Tag: Maulana Yusran

  • Video: Keran Rapat Dibuka, Industri Hotel Bergembira

    Video: Keran Rapat Dibuka, Industri Hotel Bergembira

    Jakarta, CNBC Indonesia – Kabar diizinkannya kembali penyelenggaraan rapat dan kegiatan pemerintahan di hotel dan restoran disambut positif oleh pelaku industri perhotelan. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran menyebut kebijakan ini sebagai angin segar di tengah kekhawatiran pelaku usaha atas pasar yang terus tergerus oleh kebijakan efisiensi belanja pemerintah.

    Menurut Maulana, pasar terbesar industri perhotelan saat ini masih berasal dari sektor pemerintahan. Bahkan, kontribusi pemerintah terhadap pendapatan hotel bisa mencapai 40%-60%, khususnya dari kegiatan rapat, seminar, dan pertemuan dinas lainnya.

    Selengkapnya saksikan dialog Shania Alatas bersama Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran di Program Property Point CNBC Indonesia, Rabu (11/06/2025).

  • Pengusaha Hotel Ngadu ke Prabowo: Pendapatan Turun 60% Imbas Efisiensi

    Pengusaha Hotel Ngadu ke Prabowo: Pendapatan Turun 60% Imbas Efisiensi

    Bisnis.com, JAKARTA — Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) memperkirakan, pendapatan hotel di Indonesia rata-rata turun hingga 60% imbas kebijakan efisiensi anggaran pemerintah.

    Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran menyampaikan, meski belum ada laporan secara tertulis, anggota PHRI secara lisan telah melaporkan ihwal penurunan pendapatan, buntut dari kebijakan hemat anggaran Presiden Prabowo Subianto.

    “Kalau laporan secara lisan ke PHRI memang sudah banyak yang melaporkan bahwa itu terjadi masalah penurunan pendapatan,” kata Maulana kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Dia menuturkan, segmen pemerintah berkontribusi besar rata-rata sekitar 40%-60% terhadap industri perhotelan. Bahkan di beberapa daerah, kontribusinya mencapai 80%.

    “Kontribusinya antara 40%-60%. Otomatis rata-rata penurunannya bisa sampai segitu kalau dia nggak ada kegiatan,” ujarnya.

    Lebih lanjut, Maulana menyebut bahwa kontribusi dari sektor swasta masih minim sehingga banyak perhotelan yang mengandalkan pada kegiatan pemerintahan.

    “Makanya selama efisiensi ini memang kelihatan dampaknya pada pendapatan hotel itu cukup besar,” ujarnya. 

    Di sisi lain, banyaknya hari libur nyatanya tidak cukup mampu mengisi kekosongan di tengah kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang cukup memukul industri perhotelan.

    Dia mengatakan, kontribusi segmen leisure tidak cukup mampu untuk menutup segmen perjalanan dinas yang cukup besar.

    “Jadi kalau mau dikejar untuk menggantikannya [segmen pemerintah], tentu mesti konteksnya kegiatan-kegiatan event atau MICE,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, Ketua Umum PHRI, Hariyadi B. Sukamdani sebelumnya menyampaikan bahwa ini industri perhotelan sudah tidak bisa mengharapkan segmen pemerintah yang selama ini menjadi pangsa pasar terbesar industri ini. 

    “Industri hotel harus sungguh-sungguh untuk menggarap pasar yang non-pemerintah,” kata Hariyadi kepada Bisnis, Rabu (21/5/2025). 

    Meski diakuinya tidak mudah untuk beralih ke pasar lain, Hariyadi menyebut bahwa hal tersebut perlu dilakukan agar bisnis perhotelan tetap dapat berjalan.

    Hal itu terbukti dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran. Setelah pemerintah menerapkan kebijakan ini, banyak banyak hotel yang terdampak bahkan berhenti beroperasi. Hotel-hotel ini utamanya sangat bergantung pada belanja perjalanan dinas pemerintah. 

