Tag: Maulana Yusran

  • Investasi Hotel-Restoran Masih Minim, PHRI Ungkap Biang Keroknya

    Investasi Hotel-Restoran Masih Minim, PHRI Ungkap Biang Keroknya

    Bisnis.com, JAKARTA – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mengungkap alasan realisasi investasi dari sektor hotel dan restoran masih rendah.

    Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran menyampaikan, investasi di sektor ini belum semenarik sektor-sektor lain yang ada di Indonesia. Hal ini lantas menjadi alasan dibalik minimnya realisasi investasi sektor hotel dan restoran.

    “Menurut kami gimana mau menarik, izin bangun hotel itu untuk operasionalnya sekarang rumah bisa jadi hotel, tidak tercatat sebagai hotel,” kata Maulana dalam sesi diskusi panel Musyawarah Nasional (Munas) XVIII PHRI Tahun 2025, Selasa (11/2/2025).

    Dia menyebut, pelaku usaha di sektor perhotelan kerap dirugikan. Dia mencontohkan, pihaknya kerap menemukan oknum-oknum yang menjadikan rumah yang merupakan tempat akomodasi jangka panjang dan tidak boleh dijual harian sebagai penginapan.

    Selain itu, oknum tersebut tidak dipungut pajaknya, karena tidak sesuai dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). Temuan tersebut sangat disayangkan oleh para pelaku usaha perhotelan yang benar-benar patuh dan taat terhadap perizinan berusaha.

    Menurutnya, praktik-praktik seperti ini terjadi lantaran pemerintah daerah (pemda) tidak melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    “Bagaimana pemerintah menjamin kepastian hukum terhadap perizinan berusaha ini? Ini penting karena kita di pariwisata itu selalu dirugikan,” ujarnya.

    Untuk itu, dia mengharapkan adanya keterlibatan dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengusut aduan-aduan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pemda dalam melaksanakan monitoring dan evaluasi (monev).

    Dia meyakini, jika pemerintah melakukan identifikasi secara ketat, maka investasi hotel dan restoran di Tanah Air cukup besar.

    “Saya yakin kalau ini dideteksi kayak Airbnb dilakukan pengetatan atau rumah-rumah yang sewa harian itu dilakukan pengetatan, saya yakin investasi hotelnya kelihatan besar pasti. Kalau sekarang tidak kelihatan besar karena sekarang banyak terjadi ini,” pungkasnya. 

    Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mengungkap realisasi investasi dari sektor hotel dan restoran masih rendah.

    Deputi Bidang Pelayanan Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM Iwan Suryana mengutip data 2024 menyampaikan, dari sisi penanaman modal dalam negeri (PMDN), realisasi investasi dari hotel dan restoran berada di peringkat ke-13.

    “Kalau kita lihat dari kontribusi hotel dan restoran itu investasinya sebesar Rp24,14 triliun pada 2024,” kata Iwan dalam diskusi panel Musyawarah Nasional (Munas) XVIII PHRI Tahun 2025, Selasa (11/2/2025).

    Kemudian untuk penanaman modal asing (PMA), kontribusi dari hotel dan restoran menempati posisi 16 dengan nilai investasi mencapai Rp14 triliun pada 2024.

    Melihat data tersebut, menurutnya kontribusi industri hotel dan restoran perlu ditingkatkan lagi, baik dari sisi PMDN maupun PMA.

    “Kontribusi dari hotel dan restoran ini masih perlu ditingkatkan lagi karena masih berada di luar 10 besar,” ujarnya.

  • Pemangkasan Anggaran Ancam Sektor MICE, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

    Pemangkasan Anggaran Ancam Sektor MICE, Apa yang Harus Dilakukan Pemerintah?

    Jakarta, Beritasatu.com – Sektor meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE) sangat terancam dengan kebijakan pemangkasan anggaran yang diberlakukan Presiden Prabowo Subianto. Apa yang harus dilakukan pemerintah?

    Prabowo telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 meminta pemangkasan anggaran Rp 306,69 triliun dari APBN dan APBD 2025, untuk membiayai program-program prioritasnya. Belanja kementerian/lembaga dipotong Rp256,1 triliun dan dana transfer ke daerah disunat Rp 50,59 triliun.

    Dalam instruksinya, Prabowo meminta pejabat membatasi belanja untuk kegiatan seremonial, kajian, studi banding, percetakan, publikasi, seminar atau FGD, hingga perjalanan dinas.

