Tag: Media Wahyudi Askar

  • Beda Strategi di 100 Hari: Prabowo Pilih Efisiensi, Jokowi Pangkas Subsidi

    Beda Strategi di 100 Hari: Prabowo Pilih Efisiensi, Jokowi Pangkas Subsidi

    Bisnis.com, JAKARTA — Setiap presiden memiliki strategi untuk membiayai program dan target-target yang telah dijanjikan selama kampanye. Presiden Prabowo Subianto misalnya, telah mengeluarkan instruksi berisi anjuran efisiensi anggaran besar-besaran. Tidak tanggung-tanggung nilainya lebih dari Rp306 triliun.

    Langkah penghematan ala Prabowo itu dilakukan di tengah ruang fiskal yang masih terbatas. Rasio utang tembus di angka 39%. Sementara itu rasio pajak stagnan di kisaran angka 10%.

    Adapun sasaran efisensi anggaran Prabowo adalah sejumlah pengeluaran belanja di kementerian atau lembaga hingga dana transfer bagi pemerintah daerah (pemda).

    Dikutip melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025 terdapat dua sumber utama pemangkasan tersebut.

    Dalam beleid yang diteken Prabowo pada 22 Januari 2025 ini, Kepala Negara bakal memangkas anggaran belanja kementerian/lembaga (K/L) senilai Rp256,1 triliun. 

    Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming RakaPerbesar

    Prabowo juga memotong alokasi dana transfer ke daerah (TKD) sebesar Rp50,59 triliun. Dia juga menginstruksikan para menteri dan kepala lembaga di Kabinet Merah Putih agar segera mengidentifikasi pos-pos yang bisa ditekan. Meski begitu, efisiensi anggaran tidak termasuk untuk belanja pegawai dan bantuan sosial (bansos).

    “Identifikasi rencana efisiensi sebagaimana dimaksud pada angka 1, meliputi belanja operasional dan non-operasional. Sekurang-kurangnya terdiri atas belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin,” demikian bunyi beleid ketiga poin kedua, dikutip Kamis (23/1/2025).

    Nantinya, setiap pejabat pemerintahan harus segera menyampaikan hasil identifikasi rencana efisiensi anggaran kepada mitra komisi Dewan Perwakilan rakyat (DPR) untuk mendapat persetujuan.

    Prabowo menginginkan apabila sudah mendapat persetujuan DPR RI, maka pembantunya di kabinet merah putih itu segera melapor kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani, paling lambat 14 Februari 2025. 

    Tujuannya, Bendahara Negara itu akan bakal memblokir pos anggaran yang dihemat K/L. Sedangkan, kepala daerah diminta untuk menyesuaikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2025. Ini sebagai imbas dari dana TKD sebesar Rp50,59 triliun yang dipangkas Prabowo.

    “Memfokuskan alokasi anggaran belanja pada target kinerja pelayanan publik serta tidak berdasarkan pemerataan antar-perangkat daerah atau berdasarkan alokasi anggaran belanja pada tahun anggaran sebelumnya,” demikian bunyi beleid ketujuh butir kelima.

    Jokowi Pangkas Subsidi 

    Langkah konsolidasi fiskal Prabowo  sejatinya juga dilakukan oleh Presiden ke Joko Widodo alias Jokowi. Pada awal pemerintahannya pada tahun 2015 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berani mengambil kebijakan tidak populis. Belanja subsidi energi dipangkas kemudian dialihkan ke sektor-sektor yang lebih produktif untuk pembangunan infrastruktur dan program lainnya.

    Dalam catatan Bisnis, pada tahun 2015, sejak memegang tampuk kekuasaan, Jokowi awalnya tidak ingin mengulangi kebijakan subsidi pendahulunya. Subsidi diupayakan tepat sasaran. Jatah subsidi energi juga dipangkas. Tahun 2015 subsidi energi hanya dialokasikan sebesar Rp119,1 triliun.

    Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan APBN terakhir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2014 yang tercatat menggelontorkan Rp341,8 triliun untuk subsidi energi. Alokasi anggaran itu terdiri dari Rp240 triliun untuk subsidi BBM dan LPG serta subsidi listrik senilai Rp101,8 triliun.

    Jika dikalkulasikan, anggaran subsidi energi tahun 2014 setara dengan 3,2 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang pada tahun itu mencapai Rp10.542,7 triliun. Angka ini berbanding terbalik dengan anggaran infrastuktur tahun 2014 yang hanya sebesar Rp178 triliun. 

    Presiden ke 7 Joko Widodo (Jokowi) Perbesar

    Pemangkasan anggaran subsidi pada awal pemerintahan Jokowi semula dilakukan untuk memberikan ruang fiskal yang lebih lebar untuk kepentingan pembangunan infrastruktur. Tujuannya, uang yang semula habis dibakar untuk subsidi BBM dan tetek bengeknya itu, dialirkan untuk kepentingan infrastruktur. Pada tahun 2015, anggaran infrastuktur bahkan berhasil tembus di angka Rp290 triliun.

    Tren pemangkasan anggaran subsidi negeri terus berlanjut pada tahun 2016. Saat itu pemerintah hanya mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar Rp106,8 triliun. Namun demikian, untuk anggaran infrastruktur angkanya naik menjadi Rp313,5 triliun. Kebijakan pemangkasan anggaran subsidi energi terus berlangsung pada tahun 2017.

