Tag: Megawati Soekarnoputri

  • Video Cerita JK Sempat Ngira Bakal Ditawari Jadi Cawapres Megawati

    Video Cerita JK Sempat Ngira Bakal Ditawari Jadi Cawapres Megawati

    Mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla (JK) bercerita dirinya sempat mengira akan diminta mendampingi Megawati Soekarnoputri untuk maju dalam Pilpres. JK saat itu mengaku diundang makan siang bersama Megawati.

    Namun, hingga makan siang berakhir tidak ada juga tawaran dari Megawati kepada JK. Kemudian, JK mendapat tawaran dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

    Tonton video lainnya disini ya!

  • JK Cerita Sempat Ngira Bakal Diajak Jadi Wapres Megawati

    JK Cerita Sempat Ngira Bakal Diajak Jadi Wapres Megawati

    Jakarta

    Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla (JK), menyampaikan dirinya pernah mengira akan diajak menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri. Dia menceritakan momen kala itu.

    JK menyampaikannya saat menghadiri Anugerah Dewan Pers 2025 di Balai Kota Jakarta, Rabu (10/12/2025). JK mengisahkan bahwa suatu hari ia diundang makan siang khusus oleh Megawati.

    Ia mengaku sudah menyatakan bersedia bila ditawari menjadi wakil presiden. Namun, selama satu jam makan bersama, ternyata tak ada pembicaraan soal itu.

    “Saya menunggu kata-kata itu. Jawabannya sudah siap, bersedia. Tapi karena tidak ada pertanyaan selama satu jam, terpaksa kata ‘bersedia’ saya tahan,” ujar JK disambut tawa hadirin.

    Usai makan siang itu, JK langsung mendapat telepon dari Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang memintanya bersedia menjadi cawapres. JK mengaku menerima tawaran tersebut.

    “Waduh saya sudah janji (sama SBY). Itu kira-kira kenapa waktu itu tidak jadi (cawapresnya Megawati),” kata JK sambil tersenyum.

    (bel/fca)

  • Loper Koran di Ujung Tanduk

    Loper Koran di Ujung Tanduk

    Jakarta

    Lampu merah kerap menjadi ruang singgah. Bagi para pengendara, nyala lampu merah menjadi tanda untuk jeda sejenak. Namun bagi loper koran, keberadaan lampu ini menjadi tempat mengadu nasib, harapan untuk bisa menjual lembaran surat kabar di tengah gempuran informasi era digital.

    Salah satunya ada Rino (40), satu dari sedikit loper atau penjual koran yang tersisa di tengah padatnya kota Jakarta. Di dekat lampu merah Tugu Tani arah Jl. Menteng Raya, ia menawarkan dagangannya dari satu pengendara ke pengendara lain yang terhenti sejenak.

    Berdasarkan pantauan detikcom di lokasi, Selasa kemarin, setiap lampu merah menyala, Rino sembari menenteng segepok koran langsung berjalan menyusuri sela-sela kendaraan.

    Di tengah padatnya lalu lintas yang terhenti sejenak, lengan kirinya terangkat menunjukkan koran-koran dagangannya dan tangannya yang lain mengambil satu eksemplar paling depan dalam genggaman, menyodorkannya ke pengguna jalan.

    Namun sayang hingga lampu merah mulai meredup digantikan lampu hijau, koran-koran dalam genggamannya tak kunjung laku juga. Mau tak mau, dirinya hanya bisa menepi ke trotoar, menunggu lampu merah kembali terang untuk mengulangi proses berjualan.

    “Sampai siang ini, baru laku dua saja sih,” ucapnya saat ditemui detikcom di lokasi.

    Ia bercerita profesi ini sudah digelutinya lebih dari 20 tahun lalu saat pemerintahan masih dipimpin oleh Presiden Megawati Sukarnoputri. Kala itu, menurutnya penjual koran seperti dirinya masih banyak dicari, dengan mudah menjual puluhan hingga ratusan eksemplar.

    “Dulu jual 50 itu cepat banget pagi. Belum yang edisi sore, ada juga tabloid. Itu kayak jual kacang,” kata Rino.