    Sektor MICE yang mencakup industri perhotelan, restoran, pariwisata, event organizer (EO), biro perjalanan wisata, event marketing, hingga konsultan event selama ini sangat bergantung pada anggaran pemerintah terutama untuk perjalanan dinas, kegiatan seremonial, seminar, FGD, dan lainnya.

    Pembatasan belanja untuk program-program tersebut tentu saja berdampak langsung pada kehidupan bisnis MICE di Tanah Air.

    Pemangkasan anggaran perjalanan dinas tentu akan mengurangi jumlah acara MICE yang diselenggarakan, sehingga menurunkan pendapatan bagi hotel, penyedia transportasi, dan penyelenggara acara. 

    Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menilai pemangkasan anggaran perjalanan dinas sebesar 50% akan mengganggu upaya stimulus ekonomi dan memengaruhi perekonomian daerah.

    “Anggaran pemerintah untuk perjalanan dinas dan akomodasi ini sebetulnya juga berfungsi sebagai stimulus,” kata Ketua PHRI Hariyadi Sukamdani beberapa waktu lalu.

    Menurutnya pemerintah daerah akan merasakan dampak signifikan dari pemangkasan anggaran tersebut. Pendapatan daerah, khususnya dari pajak hotel dan restoran akan menurun, akibat berkurangnya perjalanan dinas.

    Hariyadi meminta pemerintah mempertimbangkan kembali kebijakan tersebut.

    “Jangan hanya melihat sektor ini sebagai biaya, tetapi pahami bahwa ini adalah salah satu bentuk stimulus bagi daerah,” ujarnya.

    Infografik pemangkasan anggaran 2025. – (Investor Daily/Felicia Karen Agatha Handjojo)

    Data PHRI menyebut perjalanan dinas menyumbang hingga 45% dari okupansi hotel bintang tiga dan empat di Indonesia.

    “Kita lihat dari kacamata industri perhotelan, revenue share yang paling besar itu dari pasar pemerintah, hingga 45-50%. Banyak daerah yang bisa lebih besar dari itu,” kata Sekjen PHRI Maulana Yusran dikutip dari Investor.

    Menurut Maulana pemangkasan anggaran oleh pemerintah terutama untuk perjalanan dinas dan kegiatan seremonial dapat menjadi alarm bahaya bagi sektor perhotelan dan restoran di sejumlah daerah.

    “Mereka sangat mengandalkan kegiatan-kegiatan pemerintah tersebut. Belum lagi nanti banyak ekosistem yang akan terdampak dari kebijakan ini,” lanjut Maulana.

    Kemajuan sektor pariwisata menimbulkan multiplier effect bagi sektor-sektor di sekitarnya. Keuntungannya bukan hanya dirasakan oleh industri perhotelan, namun juga industri makanan dan minuman, tenaga kepariwisataan, transportasi, dan sebagainya. 

    Pemerintah diharapkan dapat lebih bijak dan mendukung ekosistem pariwisata daerah.

    Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan perlu paket kebijakan khusus sebagai kompensasi potensi kehilangan pendapatan di MICE imbas pemangkasan anggaran belanja pemerintah.

    “Adapun paket kebijakan khusus itu, misalnya pemangkasan pajak penghasilan (PPh) 21 bagi karyawan, diskon tarif listrik, hingga fasilitasi promosi event internasional,” kata Bhima dikutip dari Antara.

    Menurutnya efisiensi anggaran MICE dapat berdampak negatif ke sektor tersebut yang sebagian besar pelaku usaha MICE mengandalkan pendapatan dari event pemerintah.

    “Bahkan, setelah pandemi Covidd-19, kondisi pendapatan dari sektor MICE belum sepenuhnya pulih. Khawatir ada risiko PHK di sektor jasa akomodasi dan makan minum imbas efisiensi belanja pemerintah,” ujar Bhima.

    Dampak ekonomi paling kentara dari berkurangnya pendapatan sektor MICE di antaranya potensi kehilangan lapangan kerja mencapai 104.000 orang, sedangkan dari sisi PDB, potensi MICE terancam hingga Rp 103,9 triliun.

  • Maskapai hingga Hotel Bersiap Tersengat Kebijakan Hemat Anggaran Prabowo

    Maskapai hingga Hotel Bersiap Tersengat Kebijakan Hemat Anggaran Prabowo

    Bisnis.com, JAKARTA – Kebijakan efisiensi anggaran belanja pemerintah yang diinstruksikan Presiden Prabowo Subianto diproyeksikan akan memukul bisnis maskapai hingga perhotelan. Kegiatan pemerintah, terutama perjalanan dinas, memberikan kontribusi yang besar terhadap pendapatan sektor jasa tersebut.

