Tag: Media Wahyudi Askar

  • Pertumbuhan Ekonomi Harus Hadirkan Kesejahteraan Anak Bangsa

    Pertumbuhan Ekonomi Harus Hadirkan Kesejahteraan Anak Bangsa

    Jakarta: Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan harus menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan salah satu amanat dari para pendiri bangsa. 

    “Keseluruhan data proyeksi ekonomi yang ada saat ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi kita semua agar mampu memahami apa yang harus dilakukan pada tahun depan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Indonesia Economic Outlook 2026 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 (FDD12), Rabu, 17 Desember 2025.

    Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari  (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan David Sumual (Kepala Ekonom Bank BCA), Media Wahyudi Askar (Direktur Center of Economic and Law Studies/Celios), dan Riza Annisa Pujarama (Peneliti Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance /INDEF) sebagai narasumber.  Selain itu hadir pula Dr. Radityo Fajar Arianto, SE, MBA. (Dosen Ekonomi Universitas Pelita Harapan) sebagai penanggap. 

    Menurut Lestari, bangsa Indonesia harus memiliki optimisme dengan bersama-sama terlibat aktif dalam upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. 

    “Para pemangku kepentingan perlu bersama-sama melakukan refleksi untuk melihat sektor-sektor yang berpotensi tumbuh dan bisa dimanfaatkan sebagai salah satu faktor pendorong untuk mencapai target ekonomi yang direncanakan,” tuturnya.

    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI menilai, sektor padat karya perlu mendapat perhatian lebih untuk menyikapi dampak dinamika ekonomi global menekan perekonomian di dalam negeri. 

    Oleh karena itu, ia berharap partisipasi aktif semua pihak, masyarakat, swasta, dan pemerintah, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan dapat mewujudkan kesejahteraan bagi setiap anak bangsa. 
     

    Ancaman black swan event
    Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual mengungkapkan, kondisi perekonomian secara global tahun depan masih dalam ancaman black swan event sehingga perlu masuk dalam mitigasi risiko pada 2026.

    “Tahun depan harus tetap waspada dengan tetap mencari katalis-katalis untuk memacu pertumbuhan,” kata David.

    Dampak bencana alam di Sumatra beberapa waktu lalu, ujar David, diperkirakan akan mempengaruhi 0,3 persen dari PDB.  Dalam upaya rekonstruksi pascabencana ia pun menyebut dana yang dibutuhkan mencapai Rp70 triliun.

    “Perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun depan sekitar 5,5 persen, salah satunya didorong oleh nett ekspor sekitar 3,5 persen,” sebutnya.

    Namun, ujar David, dari sisi investasi asing tahun depan tidak cukup masif. Mata uang rupiah tertekan akibat outflow investasi portofolio. 

    Ia menilai sejumlah langkah stimulus yang diterapkan pemerintah harus segera diperbaiki pelaksanaannya agar mampu memberikan dampak yang lebih merata bagi masyarakat. 

    Sejumlah katalis yang dapat dilakukan pada 2026 untuk mendorong pertumbuhan, menurut David, antara lain penurunan BI rate, realisasi perjanjian investasi dan perdagangan untuk membuka pasar baru, dan realisasi sejumlah program prioritas pemerintah, seperti penguatan produksi pangan. 

    Sementara itu, Direktur Celios, Media Wahyudi Askar berpendapat, dalam perspektif kebijakan pada 2026 harus fokus pada mitigasi risiko. Langkah mitigasi risiko harus dikedepankan agar kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam perekonomian tidak terjadi. 

    Lansekap ekonomi 2026 akan lebih kompleks. Kelompok masyarakat kelas menengah mulai terganggu daya belinya, sedangkan pada kelompok masyarakat kelas atas spendingnya masih tinggi. 

    “Tahun depan ada shifting economy. Ada yang naik, tetapi ada yang turun,” ujar Media. 

    Media memperkirakan, pada 2026 berpeluang terjadi overheating economy, karena permintaan tumbuh lebih cepat jika dibandingkan dengan kapasitas produksi yang ada. 

    Salah satunya, jelas Media, berpotensi dipicu oleh pelaksanaan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang anggarannya mencapai Rp335 triliun. Namun, tambah dia, dampaknya belum masif sampai ke sektor-sektor UMKM. 

    Selain itu, ungkap Media, skenario lain yang akan terjadi pada tahun depan adalah goldilocks economy yang dicerminkan dengan pertumbuhan yang moderat dan inflasi yang stabil. 

    Menurut Media, bila kondisi goldilocks economy tersebut berlangsung lama, akan memberi dampak negatif yang panjang antara lain dalam bentuk ketimpangan di perkotaan dan masyarakat miskin akan semakin miskin. 

    Menata ekonomi nasional
    Peneliti Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF Riza Annisa Pujarama mendorong berbagai upaya untuk menata kembali perekonomian nasional guna menumbuhkan keadilan di tengah masyarakat. 

    Dia menjelaskan, dalam 8 triwulan terakhir dampak dinamika ekonomi nasional terus menekan daya beli masyarakat yang selalu berada di bawah 5 persen.

    ‘Secara makro tingkat kemiskinan tercatat menurun. Namun, tingkat kemiskinan di perkotaan mengalami kenaikan. Sementara itu, sub sektor pariwisata belum menunjukkan perbaikan, seperti restoran, hotel, transportasi, dan komunikasi, meski sejumlah stimulus sudah diberikan. Dampak dinamika perdagangan global juga masih menimbulkan ketidakpastian di dalam negeri,” tuturnya.

    Sejumlah faktor yang menekan pertumbuhan ekonomi itu, tegas Riza, harus segera diatasi bersama demi menumbuhkan kesejahteraan masyarakat. 

    Dosen Ekonomi Universitas Pelita Harapan, Radityo Fajar Arianto berpendapat, bahwa 2026 merupakan tahun yang menantang bagi pemerintah Indonesia. 

    Radityo menilai, dari sektor penerimaan negara juga cukup menantang. Namun, tambah Radityo, dia melihat peluang dan momentum untuk menjawab kondisi tersebut. 

    “Salah satu peluang adalah upaya rekonstruksi pascabencana di Sumatra yang diperkirakan membutuhkan Rp70 triliun,” jelas Radityo. 

    Menurut dia, dengan keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, bisa melibatkan Danantara untuk menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga keuangan dunia dalam skema kerja sama yang melibatkan pemerintah, swasta, dan badan usaha milik negara. 

    Jakarta: Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan harus menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan salah satu amanat dari para pendiri bangsa. 
     
    “Keseluruhan data proyeksi ekonomi yang ada saat ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi kita semua agar mampu memahami apa yang harus dilakukan pada tahun depan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Indonesia Economic Outlook 2026 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 (FDD12), Rabu, 17 Desember 2025.
     
    Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari  (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan David Sumual (Kepala Ekonom Bank BCA), Media Wahyudi Askar (Direktur Center of Economic and Law Studies/Celios), dan Riza Annisa Pujarama (Peneliti Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance /INDEF) sebagai narasumber.  Selain itu hadir pula Dr. Radityo Fajar Arianto, SE, MBA. (Dosen Ekonomi Universitas Pelita Harapan) sebagai penanggap. 

    Menurut Lestari, bangsa Indonesia harus memiliki optimisme dengan bersama-sama terlibat aktif dalam upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. 
     
    “Para pemangku kepentingan perlu bersama-sama melakukan refleksi untuk melihat sektor-sektor yang berpotensi tumbuh dan bisa dimanfaatkan sebagai salah satu faktor pendorong untuk mencapai target ekonomi yang direncanakan,” tuturnya.
     
    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI menilai, sektor padat karya perlu mendapat perhatian lebih untuk menyikapi dampak dinamika ekonomi global menekan perekonomian di dalam negeri. 
     