    Seakan menolak kalah melawan zaman, Rino mengaku masih bertahan dengan profesi ini karena tidak punya modal untuk berjualan yang lain. Menurutnya kondisi ini masih jauh lebih baik daripada dirinya tak melakukan apapun dan hanya menjadi pengemis di pinggir jalan.

    “Habis nggak ada usaha lain. Daripada ngemis gitu, yang penting kan sudah usaha,” ucapnya.

    Lain dulu dengan sekarang, Rino yang masih terjebak dalam bayang-bayang masa jaya media cetak kini paling banyak hanya bisa menjual 10 eksemplar koran, dari pagi hari sekitar pukul 06.00 sampai pukul 09.00 malam.

    “Sekarang laku sepuluh biji saja susah banget, kalau dulu mah 50 lembar paling cuma berapa jam. Kan sekarang sudah ada handphone,” terangnya.

    Akibatnya modal yang ia miliki untuk berjualan keesokan harinya kian terbatas. Biasanya ia hanya membeli 2 eksemplar koran dari masing-masing media cetak yang masih beroperasi.

    “Kalau pagi paling Kompas, Merdeka, Wartakota, Poskota, Indopos. Modal Rp 80-90 ribu, paling masing-masing beli dua,” terangnya.

    Lihat juga Video: Senandung Hidup Loper Koran Tuna Daksa Tak Menyerah Beri Les Gitar Keliling

    (igo/fdl)

  • Dulu Laris Kayak Jual Kacang, Kini 2 pun Sulit Laku

    Dulu Laris Kayak Jual Kacang, Kini 2 pun Sulit Laku

    Jakarta

    Saat informasi semakin mudah di dapat hanya dari genggaman handphone, profesi loper koran semakin jarang terlihat. Namun, masih ada yang memilih bertahan karena pekerjaan ini adalah satu-satunya sumber kehidupan mereka.

    Salah satunya ada Rino (40), satu dari sedikit loper atau penjual koran yang tersisa di tengah padatnya kota Jakarta. Di dekat lampu merah Tugu Tani arah Jl. Menteng Raya, ia menawarkan dagangannya dari satu pengendara ke pengendara lain yang terhenti sejenak.

    Berdasarkan pantauan detikcom di lokasi, Selasa (9/12/2025), setiap lampu merah menyala, Rino sembari menenteng segepok koran langsung berjalan menyusuri sela-sela kendaraan.

    Di tengah padatnya lalu lintas yang terhenti sejenak, lengan kirinya terangkat menunjukkan koran-koran dagangannya dan tangannya yang lain mengambil satu eksemplar paling depan dalam genggaman, menyodorkannya ke pengguna jalan.

    Namun sayang hingga lampu merah mulai meredup digantikan lampu hijau, koran-koran dalam genggamannya tak kunjung laku juga. Mau tak mau, dirinya hanya bisa menepi ke trotoar, menunggu lampu merah kembali terang untuk mengulangi proses berjualan.

    “Sampai siang ini, baru laku dua saja sih,” ucapnya saat ditemui detikcom di lokasi.

    Ia bercerita profesi ini sudah digelutinya lebih dari 20 tahun lalu saat pemerintahan masih dipimpin oleh Presiden Megawati Sukarnoputri. Kala itu, menurutnya penjual koran seperti dirinya masih banyak dicari, dengan mudah menjual puluhan hingga ratusan eksemplar.

    “Dulu jual 50 itu cepat banget pagi. Belum yang edisi sore, ada juga tabloid. Itu kayak jual kacang,” kata Rino.

    Seakan menolak kalah melawan zaman, Rino mengaku masih bertahan dengan profesi ini karena tidak punya modal untuk berjualan yang lain. Menurutnya kondisi ini masih jauh lebih baik daripada dirinya tak melakukan apapun dan hanya menjadi pengemis di pinggir jalan.

    “Habis nggak ada usaha lain. Daripada ngemis gitu, yang penting kan sudah usaha,” ucapnya.

    Lain dulu dengan sekarang, Rino yang masih terjebak dalam bayang-bayang masa jaya media cetak kini paling banyak hanya bisa menjual 10 eksemplar koran, dari pagi hari sekitar pukul 06.00 sampai pukul 09.00 malam.