    Untuk itu, dia mengimbau industri perhotelan untuk mulai mencari pasar baru seperti korporasi, komunitas, kegiatan-kegiatan individual, dan wisatawan mancanegara (wisman).

  • Jauh Panggang dari Api, Okupansi Hotel Loyo Selama Libur Iduladha 2025

    Jauh Panggang dari Api, Okupansi Hotel Loyo Selama Libur Iduladha 2025

    Bisnis.com, JAKARTA – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyebut tingkat okupansi atau hunian hotel selama libur panjang Iduladha 1446H/2025M jauh dari ekspektasi. 

    Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran menyampaikan, pengusaha mengharapkan adanya lonjakan okupansi pada hari H Iduladha yang jatuh pada 6 Juni 2025. Kendati begitu, pada H+1 hingga H+2 Iduladha, pihaknya tidak melihat adanya peningkatan okupansi alias sama seperti okupansi di periode normal.

    “Tidak melonjak seperti yang kita ekspektasinya sampai rata-rata 80%, enggak sampai sekitar gitu. Paling rata-ratanya sekitar 50-an lah, 50-60%,” kata Maulana kepada Bisnis, Senin (9/6/2025).

    Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan periode libur Iduladha tidak terlalu berdampak terhadap lonjakan okupansi. Maulana mengatakan dalam beberapa bulan belakangan banyak libur panjang di Indonesia.

    Biasanya, kata dia, masyarakat sudah memiliki anggaran untuk berwisata atau melakukan perjalanan. Kendati begitu, anggaran tersebut tak selalu digunakan di setiap hari libur berlangsung.

    “Jadi nggak mungkin tiap 2 minggu mereka sepanjang libur melakukan perjalanan, kan enggak seperti itu,” ujarnya.

    Selain itu, lanjutnya, libur Iduladha berdekatan dengan libur sekolah yang biasanya berlangsung pada akhir Juni hingga awal Juli. Kemungkinan, kata Maulana, masyarakat lebih memilih menyisihkan anggarannya pada saat libur sekolah dibanding periode libur Iduladha.

    Di sisi lain, banyaknya hari libur nyatanya tidak berdampak signifikan terhadap okupansi hotel, di tengah kebijakan efisiensi anggaran pemerintah yang cukup memukul industri perhotelan.

    Dengan masa libur yang begitu singkat, Maulana mengaku sulit untuk melihat dampaknya terhadap tingkat okupansi hotel. Pasalnya, pasar terbesar hotel adalah bisnis traveler dengan pemerintah sebagai kontribusi terbesar.

    “Jadi kalau mau dikejar untuk menggantikannya [segmen pemerintah], tentu mesti konteksnya kegiatan-kegiatan event atau MICE,” pungkasnya. 

  • Semester I 2025 Ramai Tanggal Merah, Begini Kondisi Okupansi Hotel – Page 3

    Semester I 2025 Ramai Tanggal Merah, Begini Kondisi Okupansi Hotel – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Deretan tanggal merah memenuhi kalender pada semester I 2025, terutama selepas Lebaran 2025 per April lalu. Libur panjang akhir pekan (long weekend) pun menghiasi kalender, seperti pada momen Iduladha 2025 kali ini. 

    Sayangnya, tanggal merah yang bejibun tersebut tidak mampu mendongkrak tingkat okupansi hotel. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan, secara tren tingkat keterisian hotel tidak maksimal peningkatannya.

    “Jadi yang biasanya pengunjung kalau libur empat hari dia bisa (sewa hotel) 2-3 malam, tapi yang terjadi kemarin-kemarin itu cuman paling banyak satu malam. Paling jauh dua malam peningkatannya,” ujar dia kepada Liputan6.com, Sabtu (7/6/2025).

    Secara jadwal, Juni 2025 jadi bulan terakhir yang punya sejumlah tanggal merah jelang akhir pekan pada tahun ini. Kendati begitu, Maulana menilai, kehadiran momen long weekend belum tentu punya dampak terhadap tingkat keterisian hotel. 