    Oleh karena itu, ia berharap partisipasi aktif semua pihak, masyarakat, swasta, dan pemerintah, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan dapat mewujudkan kesejahteraan bagi setiap anak bangsa. 
     

    Ancaman black swan event
    Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual mengungkapkan, kondisi perekonomian secara global tahun depan masih dalam ancaman black swan event sehingga perlu masuk dalam mitigasi risiko pada 2026.
     
    “Tahun depan harus tetap waspada dengan tetap mencari katalis-katalis untuk memacu pertumbuhan,” kata David.
     
    Dampak bencana alam di Sumatra beberapa waktu lalu, ujar David, diperkirakan akan mempengaruhi 0,3 persen dari PDB.  Dalam upaya rekonstruksi pascabencana ia pun menyebut dana yang dibutuhkan mencapai Rp70 triliun.
     
    “Perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun depan sekitar 5,5 persen, salah satunya didorong oleh nett ekspor sekitar 3,5 persen,” sebutnya.
     
    Namun, ujar David, dari sisi investasi asing tahun depan tidak cukup masif. Mata uang rupiah tertekan akibat outflow investasi portofolio. 
     
    Ia menilai sejumlah langkah stimulus yang diterapkan pemerintah harus segera diperbaiki pelaksanaannya agar mampu memberikan dampak yang lebih merata bagi masyarakat. 
     
    Sejumlah katalis yang dapat dilakukan pada 2026 untuk mendorong pertumbuhan, menurut David, antara lain penurunan BI rate, realisasi perjanjian investasi dan perdagangan untuk membuka pasar baru, dan realisasi sejumlah program prioritas pemerintah, seperti penguatan produksi pangan. 
     
    Sementara itu, Direktur Celios, Media Wahyudi Askar berpendapat, dalam perspektif kebijakan pada 2026 harus fokus pada mitigasi risiko. Langkah mitigasi risiko harus dikedepankan agar kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam perekonomian tidak terjadi. 
     
    Lansekap ekonomi 2026 akan lebih kompleks. Kelompok masyarakat kelas menengah mulai terganggu daya belinya, sedangkan pada kelompok masyarakat kelas atas spendingnya masih tinggi. 
     
    “Tahun depan ada shifting economy. Ada yang naik, tetapi ada yang turun,” ujar Media. 
     
    Media memperkirakan, pada 2026 berpeluang terjadi overheating economy, karena permintaan tumbuh lebih cepat jika dibandingkan dengan kapasitas produksi yang ada. 
     
    Salah satunya, jelas Media, berpotensi dipicu oleh pelaksanaan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang anggarannya mencapai Rp335 triliun. Namun, tambah dia, dampaknya belum masif sampai ke sektor-sektor UMKM. 
     
    Selain itu, ungkap Media, skenario lain yang akan terjadi pada tahun depan adalah goldilocks economy yang dicerminkan dengan pertumbuhan yang moderat dan inflasi yang stabil. 
     
    Menurut Media, bila kondisi goldilocks economy tersebut berlangsung lama, akan memberi dampak negatif yang panjang antara lain dalam bentuk ketimpangan di perkotaan dan masyarakat miskin akan semakin miskin. 

    Menata ekonomi nasional
    Peneliti Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF Riza Annisa Pujarama mendorong berbagai upaya untuk menata kembali perekonomian nasional guna menumbuhkan keadilan di tengah masyarakat. 
     
    Dia menjelaskan, dalam 8 triwulan terakhir dampak dinamika ekonomi nasional terus menekan daya beli masyarakat yang selalu berada di bawah 5 persen.
     
    ‘Secara makro tingkat kemiskinan tercatat menurun. Namun, tingkat kemiskinan di perkotaan mengalami kenaikan. Sementara itu, sub sektor pariwisata belum menunjukkan perbaikan, seperti restoran, hotel, transportasi, dan komunikasi, meski sejumlah stimulus sudah diberikan. Dampak dinamika perdagangan global juga masih menimbulkan ketidakpastian di dalam negeri,” tuturnya.
     
    Sejumlah faktor yang menekan pertumbuhan ekonomi itu, tegas Riza, harus segera diatasi bersama demi menumbuhkan kesejahteraan masyarakat. 
     
    Dosen Ekonomi Universitas Pelita Harapan, Radityo Fajar Arianto berpendapat, bahwa 2026 merupakan tahun yang menantang bagi pemerintah Indonesia. 
     
    Radityo menilai, dari sektor penerimaan negara juga cukup menantang. Namun, tambah Radityo, dia melihat peluang dan momentum untuk menjawab kondisi tersebut. 
     
    “Salah satu peluang adalah upaya rekonstruksi pascabencana di Sumatra yang diperkirakan membutuhkan Rp70 triliun,” jelas Radityo. 
     
    Menurut dia, dengan keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, bisa melibatkan Danantara untuk menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga keuangan dunia dalam skema kerja sama yang melibatkan pemerintah, swasta, dan badan usaha milik negara. 
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (ANN)

  • Pertumbuhan Ekonomi Harus Hadirkan Kesejahteraan Anak Bangsa

    Pertumbuhan Ekonomi Harus Hadirkan Kesejahteraan Anak Bangsa

    Jakarta: Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan harus menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan salah satu amanat dari para pendiri bangsa. 

    “Keseluruhan data proyeksi ekonomi yang ada saat ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi kita semua agar mampu memahami apa yang harus dilakukan pada tahun depan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Indonesia Economic Outlook 2026 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 (FDD12), Rabu, 17 Desember 2025.

    Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari  (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan David Sumual (Kepala Ekonom Bank BCA), Media Wahyudi Askar (Direktur Center of Economic and Law Studies/Celios), dan Riza Annisa Pujarama (Peneliti Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance /INDEF) sebagai narasumber.  Selain itu hadir pula Dr. Radityo Fajar Arianto, SE, MBA. (Dosen Ekonomi Universitas Pelita Harapan) sebagai penanggap. 

    Menurut Lestari, bangsa Indonesia harus memiliki optimisme dengan bersama-sama terlibat aktif dalam upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. 

    “Para pemangku kepentingan perlu bersama-sama melakukan refleksi untuk melihat sektor-sektor yang berpotensi tumbuh dan bisa dimanfaatkan sebagai salah satu faktor pendorong untuk mencapai target ekonomi yang direncanakan,” tuturnya.

    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI menilai, sektor padat karya perlu mendapat perhatian lebih untuk menyikapi dampak dinamika ekonomi global menekan perekonomian di dalam negeri. 

    Oleh karena itu, ia berharap partisipasi aktif semua pihak, masyarakat, swasta, dan pemerintah, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan dapat mewujudkan kesejahteraan bagi setiap anak bangsa. 
     

    Ancaman black swan event
    Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual mengungkapkan, kondisi perekonomian secara global tahun depan masih dalam ancaman black swan event sehingga perlu masuk dalam mitigasi risiko pada 2026.

    “Tahun depan harus tetap waspada dengan tetap mencari katalis-katalis untuk memacu pertumbuhan,” kata David.

    Dampak bencana alam di Sumatra beberapa waktu lalu, ujar David, diperkirakan akan mempengaruhi 0,3 persen dari PDB.  Dalam upaya rekonstruksi pascabencana ia pun menyebut dana yang dibutuhkan mencapai Rp70 triliun.

    “Perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun depan sekitar 5,5 persen, salah satunya didorong oleh nett ekspor sekitar 3,5 persen,” sebutnya.

    Namun, ujar David, dari sisi investasi asing tahun depan tidak cukup masif. Mata uang rupiah tertekan akibat outflow investasi portofolio. 

    Ia menilai sejumlah langkah stimulus yang diterapkan pemerintah harus segera diperbaiki pelaksanaannya agar mampu memberikan dampak yang lebih merata bagi masyarakat. 