    “Sekarang laku sepuluh biji saja susah banget, kalau dulu mah 50 lembar paling cuma berapa jam. Kan sekarang sudah ada handphone,” terangnya.

    Akibatnya modal yang ia miliki untuk berjualan keesokan harinya kian terbatas. Biasanya ia hanya membeli 2 eksemplar koran dari masing-masing media cetak yang masih beroperasi.

    “Kalau pagi paling Kompas, Merdeka, Wartakota, Poskota, Indopos. Modal Rp 80-90 ribu, paling masing-masing beli dua,” terangnya.

    Lihat juga Video: Senandung Hidup Loper Koran Tuna Daksa Tak Menyerah Beri Les Gitar Keliling

    (igo/fdl)

  • Hasto Sebut Korupsi Kini Makin Besar, Soroti Lemahnya Etika dan Moral Bangsa

    Hasto Sebut Korupsi Kini Makin Besar, Soroti Lemahnya Etika dan Moral Bangsa

    Hasto Sebut Korupsi Kini Makin Besar, Soroti Lemahnya Etika dan Moral Bangsa
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menyinggung korupsi yang saat ini dianggap kian besar dibandingkan sebelumnya.
    Hal tersebut disampaikan Hasto saat mengisi seminar nasional Refleksi Hari Anti
    Korupsi
    Sedunia, di Sekolah Partai PDI-P, Selasa (9/12/2025).
    “Jadi, kalau kita melihat persoalan-persoalan korupsi sekarang justru makin besar, itu juga tidak bisa terlepas dari potret diri terhadap etika, moral, nilai-nilai yang diyakini oleh suatu bangsa. Korupsi makin membesar, artinya nilai-nilai etika moral itu juga mulai menurun,” kata Hasto, Selasa.
    Hasto menyinggung hal tersebut saat awalnya berbicara mengenai Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, yang ketika menjabat sebagai Presiden ke-5 RI bertindak sebagai mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
    “Sebagai Mandataris MPR, Megawati terikat pada seluruh keputusan-keputusan MPR yang harus dijalankan. Dan di situlah bagaimana seluruh TAP MPR pascakejatuhan Soeharto, di situ sangat jelas menggambarkan bahwa apa yang disebut sebagai nepotisme, kolusi, dan korupsi harus, harus, dan harus dihancurkan dari muka Republik ini,” ujar dia.
    Hasto menuturkan, saat itu lahirlah
    Komisi Pemberantasan Korupsi
    (KPK) pada masa awal reformasi.
    Ia menyebut, KPK dibentuk karena lembaga penegak hukum saat itu, termasuk kepolisian, kejaksaan, dan peradilan, dinilai berada di bawah kendali kekuasaan.
    “Maka KPK dibentuk dalam suatu konsideran bahwa ketika aparat penegak hukum masih dikuasai oleh penguasa, maka dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi dengan kewenangan yang begitu besar,” ujar dia.
    Ia juga menyinggung Ketua KPK pertama, Taufiequrachman Ruki, yang disebutnya kerap menjadi mitra dialog.
    Hasto kemudian mengaitkan kondisi tersebut dengan pandangan ilmiah dalam buku “How Democracies Die” karya Steven Levitsky, yang menurutnya menggambarkan terbentuknya rezim otoriter, terutama ketika negara mengalami krisis.
    “Di dalam buku itu digambarkan bagaimana rezim otoriter itu terbentuk. Secara empiris sangat jelas, seringkali ada yang diwarnai dengan krisis,” ucap dia.
    Menurut Hasto, fenomena serupa terlihat saat Indonesia menghadapi pandemi Covid-19, di mana kekuasaan semakin terpusat pada eksekutif dan kemudian tidak dikoreksi saat situasi kembali normal.
    “Di dalam buku itu juga dijelaskan bagaimana negara-negara bisa membentengi terhadap otoriter, termasuk wajahnya yang populis. Itu karena suatu etika, moral, nilai yang menjadi
    values
    dari bangsa itu,” tegas Hasto.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Bencana Ekologis Landa Berbagai Wilayah Indonesia, Hasto Kristiyanto Sebut Pertanda Alam Sedang Marah

    Bencana Ekologis Landa Berbagai Wilayah Indonesia, Hasto Kristiyanto Sebut Pertanda Alam Sedang Marah

    “Kayu yang hanyut pada saat bencana itu bukti ada yang tidak beres. Maka diperlukan koreksi menyeluruh, dari hulu kebijakan hingga hilirnya partisipasi rakyat untuk menjaga bumi yang kita huni bersama,” katanya.