    “Impact-nya belum tentu besar. Kenapa saya katakan gitu? Karena liburan itu juga tergantung dari daya beli mereka masing-masing,” tegas dia. 

    “Justru yang kurang menarik itu kalau liburan terpotong-potong tapi pendek-pendek jaraknya. Saya enggak yakin itu akan berimbas cukup besar ya. Karena liburnya mungkin ada liburnya, tapi untuk orang pergi berwisatanya itu tidak setiap libur itu mereka pergi,” bebernya. 

  • Jangan Santai! Ada 5 Tanda Ekonomi RI Tidak Baik-Baik Saja

    Jangan Santai! Ada 5 Tanda Ekonomi RI Tidak Baik-Baik Saja

    Jakarta, CNBC Indonesia – Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi RI kuartal I-2025 pada siang ini, Senin (5/5/2025). Ekonomi Indonesia diyakini sulit tumbuh mencapai 5% pada kuartal I-2025. Hal ini dipicu oleh ketidakpastian dari kebijakan dagang Presiden AS Donald Trump yang menekan banyak negara, termasuk Indonesia.

    Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,94% (year on year/yoy) dan terkontraksi 0,9% dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter to quarter/qtq) pada kuartal I-2025.

    “Ya tentu kalau matematika ada pembulatan [jadi 5%],” tuturnya kepada awak media di kantor Kemenko Perekonomian, Jumat lalu (2/5/2025).

    Adapun, Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih rendah. Dia memperkirakan ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,91% pada kuartal I-2025. Dia melihat konsumsi rumah tangga hanya akan tumbuh 4,9% pada kuartal I-2025.

    Hal ini dipicu oleh pelemahan konsumsi masyarakat. Hal ini ditandai dengan belanja yang berkurang seiring dengan rumah tangga yang mulai menyimpan uangnya.

    Sementara itu, belanja pemerintah diperkirakan akan menurun menjadi 3,3% yoy pada kuartal I-2025 dari 4,3% yoy pada akhir kuartal IV-2024. Ini dimungkinkan terjadi akibat penyesuaian kebijakan dan pencairan yang lambat di awal tahun. Hal ini juga membebani investasi, yang diperkirakan tumbuh 1,7% yoy pada kuartal I-2025, turun dari 4,9% yoy pada kuartal IV-2024.

    “Pencairan fiskal yang tertunda, terutama untuk proyek infrastruktur dan investasi yang didukung pemerintah, telah menyebabkan laju pembentukan modal yang lebih lambat selama periode tersebut,” tulis Andry dalam catatannya.

    Proyeksi ini diperkuat dengan sejumlah indikator ekonomi di Tanah Air yang terjadi pada rentang kuartal I-2025, berikut ini rinciannya:

    Aktivitas manufaktur Indonesia terkontraksi pada April 2025. Data Purchasing Managers’ Index (PMI) yang dirilis S&P Global Jumat lalu (2/5/2025). Data ini menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di level 46,7 atau mengalami kontraksi di April 2025.

    Ini adalah kali pertama PMI mencatat kontraksi sejak November 2024 atau dalam lima bulan terakhir. Angka ini bahkan disebut sebagai kinerja terburuk sejak Agustus 2021, pada periode tersebut Indonesia tengah dihantam pandemi Covid-19 gelombang Delta. Kondisi ini terjadi di tengah panasnya tensi perang dagang, akibat kebijakan tarif resiprokal tinggi yang diberlakukan Presiden AS Donald Trump kepada negara-negara mitra dagang utamanya, termasuk RI. PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

    Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, merosotnya PMI Manufaktur itu disebabkan masalah perang dagang, yang membuat optimisme pelaku usaha di Indonesia maupun di seluruh dunia melemah. Sebab, perang tarif dagang menghambat aktivitas perdagangan dunia.

    “PMI turun kan karena trade war. Jadi, dunia kan perdagangannya shrinking, pertumbuhan Amerika juga negatif. Jadi ini namanya optimisme yang terganggu oleh trade war,” kata Airlangga di kantornya, Jakarta, dikutip Senin (5/5/2025).