    Pada tahun 2017, pemerintah menggelontorkan anggaran subsidi energi sebesar Rp97,6 triliun. Rata-rata subsidi energi tahun 2015-2017 menunjukkan adanya penurunan rata-rata sebesar 9,5 persen. Sementara anggaran infrasturktur terus meroket, pada waktu itu pemerintah mengalokasikan anggaran senilai Rp400,9 triliun.

    Kebijakan pemangkasan subsidi energi berhenti pada tahun 2018. Pasalnya pada waktu itu, APBN mengalami turbulensi karena melonjaknya Indonesia crude price atau ICP yang diluar ekspektasi APBN. Akibatnya anggaran subsidi energi bengkak dari Rp97,6 triliun pada tahun 2017, menjadi Rp153,5 triliun pada tahun 2018.

    Meski anggaran subsidi energi naik, hal itu tidak mempengaruhi alokasi belanja infrastruktur yang justru naik menjadi Rp410,4 triliun.

    Anggaran subsidi berangsur turun pada tahun 2019 menjadi Rp136,9 triliun pada 2019 dan pada tahun 2020 menjadi Rp125,3 triliun. Pada dua tahun tersebut alokasi anggaran infrastruktur tercatat sebesar Rp415 triliun dan Rp423,3 triliun.

    Pada tahun 2021 seiring dengan berlakunya APBN pandemi Covid-19, pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi sebesar Rp110,5 triliun. Namun angka subsidi energi kembali naik pada tahun 2022 dengan alokasi sebesar Rp134 triliun. Realisasi subsidi energi pada tahun 2022 bahkan membengkak di atas Rp200 triliun menyusul kenaikan tren harga minyak mentah global.

    Setali tiga uang, untuk mengantisipasi fenomena tahun 2022 terulang, pemerintah mengalokasikan belanja subsidi energi pada tahun 2023 sebesar Rp211,9 triliun atau hampir mendekati jumlah subsidi energi yang digelontorkan oleh SBY pada akhir pemerintahannya sebesar Rp240 triliun.

    Tahun 2024, di tengah ketidakpastian global dan harga minyak yang cenderung fluktuatif pemerintah mengalokasikan anggaran subsidi energi sebanyak Rp185,8 triliun atau turun dibandingkan alokasi tahun 2023. Ada sejumlah pertimbangan yang membuat penurunan alokasi anggaran tersebut. 

    Pertama, tingginya harga komoditas yang menyebabkan meningkatnya kebutuhan subsidi energi. Kedua, LPG tabung 3 kg dan solar masih didistribusikan secara terbuka. Ketiga, validitas data masyarakat yang berhak menerima subsidi belum akurat. Keempat,  kebutuhan anggaran yang meningkat seiring dengan komitmen pemerintah dalam memberikan dukungan kepada EBT.

    Pengamat Mengkritisi 

    Lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies alias Celios mengkritisi instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk menghemat belanja pemerintah hingga Rp306,69 triliun karena hanya menunjukkan inkonsistensi dan tebang pilih.

    Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menilai penghematan belanja pemerintah merupakan langkah yang tidak perlu diambil apabila dari awal Prabowo membentuk kabinet yang ramping sehingga lebih efisien anggaran.

    Masalahnya, Prabowo malah membentuk Kabinet Merah Putih yang super jumbo. Setidaknya Ada 136 pejabat negara yang menempati posisi menteri, wakil menteri, kepala lembaga/badan, serta utusan khusus presiden di Kabinet Merah Putih.

    Riset Celios mendapati bahwa belanja pemerintah berpotensi bengkak hingga Rp1,95 triliun untuk lima tahun ke depan akibat kabinet gemuk tersebut.

    Pembengkakan tersebut hanya berasal dari kenaikan anggaran untuk biaya gaji dan operasional para menteri dan wakil menteri senilai Rp389,4 miliar per tahun. Estimasi perhitungan Celios belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.

    Singkatnya, Media menyebut penghematan belanja pemerintah sebesar Rp306,69 triliun yang diinstruksikan itu menunjukkan langkah yang tidak konsisten.

    “Pemerintah terlihat hemat di bawah tapi boros di atas,” ujar Media kepada Bisnis, Senin (27/1/2025).

    Dia juga menilai Prabowo terkesan kompromistis. Media mencontohkan, anggaran untuk birokrasi kementerian justru besar akibat banyaknya pos baru dalam kabinet.

    Selain itu, sambungnya, proyek atau program ambisius seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara maupun insentif untuk proyek strategis nasional (PSN) yang tidak ada urgensinya seperti PIK2 tidak masuk dalam sasaran pemangkasan.

    Media khawatir apabila efisiensi tidak dirancang secara hati-hati maka program perlindungan sosial seperti bantuan tunai, subsidi energi, dan program pengentasan kemiskinan bisa ikut terpangkas.

    “Ini berbahaya, terutama di tengah meningkatnya kesenjangan dan dampak ekonomi global seperti kenaikan harga pangan atau energi,” jelasnya.

  • Celios Kritisi Instruksi Presiden Prabowo tentang Pemotongan Anggaran

    Celios Kritisi Instruksi Presiden Prabowo tentang Pemotongan Anggaran

    Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies alias Celios mengkritisi instruksi Presiden Prabowo Subianto untuk menghemat belanja pemerintah hingga Rp306,69 triliun karena hanya menunjukkan inkonsistensi dan tebang pilih.

    Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menilai penghematan belanja pemerintah merupakan langkah yang tidak perlu diambil apabila dari awal Prabowo membentuk kabinet yang ramping sehingga lebih efisien anggaran.

    Masalahnya, Prabowo malah membentuk Kabinet Merah Putih yang super jumbo. Setidaknya Ada 136 pejabat negara yang menempati posisi menteri, wakil menteri, kepala lembaga/badan, serta utusan khusus presiden di Kabinet Merah Putih.

    Riset Celios mendapati bahwa belanja pemerintah berpotensi bengkak hingga Rp1,95 triliun untuk lima tahun ke depan akibat kabinet gemuk tersebut.

    Pembengkakan tersebut hanya berasal dari kenaikan anggaran untuk biaya gaji dan operasional para menteri dan wakil menteri senilai Rp389,4 miliar per tahun. Estimasi perhitungan Celios belum termasuk beban belanja barang yang timbul akibat pembangunan fasilitas kantor/gedung lembaga baru.

    Singkatnya, Media menyebut penghematan belanja pemerintah sebesar Rp306,69 triliun yang diinstruksikan itu menunjukkan langkah yang tidak konsisten.

    “Pemerintah terlihat hemat di bawah tapi boros di atas,” ujar Media kepada Bisnis, Senin (27/1/2025).

    Dia juga menilai Prabowo terkesan kompromistis. Media mencontohkan, anggaran untuk birokrasi kementerian justru besar akibat banyaknya pos baru dalam kabinet.

    Selain itu, sambungnya, proyek atau program ambisius seperti Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara maupun insentif untuk proyek strategis nasional (PSN) yang tidak ada urgensinya seperti PIK2 tidak masuk dalam sasaran pemangkasan.

    Media khawatir apabila efisiensi tidak dirancang secara hati-hati maka program perlindungan sosial seperti bantuan tunai, subsidi energi, dan program pengentasan kemiskinan bisa ikut terpangkas.

    “Ini berbahaya, terutama di tengah meningkatnya kesenjangan dan dampak ekonomi global seperti kenaikan harga pangan atau energi,” jelasnya.

    Sebagai informasi, Prabowo memerintahkan penghematan anggaran hingga Rp306,69 triliun lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD 2025, yang terbit pada 22 Januari 2024.

    Dalam Inpres pertama Prabowo itu, dijelaskan dua alokasi anggaran yang dipangkas adalah belanja kementerian/lembaga (K/L) hingga Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun.

    Prabowo meminta K/L melakukan penghematan belanja pegawai dan bantuan sosial. Secara spesifik, jenis belanja yang dihemat sekurang-kurangnya adalah belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.

    Prabowo turut memerintahkan kepala daerah membatasi kegiatan yang bersifat seremonial. Bahkan, secara spesifik dia meminta belanja perjalanan dinas dipotong hingga 50%.

  • Ekonom: Ada 50 Orang yang Kekayaannya Setara dengan 50 Juta Rakyat Indonesia

    Ekonom: Ada 50 Orang yang Kekayaannya Setara dengan 50 Juta Rakyat Indonesia

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pendiri Celios (Center of Economic and Law Studies), Media Wahyudi Askar, mengungkapkan fakta mencengangkan terkait ketimpangan ekonomi di Indonesia.

    Dikutip dari wawancaranya pada podcast Akbar Faizal Uncensored, ia menyebut bahwa kekayaan 50 orang di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta masyarakat.

    Fakta ini, menurut Media, menjadi bukti nyata ketidakadilan dalam sistem ekonomi nasional.

    “Saya tidak pernah menyangka menemukan kesimpulan ini. Ternyata ada 50 orang yang kekayaannya setara dengan 50 juta rakyat Indonesia,” ungkap Media.

    Ia menyoroti keterkaitan erat antara Proyek Strategis Nasional (PSN), pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), dan para elite kekuasaan.

    Dikatakan Media, orang-orang yang terlibat dalam proyek besar tersebut adalah tokoh dengan afiliasi kuat terhadap partai politik dan perusahaan besar, terutama di sektor industri ekstraktif.

    “Mereka yang terlibat di lingkaran kekuasaan ini sangat terafiliasi dengan partai politik dan perusahaan besar, terutama di industri ekstraktif,” ucapnya.

    Bukan hanya itu, ia menuturkan bahwa para industri tersebut jugamendapatkan subsidi yang luar biasa besar, seperti royalti 0 persen untuk pembangunan smelter.

    “Selain itu, corporate tax untuk perusahaan besar diturunkan dari 25 persen ke 22 persen, dan sekarang bahkan direncanakan turun lagi ke 20 persen,” paparnya.

    Media juga mengkritik peningkatan kekayaan pejabat publik selama satu dekade terakhir.

    Ia menyebut beberapa nama pejabat negara yang terafiliasi dengan korporasi besar, seperti Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.

  • Kenaikan PPN untuk Barang Mewah Tak akan Berdampak Signifikan Pada Pertumbuhan Ekonomi – Halaman all

    Kenaikan PPN untuk Barang Mewah Tak akan Berdampak Signifikan Pada Pertumbuhan Ekonomi – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (Celios) Media Wahyudi Askar menilai pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen untuk barang mewah tidak akan memberi dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

    Sebab, konsumsi barang mewah hanya berkontribusi kecil terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan konsumsi barang kebutuhan sehari-hari.

