Pesan Para Presiden Terdahulu untuk Penanganan Bencana Banjir di Sumatera…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Para presiden yang pernah menjabat di masa lalu turut angkat bicara perihal bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Dalam kejadian ini, tercatat sudah ada 1.006 jiwa yang meninggal akibat bencana di Sumatera tersebut.
Presiden
Prabowo Subianto
sendiri telah menegaskan bahwa pemerintah terus bekerja keras dalam mempercepat penanganan bencana.
“Insya Allah, bersama-sama pemerintah akan turun, akan membantu semuanya. Saya minta maaf kalau masih ada yang belum. Kita sedang bekerja keras,” ujar Prabowo kepada pengungsi di Desa Sukajadi, Karang Baru, Kabupaten Aceh Tamiang, Jumat (12/12/2025).
Hanya saja, Prabowo mengingatkan bahwa pemerintah juga manusia yang tidak punya tongkat Nabi Musa.
Sehingga, kata dia, pemerintah juga perlu waktu dalam bekerja dan tidak bisa melakukan segala hal dengan cepat. “Tadi saya sudah sampaikan bahwa pasti pemerintah akan turun dan bantu. Tentunya ini adalah musibah, kami tidak punya tongkat Nabi Musa,” tuturnya.
Lantas, bagaimana pesan dari para presiden sebelum Prabowo mengenai bencana di Sumatera ini?
Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) meyakini bangsa Indonesia dapat melalui cobaan
bencana banjir
dan longsor di Aceh, Sumatera Barat (Sumbar), dan Sumatera Utara (Sumut).
Meski begitu, Jokowi menekankan bahwa memang membutuhkan waktu untuk melalui cobaan ini.
“Solidaritas, gotong royong kita yang menjadi kekuatan besar bangsa ini. Insya Allah saya kira memang memerlukan waktu, tapi insya Allah bisa kita lalui,” ujar Jokowi dalam wawancara eksklusif bersama Kompas TV di kediamannya, Solo, Jawa Tengah, Selasa (9/12/2025).
Jokowi pun menyampaikan ucapan duka cita kepada para korban banjir bandang dan longsor di Sumatera.
Dia berharap, keluarga yang ditinggalkan diberikan kesabaran dan kekuatan dalam menghadapi musibah ini.
“Dan kita sebagai sebuah bangsa besar, saya melihat solidaritas, kekuatan kita gotong royong juga antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, TNI, Polri, relawan, dan seluruh masyarakat saya lihat bersama-sama bergotong royong,” jelasnya.
“Menunjukkan kekuatannya dalam rangka menolong saudara-saudara kita yang berada di Aceh, Sumbar, dan Sumut,” imbuh Jokowi.
Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengenang perjuangan ketika menangani bencana tsunami Aceh yang terjadi pada 26 Desember 2004.
SBY mengatakan, 21 tahun yang lalu, ia bekerja pontang-panting selama berhari-hari, baik pada siang maupun malam hari, demi menyelamatkan rakyat dari bencana terbesar yang pernah dialami Indonesia.
“Kita ingat 21 tahun yang lalu ketika ada musibah tsunami,
the biggest disaster in our history
, kita pontang-panting
day by day, night after night to save our people
,” ujar SBY dalam agenda peluncuran buku otobiografi mantan Panglima TNI Djoko Suyanto di Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Sabtu (13/12/2025).
SBY mendukung langkah yang diambil Presiden RI Prabowo Subianto dalam mengatasi kebencanaan di Sumatera dan Aceh yang juga berskala besar seperti tsunami di Aceh dulu.
“Kita mendukung langkah-langkah Presiden Prabowo sekarang untuk mengatasi juga bencana berskala besar, utamanya di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,” tuturnya.
Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri, berpesan kepada Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Uli Arta Siagian, agar tetap menjaga kelestarian hutan di Indonesia.
Sekjen PDI-P, Hasto Kristiyanto, menyampaikan hal itu dalam seminar nasional Refleksi Hari Anti Korupsi Sedunia di Sekolah Partai PDI-P, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa (9/12/2025).