    Untuk mengantisipasi masalah sentimen industri ini, Airlangga mengatakan pemerintah telah meluncurkan sejumlah strategi. Di antaranya ialah mendiversifikasi pasar ekspor Indonesia lebih kuat di luar negara mitra dagang utama, seperti China dan AS yang sedang perang tarif dagang. Salah satunya ialah pasar ekspor Eropa melalui percepatan perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA).

    “Kita sedang mendorong untuk IEU CEPA. Memang sudah waktunya untuk mendiversifikasi pasar ekspor dan menurunkan tariff barrier, karena kalau kita turun, yang lain juga resiprokal menurunkan, maka produk kita akan lebih kompetitif,” ucap Airlangga.

    Selain diversifikasi pasar ekspor, Airlangga menekankan, pemerintah juga tengah menggodok kebijakan deregulasi untuk makin menggeliatkan aktivitas perdagangan internasional Indonesia, melalui Satgas Deregulasi.

    Setelah badai PHK melanda industri tekstil, kini industri perhotelan di Tanah Air dihampiri kisruh yang sama. Tenaga kerja di sektor perhotelan terus berkurang setelah pemerintah menerapkan kebijakan efisiensi. Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), Maulana Yusran mengungkapkan bahwa saat ini hotel sudah tidak lagi menyerap pekerja harian karena kebutuhannya memang tidak ada.

    “Kontribusi pemerintah besar, antara 40-60%, kalau diperhatikan banyak daerah yang kontribusinya lebih dari itu, sampai 70% karena selama ini pasar pemerintah besar untuk mengadakan berbagai kegiatan dengan menggunakan kegiatan pertemuan hotel sehingga tumbuh convention tentu dengan kondisi yang ada sekarang,” ungkap Maulana kepada CNBC Indonesia, akhir April lalu (28/4/2025).

    Karenanya banyak pekerja yang akhirnya terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) serta dirumahkan. Hotel yang paling banyak terkena khususnya pada hotel yang mengadakan MICE (meetings, incentives, conventions and exhibitions).

    “Setengah 50% sudah berkurang khususnya hotel yang bergerak ke venue mice, karena kebutuhan untuk itu nggak ada, nggak mungkin kita menyerap tenaga kerja kalau orderan ke kitanya juga nggak ada,” sebut Maulana.

    Adapun Dalam rilis Q1 2025 Colliers yang keluar akhir pekan lalu, dampak dari langkah-langkah efisiensi pemerintah cukup terasa, terutama bagi hotel yang sangat bergantung pada pasar pemerintah.

    “Jika tidak ada pelonggaran dari pemerintah, hampir dapat dipastikan bahwa pasar hotel di Jakarta akan bergantung sepenuhnya pada sektor non-pemerintah. Para pengelola hotel harus menemukan pasar dan sumber pendapatan tambahan untuk tetap bertahan; jika tidak, tahun 2025 akan cukup berat bagi mereka,” tulis Colliers dalam rilis kuartal I-2025, dikutip Senin (5/5/2025).

    Warga RI Pilih Nabung daripada Belanja

    Jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) jenis tabungan perorangan justru meningkat signifikan pada Maret 2025 atau selama Ramadan dan menjelang Idul Fitri. Namun, masyarakat semakin enggan menaruh uangnya di deposito.

    Meningkatnya jumlah tabungan selama Ramadan terbilang anomali mengingat biasanya masyarakat menguras tabungan selama Ramadan karena tingginya konsumsi. Sebagai catatan, Ramadan jatuh pada 1 Maret 2025 dan berakhir pada 30 Maret sementara Hari Raya Idul Fitri jatuh pada 31 Maret 2025.

    Meningkatnya tabungan dan masih tekoreksinya deposito perorangan tercatat dalam data Bank Indonesia.

    Bank Indonesia (BI) pada Rabu (24/4/2025) telah merilis data uang beredar yang tampak masih tumbuh pada Maret 2025.