    Sejumlah katalis yang dapat dilakukan pada 2026 untuk mendorong pertumbuhan, menurut David, antara lain penurunan BI rate, realisasi perjanjian investasi dan perdagangan untuk membuka pasar baru, dan realisasi sejumlah program prioritas pemerintah, seperti penguatan produksi pangan. 

    Sementara itu, Direktur Celios, Media Wahyudi Askar berpendapat, dalam perspektif kebijakan pada 2026 harus fokus pada mitigasi risiko. Langkah mitigasi risiko harus dikedepankan agar kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam perekonomian tidak terjadi. 

    Lansekap ekonomi 2026 akan lebih kompleks. Kelompok masyarakat kelas menengah mulai terganggu daya belinya, sedangkan pada kelompok masyarakat kelas atas spendingnya masih tinggi. 

    “Tahun depan ada shifting economy. Ada yang naik, tetapi ada yang turun,” ujar Media. 

    Media memperkirakan, pada 2026 berpeluang terjadi overheating economy, karena permintaan tumbuh lebih cepat jika dibandingkan dengan kapasitas produksi yang ada. 

    Salah satunya, jelas Media, berpotensi dipicu oleh pelaksanaan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang anggarannya mencapai Rp335 triliun. Namun, tambah dia, dampaknya belum masif sampai ke sektor-sektor UMKM. 

    Selain itu, ungkap Media, skenario lain yang akan terjadi pada tahun depan adalah goldilocks economy yang dicerminkan dengan pertumbuhan yang moderat dan inflasi yang stabil. 

    Menurut Media, bila kondisi goldilocks economy tersebut berlangsung lama, akan memberi dampak negatif yang panjang antara lain dalam bentuk ketimpangan di perkotaan dan masyarakat miskin akan semakin miskin. 

    Menata ekonomi nasional
    Peneliti Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF Riza Annisa Pujarama mendorong berbagai upaya untuk menata kembali perekonomian nasional guna menumbuhkan keadilan di tengah masyarakat. 

    Dia menjelaskan, dalam 8 triwulan terakhir dampak dinamika ekonomi nasional terus menekan daya beli masyarakat yang selalu berada di bawah 5 persen.

    ‘Secara makro tingkat kemiskinan tercatat menurun. Namun, tingkat kemiskinan di perkotaan mengalami kenaikan. Sementara itu, sub sektor pariwisata belum menunjukkan perbaikan, seperti restoran, hotel, transportasi, dan komunikasi, meski sejumlah stimulus sudah diberikan. Dampak dinamika perdagangan global juga masih menimbulkan ketidakpastian di dalam negeri,” tuturnya.

    Sejumlah faktor yang menekan pertumbuhan ekonomi itu, tegas Riza, harus segera diatasi bersama demi menumbuhkan kesejahteraan masyarakat. 

    Dosen Ekonomi Universitas Pelita Harapan, Radityo Fajar Arianto berpendapat, bahwa 2026 merupakan tahun yang menantang bagi pemerintah Indonesia. 

    Radityo menilai, dari sektor penerimaan negara juga cukup menantang. Namun, tambah Radityo, dia melihat peluang dan momentum untuk menjawab kondisi tersebut. 

    “Salah satu peluang adalah upaya rekonstruksi pascabencana di Sumatra yang diperkirakan membutuhkan Rp70 triliun,” jelas Radityo. 

    Menurut dia, dengan keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, bisa melibatkan Danantara untuk menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga keuangan dunia dalam skema kerja sama yang melibatkan pemerintah, swasta, dan badan usaha milik negara. 

    Jakarta: Proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun depan harus menjadi salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, yang merupakan salah satu amanat dari para pendiri bangsa. 
     
    “Keseluruhan data proyeksi ekonomi yang ada saat ini diharapkan mampu menjadi pedoman bagi kita semua agar mampu memahami apa yang harus dilakukan pada tahun depan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi daring bertema Indonesia Economic Outlook 2026 yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 (FDD12), Rabu, 17 Desember 2025.
     
    Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari  (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan David Sumual (Kepala Ekonom Bank BCA), Media Wahyudi Askar (Direktur Center of Economic and Law Studies/Celios), dan Riza Annisa Pujarama (Peneliti Makro Ekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance /INDEF) sebagai narasumber.  Selain itu hadir pula Dr. Radityo Fajar Arianto, SE, MBA. (Dosen Ekonomi Universitas Pelita Harapan) sebagai penanggap. 

    Menurut Lestari, bangsa Indonesia harus memiliki optimisme dengan bersama-sama terlibat aktif dalam upaya mengakselerasi pertumbuhan ekonomi. 
     
    “Para pemangku kepentingan perlu bersama-sama melakukan refleksi untuk melihat sektor-sektor yang berpotensi tumbuh dan bisa dimanfaatkan sebagai salah satu faktor pendorong untuk mencapai target ekonomi yang direncanakan,” tuturnya.
     
    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI menilai, sektor padat karya perlu mendapat perhatian lebih untuk menyikapi dampak dinamika ekonomi global menekan perekonomian di dalam negeri. 
     
    Oleh karena itu, ia berharap partisipasi aktif semua pihak, masyarakat, swasta, dan pemerintah, dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tahun depan dapat mewujudkan kesejahteraan bagi setiap anak bangsa. 
     

    Ancaman black swan event
    Kepala Ekonom Bank BCA, David Sumual mengungkapkan, kondisi perekonomian secara global tahun depan masih dalam ancaman black swan event sehingga perlu masuk dalam mitigasi risiko pada 2026.
     
    “Tahun depan harus tetap waspada dengan tetap mencari katalis-katalis untuk memacu pertumbuhan,” kata David.
     
    Dampak bencana alam di Sumatra beberapa waktu lalu, ujar David, diperkirakan akan mempengaruhi 0,3 persen dari PDB.  Dalam upaya rekonstruksi pascabencana ia pun menyebut dana yang dibutuhkan mencapai Rp70 triliun.
     
    “Perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun depan sekitar 5,5 persen, salah satunya didorong oleh nett ekspor sekitar 3,5 persen,” sebutnya.
     
    Namun, ujar David, dari sisi investasi asing tahun depan tidak cukup masif. Mata uang rupiah tertekan akibat outflow investasi portofolio. 
     
    Ia menilai sejumlah langkah stimulus yang diterapkan pemerintah harus segera diperbaiki pelaksanaannya agar mampu memberikan dampak yang lebih merata bagi masyarakat. 
     
    Sejumlah katalis yang dapat dilakukan pada 2026 untuk mendorong pertumbuhan, menurut David, antara lain penurunan BI rate, realisasi perjanjian investasi dan perdagangan untuk membuka pasar baru, dan realisasi sejumlah program prioritas pemerintah, seperti penguatan produksi pangan. 
     
    Sementara itu, Direktur Celios, Media Wahyudi Askar berpendapat, dalam perspektif kebijakan pada 2026 harus fokus pada mitigasi risiko. Langkah mitigasi risiko harus dikedepankan agar kemungkinan-kemungkinan terburuk dalam perekonomian tidak terjadi. 
     
    Lansekap ekonomi 2026 akan lebih kompleks. Kelompok masyarakat kelas menengah mulai terganggu daya belinya, sedangkan pada kelompok masyarakat kelas atas spendingnya masih tinggi. 
     
    “Tahun depan ada shifting economy. Ada yang naik, tetapi ada yang turun,” ujar Media. 
     
    Media memperkirakan, pada 2026 berpeluang terjadi overheating economy, karena permintaan tumbuh lebih cepat jika dibandingkan dengan kapasitas produksi yang ada. 
     
    Salah satunya, jelas Media, berpotensi dipicu oleh pelaksanaan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang anggarannya mencapai Rp335 triliun. Namun, tambah dia, dampaknya belum masif sampai ke sektor-sektor UMKM. 
     