    Hasto juga menekankan bahwa urusan kemanusiaan tidak boleh dibatasi oleh perbedaan apa pun. Melalui Yayasan Mega Gotong Royong, PDIP menggerakkan partisipasi kader di seluruh Indonesia untuk membantu penanganan bencana.

    Ia menyebut sejumlah tokoh yang aktif dalam Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) seperti Tri Rismaharini di Aceh, Ribka Tjiptaning di Sumatera Barat, dan Ono Surono di Jawa Barat.

    “Gotong royong ini menunjukkan bahwa masalah kemanusiaan tidak dibedakan oleh pilihan politik, suku, agama, atau status sosial. Ini tanggung jawab kita bersama,” tegas Hasto.

    Dalam kesempatan itu, ia menegaskan kembali bahwa PDIP akan terus mendorong perbaikan kebijakan lingkungan, termasuk moratorium hutan dan penghentian konversi hutan menjadi lahan sawit.

    Hasto mengutip data WALHI yang menunjukkan bahwa Presiden Megawati Soekarnoputri dan Bung Karno adalah pemimpin yang tidak pernah mengeluarkan kebijakan perluasan sawit.

    “Hutan adalah ekosistem kehidupan. Kerusakan hutan harus dihentikan. Mari bersama pemerintah mencanangkan bencana ekologis ini sebagai bencana nasional agar terbangun kesadaran kolektif bahwa kerusakan harus dicegah bersama,” kata Hasto.

    Ia memastikan, melalui konferensi daerah ini, PDIP merumuskan langkah-langkah perbaikan dan program strategis untuk Jawa Barat serta Indonesia berdasarkan nilai kemanusiaan dan tanggung jawab sebagai sesama manusia untuk merawat bumi. (fajar)

  • PDIP: Bencana Ekologi Muncul karena Tiadanya Penegakan Hukum yang Adil

    PDIP: Bencana Ekologi Muncul karena Tiadanya Penegakan Hukum yang Adil

    Bandung, Beritasatu.com – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan bencana ekologi yang melanda sejumlah daerah belakangan ini, termasuk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat merupakan hasil dari lemahnya penegakan hukum. 

    “Bencana ekologi ini muncul karena tiadanya penegakan hukum yang berkeadilan,” kata Hasto saat membuka Konferensi Daerah (Konferda) DPD PDIP Jawa Barat di Bandung, Minggu (7/12/2025).

    Dalam pidatonya, Hasto menekankan urgensi politik lingkungan yang bukan sekadar program, melainkan kesadaran kolektif untuk menjaga keberlangsungan hidup. Oleh sebab itu, ia menilai, tema konferda yang mengangkat semangat merawat bumi relevan dengan kondisi Indonesia.

    “Tema Konferda ‘Sabilulungan Ngarawat Bumi’ sangat tepat karena mengingatkan kita akan makna kehidupan yang harus dimulai dari merawat Pertiwi,” ujar Hasto dikutip dari Antara.

    Di hadapan peserta konferda, Hasto juga menyampaikan pesan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri agar kader tidak meninggalkan sejarah perjuangan atau dikenal dengan istilah jasmerah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), sekaligus tetap menjaga spirit ideologis.

    Menurut dia, perjuangan masa kini harus diwujudkan dalam tindakan nyata, terutama dalam menjaga kelestarian lingkungan.

    “Kalau kita rajin merawat bumi ini, maka keyakinan Bung Karno dan Ibu Mega, alam pun akan mencintai kita,” katanya.

    Hasto pun mengajak seluruh kader PDIP, khususnya di Jabar, menjadikan politik lingkungan sebagai prioritas. “Rawat pertiwi sebagai prioritas utama,” tuturnya.