    Pertumbuhan uang beredar dalam arti luas (M2) pada Maret 2025 tumbuh 6,1% (year on year/yoy) atau relatif stabil jika dibandingkan bulan sebelumnya yang naik sebesar 6,2% yoy sehingga tercatat Rp9.436,4 triliun.

    Berdasarkan pantauan CNBC Indonesia Research, per Maret 2025, pertumbuhan DPK tabungan perorangan sebesar 6,4% year on year/yoy atau bahkan lebih tinggi dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang hanya tumbuh sebesar 5,7% yoy. Pertumbuhan DPK tabungan perorangan Maret 2025 juga merupakan yang tertinggi sejak November 2022 atau sekitar 2,5 tahun terakhir.

    Jika dilihat dari sisi nominal, jumlah DPK tabungan perorangan per Maret 2025 bertumbuh menjadi Rp2.574,2 triliun dari sebelumnya Rp2.505 triliun.

    Pertumbuhan tabungan perorangan pada Maret menembus 6,4% atau yang tertinggi sejak November 2024. Padahal. secara tradisi, pertumbuhan tabungan akan melandai saat Ramadan hingga Lebaran karena masyarakat menguras uang di rekening untuk belanja.

    Di sisi lain, banyak pusat perbelanjaan yang semakin sepi. Bahkan, pedagang di wilayah Mangga Dua baik Mangga Dua Square maupun WTC Mangga Dua mengeluhkan ekonomi yang semakin lesu belakangan. Kondisi saat ini bahkan disebut lebih buruk dibandingkan pandemi Covid-19.

    “Waktu pandemi kemarin masih mending banyak yang belanja, sekarang Rp 50 ribu sehari aja belum tentu, kita lebih banyak bengong sekarang dibanding ngelayanin pelanggan,” kata pedagang di Mangga Dua Square Anita kepada CNBC Indonesia, Kamis (24/4/2025).

    Ia beranggapan penurunan penjualan seperti tas hingga dompet dikarenakan masyarakat menjadikan barang-barang yang dijualnya sebagai kebutuhan terakhir setelah kebutuhan pokok. Selain itu ada juga faktor lainnya, yakni efisiensi dari pemerintah.

    “Sebelumnya banyak orang-orang daerah yang ke Jakarta buat dinas, ada acara di hotel-hotel dekat sini, baliknya pingin bawa oleh-oleh dari Jakarta jadi pada beli tas di sini, banyak yang datang juga rombongan, sekarang udah engga ada lagi,” kata Anita.

    Di tengah situasi yang sulit saat ini, Anita pun berharap bisa memilih bekerja lebih baik dibandingkan berusaha. Pasalnya belum tentu uang yang masuk sebanding dengan beban bulanan seperti biaya sewa lapak hingga kebutuhan sehari-hari.

    “Kalau bisa kerja mah lebih baik kerja lah, yang udah kerja mending bertahan aja, dihemat-hemat aja. Apalagi biaya sekolah naik, biaya hidup juga sama, kalau usaha belum tentu lah,” kata Anita.

    Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia mengalami deflasi secara bulanan atau month-to-month (mtm) pada dua bulan pertama di tahun 2025. Deflasi tercatat sebesar 0,76 persen mtm pada Januari 2025 dan 0,48 persen mtm pada Februari 2025. Kondisi ini sangat jarang terjadi jelang Ramadan.

    Berdasarkan data BPS yang dapat diperoleh CNBC Indonesia Research sejak 1996, IHK secara bulanan untuk periode satu bulan sebelum bulan Ramadhan cenderung selalu mengalami inflasi. Namun berbeda halnya dengan Februari 2025 yang justru mengalami deflasi 0,48%.

    Dengan demikian, inflasi ini diduga terjadi karena faktor-faktor seperti penurunan konsumsi rumah tangga, pengangguran di sektor manufaktur, dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Sejak era krisis 1997/1998, Indonesia hanya mengalami dua kali deflasi (yoy) yakni pada Maret 2000 dan Februari tahun ini. Artinya, fenomena deflasi tahunan hanya terjadi 25 tahun yang lalu.