    Asosiasi maskapai penerbangan nasional, Indonesia National Air Carriers Association (INACA) menyebut bahwa penghematan anggaran perjalanan dinas dapat berdampak bagi jumlah pax segmen pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

    “Tentu ada dampaknya bagi jumlah pax segmen pemerintah pusat/daerah dengan adanya pengurangan budget perjalanan pejabat pemerintah tersebut,” ujar Sekjen INACA Bayu Sutanto kepada Bisnis, dikutip Rabu (29/1/2025).

    Dia mengatakan, segmen pemerintah khususnya perjalanan dinas berkontribusi sekitar 30%-35% terhadap industri penerbangan.

    Menurutnya, maskapai yang berpotensi paling terdampak dengan kebijakan efisiensi anggaran perjalanan dinas adalah maskapai penerbangan yang berada di bawah naungan badan usaha milik negara (BUMN).

    “Tentu yang potensi terdampak besar ke maskapai-maskapai BUMN seperti Garuda Indonesia, Citilink, dan Pelita Air,” kata Bayu.

    Sementara itu, industri perhotelan dan restoran juga bersiap mengantisipasi penurunan bisnis imbas efisiensi anggaran pemerintah. Pengusaha hotel dan restoran pun akan mengambil langkah efisiensi maupun penyesuaian untuk mempertahankan bisnisnya.

    Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, daerah-daerah di luar Pulau Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Nusa Tenggara sangat bergantung pada kegiatan pemerintah. Hal ini mengingat tidak banyak perusahaan swasta yang melakukan aktivitas ekonomi di daerah-daerah tersebut.

    Jika terjadi penurunan aktivitas di daerah-daerah tersebut, pengusaha kemungkinan akan menangguhkan sementara aktivitas kerja untuk pekerja harian maupun merekrut pekerja baru. Padahal, sektor ini berkontribusi positif terhadap pembukaan lapangan kerja.

    “Kalau di sisi kita kan justru membuka lapangan pekerjaan itu yang justru memicu pertumbuhan ekonomi,” ujar Maulana kepada Bisnis.

    Penurunan bisnis hotel dan restoran, menurutnya, juga akan memberikan dampak rambatan ke pendapatan asli daerah (PAD).

    “Tentu pertama PAD-nya akan menurun di setiap kota karena pajak hotel-restoran itu lima besar [sumber] pendapatan asli daerah,” tuturnya.

    Adapun, lewat Inpres Nomor 1/2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025, Prabowo memerintahkan penghematan anggaran hingga Rp306,69 triliun. Dua alokasi anggaran yang dipangkas yaitu belanja kementerian/lembaga (k/l) hingga Rp256,1 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun.

    Prabowo meminta k/l melakukan penghematan belanja pegawai dan bantuan sosial. Secara spesifik, jenis belanja yang dihemat sekurang-kurangnya adalah belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin.

    Orang nomor satu di Indonesia itu turut memerintahkan kepala daerah membatasi kegiatan yang bersifat seremonial. Bahkan, dia meminta belanja perjalanan dinas dipotong hingga 50%.

  • Anggaran Perdin Dipotong, PHRI Wanti-wanti Pendapatan Daerah Bisa Tergerus

    Anggaran Perdin Dipotong, PHRI Wanti-wanti Pendapatan Daerah Bisa Tergerus

    Bisnis.com, JAKARTA – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut, keputusan pemerintah melakukan efisiensi anggaran termasuk perjalanan dinas tidak hanya berdampak terhadap perhotelan dan restoran saja, tetapi juga pendapatan asli daerah (PAD) dan lapangan kerja.

    Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran menyampaikan, ketika ada penurunan aktivitas di setiap kota, hal pertama yang paling terdampak adalah PAD.

    “Tentu pertama PAD-nya akan menurun di setiap kota karena pajak hotel-restoran itu lima besar [sumber] pendapatan asli daerah,” kata Maulana kepada Bisnis, dikutip Rabu (29/1/2025).

    Selain itu, kebijakan tersebut akan membuat pengusaha mengambil langkah efisiensi maupun penyesuaian agar tetap mempertahankan bisnisnya.