    Hasto lanjut mengingatkan kader PDIP untuk menghindari watak political-industrial complex. Dalam hal ini, dia menyinggung kecenderungan aktor politik untuk menjadikan bencana sebagai komoditas elektoral.

    “Kita melakukan koreksi terhadap watak political-industrial complex, di mana sekarang bencana saja dijadikan elektoral, saudara-saudara sekalian. Kasih bantuan saja dicoba dibawa untuk dikonversikan secara elektoral,” ucapnya.

    Ia menilai, kaburnya batas antara kekuatan industri dan politik menjadi tantangan dalam dunia politik saat ini. Padahal, menurut Hasto, “politik ini bukan persoalan elektoral.”

    Dalam kesempatan itu, Hasto turut mengapresiasi dukungan gotong royong kader PDIP Jabar yang telah mengumpulkan donasi senilai Rp 1 miliar untuk korban banjir di wilayah utara Sumatera. “Ini akan kita pakai untuk operasi Laksamana Malahayati,” tuturnya.

  • Di konferda Jabar, Sekjen PDIP tekankan urgensi politik lingkungan

    Di konferda Jabar, Sekjen PDIP tekankan urgensi politik lingkungan

    Bandung (ANTARA) – Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, saat membuka Konferensi Daerah (Konferda) DPD PDIP Jawa Barat, menekankan urgensi politik lingkungan menyusul bencana ekologi yang melanda sejumlah daerah belakangan ini.

    “Bencana ekologi ini muncul karena tiadanya penegakan hukum yang berkeadilan,” kata Hasto dalam pidatonya di Bandung, Jawa Barat, Minggu.

    Diingatkannya, politik lingkungan bukan sekadar program, melainkan kesadaran kolektif untuk menjaga keberlangsungan hidup. Oleh sebab itu, ia menilai, tema konferda yang mengangkat semangat merawat Bumi relevan dengan kondisi Indonesia.

    “Tema Konferda ‘Sabilulungan Ngarawat Bumi’ sangat tepat karena mengingatkan kita akan makna kehidupan yang harus dimulai dari merawat pertiwi,” ujarnya.

    Di hadapan peserta konferda, Hasto juga menyampaikan pesan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri agar kader tidak meninggalkan sejarah perjuangan atau dikenal dengan istilah jasmerah (jangan sekali-kali meninggalkan sejarah), sekaligus tetap menjaga spirit ideologis.

    Menurut dia, perjuangan masa kini harus diwujudkan dalam tindakan nyata, terutama dalam menjaga kelestarian lingkungan.

    “Kalau kita rajin merawat bumi ini, maka keyakinan Bung Karno dan Ibu Mega, alam pun akan mencintai kita,” katanya.

    Hasto pun mengajak seluruh kader PDIP, khususnya di Jabar, menjadikan politik lingkungan sebagai prioritas. “Rawat pertiwi sebagai prioritas utama,” tuturnya.

    Hasto lanjut mengingatkan kader PDIP untuk menghindari watak political-industrial complex. Dalam hal ini, dia menyinggung kecenderungan aktor politik untuk menjadikan bencana sebagai komoditas elektoral.

    “Kita melakukan koreksi terhadap watak political-industrial complex, di mana sekarang bencana saja dijadikan elektoral, saudara-saudara sekalian. Kasih bantuan saja dicoba dibawa untuk dikonversikan secara elektoral,” ucapnya.

    Ia menilai, kaburnya batas antara kekuatan industri dan politik menjadi tantangan dalam dunia politik saat ini. Padahal, menurut Hasto, “politik ini bukan persoalan elektoral.”

    Dalam kesempatan itu, Hasto turut mengapresiasi dukungan gotong royong kader PDIP Jabar yang telah mengumpulkan donasi senilai Rp1 miliar untuk korban banjir di wilayah utara Sumatera. “Ini akan kita pakai untuk operasi Laksamana Malahayati,” tuturnya.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Konferda PDIP Jabar serukan gotong royong dan pelestarian alam

    Konferda PDIP Jabar serukan gotong royong dan pelestarian alam

    Bandung (ANTARA) – Konferensi Daerah (Konferda) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDI Perjuangan Jawa Barat yang digelar di Bandung pada Minggu ini menyerukan pentingnya semangat gotong royong dan mengarusutamakan upaya pelestarian alam.