    Lalu, sektor-sektor terkait seperti properti premium, otomotif kelas atas, dan fesyen mewah kemungkinan tidak akan mengalami perlambatan akibat penurunan permintaan.

    Hal itu karena menurut Media, khusus untuk masyarakat desil 10 persen teratas, daya belinya masih bagus.

    “Pola konsumsi masyarakat atas relatif tidak berubah, dengan konsumen kelas atas tidak akan beralih ke barang substitusi yang lebih murah,” ujar Media kepada Tribunnews, dikutip Minggu (5/1/2025).

    Selain itu, ia mengatakan PPN 12 persen untuk barang mewah sebetulnya hanya pelengkap saja. Tidak akan ada kontribusi yang signifikan pada penerimaan negara.

    Beda dengan non barang mewah, konsumsi barang mewah tidak terlalu dipengaruhi oleh faktor lain seperti inflasi dan pertumbuhan pendapatan, serta financial shock pada rumah tangga.

    “Menaikkan PPN hanya untuk barang mewah memang mencerminkan keadilan. Namun, jumlahnya tidak seberapa potensi penerimaannya dibandingkan mendorong pajak penghasilan yang lebih progresif,” ucap Media.

    Kementerian Keuangan (Kemenkeu) pun disebut tidak pernah menjadikan untuk barang mewah sebagai opsi yang diambil.

    Menurut dia, opsi tersebut sejak awal tak pernah menjadi pertimbangan kementerian yang dipimpin Sri Mulyani itu.

    “Semua tahu gimana proses kekacauan kebijakan PPN ini selama beberapa bulan terakhir ini,” kata Media. 

    “Opsi menaikkan hanya untuk barang mewah sebetulnya dari awal tidak pernah menjadi opsi Kemenkeu,” pungkasnya.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyatakan bahwa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen hanya dikenakan pada barang yang tergolong mewah.

    Barang mewah itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2021.

    PMK tersebut mengatur tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

    “Jadi yang 12 persen itu barang yang sangat mewah yang diatur dalam PMK Nomor 15 Tahun 2023. Itu itemnya sangat sedikit,” kata Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, dikutip Rabu (1/1/2025).

    Lantas, barang apa saja yang terkena PPN 12 persen?

    1. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp 30 miliar.

    2. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.

    3. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:
    – peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.

    4. Helikopter

    5. Pesawat udara dan kendaraan udara lainnya selain helikopter.

    6. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:
    – Senjata artileri
    – Revolver dan pistol
    – Senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol) dan peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak.

    7. Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum:
    – Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam itu terutama dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri, dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
    – Yacht, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum atau usaha pariwisata.

    Sementara itu, Sri Mulyani menegaskan bahwa seluruh barang dan jasa yang selama ini terkena PPN 11 persen tidak mengalami kenaikan atau tetap 11 persen.

    “Tidak ada kenaikan PPN untuk hampir seluruh barang dan biasa yang selama ini tetap 11 persen,” papar dia.

    Dia juga merincikan bahwa ada beberapa barang dan jasa mengalami pengecualian atau PPN nya hanya 0 persen meliputi barang pokok, misalnya beras, jagung, kedelai, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi jalar.

    Kemudian gula, ternak dan hasilnya, susu segar, unggas, hasil pemotongan hewan, kacang tanah, kacang-kacangan lain, padian-padian yang lain, kemudian ikan, udang, biota lainnya, rumput laut.

    “Kemudian juga tiket kereta api, tiket bandara, angkutan orang, jasa angkutan umum, jasa angkutan sungai dan penyeberangan, penyerahan jasa paket penggunaan besar tertentu, penyerahan pengurusan paspor, jasa biro perjalanan, kemudian jasa pendidikan, pemerintah dan swasta, buku-buku pelajaran, kitab suci,” terangnya.

    Selain itu, jasa kesehatan dan layanan medis pemerintah maupun swasta, jasa keuangan, dana pensiun, jasa keuangan lain seperti pembiayaan piutang, kartu kredit, asuransi kerugian, asuransi jiwa serta reasuransi tetap mendapatkan fasilitas PPN 0 persen atau tidak membayar PPN.

    “Sedangkan seluruh barang jasa yang lain yang selama ini 11 persen, tetap 11 persen, tidak ada atau tidak terkena kenaikan 12 persen,” ungkap dia.

  • Catat, Program Makan Bergizi Gratis Resmi Dimulai 6 Januari 2025 – Page 3

    Catat, Program Makan Bergizi Gratis Resmi Dimulai 6 Januari 2025 – Page 3

    Program Makan Bergizi Gratis (MBG) akan resmi diluncurkan pada 6 Januari 2025 dengan alokasi anggaran sebesar Rp71 triliun untuk satu tahun penuh. Namun, pertanyaan muncul: apakah dana Makan Bergizi Gratis ini cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi 19,47 juta penerima manfaat?

    Anggaran Rp71 Triliun Dinilai Belum MemadaiDirektur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Media Wahyudi Askar, menilai bahwa anggaran sebesar Rp71 triliun pada tahun perdana MBG masih belum mencukupi.