“Pesan Ibu secara khusus kepada Mbak Uli Arta Siagian, ‘terus berjuang untuk menjaga hutan-hutan kita dan lingkungan hidup kita,’” kata Hasto yang disambut tepuk tangan kader dan peserta seminar nasional yang hadir.
“Karena kita diajarkan oleh Bung Karno dan Ibu Mega untuk merawat pertiwi. Jadi kami siap memberikan dukungan sepenuhnya kepada Walhi,” tegas Hasto.
Di sisi lain, Hasto menilai bahwa bencana banjir bandang dan
tanah longsor
yang melanda Sumatera merupakan kesalahan kebijakan.
“Bencana besar yang terjadi (di) Aceh, Sumatera Barat, dan kemudian Sumatera Utara tidak terlepas dari kesalahan kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan, penguasa,” tegas Hasto.
Hasto menilai bahwa ini merupakan peristiwa yang sangat memprihatinkan.
Oleh karena itu, ia mengajak semua pihak untuk melakukan kritik dan otokritik.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Megawati Soekarnoputri
-

Video Cerita JK Sempat Ngira Bakal Ditawari Jadi Cawapres Megawati
Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK) bercerita dirinya sempat mengira akan diminta mendampingi Megawati Soekarnoputri untuk maju dalam Pilpres. JK saat itu mengaku diundang makan siang bersama Megawati.
Namun, hingga makan siang berakhir tidak ada juga tawaran dari Megawati kepada JK. Kemudian, JK mendapat tawaran dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tonton video lainnya disini ya!
-

JK Cerita Sempat Ngira Bakal Diajak Jadi Wapres Megawati
Jakarta –
Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), menyampaikan dirinya pernah mengira akan diajak menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri. Dia menceritakan momen kala itu.
JK menyampaikannya saat menghadiri Anugerah Dewan Pers 2025 di Balai Kota Jakarta, Rabu (10/12/2025). JK mengisahkan bahwa suatu hari ia diundang makan siang khusus oleh Megawati.
Ia mengaku sudah menyatakan bersedia bila ditawari menjadi wakil presiden. Namun, selama satu jam makan bersama, ternyata tak ada pembicaraan soal itu.
“Saya menunggu kata-kata itu. Jawabannya sudah siap, bersedia. Tapi karena tidak ada pertanyaan selama satu jam, terpaksa kata ‘bersedia’ saya tahan,” ujar JK disambut tawa hadirin.
Usai makan siang itu, JK langsung mendapat telepon dari Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memintanya bersedia menjadi cawapres. JK mengaku menerima tawaran tersebut.
“Waduh saya sudah janji (sama SBY). Itu kira-kira kenapa waktu itu tidak jadi (cawapresnya Megawati),” kata JK sambil tersenyum.
(bel/fca)
-

Loper Koran di Ujung Tanduk
Jakarta –
Lampu merah kerap menjadi ruang singgah. Bagi para pengendara, nyala lampu merah menjadi tanda untuk jeda sejenak. Namun bagi loper koran, keberadaan lampu ini menjadi tempat mengadu nasib, harapan untuk bisa menjual lembaran surat kabar di tengah gempuran informasi era digital.
Salah satunya ada Rino (40), satu dari sedikit loper atau penjual koran yang tersisa di tengah padatnya kota Jakarta. Di dekat lampu merah Tugu Tani arah Jl. Menteng Raya, ia menawarkan dagangannya dari satu pengendara ke pengendara lain yang terhenti sejenak.
Berdasarkan pantauan detikcom di lokasi, Selasa kemarin, setiap lampu merah menyala, Rino sembari menenteng segepok koran langsung berjalan menyusuri sela-sela kendaraan.
Di tengah padatnya lalu lintas yang terhenti sejenak, lengan kirinya terangkat menunjukkan koran-koran dagangannya dan tangannya yang lain mengambil satu eksemplar paling depan dalam genggaman, menyodorkannya ke pengguna jalan.
Namun sayang hingga lampu merah mulai meredup digantikan lampu hijau, koran-koran dalam genggamannya tak kunjung laku juga. Mau tak mau, dirinya hanya bisa menepi ke trotoar, menunggu lampu merah kembali terang untuk mengulangi proses berjualan.