    Ketua DPD PDIP Jabar Ono Surono menjelaskan tema konferda kali ini adalah “Sabilulungan Ngarawat Bumi” atau ‘Gotong Royong Merawat Bumi’. Tema ini menjadi komitmen PDIP merawat lingkungan, sebagaimana arahan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

    “Berbagai bencana yang kita saksikan adalah akibat dari kesewenangan manusia. Karena itu, merawat Bumi Jawa Barat tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri, tetapi harus menjadi kerja kolektif,” kata Ono dalam sambutannya saat pembukaan konferda tersebut.

    Ono tidak luput menyampaikan dukacita mendalam atas bencana banjir yang menimpa sejumlah daerah di wilayah utara Sumatera.

    “Semoga para korban yang meninggal husnul khatimah dan yang masih berada di pengungsian diberikan kekuatan,” tuturnya.

    Di samping itu, Ono menyampaikan bahwa kader PDIP Jawa Barat telah mengumpulkan donasi senilai Rp1 miliar yang akan disalurkan melalui Megawati Institute kepada wilayah terdampak bencana.

    Konferda tersebut, jelas dia, didukung 81 putusan dari KSB DPC di 27 kabupaten/kota. Bersamaan dengan itu, digelar pula konferensi cabang (konfercab) di empat wilayah yang dijadwalkan pada Senin (8/12).

    Ono menyampaikan terima kasih kepada Megawati Soekarnoputri, Ketua DPP PDIP Prananda Prabowo, jajaran DPP PDIP, hingga Forkopimda Jawa Barat yang turut hadir. “Kami mohon arahan bagi kesinambungan perjuangan partai di Jawa Barat,” katanya.

    Sementara itu, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi, dalam sambutannya melalui video, mengapresiasi PDIP. Menurut dia, partai berlambang banteng moncong putih itu konsisten mengoreksi kebijakan pembangunan yang tidak berkeadilan.

    “Kelahiran PDI Perjuangan merupakan bagian penting dalam kehidupan kebangsaan kita. PDI Perjuangan menginginkan negara mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Dedi.

    Diakuinya, berbagai persoalan lingkungan muncul akibat pengelolaan sumber daya alam yang merusak. Banjir tidak hanya terjadi di Sumatera, tetapi juga di Jabar, provinsi yang ia pimpin.

    “Itu karena masih adanya kelompok yang mengelola sumber daya alam secara ugal-ugalan, tidak memperhatikan aspek ekologi dan keberlangsungan alam,” ujarnya.

    Ia pun menegaskan perlunya mengembalikan tata kelola lingkungan berdasarkan nilai-nilai budaya Sunda yang menghargai keseimbangan alam.

    Dalam hal ini, Dedi mencontohkan prinsip yang dianut masyarakat Sunda, seperti “gunung kudu awian, lengkong kudu balongan, lebak kudu sawahan” atau ‘gunung harus ditanami bambu, cekungan harus dijadikan kolam, lahan rendah harus dijadikan sawah’.

    Ia berharap pembangunan Jabar ke depan dapat bertumpu pada nilai budaya, pluralisme, serta aspek keadilan. Dedi turut mengucapkan selamat atas pelaksanaan Konferda PDIP Jawa Barat.

    “Konferda ini adalah proses mewujudkan postur partai yang kokoh, visioner, dan berakar kuat pada kerakyatan,” katanya.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Cerita Rino Pilih Jualan Koran di Lampu Merah daripada Mengemis
                
                    
                        
                            Megapolitan
                        
                        4 Desember 2025

    Cerita Rino Pilih Jualan Koran di Lampu Merah daripada Mengemis Megapolitan 4 Desember 2025