    “Anggaran sebesar Rp71 triliun ini bertujuan untuk menjangkau 19,47 juta orang. Namun, ini menjadi problematik karena nominal tersebut terlihat sangat terbatas jika dibandingkan dengan kebutuhan program,” ujar Media Wahyudi dalam acara peluncuran laporan bertajuk Makan Bergizi Gratis: Polemik Skema Penyaluran MBG, Senin (30/12/2024).

    Tantangan pada Nominal Per Porsi

    Media Wahyudi juga menyoroti alokasi anggaran per porsi makanan bergizi yang ditetapkan sebesar Rp10.000. Ia menyebut bahwa angka tersebut belum mencakup kejelasan dana untuk membangun ekosistem penyediaan makanan bergizi.

    “Dengan alokasi Rp10.000 per porsi, masih banyak pertanyaan tentang bagaimana ekosistem yang akan mendukung pelaksanaan program ini dapat dibangun,” jelasnya.

     

  • Pakar Ingatkan Makan Bergizi Gratis Bisa Jadi Skandal Korupsi Besar

    Pakar Ingatkan Makan Bergizi Gratis Bisa Jadi Skandal Korupsi Besar

    Jakarta, CNN Indonesia

    Center of Economic and Law Studies (Celios) mewanti-wanti program andalan Presiden Prabowo Subianto, yakni makan bergizi gratis, berpotensi menjadi skandal korupsi terbesar.

    Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menyebut ini bakal terjadi andai Prabowo kukuh dengan skema penyaluran makan gratis yang bersifat sentralistis. Apalagi, skema tersebut melibatkan banyak pihak yang berpotensi membuat anggaran bocor lebih besar.

    “Justru menjadi bancakan baru, potensi korupsi, bahkan bisa menjadi skandal korupsi yang sangat besar, seperti yang terjadi di Tiongkok berkaitan dengan makan siang untuk anak sekolah,” ungkapnya dalam Diskusi Publik dan Peluncuran Laporan ‘Yang Lapar Siapa? Yang Kenyang Siapa? Mitigasi Risiko Program Makan Bergizi Gratis’ via Zoom, Senin (30/12).

    “Kami simulasikan beberapa aspek potensi inefisiensi dan kita melihat ada potensi korupsi sebesar Rp8,52 triliun pada tahun depan (2025) dari total anggaran Rp71 triliun, apabila skema sentralistis itu dilaksanakan oleh pemerintah,” sambung Media.

    Menurut Celios, pendanaan program makan gratis seharusnya ditransfer langsung dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) ke sekolah-sekolah di daerah. Media menekankan penyaluran anggaran makan gratis yang kemudian langsung dikelola sekolah bakal lebih efisien.

    Media juga membandingkan empat aspek utama dari skema sentralisasi dan desentralisasi makan gratis. Pertama, total risiko korupsi yang lebih rendah jika disalurkan langsung ke sekolah, yakni sebesar Rp1,77 triliun di 2025.

    Kedua, persentase risiko korupsi yang bisa mencapai 12 persen andai pemerintah tetap melaksanakan program ini secara terpusat. Sedangkan skema desentralisasi memiliki potensi korupsi 2,5 persen.

    “Menurut kami, desentralistik itu way better, jauh lebih baik dibandingkan sentralistik. Total risiko korupsinya jauh lebih kecil,” tegasnya.

    Aspek ketiga adalah fokus distribusi, di mana skema terpusat diklaim bakal lebih mengutamakan vendor besar dan dapur umum alias satuan unit pelayanan. Sementara itu, cara desentralisasi bisa melibatkan sekolah, UMKM, dan pihak-pihak lokal.

    Keempat, Media membandingkan efisiensi pengawasan makan gratis dari dua skema tersebut. Ia menegaskan efisiensi pengawasan skema sentralistik lebih rendah ketimbang desentralistik.

    (skt/pta)

  • PPN 12% Tuai Kritik, Perak Indonesia: Beban bagi Perempuan

    PPN 12% Tuai Kritik, Perak Indonesia: Beban bagi Perempuan

    loading…

    Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 2025 dinilai bakal menjadi beban bagi kaum perempuan. Foto/Dok SINDOnews

    JAKARTA – Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) menjadi 12% mulai 2025 menuai kritik sejumlah pihak. Salah satunya, kritikan datang dari Ketua Departemen Pemberdayaan Ekonomi dan Peningkatan Mutu Profesi pada Perhimpunan Perempuan Penggerak Indonesia (Perak Indonesia) Ade Irma Setya Negara.

    Dia menilai kebijakan tersebut akan menjadi beban bagi perempuan. Dia menilai kebijakan tersebut berpotensi memberatkan kalangan menengah ke bawah, yang selama ini menjadi tulang punggung konsumsi domestik Indonesia.

    Ade menuturkan bahwa PPN 12 persen bukan hanya soal harga barang yang dikenakan pajak 12 persen, tapi juga bahan-bahannya. “Dengan demikian kenaikan PPN menjadi 12 persen akan menyebabkan lonjakan harga barang dan jasa karena ongkos produksi bertambah,” ujarnya, Kamis (26/12/2024).

    “Dari hulu ke hilir kena pajak 12 persen. Ketika harga barang dan jasa meningkat, daya beli masyarakat menengah ke bawah akan semakin tertekan,” sambungnya.