    Apalagi, kata dia, daerah-daerah di luar Pulau Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Nusa Tenggara sangat bergantung pada kegiatan pemerintah. Hal ini mengingat tidak banyak perusahaan swasta yang melakukan aktivitas ekonomi di daerah-daerah tersebut.

    Jika terjadi penurunan aktivitas di daerah-daerah tersebut, pengusaha kemungkinan akan menangguhkan sementara aktivitas kerja untuk pekerja harian maupun merekrut pekerja baru. Padahal, sektor ini berkontribusi positif terhadap pembukaan lapangan kerja.

    “Kalau di sisi kita kan justru membuka lapangan pekerjaan itu yang justru memicu pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

    Pada November 2024, pemerintah sempat menginstruksikan kementerian/lembaga untuk melakukan efisiensi belanja perjalanan dinas tahun anggaran 2024.

    Instruksi tersebut tertuang dalam Surat Nomor S-1023/MK.02/2024, sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Kabinet pada 23 Oktober 2024 dan 6 November 2024.

    Kala itu, PHRI bahkan telah mengirimkan surat ke Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati lantaran kebijakan ini dinilai dapat merugikan industri perhotelan hingga triliunan rupiah.

    “Kami sedang menyurati Ibu Menteri Keuangan [Sri Mulyani Indrawati] dan Presiden [Prabowo Subianto] untuk melihat lagi apa yang bocor di situ,” kata Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani kepada Bisnis, Selasa (12/11/2024).

    Terbaru, pemerintah kembali menginstruksikan kementerian/lembaga serta pemerintah daerah untuk melaksanakan efisiensi anggaran dalam APBN dan APBD TA 2025.

    Melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025, Prabowo meminta menteri/pimpinan lembaga untuk mengidentifikasi rencana efisiensi yang diantaranya meliputi perjalanan dinas.

    Sementara itu, kepada gubernur dan bupati/walikota, diinstruksikan untuk mengurangi belanja perjalanan dinas sebesar 50%.

    “… mengurangi belanja perjalanan dinas sebesar 50%,” demikian bunyi poin 2 diktum keempat beleid itu, dikutip Rabu (29/1/2025).

  • Sektor Perhotelan Was-was Terdampak dari Pemotongan Anggaran Perjalanan Dinas Pemerintah – Halaman all

    Sektor Perhotelan Was-was Terdampak dari Pemotongan Anggaran Perjalanan Dinas Pemerintah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) was-was akan terdampak dari kebijakan pemangkasan anggaran belanja perjalanan dinas sebesar minimal 50 persen.

    Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, menyampaikan kebijakan tersebut berpotensi melumpuhkan aktivitas perhotelan dan restoran di luar pulau Jawa dan daerah kecil.

    Bahkan, menurutnya beberapa hotel di daerah mendapatkan kontribusi pendapatan dari kunjungan dan aktivitas Pemerintah Daerah dan Pusat sebesar 50 persen hingga 70 persen. Pangsa pasar di Indonesia bagian timur, seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, dapat mencapai 70 persen.

    “Porsinya bisa 40-50 persen. Ada daerah-daerah tertentu yang mungkin kontribusinya malah lebih besar, bisa sampai 60 bahkan ada 70 persen,” ujar Yusran saat dihubungi Tribunnews, Selasa (28/1/2025).

    Menurutnya, dengan pemerintah melakukan penghematan atau pemotongan anggaran untuk memotong biaya perjalanan dinas, akan berdampak tidak hanya ke sektor perhotelan saja, tapi juga ke sektor transportasi.

    “Hotel bukan satu-satunya yang terdampak, karena banyak ekosistem usaha di dalamnya. Contoh kebutuhan kamar, kebutuhan kamar mandinya, belum makan minumannya. Itu kan mereka menyerap dari berbagai lini usaha. Sektor transportasinya juga akan berdampak,” tutur Yusran.

    Yusran mencontohkan, tahun 2015, Presiden Joko Widodo juga sempat menekan anggaran perjalanan dinas. Selama tiga bulan, sektor hotel dan restoran mengalami penurunan pemasukan karena sepi tamu. Akhirnya, pemerintah mengevaluasi kebijakan tersebut karena dianggap tidak tepat.

     “2015 pernah, dan itu hanya bertahan 3 bulan karena ternyata dampak ekonomi juga cukup besar akhirnya. Nah sekarang tahun ini dilakukan oleh Presiden. Mungkin pemerintah nanti akan melihat bagaimana dampak ekonomi kedepan dari keputusan yang sudah dikeluarkan tersebut,” terang Yusran.

