ekspornya itu meningkat,” terang Faisal.

    “Apalagi dalam banyak hal produk ekspor kita di ke Amerika itu banyak kesamaan dengan Vietnam dan juga China. Nah jadi semestinya dari sisi harga bisa menjadi lebih bersaing ya produk-produk ekspor Indonesia di pasar Amerika,” tambahnya.

    Namun begitu, Faisal menekankan kewaspadaan pemerintah. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan AS juga akan menaikkan tarif impor untuk Indonesia. Apalagi, Indonesia merupakan pengguna fasilitas Penyedia Sistem Komunitas (CSP).

    Seandainya telat diantisipasi, Faisal menilai industri tekstil seperti pakaian jadi dan alas kaki akan terdampak. Pada titik tertentu, imbas ini akan mendorong terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tersebut.

    “Sehingga kalau kemudian nanti ada peningkatan tarif perdagangan, ini perlu diantisipasi dengan bagaimana skenarionya nanti untuk pengalihan penyaluran produk-produk ekspor yang dari Amerika juga ke negara-negara yang lain alternatif atau ke pasar dalam negeri Malang begitu ya supaya tidak terjadi shock pada industri bersangkutan yang bisa berpotensi malah meningkatkan gelombang PHK mungkin di khawatirkan,” tutupnya.

    Untuk diketahui, Presiden AS Donald Trump pada hari Sabtu memerintahkan tarif sebesar 25% pada impor Kanada dan Meksiko dan 10% pada barang-barang dari China mulai hari Selasa, dengan risiko memicu perang dagang baru yang menurut para ekonom dapat memperlambat pertumbuhan global dan memicu kembali inflasi.

    Dikutip dari Reuters, Trump menandatangani tiga perintah eksekutif terpisah mengenai tarif setelah bermain golf di Florida pada Sabtu (1/2/2025). Dalam perintah tersebut, ia berjanji untuk mempertahankan bea masuk hingga keadaan darurat nasional atas narkoba fentanil dan imigrasi ilegal ke AS berakhir.

    (kil/kil)

  • Menakar Dampak Tren Digital Nomad ke Ekonomi Daerah – Page 3

    Menakar Dampak Tren Digital Nomad ke Ekonomi Daerah – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Tren bekerja remote atau yang dikenal dengan digital nomad diprediksi akan terus berkembang seiring dengan kemajuan digitalisasi dan meningkatnya fleksibilitas dalam dunia usaha. Ekonom mengungkapkan bahwa fenomena ini memiliki dampak positif bagi sektor-sektor tertentu, terutama yang berhubungan dengan akomodasi dan pariwisata.

    “Seiring dengan meningkatnya tren kerja remote, permintaan akan properti yang tidak hanya terbatas pada ruang perkantoran, tapi juga untuk akomodasi seperti hotel, penginapan, dan resort, akan terus meningkat,” ujar Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal kepada Liputan6.com, Sabtu (1/2/2025).

    Dengan tren kerja remote, pekerja tidak lagi terikat pada lokasi fisik tertentu. Mereka dapat bekerja dari mana saja, bahkan dari tempat-tempat seperti resort atau hotel. “Ini membuka peluang besar untuk sektor properti, terutama akomodasi, yang bisa mendukung kebutuhan para pekerja remote,” tambahnya.

    Sebaliknya, sektor perkantoran yang konvensional diprediksi akan mengalami penurunan permintaan, karena banyak perusahaan yang tidak lagi membutuhkan ruang kantor fisik untuk pekerjanya yang bekerja dari jarak jauh. Namun, meski ada sektor yang diuntungkan, ekonom juga menyoroti tantangan yang dihadapi.

    “Tren digital nomad ini membutuhkan infrastruktur yang memadai, seperti internet yang lebih cepat dan stabil, serta fasilitas-fasilitas lainnya yang mendukung pekerjaan remote,” jelasnya. Oleh karena itu, pemerintah dan pelaku usaha perlu beradaptasi dengan perubahan ini dan memanfaatkan peluang yang ada, terutama di sektor pariwisata dan properti.