    Selain itu, ungkap Media, skenario lain yang akan terjadi pada tahun depan adalah goldilocks economy yang dicerminkan dengan pertumbuhan yang moderat dan inflasi yang stabil. 
     
    Menurut Media, bila kondisi goldilocks economy tersebut berlangsung lama, akan memberi dampak negatif yang panjang antara lain dalam bentuk ketimpangan di perkotaan dan masyarakat miskin akan semakin miskin. 

    Menata ekonomi nasional
    Peneliti Makro Ekonomi dan Keuangan INDEF Riza Annisa Pujarama mendorong berbagai upaya untuk menata kembali perekonomian nasional guna menumbuhkan keadilan di tengah masyarakat. 
     
    Dia menjelaskan, dalam 8 triwulan terakhir dampak dinamika ekonomi nasional terus menekan daya beli masyarakat yang selalu berada di bawah 5 persen.
     
    ‘Secara makro tingkat kemiskinan tercatat menurun. Namun, tingkat kemiskinan di perkotaan mengalami kenaikan. Sementara itu, sub sektor pariwisata belum menunjukkan perbaikan, seperti restoran, hotel, transportasi, dan komunikasi, meski sejumlah stimulus sudah diberikan. Dampak dinamika perdagangan global juga masih menimbulkan ketidakpastian di dalam negeri,” tuturnya.
     
    Sejumlah faktor yang menekan pertumbuhan ekonomi itu, tegas Riza, harus segera diatasi bersama demi menumbuhkan kesejahteraan masyarakat. 
     
    Dosen Ekonomi Universitas Pelita Harapan, Radityo Fajar Arianto berpendapat, bahwa 2026 merupakan tahun yang menantang bagi pemerintah Indonesia. 
     
    Radityo menilai, dari sektor penerimaan negara juga cukup menantang. Namun, tambah Radityo, dia melihat peluang dan momentum untuk menjawab kondisi tersebut. 
     
    “Salah satu peluang adalah upaya rekonstruksi pascabencana di Sumatra yang diperkirakan membutuhkan Rp70 triliun,” jelas Radityo. 
     
    Menurut dia, dengan keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, bisa melibatkan Danantara untuk menjalin kerja sama dengan sejumlah lembaga keuangan dunia dalam skema kerja sama yang melibatkan pemerintah, swasta, dan badan usaha milik negara. 
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News

    (ANN)

  • Menilik Urgensi Kunjungan Luar Negeri Prabowo Saat Darurat Bencana Sumatra

    Menilik Urgensi Kunjungan Luar Negeri Prabowo Saat Darurat Bencana Sumatra

    Bisnis.com, JAKARTA – Kunjungan Presiden Prabowo Subianto ke luar negeri di tengah masa tanggap darurat bencana menuai sorotan.

    Keputusan Prabowo meninggalkan Tanah Air saat bencana memunculkan perdebatan publik soal sensitivitas, komunikasi politik, hingga efektivitas kepemimpinan dalam kondisi krisis.

    Founder Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia atau KedaiKOPI Hendri Satrio memilih membaca langkah Prabowo secara positif.

    Dia menilai perjalanan ke luar negeri bisa saja berkaitan dengan upaya mencari dukungan internasional untuk rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana.

    “Ya kita positif thinking aja, bisa jadi kunjungan-kunjungan ke luar negeri pak Prabowo justru untuk mencari dukungan terhadap program rekonstruksi dan rehabilitasi terhadap bencana kita,” ujarnya saat dihubungi Bisnis, Rabu (10/12/2025).

    Kendati demikian, Hendri menilai penting bagi Presiden untuk menunjukkan komitmen nyata setelah kembali ke Tanah Air.

    “Kami usul setelah kembali dari lawatan luar negeri maka daerah yang pertama kali dikunjungi harus Aceh, Sumatra Utara dan Sumatra Barat,” ucapnya.

    Senada, Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia, Arifki Chaniago menilai Presiden Prabowo sebenarnya telah menunjukkan kepedulian dengan turun langsung ke lokasi bencana sebelum berangkat.

    Namun Arifki mengkritik tim komunikasi kepresidenan yang dinilai gagal menjelaskan urgensi perjalanan luar negeri kepada publik. Menurutnya, ketiadaan penjelasan komprehensif membuat opini liar berkembang, apalagi Prabowo kalah suara di beberapa wilayah terdampak.

    “Tim komunikasi beberapa kali kalah narasi sehingga kalah dengan narasi oposisi atau publik yang tidak puas, katanya.

    Dia menilai tanpa juru bicara yang menjelaskan konteks secara rasional, persepsi negatif tak terhindarkan. Meski begitu, Arifki menilai dari sisi jangka panjang, kerja sama luar negeri bisa berdampak positif bagi Indonesia, terutama dalam investasi dan posisi geopolitik.

    Berbeda pandangan, Direktur Kebijakan Publik Celios, Media Wahyudi Askar justru melihat langkah Presiden berkunjung ke luar negeri di tengah fase darurat bencana sebagai bentuk kurangnya empati dan tidak tepat waktu.

    Askar menilai Prabowo seharusnya memprioritaskan pemenuhan kebutuhan darurat seperti obat-obatan, air bersih, jembatan sementara, alat berat, dan helikopter untuk menjangkau wilayah yang hingga kini masih terisolasi.

    Dia juga menyoroti lemahnya kualitas laporan yang diterima presiden dari para pembantu pemerintah daerah maupun pusat. Oleh sebab itu, dia mempertanyakan urgensi kepergian Prabowo, mengingat kerja sama dengan negara-negara seperti Pakistan maupun Rusia dapat ditunda atau diwakili oleh menteri.

    “Bencana ini butuh leadership. Komando terpusat itu yang tidak ada sekarang,” kata Media.

    Askar menyatakan bahwa kerja sama bilateral dapat dilakukan pada waktu lain dan tidak harus dihadiri langsung oleh Presiden.

    “Pakistan itu kan masih ada bulan depan, tahun depan. Bisa ditunda. Bisa diwakili diplomat atau menteri. Bencana ini beda. Ini bicara soal nyawa,” ucapnya.

    Menurutnya, saat ini di Aceh sedang terjadi fenomena “korban bantu korban”, karena bantuan negara belum menjangkau banyak wilayah.

    Oleh karena itu, Askar menilai penanganan bencana membutuhkan kehadiran dan instruksi langsung Kepala Negara untuk memastikan koordinasi berjalan efektif sesuatu yang menurutnya tidak terlihat sejauh ini.

    Dia juga membandingkan dengan pengalaman tsunami Aceh 2004 yang menurutnya diakui dunia sebagai contoh penanganan bencana yang kuat karena adanya komando jelas dari pemerintah pusat.

    Menurutnya, tanpa sinyal kuat dari Presiden, jajaran di bawah tidak merespons dengan cepat. Hal ini terlihat dari lambatnya mobilisasi Hercules, helikopter, jembatan sementara, hingga distribusi logistik yang masih terhambat di banyak titik.

    Askar juga menilai kunjungan Presiden ke lokasi bencana sebelumnya tidak menggambarkan kondisi sesungguhnya karena hanya mendatangi titik-titik yang aksesnya relatif terbuka. Hal itu, menurutnya, membuat publik tidak melihat empati yang kuat dari Presiden dalam menghadapi bencana besar ini.

    “Padahal yang dia kunjungi itu daerah-daerah yang relatif bisa diakses, yang ada poskonya. Coba datang ke Meriah, di ana nggak ada posko, logistik nggak masuk, motor pun nggak bisa masuk ke sana,” ujar Askar.

    Di sisi lain, Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai masalah lebih besar terletak pada respons yang menurutnya terlambat dan dipenuhi miskomunikasi antarpejabat. Dia menegaskan bahwa sejak awal pemerintah terlihat meremehkan skala bencana.