    Menurut dia, hal tersebut dapat memicu perlambatan ekonomi secara keseluruhan. “Mungkin ini akan menjadi solusi cepat untuk negara dalam mendapatkan fresh money, tapi menjadi beban bagi masyarakat terutama kalangan menengah ke bawah,” jelasnya.

    Dirinya pun menyoroti dampak kenaikan PPN terhadap peningkatan ketimpangan ekonomi. “Masyarakat menengah ke bawah mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk konsumsi harian. Dengan kenaikan PPN, biaya hidup mereka naik signifikan, sehingga angka kemiskinan berpotensi bertambah,” ujarnya.

    Beberapa pakar ekonomi termasuk Direktur Kebijakan Publik CELIOS Media Wahyudi Askar, lanjut dia, tidak sepenuhnya setuju dengan pernyataan pemerintah bahwa semua barang kebutuhan pokok tidak akan dikecualikan dari PPN. Alasannya, kebijakan pengecualian tersebut sebenarnya sudah ada sejak 2009.

  • Menyibak Alasan Prabowo Enggan Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen

    Menyibak Alasan Prabowo Enggan Batalkan Kenaikan PPN 12 Persen

    Jakarta, CNN Indonesia

    Pemerintah ngotot menaikkan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dari 11 persen ke 12 persen mulai 1 Januari 2025. Padahal, gelombang penolakan kenaikan PPN terus menggema.

    Petisi berisi penolakan kenaikan PPN menjadi 12 persen bahkan menembus 171 ribu tanda tangan per Senin (23/12) pagi pukul 07.40 WIB.

    Pembuat petisi menganggap PPN 12 persen menyulitkan rakyat. Dia mengingatkan daya beli masyarakat sedang buruk.

    “Rencana menaikkan kembali PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik. Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik,” tulis Bareng Warga, inisiator petisi tersebut.

    Kenaikan PPN tak heran membuat masyarakat marah. Pasalnya, harga barang dan jasa yang selama ini dikonsumsi sehari-hari akan ikut terkerek.

    Awalnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim kebijakan kenaikan PPN ini bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.

    Sejumlah barang mewah yang ia maksud di antaranya beras premium; buah-buahan premium; daging premium (wagyu, daging kobe); ikan mahal (salmon premium, tuna premium); udang dan crustacea premium (king crab); jasa pendidikan premium; jasa pelayanan kesehatan medis premium; dan listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA.

    Namun, kenyataannya PPN 12 persen tak hanya menyasar barang-barang mewah. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tarif PPN 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen.

    Artinya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat mulai dari sabun mandi, pulsa, hingga langganan video streaming seperti Netflix.

    Lantas apa yang membuat pemerintah seolah menutup telinga terhadap protes kenaikan PPN 12 persen?

    Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar mengatakan peluang kenaikan PPN ditunda atau dibatalkan sebenarnya terbuka. Pasalnya, dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pasal 7 Ayat (3) pada Bab IV disebutkan tarif PPN bisa diubah dalam rentang 5 hingga 15 persen.

    Namun, langkah ini akan memakan waktu lama karena perlu kesepakatan antara pemerintah dan DPR.

    Media mengatakan sebenarnya ada jalan pintas untuk membatalkan kenaikan PPN yakni dengan Presiden Prabowo Subianto menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mengubah kebijakan kenaikan PPN 12 persen pada 2025.

    Namun sayangnya, Prabowo tak mengambil langkah itu hingga saat ini.

    “Akan jadi heroik sekali Pak Prabowo kalau menerbitkan Perppu membatalkan kenaikan tarif PPN 12 persen karena memang membebani masyarakat menengah ke bawah. Jadi akan dianggap sebagai presiden yang baik di mata masyarakat,” katanya kepada CNNIndonesia.com, Senin (23/12).

    Media menilai pemerintah tak kunjung membatalkan kenaikan PPN lantaran sudah kebakaran jenggot saat ini. Menurutnya, perencanaan kebijakan PPN 12 persen sudah salah sejak awal karena tidak diputuskan dengan matang.

    Hal itu setidaknya terlihat dari pernyataan pemerintah yang berubah-ubah di mana yang awalnya mereka menyebut PPN 12 persen hanya untuk barang mewah. Namun, kemudian pemerintah menjelaskan PPN 12 persen berlaku untuk semua barang dan jasa yang dikenakan PPN 11 persen selama ini.

    Selain itu, pemerintah katanya sepertinya tidak mengira bahwa kritik masyarakat akan sangat tajam terhadap kenaikan PPN menjadi 12 persen.

    “Jadi sekarang (pemerintah) udah kayak kebakaran jenggot. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sekarang diminta sebagai garda depan untuk berbicara kepada publik. Jadi seakan-akan ya sudah ini tanggung jawab Kemenkeu. Padahal Kemenkeu juga sudah bingung karena ini adalah kesepakatan antara pemerintah dan DPR,” katanya.

    “Jadi pemerintah khususnya Prabowo takut malu seandainya membatalkan kenaikan PPN, sehingga mereka enggan membatalkan sekarang. Jadi udah heboh di publik, sekarang kalau ditarik lagi kebijakannya seakan menjilat ludah sendiri,” katanya.