    Dalam menghadapi tren ini, sektor usaha juga perlu melakukan inovasi, terutama dalam menyediakan fasilitas yang memanjakan pekerja remote. Menurut Faisal, para pelaku usaha di sektor pariwisata harus bisa berinovasi untuk memenuhi kebutuhan pekerja digital nomad yang mengandalkan kenyamanan dan kemudahan dalam bekerja.

    “Dengan demikian, meskipun ada tantangan yang harus dihadapi, digital nomad menawarkan peluang besar bagi sektor-sektor tertentu, yang membutuhkan adaptasi dan strategi yang tepat dari semua pihak,” imbuh Faisal.

     

  • Pemerintah Waspadai Dampak Trump 2.0,  Ancaman Perang Dagang Meluas

    Pemerintah Waspadai Dampak Trump 2.0, Ancaman Perang Dagang Meluas

    Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah mewaspadai dampak Trump 2.0 terhadap ekonomi Tanah Air. Seperti diketahui, saat Donald Trump menjadi Presiden Amerika Serikat (AS) pada periode pertamanya, sosok ini memulai perang dagang AS versus China. Selanjutnya, jelang pelantikan jilid dua, Trump kerap berkomentar keras tentang perlunya tarif tinggi bagi negara yang merugikan AS.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan saat ini dinamika global yang terjadi menjadi faktor yang akan turut mempengaruhi perkembangan perekonomian Indonesia ke depan.

    “Sejumlah risiko tentu masih akan kita hadapi, seperti volatilitas harga komoditas, kemudian tingkat suku bunga yang relatif tinggi, dan tentunya kebijakan perdagangan dari pemerintahan Amerika yang sering kita sebut sebagai Trump 2.0, serta kerentanan ketahanan pangan dan energi akibat perubahan iklim,” kata Airlangga di kantornya, Jumat (31/1/2025).

    Tak hanya ekonomi nasional, ketidakpastian global tersebut juga membuat proyeksi ekonomi global 2025 ini hanya diperkirakan tumbuh di kisaran 3,2%, yang, kata Airlangga, berada di bawah rata-rata historis.

    “Namun ada yang juga cukup membanggakan, kalau dari segi PPP, purchasing power parity, ekonomi Indonesia sudah masuk di nomor delapan. Itu lebih tinggi dari Italia, Prancis, dan ini suatu capaian yang baik,” pungkasnya.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan ketidakpastian global yang disebabkan perang dagang AS versus China ini juga bisa berdampak pada iklim investasi di Indonesia. Kendati demikian, menurutnya, hal ini bisa dimanfaatkan Indonesia.

    Faisal menjelaskan, dalam kebijakan dagang Trump jilid pertama dahulu, perang dagang telah mendorong perusahaan-perusahaan yang tadinya berinvestasi ke China hengkang keluar dan mencari tujuan baru di negara-negara ASEAN. Limpahan tersebut, menurutnya, bisa ditangkap oleh Indonesia.

    “Walaupun yang diperoleh Indonesia dari relokasi manufaktur yang keluar dari China itu relatif sedikit. Tapi untuk ke depan, peluang itu tetap terbuka, tergantung sejauh mana pemerintah memperbaiki, belajar dari kelemahan yang sebelumnya, dan lebih agresif untuk menggaet investasi potensial dari relokasi keluar dari China tersebut,” kata Faisal kepada Bisnis, Jumat (31/1/2025).

    Punya pandangan berbeda, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan keputusan Trump yang menarik mandatori sejumlah kebijakan pendahulunya, Joe Biden, terkait pengembangan kendaraan listrik (electric vehicle) dapat membuat harga mineral seperti nikel, litium, dan kobalt turun.

    Penurunan harga komoditas tersebut, menurutnya, akan berimbas pada minat investor di sektor hilirisasi. Bagi Indonesia sendiri, realisasi investasi sepanjang 2024 sebesar Rp1.714,2 triliun, hampir seperempatnya atau 23,8%, merupakan investasi di sektor hilirisasi yang mana didominasi oleh hilirisasi mineral tambang.