    Menurut Pangi, banyak pernyataan pejabat yang meremehkan situasi serta keterlambatan distribusi bantuan, termasuk kurangnya helikopter dan alat berat pada hari-hari awal bencana.

    Dia menilai Presiden Prabowo terjebak dalam informasi yang tidak objektif karena inner circle yang “mengalienasi” presiden dari situasi lapangan yang sebenarnya.

    “Kalau sejak awal negara cepat dan tidak menyepelekan, tidak ada masalah kunjungan luar negeri itu,” ujarnya.

    Menurutnya, rangkaian kritik dan pembelaan dari para pengamat menunjukkan bahwa kepergian Presiden Prabowo ke luar negeri pada masa krisis telah membuka ruang debat yang luas.

    Sebagian melihatnya sebagai strategi diplomasi yang memiliki nilai jangka panjang, namun sebagian lainnya menilai langkah itu tak sejalan dengan kebutuhan kepemimpinan kuat pada masa krisis.

    Respons pemerintah ke depan, baik melalui langkah konkret di lapangan maupun komunikasi publik yang lebih jelas, dipandang akan menjadi faktor penentu arah persepsi publik terhadap kepemimpinan Presiden Prabowo dalam penanganan bencana besar di Sumatra.

    Namun dengan kondisi saat ini, dia menilai citra dan kepemimpinan Presiden Prabowo ikut terpengaruh.

    “Presiden dianggap tidak sensitif, tidak responsif, dan gagal membaca situasi sebenarnya ketika bencana itu terjadi,” tandas Pangi.

  • Berburu di Kebun Binatang, Target Pajak Rp2.358 Triliun 2026 Bebani Wajib Pajak?

    Berburu di Kebun Binatang, Target Pajak Rp2.358 Triliun 2026 Bebani Wajib Pajak?

    Bisnis.com, JAKARTA — Otoritas fiskal tidak akan menaikkan tarif ataupun menerapkan kebijakan baru pada 2026, meski target penerimaan pajak ambisius capai Rp2.357,7 triliun. Pemerintah akan lebih banyak melakukan insentifikasi kepatuhan wajib pajak yang sudah terdaftar alias ‘berburu di kebun binatang’.

    Target penerimaan pajak Rp2.357,7 triliun itu sendiri tercantum dalam Rancangan Anggaran dan Pendapat Negara (RAPBN) 2026 yang sudah diserahkan Presiden Prabowo Subianto ke parlemen pada akhir pekan lalu. Angka itu naik 13,5% dari outlook penerimaan pajak 2025 sebesar Rp2.076,9 triliun.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan pemerintah tidak akan memberlakukan pajak baru maupun menaikkan tarif pajak pada 2026, meski target penerimaan negara naik cukup tinggi.

    Sri Mulyani menjelaskan kebijakan perpajakan tahun depan akan tetap mengacu pada ketentuan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dan regulasi lainnya yang sudah ada.

    “Tadi kan pertanyaan menjurus ke, ‘Apakah ada pajak baru, tarif baru?’ Kita tidak, tapi lebih kepada reform di internal,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RAPBN 2026, Jumat (15/8/2025).

    Bendahara negara itu menjelaskan, reformasi internal akan diarahkan pada penguatan administrasi dan penegakan hukum. Caranya, sambung Sri Mulyani, Kementerian Keuangan akan terus memperbaiki sistem inti administrasi perpajakan alias Coretax.

    Selain itu, intensifikasi pertukaran data akan ditingkatkan melalui perluasan kolaborasi, tidak hanya di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Bea Cukai, tetapi juga dengan kementerian/lembaga lain seperti Kementerian ESDM.

    Menurutnya, akurasi dan ketepatan waktu data menjadi kunci untuk meningkatkan kepatuhan, menutup celah penghindaran pajak, dan menekan praktik ekonomi bayangan (shadow economy) maupun aktivitas ilegal.

    “Dengan data yang akurat dan timing yang tepat, peluang untuk enforcement yang lebih baik akan terbuka,” tegasnya.

    Beban Wajib Pajak?

    Peneliti Senior Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengingatkan bahwa pertumbuhan rata-rata penerimaan pajak dalam beberapa tahun terakhir hanya 5—6%. Oleh sebab itu, menurutnya, target kenaikan penerimaan pajak hingga 13,5% terasa terlalu tinggi.

    Masalahnya, Deni meyakini bahwa pemerintah tidak bisa memaksakan peningkatan penerimaan pajak terutama dalam waktu singkat akibat struktur perekonomian yang belum memadai. Menurutnya, ada lima permasalahan yang menghambat peningkatan penerimaan pajak secara masif dalam waktu singkat.

    “Pertama, ada masalah ekonomi informal atau underground economy yang sebesar. Sebesar 59% tenaga kerja itu ada di sektor informal [sehingga tidak tercatat secara administratif dalam sistem perpajakan],” jelas Deni dalam media briefing CSIS, Senin (18/8/2025).

    Kedua, basis pajak yang sangat kecil. Dari 145 juta angkatan kerja, yang tercatat sebagai wajib lapor pajak atau surat pemberitahuan tahunan (SPT) hanya 17 juta. Ketiga, Deni meyakini kepatuhan formal UMKM ataupun perusahaan-perusahaan besar juga masih lemah.

    Keempat, struktur penerimaan dari sumber daya alam (SDA) masih sangat bergantung royalti sehingga rentan terhadap praktek transfer pricing dari perusahaan-perusahaan. Kelima, administrasi pajak yang masih jauh dari efisien.

    “Harapannya lewat Coretax, dia bisa mengintensifkan penerimaan pajak.
    Itu kayak mengejar, berburu di kebun binatang. Jadi, orang yang selama ini bayar pajak, ya itu yang akan dikejar terus,” ujar Deni.

    Senada, Peneliti Departemen Ekonomi CSIS Riandy Laksono menyatakan target penerimaan pajak yang naik 13,5% terkesan terlalu optimis. Secara historis, sambungnya, kenaikan penerimaan pajak hingga 13,5% hanya terjadi ketika terjadi commodity boom sekitar 2003—2012 yang ditopang peningkatan besar-besaran dari industri China.

    Masalahnya, commodity boom sudah berakhir. Malahan, harga komoditas unggulan Indonesia seperti CPO, batu bara, nikel, dan gas alam beberapa tahun belakangan menurun.

    Semua itu tak lepas dari perekonomian China yang tumbuh melandai beberapa waktu belakangan, ditambah perang tarif antara Negeri Panda dengan Paman Sam.

    “Intinya adalah commodity boom enggak akan lagi balik waktu Cina booming waktu itu.
    Nah, sehingga basis penerimaan akan susah,” kata Riandy pada kesempatan yang sama.

    Mau tak mau, sambungnya, pemerintah harus jalan panjang. Dia mendorong pemerintah memperbaiki struktur ketenagakerjaan di Indonesia karena masih banyak pekerja informal yang tidak tercatat dalam administrasi perpajakan.

    Caranya, kembali fokus melakukan industrialisasi. Sayangnya, dia melihat arah investasi semakin menjauh dari industri pengolahan dan manufaktur yang selama ini menjadi penciptaan lapangan kerja berkualitas utama di Indonesia.

    Riandy mencontohkan, dari total investasi langsung yang mengarah ke sektor padat modal hanya berkisar 30—40% dalam sepuluh tahun terakhir. Padahal pada 2002—2010, persentasenya mencapai 50—80%.

    Menurutnya investasi yang fokus ke sektor padat modal memperlemah penciptaan lapangan kerja berkualitas.

    “Jadi strategi industrialisasinya harus dibenerin, begitu, karena penyedia pekerja formal dan pembayar pajak paling besar itu dari industri pengolahan,” ungkapnya.

    Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar tidak heran apabila pemerintah tak mau menaikkan tarif maupun menetapkan pajak baru pada tahun depan, terutama resistensi masyarakat yang masih besar.