    Terjadinya deflasi pada Maret 2000 lebih disebabkan karena inflasi pada periode sebelumnya sangat tinggi, Inflasi pada Maret 1999 menembus 45%.

    Namun, Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti menjelaskan bahwa deflasi bukan disebabkan oleh menurunnya daya beli. Namun, deflasi terjadi akibat adanya diskon 50% untuk tarif listrik dari pemerintah.

    “Ini bukan karena penurunan daya beli tapi karena diskon tarif listrik yang memberikan andil deflasi dua bulan berturut-turut,” ujar Amalia dalam konferensi pers, Senin (3/3/2025).

    Lebih lanjut, data Astra Internasional dan GAIKINDO menunjukkan penjualan mobil nasional kembali tertekan. Setelah sempat menikmati lonjakan signifikan di bulan Februari 2025 lalu, penjualan di bulan Maret 2025 berbalik turun.

    Data tersebut mencatat, penjualan mobil nasional bulan Maret 2025 turun 1,99% atau 1.44 unit menjadi 70.892 unit dibandingkan Februari 2025 yang mencapai 72.336 unit. Jika dibandingkan secara tahunan, penjualan bulan Maret 2025 mengalami penurunan sebanyak 3.828 unit. Atau drop sekitar 5,12% dari Maret 2024 yang mencapai 74.720 unit.

    Secara total, penjualan wholesale mobil sepanjang Januari-Maret 2025 tercatat mencapai 205.160 unit. Anjlok 10.090 unit atau 3,66% dari periode sama tahun 2024 yang tercatat sebanyak 215.250 unit.

    Sebelumnya, pada bulan Februari 2025, penjualan mobil nasional beri kabar baik. Tercatat, penjualan mobil mencapai 72.295 unit, melonjak 10.363 unit atau 16,73% dibandingkan Januari 2025 yang sebanyak 61.932 unit.

    Pengamat otomotif Yannes Pasaribu menilai, data jumlah pemudik 2025 turun 24,34% dari 2024 sudah jadi sinyal awal. Ini mengindikasikan memang terjadi tekanan ekonomi yang nyata di Indonesia.

    Apalagi, imbuh dia, pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi dan meningkat. Yang memperparah kondisi masyarakat kelas menengah di Indonesia.

    Menurut Yannes, penurunan penjualan mobil nasional di bulan Maret 2025 mencerminkan tekanan signifikan dari pelemahan ekonomi makro.

    “Indeks Keyakinan Konsumen yang terus menurun dan deflasi beruntun juga menunjukkan kehati-hatian masyarakat dalam belanja. Dalam situasi ini, pembelian mobil sebagai kebutuhan tersier berbiaya tinggi, besar kemungkinan akan ditunda,” kata Yannes kepada CNBC Indonesia, dikutip (5/5/2025).

    “Konsumen tampaknya lebih memilih mengalokasikan dana untuk kebutuhan primer, menabung, atau membayar kewajiban expenditure keluarga lain yang lebih penting dan mendesak,” sambungnya.

    Dia menambahkan, warga RI kemungkinan memilih menunggu kepastian pemulihan ekonominya dan kestabilan daya beli sebelum mengambil keputusan pembelian besar.

    (haa/haa)

  • Ada Apa dengan Ekonomi Indonesia?

    Ada Apa dengan Ekonomi Indonesia?

    PIKIRAN RAKYAT – Menteri Perhubungan (Menhub) Dudy Purwagandhi mengungkap penurunan mudik Lebaran 2025 sekira 4,69% dibandingkan dengan realisasi pada 2024 yang mencapai 162,2 juta orang, tahun ini tercatat 154,6 juta jiwa.

    Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) juga memprediksi tren pergerakan wisatawan periode libur Lebaran 2025 mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya.

    “Kita sedang melakukan survei juga untuk ini, tapi secara ringkas kalau kita dengarkan dari beberapa katakan para PHRI dari daerah, trennya itu menurun yang pasti, jika dibandingkan tahun 2024,” ucap Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran pada Jumat, 11 April 2025 seperti dikutip dari Antara.