    Cerita Rino Pilih Jualan Koran di Lampu Merah daripada Mengemis
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Pria bernama Rino (40) menjual koran di lampu merah perempatan Tugu Tani, Jakarta Pusat.
    Saat pengendara berhenti, ia langsung bangkit dari trotoar, menggenggam beberapa eksemplar
    koran
    yang mulai lecek di tangannya.
    Langkahnya cepat. Tubuhnya melenggang di antara barisan kendaraan.
    Ia mengetuk kaca mobil yang sedikit terbuka, lalu merentangkan koran ke arah pengendara memperlihatkan tajuk utama yang terpampang besar di halaman depan.
    Sesekali ia mencoba mendekati pengendara motor yang berhenti di garis depan.
    Namun, sebagian besar pengendara hanya merespons dengan gelengan kepala, isyarat tangan menolak, atau memilih memalingkan wajah ke layar ponsel.
    Ketika lampu kembali hijau, suara klakson dan deru mesin kembali menguasai udara, ia mundur pelan ke tepi jalan.
    Ia membungkuk, merapikan kembali dagangannya yang terlipat-lipat, lalu menunggu siklus berikutnya.
    Selama tiga jam
    Kompas.com
    melakukan pengamatan, Rabu (3/12/2025), tak satu pun koran yang dijual
    Rino
    laku terjual.
    Masih duduk di trotoar, Rino menatap jauh ke arah gedung-gedung tinggi yang berdiri megah di sekitar kawasan
    Tugu Tani
    .
    Hujan yang sempat turun sebelumnya membuat permukaan jalan masih basah.
    Kakinya yang telanjang tampak kedinginan, sesekali ia menggerakkannya untuk mengusir gemetar.
    Ia mengenakan kaus coklat kusam yang robek di beberapa bagian dan celana selutut yang warnanya hampir pudar.
    “Saya dari zaman Presiden Megawati sudah jualan di sini. Kurang lebih sudah 20 tahun,” ujar Rino saat dihampiri Kompas.com tersenyum samar.
    Selama dua dekade itu, ia tidak pernah berpindah lokasi. Tugu Tani adalah tempatnya bertahan hidup.
    Dulu, katanya, ia bisa menjual puluhan eksemplar koran hanya dalam beberapa jam. Pagi hari adalah waktu panen.
    Sopir kantor, pekerja swasta, hingga pegawai negeri, hampir semua mengambil satu eksemplar saat melintas. Namun sekarang situasinya terbalik.
    “Sekarang 10 koran saja sehari susah laku,” tutur Rino lirih.
    Rino tidak memiliki agen tetap. Tiap pagi ia mengumpulkan modal seadanya untuk membeli koran dari berbagai penerbit.
    “Biasanya saya beli paling 20 eksemplar. Kadang cuma punya uang Rp 20 ribu,” ucapnya.
    Untuk setiap koran Kompas yang ia ambil, modalnya kini Rp 8.000 dengan harga jual Rp 12.000, dan Rino hanya mendapatkan keuntungan sekitar Rp 4.000 per eksemplar.
    Jika tidak laku, koran itu dibawa pulang. Sebagian ia kumpulkan hingga setengah bulan lalu dijual kiloan tentu dengan harga jauh di bawah modal.
    Rino tertawa kecil saat ditanya apakah ia pernah mencoba pekerjaan lain.
    “Pernah tiga tahun jaga toko. Tapi saya enggak sanggup, soalnya penghasilannya nggak harian,” katanya.
    Bagi Rino, pekerjaan harus memberikan makan hari itu juga. Jika tidak, ia tak bisa membawa apa pun untuk keluarganya.
    Ia tinggal di wilayah Pasar Gembong, Jakarta Pusat. Ia memiliki tiga orang anak yang masih membutuhkan biaya sehari-hari.
    Namun ia tak menjelaskan lebih jauh tentang kondisi keluarganya.
    Dalam perbincangan, Rino mengatakan bahwa ia berusaha bertahan hidup dengan cara apa pun yang halal.
    Ia mengaku tak ingin menjadi tunawisma di sudut kota, atau mengemis kepada pengendara seperti yang kerap ia lihat dilakukan sebagian orang lain yang bernasib serupa.
    “Kalau saya cuma duduk minta-minta, saya malu. Saya masih sehat, masih bisa jalan, masih bisa usaha. Walaupun susah, lebih baik saya jualan koran. Ini kerjaan jujur,” ucapnya.