    “Opsi kebijakan pajak punya risiko politik. Ketidakpercayaan terhadap pemerintah yang juga masih tinggi,” katanya kepada Bisnis, Jumat (15/8/2025).

    Rp524 Triliun dari Sumber Pajak Baru

    Padahal sebelumnya, Center of Economics and Law Studies (Celios) mengungkapkan bahwa terdapat potensi penerimaan negara Rp524 triliun setiap tahunnya dari sumber-sumber pungutan pajak baru.

    Temuan itu diungkapkan Celios dalam publikasi bertajuk Dengan Hormat, Pejabat Negara: Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang.

    Direktur Kebijakan Fiskal Celios Media Wahyudi Askar menilai pemerintah semakin bergantung pada pajak konsumsi yang regresif seperti pajak pertambahan nilai (PPN). Misalnya kontribusi PPN mencapai Rp819 triliun atau 36,7% dari total penerimaan pajak pada 2024.

    Masalahnya, sambung Media, PPN lebih menekan rakyat kecil yang hampir seluruh pendapatannya dipakai untuk konsumsi—beda dengan para kelompok kaya yang pendapatannya hanya sebagian kecil untuk konsumsi.

    “Coba bayangkan Rafi Ahmad, Deddy Corbuzier, mereka punya uang triliunan rupiah, mereka gak mungkin spending Rp1 miliar per hari. Mereka hanya bisa spending sedikit uang secara persentase dari total pendapatan mereka. Berbeda dengan masyarakat miskin, yang menghabiskan bahkan 120% dari pendapatannya untuk spending, 20%-nya datang dari hutang,” ujar Media dalam agenda peluncuran publikasi di Jakarta, Selasa (12/8/2025).

    Oleh sebab itu, dia melihat pemerintah hanya gagah di hadapan rakyat kecil tapi kurang bernyali di hadapan super kaya. Celios pun mendorong agar pemerintah menerapkan pajak progresif.

    Mereka mengidentifikasi sebelas sumber potensi penerimaan baru yang lebih progresif. Pertama, tinjauan ulang insentif pajak yang tidak tepat sasaran dengan potensi penerimaan capai Rp137,4 triliun per tahun.

    Kedua, penerapan pajak kekayaan. Berdasarkan perhitungan Celios, potensi penerimaan negara dari pajak kekayaan hanya dari 50 orang terkaya di Indonesia saja mencapai Rp81,6 triliun per tahun.

    Ketiga, pajak karbon dengan potensi penerimaan mencapai Rp76,4 triliun per tahun. Keempat, pajak produksi batu bara dengan potensi penerimaan sebesar Rp66,5 triliun per tahun.

    Kelima pajak windfall profit atau pungutan atas kenaikan laba berturut-turut akibat lonjakan harga komoditas sektor ekstraktif dengan potensi penerimaan Rp50 triliun per tahun. Keenam, pajak pengurangan keanekaragaman hayati dengan potensi Rp48,6 triliun per tahun.

    Ketujuh, pajak digital dari perusahaan jasa digital besar dengan potensi penerimaan capai Rp29,5 triliun per tahun. Kedelapan, peningkatan tarif pajak warisan dengan potensi penerimaan Rp20 triliun per tahun.

    Kesembilan, pajak kepemilikan rumah ketiga dengan potensi penerimaan Rp4,7 triliun per tahun. Kesepuluh, kenaikan tarif pajak capital gain atau keuntungan dari saham dan aset finansial lainnya sebesar Rp7 triliun per tahun.

    Kesebelas atau terakhir yaitu cukai minuman berpemanis dalam kemasan, yang dinilai dapat mendukung kesehatan publik sekaligus menambah potensi penerimaan hingga Rp3,9 triliun.

    “Ini kalau kita total dengan pendekatan yang progresif atau optimis, itu kita bisa mendapat penerimaan hingga Rp524 triliun. Saya kira sangat besar kalau setiap tahun kita bisa memaksimalkan angka hingga Rp524 triliun,” ujar Peneliti Celios Jaya Darmawan pada kesempatan yang sama.

  • PBB Respons Surat Celios soal Dugaan Pemolesan Data Ekonomi RI – Page 3

    PBB Respons Surat Celios soal Dugaan Pemolesan Data Ekonomi RI – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah merespons surat permohonan investigasi terkait data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS).

    Surat tersebut diajukan Celios pada Jumat, 8 Agustus 2025, menyusul dugaan adanya inkonsistensi dalam data resmi pemerintah.

    Direktur Kebijakan Fiskal Celios, Media Wahyudi Askar, mengatakan bahwa pihaknya mempertanyakan keakuratan angka pertumbuhan ekonomi yang menjadi dasar penyusunan Nota Keuangan.

    “Saya menunggu nih sebetulnya. Karena nota keuangan kan berdasarkan pertumbuhan ekonomi, indikator-indikator makro. Yang itu juga saya kritisi kemarin ya bahwa pertumbuhan ekonomi kita agak questionable angkanya karena ada kecenderungan inkonsistensi,” kata Media saat ditemui di Kantor Celios, Jakarta Pusat, Selasa (12/8/2025).

    Media menjelaskan, pihaknya sebagai lembaga non-pemerintah tidak memiliki akses terhadap data mentah BPS, namun analisis dari data publik menunjukkan indikasi adanya pemolesan angka.

    “Beberapa teman-teman itu penyebabnya ada potensi window dressing gitu lah ya, dipoles begitu. saya nggak tahu ya karena kita lembaga non-pemerintah. Jadi, kita nggak mungkin pegang raw datanya gitu. Tapi dari data-data yang kita analisis itu banyak inkonsistensi,” ungkapnya.

  • Prabowo Hadapi Warisan Buruk Penerimaan Negara Bocor Rp782,68 Triliun per Tahun

    Prabowo Hadapi Warisan Buruk Penerimaan Negara Bocor Rp782,68 Triliun per Tahun

    GELORA.CO -Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berpotensi kehilangan penerimaan pajak mencapai Rp782,68 triliun per tahun akibat kebocoran pajak yang telah berlangsung lama.

    Hal tersebut diungkapkan dalam riset Center of Economic and Law Studies (Celios) yang memperkirakan kebocoran pajak di Indonesia mencapai Rp195,67 triliun per kuartal, atau setara 3,7 persen dari PDB per kuartal.

    Direktur Kebijakan Fiskal Center of Economic and Law Studies (Celios), Media Wahyudi Askar, mengatakan persoalan kebocoran ini bukan hanya kesalahan pemerintahan saat ini, tetapi merupakan “dosa lintas generasi” presiden sebelumnya sejak pemerintahan 5 hingga 15 tahun lalu.

    “Ini adalah dosa lintas generasi menurut saya yang harus diselesaikan, jadi tidak hanya persoalan pemerintah hari ini, tapi juga pemerintah 5 tahun, 10 tahun, 15 tahun yang lalu, di mana kita masih lemah soal integrasi data, penegakan hukum, serta politik fiskal yang sangat komprimistis,” kata Media dalam Launching riset Celios bertajuk Jangan Menarik Pajak Seperti Berburu di Kebun Binatang, Selasa 12 Agustus 2025.

    Menurut Celios, perluasan insentif pajak selama ini justru lebih memanjakan kelas atas. Hal tersebut terlihat dari Wacana Tax Amnesty Jilid III yang ingin didorong melalui Rancangan Undang Undang Pengampunan Pajak. 

    “Promosi kebijakan tersebut seakan mengabaikan evaluasi tax 8 amnesty pada jilid I dan II yang masih tidak optimal dari sisi target dan keadilan pajak. Situasi tersebut menunjukkan pendekatan fiskal yang cenderung reaktif untuk mengejar penerimaan jangka pendek tanpa perencanaan komprehensif,” tulis Celios dalam risetnya.