    Penurunan Daya Beli Masyarakat

    Menurut Yusran, tren penurunan ini bisa dilihat dari persentase penggunaan semua moda transportasi yang telah diakui pemerintah turun menjadi 30 persen.

    “Kemudian lama daripada peningkatan okupansi, jumlah hari peningkatan okupansi itu pendek, cuma tiga atau empat hari habis itu okupansinya langsung di-drop drastis, misalnya dari angka 80 persen atau 90 persen itu bisa di-drop drastis ke 20 persen sekarang rata-rata bahkan ada yang di bawah itu,” katanya.

    Tren penurunan juga terjadi pada sisi akomodasi seperti hotel dan restoran, disebabkan penurunan daya beli masyarakat. Fenomena ini sangat disayangkan karena biasanya masyarakat berupaya sebisa mungkin agar bisa mudik ke kampung halaman.

    “Kalau kita bicara daya beli terganggu kita perhatikan memang situasi ekonominya tidak bagus. Banyak kayak PHK, terus masalah dinamika, kebijakan dalam negeri yang juga masih belum kondusif,” ujar Yusran.

    Penyebab lain yang ia soroti yakni adanya permasalahan pinjaman online (pinjol) yang kasusnya semakin meningkat, membuktikan situasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan memicu sebagian masyarakat tak mudik.

    Tingkat okupansi sejumlah daerah melonjak, tapi tren ini tak akan bertahan lama meski periode libur Lebaran 2025 cukup panjang.

    “Permasalahan kita bahwa tingkat okupansi yang diharapkan itu memang bisa berlangsung lama, tapi karena kita mengalami low season yang parah sekali waktu bulan puasa, ternyata targetnya juga enggak tercapai dan yang paling penting lagi setelah lonjakan tersebut turunnya juga langsung drastis ke bawah,” ujarnya.

    Efisiensi Anggaran

    PHRI telah beberapa kali mengadakan pertemuan dan berkoordinasi dengan Kementerian Pariwisata dalam mengatasi hal ini selain tengah melakukan survei.

    Namun, efisiensi anggaran membuat kementerian dan lembaga mengalami kesulitan menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan hotel dan restoran seperti biasanya.

    Menurutnya, kegiatan pemerintah bisa menjadi pemasukan yang cukup besar untuk sejumlah daerah yang tak memiliki banyak destinasi wisata.

    PHRI telah bersurat pada Menteri Keuangan hingga Presiden Prabowo Subianto guna mendiskusikan masalah ini. Ia berharap pemerintah mendorong investor membangun sarana akomodasi di sekitar destinasi wisata.

    Sektor akomodasi juga akan tumbuh jika pemerintah banyak menyelenggarakan acara seperti Pekan Olahraga Nasional (PON) di Papua.

    “Kita sepakat dengan efisiensi tapi efisiensinya harus juga dilakukan hati-hati agar tidak terdampak terhadap keberlangsungan dari akomodasi itu sendiri. Bukan kita berarti tidak mau inovatif untuk mencari pasar baru, tapi untuk jangka pendek tentu harus ada hal yang mesti, yang bisa menyelesaikan itu adalah pemerintah itu sendiri,” ujarnya.

    Ia menilai saat ini momentum yang tepat membenahi sektor pariwisata Indonesia dari sisi regulasi, investasi dan penguatan peran pariwisata untuk perekonomian nasional.***

    Simak update artikel pilihan lainnya dari kami di Google News

  • Peningkatan penerbangan langsung dari China dongkrak pariwisata  Sulut

    Peningkatan penerbangan langsung dari China dongkrak pariwisata Sulut

    Jakarta (ANTARA) – Peningkatan jumlah penerbangan langsung dari kota-kota di China menuju Kota Manado, Sulawesi Utara, diharapkan dapat mendongkrak pariwisata lokal, termasuk menjadi harapan baru bagi industri perhotelan di wilayah tersebut.