    Yusran berujar, dampak dari pemangkasan anggaran dinas sudah terlihat dari kuartal empat 2024. Sebab, seharusnya akhir tahun tingkat okupansi hotel meningkat lantaran libur akhir tahun. Tapi, malah menurun di kisaran 1 persen.

    “Oktober ke November itu okupansi rata-ratanya meningkat, malah turun 1 persen kan. Padahal biasanya di kuartal keempat itu sampai bulan Desember itu kan terus berjadi peningkatan,” tambah Yusran.

    PHRI mengkhawatirkan, jika berdampak terlalu dalam akan terjadi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di industri pariwisata. Gambaran bagaimana dampak kebijakan pemotongan anggaran dinas, akan terasa di Maret-April 2025.

    “Sudah pasti, karena setiap usaha itu tentu akan melihat kemampuannya untuk membayar karyawannya dan keberlangsungan bisnisnya itu sendiri. Tapi itu kan baru hotel, belum yang lain-lain. Nah ini yang kita beri gambaran ke pemerintah itu kan sebenarnya multiplier effect,” sambungnya.

    Sebelumnya, dalam upaya menjaga stabilitas fiskal dan meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, pemerintah menerapkan langkah efisiensi anggaran belanja K/L sebesar Rp 256,1 triliun untuk tahun anggaran 2025.

    Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang ditegaskan melalui Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025. Dalam hal ini, Sri Mulyani menginstruksikan Menteri/Pimpinan Lembaga untuk melakukan identifikasi rencana efisiensi belanja K/L.

    Efisiensi ini mencakup belanja operasional dan non operasional di seluruh K/L. Kendati begitu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa rencana penghematan tersebut tidak akan menyentuh belanja pegawai maupun bantuan sosial (bansos).

    Merujuk pada lampiran surat Menkeu tersebut, ada beberapa item identidikasi rencana efisiendi, di antaranya sebagao berikut:

    1. Alat Tulis Kantor (ATK), dengan efisiensi 90,0 persen.

    2. Kegiatan Seremonial, dengan efisiensi 56,9 persen.

    3. Rapat, Seminar dan sejenisnya, dengan efisiensi 45,0 persen.

    4. Kajian dan Analisis, dengan efisiensi 51,5 persen.

    5. Diklat dan Bimtek, dengan efisiensi 29,0 persen

    6. Honor Output Kegiatan dan Jasa Profesi, dengan efisiensi 40,0 persen.

    7. Percetakan dan Souvenir, dengan efisiensi 75,9 persen.

    8. Sewa Gedung, Kendaraan dan Peralatan, dengan efisiensi 73,3 persen.

    9. Lisensi Aplikasi, dengan efisiensi 21,6 persen.

    10. Jasa Konsultan, dengan efisiensi 45,7 persen.

    11. Bantuan Pemerintah, dengan efisiensi 16,7 persen.

    12. Pemeliharaan dan Perawatan, dengan efisiensi 10,2 persen.

    13. Perjalanan Dinas, dengan efisiensi 53,9 persen.

    14. Peralatan dan Mesin, dengan efisiensi 28,0 persen.

    15. Infrastruktur, dengan efisiensi 34,3 persen.

    16. Belanja lainnya, dengan efisiensi 59,1 persen.

  • Video: Tantangan Bisnis Wisata RI, Kalah Saing Dengan Thailand-PPN 12%

    Video: Tantangan Bisnis Wisata RI, Kalah Saing Dengan Thailand-PPN 12%

    Jakarta, CNBC Indonesia- Sekjen Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran mengungkapkan kekhawatiran sektor hotel pariwisata terhadap dampak kenaikan PPN menjadi 12% di 2025.

    Maulana mengatakan kenaikan PPN berpotensi menambah tekanan daya beli yang tengah mengalami pelemahan. Selain itu sektor pariwisata Indonesia masih kalah saing dalam menarik wisatawan asing di ASEAN, mengingat posisi RI di bawah Thailand, Malaysia hingga Vietnam.

    PHRI berharap pemerintah menunda kenaikan PPN menjadi 12% hingga perbaikan izin berusaha untuk meningkatkan daya saing sektor pariwisata RI? Selengkapnya simak dialog Savira Wardoyo dengan Sekjen Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia, Maulana Yusran dalam Profit, CNBC Indonesia (Kamis, 21/11/2024)