    Untuk itu, Media menilai penerapan pajak kekayaan bisa menjadi salah satu solusi untuk menambal penerimaan negara. Berdasarkan hitungannya, hanya dengan memajaki 2 persen kekayaan dari 50 orang superkaya di Indonesia selama setahun, negara bisa mengantongi sekitar Rp81 triliun.

    “Kalau kita lihat, data terakhir menunjukkan ada hampir 2 ribu orang superkaya di Indonesia. Potensi ini jauh lebih besar dari estimasi kami saat ini,” pungkas Media. 

  • Ekonom Curiga Data BPS Dimanipulasi, Minta PBB Turun Tangan!

    Ekonom Curiga Data BPS Dimanipulasi, Minta PBB Turun Tangan!

    Jakarta

    Center of Economic and Law Studies (CELIOS) meragukan data pertumbuhan kuartal II 2025 yang dirilis BPS karena diduga berbeda dengan kondisi riil. Hal ini membuat lembaga tersebut melayangkan surat permintaan investigasi pada Badan Statistik PBB yakni United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission.

    Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda mengatakan, ketidakpercayaan terhadap data BPS didasari pada sejumlah anomali yang terjadi bila dibandingkan dengan data historis. Salah satu yang disorotinya, pertumbuhan ekonomi kuartal II lebih tinggi dibandingkan kuartal I yang ada momen Ramadan-Idul Fitri.

    “Pertumbuhan ekonomi triwulan II yang lebih tinggi dibandingkan triwulan yang ada momen Ramadhan-Idul Fitri terasa janggal. Hal ini dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya di mana pertumbuhan triwulanan paling tinggi merupakan triwulan dengan ada momen Ramadhan-Idul Fitri,” Jelas Huda, dalam keterangan tertulis, Jumat kemarin.

    Huda mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 tercatat hanya tumbuh 4,87% year on year (yoy). Sedangkan pertumbuhan kuartal II 2025 mencapai 5,12%, yang mana kondisi ini menurutnya terlihat cukup janggal.

    Selain itu, ia juga menyoroti data pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Dengan sumbangan mencapai 50% dari PDB, menurutnya nampak janggal apabila pertumbuhan konsumsi rumah tangga kuartal I 2025 hanya 4,95%, tapi pertumbuhan ekonomi di angka 4,87%.

    “Tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam. Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga melemah dari Maret 2025 sebesar 121,1 turun menjadi 117,8 (Juni 2025),” ujarnya lagi.

    Sementara itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira menyoroti dari sisi pertumbuhan sektor industri pengolahan dan investasi (PMTB). Pada rilis BPS terbaru, tercatat industri manufaktur tumbuh tinggi. Padahal, menurutnya, PMI Manufaktur tercatat kontraksi pada periode yang sama.

    Porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah yakni 18,67% dibanding triwulan ke-I 2025 yang sebesar 19,25%, yang artinya deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK massal terus meningkat, dan industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya.

    “Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68% yoy? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi.” ujar Bhima.

    Kejanggalan-kejanggalan inilah yang pada akhirnya mendorong CELIOS mengirimkan surat permintaan peninjauan ulang ke Badan Statistik PBB. Langkah ini sebagai upaya menjaga kredibilitas data BPS yang selama ini digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM dan masyarakat secara umum.

    Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS Media Wahyudi Askar mengatakan, apabila terjadi tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, maka hal itu bertentangan dengan Fundamental Principles of Official Statistics yang diadopsi oleh Komisi Statistik PBB.

    “Data yang kredibel bukan hanya persoalan teknis, tetapi berdampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia, dan kesejahteraan rakyat. Data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan,” kata Media.

    Dengan data yang tidak akurat, lanjut Media, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial karena menganggap ekonomi baik-baik saja. Menurutnya kondisi ini akan membuat para pelaku usaha. investor, serta masyarakat kebingungan dan terkena dampak negatif.

    (acd/acd)

  • Ekonom Curiga Data BPS Dimanipulasi, Minta PBB Turun Tangan!

    Ragukan Data Ekonomi BPS, Lembaga Ini Kirim Surat ke PBB Minta Investigasi

    Jakarta

    Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengirimkan surat permintaan investigasi pada Badan Statistik PBB yakni United Nations Statistics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commission. Surat itu dilayangkan karena data pertumbuhan kuartal II 2025 yang dirilis BPS menimbulkan indikasi adanya perbedaan dengan kondisi riil perekonomian Indonesia.

    Salah satunya, terkait dengan pertumbuhan sektor industri pengolahan dan investasi (PMTB).

    Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, inisiasi tersebut menjadi upaya untuk menjaga kredibilitas data BPS yang selama ini digunakan untuk berbagai penelitian oleh lembaga akademik, analis perbankan, dunia usaha termasuk UMKM dan masyarakat secara umum. “Surat yang dikirimkan ke PBB memuat permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi pada triwulan II 2025 yang sebesar 5,12% year-on-year,” kata Bhima, dalam keterangan tertulis, Jumat (8/8/2025).

    CELIOS pun mencoba melihat ulang seluruh indikator yang disampaikan BPS, lalu menemukan industri manufaktur tumbuh tinggi. Padahal, menurut Bhima, PMI Manufaktur tercatat kontraksi pada periode yang sama.

    Porsi manufaktur terhadap PDB juga rendah yakni 18,67% dibanding triwulan ke-I 2025 yang sebesar 19,25%, yang artinya deindustrialisasi prematur terus terjadi. Data PHK massal terus meningkat, dan industri padat karya terpukul oleh naiknya berbagai beban biaya.

    “Jadi apa dasarnya industri manufaktur bisa tumbuh 5,68% yoy? Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi.” ujar Bhima.

    Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS Media Wahyudi Askar menambahkan, apabila terjadi tekanan institusional atau intervensi dalam penyusunan data oleh BPS, maka hal itu bertentangan dengan Fundamental Principles of Official Statistics yang diadopsi oleh Komisi Statistik PBB.

    “Data yang kredibel bukan hanya persoalan teknis, tetapi berdampak langsung terhadap kredibilitas internasional Indonesia, dan kesejahteraan rakyat. Data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan,” kata Media.

    Dengan data yang tidak akurat, lanjut Media, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial karena menganggap ekonomi baik-baik saja. Menurutnya kondisi ini akan membuat para pelaku usaha. investor, serta masyarakat kebingungan dan terkena dampak negatif.

    CELIOS berharap United Nations Statistics Division (UNSD) dan UN Statistical Commission segera melakukan investigasi teknis atas metode penghitungan PDB Indonesia, khususnya kuartal II 2025. CELIOS juga berharap UNSD dan UN Statistical Commission mendorong pembentukan mekanisme peer-review yang melibatkan pakar independen, serta dukungan reformasi transparansi di tubuh BPS.

    “Keinginan masyarakat itu sederhana, agar pemerintah Indonesia menghitung pertumbuhan ekonomi dengan standar SDDS Plus sehingga datanya dapat dipertanggungjawabkan,” ujar Media.

    Direktur Ekonomi CELIOS Nailul Huda juga mengatakan, ketidakpercayaan terhadap data BPS didasari pada anomali yang terjadi terkait dengan data historis. Salah satu yang disorotinya, pertumbuhan ekonomi triwulan II yang lebih tinggi dibandingkan triwulan yang ada momen Ramadhan-Idul Fitri terasa janggal.

    “Hal ini dikarenakan tidak seperti tahun sebelumnya di mana pertumbuhan triwulanan paling tinggi merupakan triwulan dengan ada momen Ramadhan-Idul Fitri. Triwulan I 2025 saja hanya tumbuh 4,87% year-on-year (YoY), jadi cukup janggal ketika pertumbuhan triwulan II mencapai 5,12%.” Jelas Huda.