    Sementara, Direktur Ekonomi Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda mengatakan alasan pasti pemerintah tetap menaikkan PPN ke 12 persen bukan lah hanya demi menjalankan UU HPP seperti yang selama ini disampaikan Airlangga cs. Pasalnya beleid itu memberikan kesempatan bagi pemerintah untuk membatalkan kebijakan kenaikan tarif PPN.

    Menurutnya, alasan paling utama PPN tetap dinaikkan adalah karena pemerintah butuh uang untuk pembiayaan program andalan Prabowo-Gibran.

    “Mereka butuh uang banyak, yang mereka ambil dari masyarakat dalam bentuk pajak. PPN merupakan instrumen termudah dan mengikat bagi pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Porsi PPN juga relatif besar, daripada effort lebih untuk ekstensifikasi pajak melalui pencarian objek pajak baru atau pematuhan subjek pajak,” katanya.

    Senada, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat pemerintah kekeh menaikkan PPN menjadi 12 persen lantaran pemerintah butuh uang untuk program baru yang siap dieksekusi di tahun depan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG).

    Di saat yang bersamaan, pemerintahan Prabowo juga butuh uang untuk melanjutkan beberapa program yang sudah diinisiasi oleh pemerintahan Jokowi seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).

    Alasan lainnya adalah pemerintah akan dihadapkan pada kondisi utang jatuh tempo dalam lima tahun ke depan. Makan mau tak mau, pemerintah harus mencari cara untuk mencari tambahan sumber pendanaan.

    [Gambas:Photo CNN]

    “Terkait dengan sumber pendanaan sebenarnya pemerintah bisa mencari melalui pos lain seperti misalnya pajak windfall dan batubara, yang secara spesifik bisa dijalankan ketika sebuah komoditas dalam hal ini misalnya batubara tengah mengalami kenaikan harga di sebabkan oleh beberapa faktor,” katanya.

    Selain itu, sambungnya, pemerintah juga masih bisa menjalankan pajak karbon yang sebenarnya ketentuannya sudah diatur bersamaan dengan UU HPP.

    Yusuf pun mengaku bingung kenapa pemerintah begitu percaya diri mengerek tarif PPN di tengah kondisi ekonomi saat ini. Pasalnya, saat ini sudah terlihat jelas jumlah kelas menengah dan daya beli masyarakat tertekan. Kondisi itu sudah menjadi indikasi yang jelas bahwa kondisi perekonomian sedang tidak baik-baik saja.

    Namun, sayangnya pemerintah hanya melihat ekonomi yang tumbuh di kisaran 5 persen, tanpa melihat masalah yang sebenarnya terjadi di dalamnya.

    “Pandangan inilah yang saya kira menjadikan pemerintah tetap menaikkan tarif PPN karena menganggap pertumbuhan ekonomi yang terjadi merupakan indikator satu-satunya yang menggambarkan kondisi perekonomian saat ini. Padahal pemerintah seharusnya melihat lebih jauh terkait kondisi perekonomian kita saat ini terutama ketika mempertimbangkan akan menjalankan kebijakan tarif baru PPN ini,” katanya.

  • Celios: Justifikasi Pemerintah soal PPN 12% Berdampak Kecil Itu Sesat, Begini Faktanya

    Celios: Justifikasi Pemerintah soal PPN 12% Berdampak Kecil Itu Sesat, Begini Faktanya

    Bisnis.com, JAKARTA — Center of Economic and Law Studies atau Celios menilai justifikasi pemerintah bahwa PPN 12% tidak memberikan dampak signifikan terhadap inflasi dinilai tidak tepat dan menyesatkan.

    Pemerintah menyampaikan bahwa tingkat inflasi yang melonjak pada 2022 lalu bukanlah akibat PPN 11% yang efektif per 1 April 2022, melainkan karena tekanan harga global hingga gangguan pasokan pangan dan kenaikan harga BBM.

    Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menuturkan memang inflasi yang naik secara keseluruhan saat itu bukan hanya akibat PPN 11%. Namun, kenaikan tarif pajak tersebut jelas mengerek inflasi tahunan dari 2,64% (Maret 2022) menjadi 4,94% (Agustus 2022).

    “Pemerintah terjebak dengan kebijakan yang sudah diketok palu. Jadi, mau bagaimanapun juga dicari justifikasinya [bahwa PPN 12% tidak berdampak signifikan bagi perekonomian],” ujarnya, Senin (23/12/2024).

    Padahal, kala itu pemerintah juga memprediksikan inflasi akan tetap dalam target 2%—4% sepanjang 2022. Realisasinya, inflasi tahunan melonjak ke level 5,51% dan bahkan tercatat menjadi level tertinggi sejak 2014.

    Media menilai anomali inflasi terjadi persis setelah PPN dinaikkan, dan sudah pasti disebabkan oleh kenaikan PPN, dibandingkan dengan masalah tekanan harga global dan supply pangan yang terjadi sepanjang tahun pada 2022.

    Untuk itu, Media melihat adanya potensi inflasi akan melonjak ke level 4,1% atau lebih besar dari target pemerintah maupun Bank Indonesia yang berada di angka 1,5%—3,5%. Khawatirnya jika kenaikan PPN tidak direspon dengan baik, angka 4% akan tercapai pada kuartal pertama tahun depan.

    Sekalipun pemerintah menyiapkan bantalan berupa paket kebijakan ekonomi 2025 yang diprediksi senilai Rp265,6 triliun, namun efek rambatan akan lebih kuat terhadap daya beli masyarakat.