    Lebih jauh, ia menyebut bertahan sebagai pedagang koran adalah satu-satunya cara agar ia tetap merasa menjadi bagian dari masyarakat meski penjualan merosot, konsumen makin jarang melirik, dan kehadirannya di jalan sering dianggap mengganggu.
    “Kalau enggak kerja begini, saya jadi apa? Jadi gelandangan? Enggak lah. Saya masih punya harga diri,” kata Rino menegaskan.
    Kemunduran dunia koran cetak pastinya sangat terasa bagi Rino.
    “Sudah 10 tahun terakhir makin susah, sejak orang-orang mulai pakai HP pintar,” tutur dia.
    Hidup di jalanan pun membuatnya tak terlepas dari kejar-kejaran dengan Satpol PP.
    Penertiban menjadi risiko yang hampir pasti hadir dalam pekerjaannya.
    “Kalau ada penertiban ya kita bingung, lari-larian. Tapi saya nggak pernah dibawa paling lari kecil-kecil saja,” katanya sambil terkekeh kecil.
    Perubahan kebiasaan masyarakat menjadi tantangan terbesar pedagang koran jalanan.
    Kompas.com menghubungi Dayat Hidayah (40), seorang pekerja kantoran di Gondangdia yang masih berlangganan koran fisik.
    “Rasanya ada yang kurang kalau tidak buka koran di pagi hari,” katanya.
    Dayat mengakui bahwa ia juga membaca berita melalui ponsel, tetapi koran lebih memberinya fokus dan kedalaman.
    “Kalau di ponsel baru baca dua paragraf sudah ada notifikasi. Kalau koran, saya bisa duduk tenang, lebih paham isinya,” ujarnya.
    Ia kemudian menyinggung nasib pedagang koran seperti Rino.
    “Saya kasihan lihat mereka. Kadang saya sengaja beli satu dari mereka biar bisa bantu,” tutur Dayat.
    “Saya pesimis koran bisa kembali seperti dulu. Mungkin akan tetap ada, tapi jumlahnya kecil,” lanjutnya.
    Ignatius Haryanto, peneliti media Universitas Multimedia Nusantara, mengamini kondisi tersebut. Oplah koran kini relatif kecil.
    Bahkan banyak media besar hanya mampu mencetak kurang dari 20.000 eksemplar per hari sangat jauh dari masa kejayaan yang bisa mencapai 500.000eksemplar harian.
    “Orang ingin cepat mendapatkan informasi. Kalau menunggu koran terbit besok, dianggap ketinggalan zaman,” tutur Ignatius.
    Di sisi lain, menurutnya, media tetap mempertahankan versi cetak karena ada kelompok pembaca loyal, berita cetak lebih terstruktur dan terverifikasi, dan koran dianggap memiliki kredibilitas lebih tinggi.
    Namun digitalisasi jelas mengubah cara penyebaran berita. Media harus menyeimbangkan keduanya agar tetap relevan.
    “Digital dianggap ancaman, tapi juga harus dimanfaatkan,” ujarnya.
    Dalam regulasi ketertiban umum, pedagang koran di jalan raya juga termasuk dalam kategori yang harus ditertibkan.
    Kasatpol PP Jakarta Pusat, Purnama Hasudungan Panggabean menjelaskan bahwa hal tersebut diatur dalam Perda Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.
    “Semua termasuk di Perda 8 Tahun 2007. Kita halau dan kita tertibkan,” tegas Purnama.
    Ia menyebut, larangan mencakup menjadi pedagang asongan di jalan raya, menyuruh orang lain berjualan secara liar, dan memberi uang atau membeli dari pedagang liar.
    Dalam konteks ini, pedagang koran seperti Rino berada dalam posisi rentan antara melanggar aturan atau kehilangan mata pencaharian.
    Di tengah kenyataan yang terus menyulitkan, Rino mengaku tetap memiliki kebahagiaan kecil dari pekerjaannya.
    “Saya suka baca koran. Saya selalu baca dari koran sisa,” ujarnya sambil tersenyum.
    Ia membaca tentang politik, kriminal, olahraga, hingga hiburan. Meski bukan pelanggan resmi, ia menikmati informasi yang ia jual.
    Di trotoar yang menjadi tempatnya menunggu rezeki, Rino membuka lembar demi lembar berita sambil menunggu pengendara berhenti.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.