    Realisasi investasi terkait hilirisasi itu tumbuh 8,63% year on year (yoy). Rinciannya, portofolio investasi terbanyak terkait dengan bidang mineral yang mencapai Rp245,2 triliun, dengan sektor terbesar yaitu nikel (Rp153,2 triliun), tembaga (Rp68,5 triliun), dan bauksit (Rp21,8 triliun).

    “Ketika harga nikel turun, ekspor dari hilirisasi tambang juga akan terganggu. Jadi, porsi investasi yang berasal dari sektor hilirisasi tambang mineral diperkirakan akan tumbuh rendah, porsinya menurun. Jadi kalau 23%, mungkin tahun 2025 cuma 15%,” kata Bhima.

  • Ekonom Setuju, Asalkan Dikalkulasi Matang

    Ekonom Setuju, Asalkan Dikalkulasi Matang

    Jakarta, Beritasatu.com – Presiden Prabowo Subianto memberikan instruksi efisiensi anggaran pemerintah sebesar Rp 306,69 triliun pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025.

    Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal, mendukung kebijakan yang dilakukan pemerintah. Namun, ia meminta keputusan yang diambil telah melalui perhitungan yang cermat.

    Faisal menjelaskan, baik APBN maupun APBD merupakan salah satu instrumen yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Hal itu karena anggaran tersebut tak hanya memengaruhi kesejahteraan masyarakat, tetapi juga rencana-rencana sektor swasta.

    Menurut Faisal, asumsi dan dinamika APBN turut menjadi salah satu bahan pertimbangan para investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia.

    Terkait instruksi untuk melakukan penghematan, hal tersebut sangat wajar apabila terdapat pos yang dinilai terlalu besar memakan anggaran. Terlebih, ada program-program utama Pemerintah yang sebaliknya memerlukan tambahan dana.

    Dengan catatan, lanjut Faisal, pertimbangan penghematan anggaran telah melalui perhitungan atau kalkulasi yang tepat.

    “Penghematan anggaran merupakan satu konsekuensi, karena memang terjadi keterbatasan dari sisi penerimaan yang ada,” ungkap Faisal kepada Beritasatu.com, Rabu (29/1/2025).

    “Jadi untuk bisa menjalankan belanja yang sesuai, tentunya beberapa cara dilakukan, termasuk di antaranya penghematan anggaran” sambungnya.

    Faisal melanjutkan, sebenarnya ada cara lain selain melakukan efisiensi anggaran belanja, yakni memaksimalkan penerimaan negara. Namun, untuk saat ini dinilai masih cukup sulit, lantaran kondisi perekonomian nasional masih terdapat sejumlah tantangan.

    Sebelumnya, pemerintah sempat berupaya menggenjot penerimaan negara melalui kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) yang awalnya 11% menjadi 12% pada 2025. Namun, akhirnya Pemerintah hanya menaikkan PPN 12% untuk barang dan jasa berlabel mewah.

    Faisal mengapresiasi langkah pemerintah terkait PPN 12%. Apabila kala itu pemerintah tetap mengenakan tarif tersebut untuk barang umum, maka kondisi perekonomian nasional dalam hal ini daya beli masyarakat akan terdampak.

    “Kalau dilakukan secara serampangan, misalnya seperti PPN naik 12% diberlakukan pada banyak jenis barang, justru akan menghantam perekonomian,” bebernya.

    Faisal kembali menegaskan, langkah penghematan anggaran butuh kehati-hatian dan kalkulasi yang matang. Lantaran hal ini banyak kaitannya dengan multiplier effect untuk menggerakkan perekonomian.

    “Kalau pemotongannya tidak tepat, justru dampaknya bisa lebih besar terhadap pencapaian pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,” pungkasnya dalam menanggapi upaya pemerintah untuk efisiensi anggaran.