    Sementara bantuan sosial yang pemerintah siapkan untuk 2025 pun nyatanya tidak didesain untuk masyarakat miskin.

    “Kapasitas fiskal kita untuk bansos enggak sekuat satu atau dua tahun lalu karena faktor rupiah dan proyek PSN IKN yang belum bisa langsung menghasilkan output ekonomi signifikan. inflasi sangat sulit ditahan dalam dua kuartal pertama 2025,” lanjutnya.

    Melihat data secara historis pada 2022, inflasi awal tahun dimulai dengan angka 2,18% (year on year/YoY). Kemudian inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) melandai ke level 2,06% dan mulai meningkat kembali pada Maret menjadi 2,64%.

    Sementara pada April 2022, di mana pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% mendorong inflasi melaju ke 3,47% (YoY). Inflasi kembali meningkat pada Mei, Juni, dan Juli 2022 yang masing-masing sebesar 3,55%, 4,35%, dan 4,94% (YoY).

    Kemudian inflasi mulai melonjak ke 5,95% usai pemerintah memutuskan melakukan penyesuaian harga BBM pada September. Inflasi di atas 5% bertahan hingga Februari 2023. Sejak saat itu, inflasi mulai melandai dan mencapai 1,55% (YoY) pada November 2024, bahkan menjadi yang terendah sejak Agustus 2021.

  • Celios: Paket Stimulus Ekonomi 2025 untuk 6 Sektor Bukan Hal Baru – Halaman all

    Celios: Paket Stimulus Ekonomi 2025 untuk 6 Sektor Bukan Hal Baru – Halaman all

     

    Laporan Wartawan Tribunnews.com, Nitis Hawaroh 

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Center of Economics and Law Studies (Celios) mengklaim paket stimulus ekonomi yang digagas pemerintah pada enam sektor untuk tahun 2025, bukan merupakan hal baru.

    Enam sektor tersebut meliputi rumah tangga, pekerja, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), industri padat karya, mobil listrik dan hybrid serta sektor perumahan.

    “Dari semua paket ekonomi yang dipaparkan DJP, beberapa diantaranya bukanlah hal yang baru dan memang sudah berjalan, seperti stimulus untuk UMKM dan insentif untuk sektor otomotif. Perlu diingat, skema bantuan tersebut tidak didesain untuk semua orang atau dinikmati lebih banyak oleh masyarakat bawah,” kata Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar dalam keterangannya, dikutip Senin (23/12/2024).

    Menurut Media, stimulus paket ekonomi itu dinilai hanya untuk masyarakat tertentu. Dia menyontohkan sektor perumahan yang mendapat bebas PPN 12 persen untuk pembelian rumah Rp 2 miliar periode Januari sampai Juni 2025.

    Media bilang, harga jual rumah senilai Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar itu justru berada di luar jangkauan daya beli masyarakat miskin.

    Masyarakat berpendapatan rendah biasanya hanya mampu membeli rumah subsidi dengan harga jauh dibawah Rp 500 juta. 

    “Jadi, diskon PPN 100 persen untuk pembelian hingga Rp2 miliar pertama lebih relevan bagi kelompok yang memiliki kemampuan untuk membayar uang muka dan cicilan untuk rumah di kisaran harga tersebut. Dengan kata lain, kelompok masyarakat miskin belum tentu menikmati diskon tersebut,” jelas Media.

    Media juga menyoroti insentif paket kebijakan ekonomi lainnya seperti Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) sebesar 3 persen untuk pembelian kendaraan bermotor hybrid. Dia bilang, stimulus ini hanya akan dinikmati oleh masyarakat kelas atas.

    “Atau Tarif PPh Final 0,5 persen untuk WP OP UMKM yang telah Menggunakan Selama 7 Tahun dimana UMKM yang telah memanfaatkan tarif PPh Final selama 7 tahun cenderung merupakan usaha yang lebih mapan dan telah menikmati berbagai insentif perpajakan sebelumnya,” papar dia.

    Meski begitu, pemerintah sendiri menggelontorkan Rp 265,6 triliun untuk insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di delapan sektor tahun 2025.

    Delapan sektor yaitu bahan makanan sebesar Rp 77,1 triliun, Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Rp 61,2 triliun, sektor transportasi Rp 34,4 triliun.

    Sektor jasa pendidikan dan kesehatan Rp 30,8 triliun serta jasa keuangan dan asuransi sebesar Rp 27,9 triliun.

    Sektor otomotif dan properti sebesar Rp 15,7 triliun, sektor listrik dan air Rp 14,1 triliun dan insentif PPN lainnya Rp 4,4 triliun.

    Media menyebut bahwa insentif senilai Rp 265,6 triliun sudah menjadi tanggungjawab pemerintah. Dia juga menilai insentif PPN itu sangat umum dan sudah dilakukan oleh negara-negara lain.

    “Insentif PPN terhadap barang pokok bukanlah hal yang istimewa, sudah dilakukan sejak lama dan sangat umum dilakukan di berbagai negara seperti Malaysia, Thailand dan Filipina,” ucap dia.

    “Insentif PPN terhadap barang pokok tersebut memang sudah menjadi tanggung jawab negara yang diamanatkan pada Pasal 34 UUD RI Tahun 1945. Klaim soal insentif pemerintah jelas berlebihan,” sambungnya.