“Sampai siang ini, baru laku dua saja sih,” ucapnya saat ditemui detikcom di lokasi.
Ia bercerita profesi ini sudah digelutinya lebih dari 20 tahun lalu saat pemerintahan masih dipimpin oleh Presiden Megawati Sukarnoputri. Kala itu, menurutnya penjual koran seperti dirinya masih banyak dicari, dengan mudah menjual puluhan hingga ratusan eksemplar.
“Dulu jual 50 itu cepat banget pagi. Belum yang edisi sore, ada juga tabloid. Itu kayak jual kacang,” kata Rino.
Seakan menolak kalah melawan zaman, Rino mengaku masih bertahan dengan profesi ini karena tidak punya modal untuk berjualan yang lain. Menurutnya kondisi ini masih jauh lebih baik daripada dirinya tak melakukan apapun dan hanya menjadi pengemis di pinggir jalan.
“Habis nggak ada usaha lain. Daripada ngemis gitu, yang penting kan sudah usaha,” ucapnya.
Lain dulu dengan sekarang, Rino yang masih terjebak dalam bayang-bayang masa jaya media cetak kini paling banyak hanya bisa menjual 10 eksemplar koran, dari pagi hari sekitar pukul 06.00 sampai pukul 09.00 malam.
“Sekarang laku sepuluh biji saja susah banget, kalau dulu mah 50 lembar paling cuma berapa jam. Kan sekarang sudah ada handphone,” terangnya.
Akibatnya modal yang ia miliki untuk berjualan keesokan harinya kian terbatas. Biasanya ia hanya membeli 2 eksemplar koran dari masing-masing media cetak yang masih beroperasi.
“Kalau pagi paling Kompas, Merdeka, Wartakota, Poskota, Indopos. Modal Rp 80-90 ribu, paling masing-masing beli dua,” terangnya.
Lihat juga Video: Senandung Hidup Loper Koran Tuna Daksa Tak Menyerah Beri Les Gitar Keliling
(igo/fdl)
-

Dulu Laris Kayak Jual Kacang, Kini 2 pun Sulit Laku
Jakarta –
Saat informasi semakin mudah di dapat hanya dari genggaman handphone, profesi loper koran semakin jarang terlihat. Namun, masih ada yang memilih bertahan karena pekerjaan ini adalah satu-satunya sumber kehidupan mereka.
Salah satunya ada Rino (40), satu dari sedikit loper atau penjual koran yang tersisa di tengah padatnya kota Jakarta. Di dekat lampu merah Tugu Tani arah Jl. Menteng Raya, ia menawarkan dagangannya dari satu pengendara ke pengendara lain yang terhenti sejenak.
Berdasarkan pantauan detikcom di lokasi, Selasa (9/12/2025), setiap lampu merah menyala, Rino sembari menenteng segepok koran langsung berjalan menyusuri sela-sela kendaraan.
Di tengah padatnya lalu lintas yang terhenti sejenak, lengan kirinya terangkat menunjukkan koran-koran dagangannya dan tangannya yang lain mengambil satu eksemplar paling depan dalam genggaman, menyodorkannya ke pengguna jalan.
Namun sayang hingga lampu merah mulai meredup digantikan lampu hijau, koran-koran dalam genggamannya tak kunjung laku juga. Mau tak mau, dirinya hanya bisa menepi ke trotoar, menunggu lampu merah kembali terang untuk mengulangi proses berjualan.
“Sampai siang ini, baru laku dua saja sih,” ucapnya saat ditemui detikcom di lokasi.
Ia bercerita profesi ini sudah digelutinya lebih dari 20 tahun lalu saat pemerintahan masih dipimpin oleh Presiden Megawati Sukarnoputri. Kala itu, menurutnya penjual koran seperti dirinya masih banyak dicari, dengan mudah menjual puluhan hingga ratusan eksemplar.
“Dulu jual 50 itu cepat banget pagi. Belum yang edisi sore, ada juga tabloid. Itu kayak jual kacang,” kata Rino.
Seakan menolak kalah melawan zaman, Rino mengaku masih bertahan dengan profesi ini karena tidak punya modal untuk berjualan yang lain. Menurutnya kondisi ini masih jauh lebih baik daripada dirinya tak melakukan apapun dan hanya menjadi pengemis di pinggir jalan.