    Dengan sumbangan mencapai 50% dari PDB, menurutnya nampak janggal apabila pertumbuhan konsumsi rumah tangga triwulan I 2025 hanya 4,95% tapi pertumbuhan ekonomi di angka 4,87%.

    “Tidak ada momen yang membuat peningkatan konsumsi rumah tangga meningkat tajam. Indeks keyakinan konsumen (IKK) juga melemah dari Maret 2025 sebesar 121,1 turun menjadi 117,8 (Juni 2025),” ujarnya lagi.

    (acd/acd)

  • BPS Klaim Angka Kemiskinan Cuma 23 Juta, Bank Dunia Bilang 194 Juta, Data Pemerintah Diragukan?

    BPS Klaim Angka Kemiskinan Cuma 23 Juta, Bank Dunia Bilang 194 Juta, Data Pemerintah Diragukan?

    GELORA.CO –  Publik dibuat bingung dengan data kemiskinan terbaru.

    Badan Pusat Statistik (BPS) merilis laporan resmi Jumat, 25 Juli 2025, bahwa jumlah penduduk miskin per Maret 2025 turun menjadi 23,85 juta jiwa atau 8,74 persen dari total populasi.

    Penurunan ini disebut 0,1 persen poin dari September 2024.

    Namun di sisi lain, Bank Dunia melaporkan 68,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional—sekitar 194 juta orang.

    Angka ini delapan kali lipat dari data resmi pemerintah, memicu tanda tanya besar: mana yang benar?

    CELIOS: Data BPS Tidak Realistis

    Perbedaan tajam ini menjadi sorotan Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Direktur Kebijakan Publik CELIOS, Media Wahyudi Askar, menilai angka BPS tidak realistis dan bisa menyesatkan kebijakan negara, terutama dalam penyusunan RAPBN 2026.

    “Dengan data kemiskinan yang terlihat rendah, kebijakan perlindungan sosial bisa tidak meningkat signifikan. Ini sangat berbahaya,” ujarnya.

    CELIOS menilai perbedaan terjadi karena definisi kemiskinan pemerintah terlalu sempit, hanya berdasar pengeluaran per kapita.

    Padahal, realitas harga pangan dan biaya hidup terus melonjak, membuat garis kemiskinan BPS dianggap tidak relevan.

    Garis Kemiskinan Rp 20 Ribuan Sehari

    BPS menetapkan garis kemiskinan Maret 2025 sebesar Rp 609.160 per kapita per bulan, setara Rp 20.305 per hari.

    Kota: Rp 629.561 per kapita/bulan

    Desa: Rp 580.349 per kapita/bulan

    CELIOS menilai angka ini terlalu rendah untuk menggambarkan kebutuhan hidup layak.

    Banyak warga hidup sedikit di atas garis tersebut, namun tetap kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, hingga tidak tercatat di Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan kehilangan akses bantuan.

    Penurunan kemiskinan 0,1 persen poin juga dinilai tidak layak dibanggakan.

    Indonesia masih menghadapi masalah besar:

    Ketimpangan pendapatanInflasi panganAkses terbatas pekerjaan layakMobilitas kemiskinan pun tinggi: banyak orang keluar dari status miskin, namun jumlah yang jatuh kembali tak kalah besar.Tuntutan Revisi dan Transparansi

    CELIOS mendesak pemerintah memperbarui metodologi penghitungan kemiskinan dan meningkatkan transparansi data.

    “Definisi kemiskinan yang ketinggalan zaman dan terlalu sempit membuat banyak warga yang seharusnya dibantu malah terabaikan. Ini ironis di tengah janji pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan,” tegas Media.

    Perdebatan ini pun mengundang satu pertanyaan besar: apakah angka resmi kemiskinan Indonesia benar-benar mencerminkan realitas di lapangan?

  • Biaya Mobil Dinas Pejabat-Uang Makan Menteri Saat Negara Efisiensi Picu Kritik

    Biaya Mobil Dinas Pejabat-Uang Makan Menteri Saat Negara Efisiensi Picu Kritik

    Jakarta

    Kebijakan pemerintah menyangkut anggaran mobil dinas dinas pejabat hingga biaya makan menteri saat rapat menuai kritik. Bukan tanpa alasan, kebijakan itu dipertanyakan sebab dinilai kontradiktif dengan efisiensi anggaran yang ditetapkan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Untuk biaya pengadaan mobil dinas pejabat Eselon I, negara menambah anggaran sebesar Rp 52,7 juta, naik dari sebelumnya Rp 878.913.000 menjadi Rp 931.648.000 untuk 2026. Lalu biaya makan rapat setingkat Menteri-Eselon I ditetapkan sebesar total Rp 171 ribu.

    Direktur Kebijakan Publik Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Media Wahyudi Askar menyebut hal yang normal jika rakyat pada akhirnya mempertanyakan kebijakan tersebut. Wahyudi menilai efisiensi anggaran belum berjalan optimal di tingkat pejabat tinggi.

    Tahun ini pemerintah menghapus uang saku untuk rapat halfday atau rapat minimal 5 jam tanpa menginap yang sebelumnya diberikan kepada PNS. Tak hanya itu, tahun depan uang saku untuk rapat fullday atau rapat minimal 8 jam akan ditiadakan mulai tahun 2026.

    “Yang pasti kenaikan anggaran kendaraan dinas di tengah penghapusan uang saku untuk PNS rapat halfday dan fullday pasti akan dipertanyakan oleh publik,” ujarnya saat dihubungi detikcom, Sabtu (7/6/2025).

    “Karena efisiensi kan harusnya menyasar keuangan yang kurang produktif atau berlebihan secara proporsional, bukan semata-mata penghematan di sisi hilir atau di level staff, sementara belanja di sisi hulu untuk pejabat-pejabat tinggi khususnya itu masih tinggi,” tambah Wahyudi.

    Wahyudi menilai ada standar ganda dalam pelaksanaan program efisiensi. Contoh lainnya tercermin dari banyaknya tenaga ahli yang direkrut pejabat publik dengan fasilitas yang hampir setara menteri.

    “Itu sebetulnya anggaran yang dikeluarkan untuk itu jauh lebih besar ketimbang efisiensi untuk rapat-rapat uang saku untuk PNS dan ya kebijakan-kebijakan efisiensi yang sifatnya sangat administratif,” tutur Wahyudi.

    Menurutnya efisiensi sebenarnya patut didukung, khususnya untuk belanja-belanja pemerintah yang tidak efisien. Hal-hal yang disorot Wahyudi adalah rapat-rapat di hotel mewah yang sebaiknya dikurangi atau dihapuskan.

    Ia lantas meminta adanya audit menyeluruh terhadap belanja barang dan belanja operasional, termasuk biaya kendaraan, renovasi gedung dan perjalanan dinas, untuk membuktikan hasil program efisiensi.

    “Dan juga yang paling penting itu pembukaan data pengadaan dan biaya operasional, termasuk selama ini siapa yang menikmati aktivitas-aktivitas rapat-rapat di hotel-hotel, termasuk juga agen-agen perjalanan luar negeri begitu ya dan ini perlu diaudit kemudian dibuka data pengadaannya secara transparan dan akuntabel,” bebernya.

    Sementara itu, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Mohamad Fadhil Hasan menyebut desain dan implementasi program efisiensi anggaran memang belum jelas. Hal inilah yang membuat timbulnya kontradiksi dalam pelaksanaannya.

    “Seharusnya dilakukan evaluasi terlebih dahulu mana program dan kegiatan yang efektif dan memiliki multiplier effect yang besar terhadap perekonomian. Dan mana yang kurang efektif dan efisien,” jelas Fadhil.

    Ia juga menyarankan dibentuknya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang harus dilakukan Kementerian/Lembaga hingga pemerintah daerah. Dengan begitu pendekatannya menjadi komprehensif dan tidak bersifat sektoral.

    (ily/hns)