“Habis nggak ada usaha lain. Daripada ngemis gitu, yang penting kan sudah usaha,” ucapnya.
Lain dulu dengan sekarang, Rino yang masih terjebak dalam bayang-bayang masa jaya media cetak kini paling banyak hanya bisa menjual 10 eksemplar koran, dari pagi hari sekitar pukul 06.00 sampai pukul 09.00 malam.
“Sekarang laku sepuluh biji saja susah banget, kalau dulu mah 50 lembar paling cuma berapa jam. Kan sekarang sudah ada handphone,” terangnya.
Akibatnya modal yang ia miliki untuk berjualan keesokan harinya kian terbatas. Biasanya ia hanya membeli 2 eksemplar koran dari masing-masing media cetak yang masih beroperasi.
“Kalau pagi paling Kompas, Merdeka, Wartakota, Poskota, Indopos. Modal Rp 80-90 ribu, paling masing-masing beli dua,” terangnya.
Lihat juga Video: Senandung Hidup Loper Koran Tuna Daksa Tak Menyerah Beri Les Gitar Keliling
(igo/fdl)
-
/data/photo/2025/12/09/6937ae74b90d5.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Hasto Sebut Korupsi Kini Makin Besar, Soroti Lemahnya Etika dan Moral Bangsa
Hasto Sebut Korupsi Kini Makin Besar, Soroti Lemahnya Etika dan Moral Bangsa
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menyinggung korupsi yang saat ini dianggap kian besar dibandingkan sebelumnya.
Hal tersebut disampaikan Hasto saat mengisi seminar nasional Refleksi Hari Anti
Korupsi
Sedunia, di Sekolah Partai PDI-P, Selasa (9/12/2025).
“Jadi, kalau kita melihat persoalan-persoalan korupsi sekarang justru makin besar, itu juga tidak bisa terlepas dari potret diri terhadap etika, moral, nilai-nilai yang diyakini oleh suatu bangsa. Korupsi makin membesar, artinya nilai-nilai etika moral itu juga mulai menurun,” kata Hasto, Selasa.
Hasto menyinggung hal tersebut saat awalnya berbicara mengenai Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, yang ketika menjabat sebagai Presiden ke-5 RI bertindak sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
“Sebagai Mandataris MPR, Megawati terikat pada seluruh keputusan-keputusan MPR yang harus dijalankan. Dan di situlah bagaimana seluruh TAP MPR pascakejatuhan Soeharto, di situ sangat jelas menggambarkan bahwa apa yang disebut sebagai nepotisme, kolusi, dan korupsi harus, harus, dan harus dihancurkan dari muka Republik ini,” ujar dia.
Hasto menuturkan, saat itu lahirlah
Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) pada masa awal reformasi.
Ia menyebut, KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum saat itu, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan peradilan, dinilai berada di bawah kendali kekuasaan.
“Maka KPK dibentuk dalam suatu konsideran bahwa ketika aparat penegak hukum masih dikuasai oleh penguasa, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kewenangan yang begitu besar,” ujar dia.
Ia juga menyinggung Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki, yang disebutnya kerap menjadi mitra dialog.
Hasto kemudian mengaitkan kondisi tersebut dengan pandangan ilmiah dalam buku “How Democracies Die” karya Steven Levitsky, yang menurutnya menggambarkan terbentuknya rezim otoriter, terutama ketika negara mengalami krisis.
“Di dalam buku itu digambarkan bagaimana rezim otoriter itu terbentuk. Secara empiris sangat jelas, seringkali ada yang diwarnai dengan krisis,” ucap dia.
Menurut Hasto, fenomena serupa terlihat saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, di mana kekuasaan semakin terpusat pada eksekutif dan kemudian tidak dikoreksi saat situasi kembali normal.
“Di dalam buku itu juga dijelaskan bagaimana negara-negara bisa membentengi terhadap otoriter, termasuk wajahnya yang populis. Itu karena suatu etika, moral, nilai yang menjadi
values
dari bangsa itu,” tegas Hasto.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
/data/photo/2025/12/13/693d80583cffe.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