    Saat ini, terdapat tiga maskapai yang melayani penerbangan langsung dari sejumlah kota di China ke Manado, di antaranya penerbangan reguler TransNusa dari Kota Guangzhou dan penerbangan carteran dari Nanjing, Lucky Air dari Kunming, dan China Southern Airlines dari Guangzhou.

    Pergerakan wisatawan dari China menuju Sulawesi Utara cukup tinggi, terutama sebelum pandemi COVID-19. Saat itu, jumlah penerbangan langsung Manado-China jauh lebih banyak dibandingkan saat ini.

    Setelah pandemi mulai berhasil ditangani, wisatawan China perlahan kembali berkunjung ke Sulawesi Utara. Sebanyak lebih dari 31.000 wisatawan tercatat pada tahun lalu, menyumbang 67 persen dari total kunjungan wisatawan asing ke provinsi tersebut, tunjuk data dari Badan Pusat Statistik Sulawesi Utara.

    Merespons tren tersebut, TransNusa berencana menambah rute penerbangan langsung dari tiga kota di China pada tahun ini, di antaranya dari Shanghai, Shenzhen, dan Hangzhou.

    “Langkah ini akan dilakukan pada Juni dan Juli, tetapi tanggal dimulainya belum dipastikan,” kata Direktur Utama TransNusa Bayu Sutanto saat dikonfirmasi Xinhua.

    Dalam wawancara dengan Xinhua pada pertengahan Februari lalu, pejabat senior Kementerian Pariwisata Republik Indonesia Vinsensius Jemadu menyebut pemerintah Indonesia sedang mendorong lebih banyak penerbangan langsung dari China ke Indonesia, khususnya ke Manado. Langkah ini diambil atas dasar pertimbangan tren kembalinya turis China yang berwisata ke wilayah tersebut seperti pada 2019.

    Penambahan volume penerbangan langsung China-Manado yang mengangkut ribuan turis ini disebut-sebut akan menjadi angin segar bagi industri perhotelan di Sulawesi Utara.

    “Peningkatan wisatawan dari China menjadi alternatif untuk menopang industri perhotelan di Sulawesi Utara yang saat ini menghadapi situasi bisnis kurang menguntungkan,” ujar Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran.

    Pewarta: Xinhua
    Editor: Santoso
    Copyright © ANTARA 2025

  • Okupansi Hotel Anjlok pada Libur Lebaran 2025, PHRI: Imbas Daya Beli Lemah

    Okupansi Hotel Anjlok pada Libur Lebaran 2025, PHRI: Imbas Daya Beli Lemah

    Bisnis.com, JAKARTA – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mencatat adanya penurunan tingkat hunian hotel atau okupansi hotel selama libur Lebaran 2025. Daya beli menjadi salah satu pemicu rendahnya okupansi pada periode ini.

    Sekjen PHRI Maulana Yusran menyampaikan, tingkat okupansi hotel di beberapa daerah seperti Solo dan DI Yogyakarta mengalami penurunan sekitar 20% dibanding periode Lebaran tahun lalu.

    “Penurunannya cukup signifikan. Kalau kita data dari beberapa daerah, mereka mencapai 20% penurunannya,” kata Maulana kepada Bisnis, Rabu (2/4/2025).

    Namun secara keseluruhan, PHRI belum bisa menyampaikan berapa persen penurunan okupansi hotel, mengingat momen libur Lebaran masih akan berlangsung hingga 7 April 2025.

    Maulana menuturkan, penurunan tingkat okupansi hotel sejalan dengan menurunnya pergerakan pemudik pada Lebaran tahun ini. 

    Merujuk data Kementerian Perhubungan (Kemenhub), jumlah pemudik pada Lebaran tahun ini diperkirakan 146,48 juta orang atau sekitar 52% dari penduduk Indonesia. Angka tersebut turun sebesar 24% dibanding tahun lalu yang mencapai 193,6 juta pemudik.

    “Orang yang bergerak dulu kan yang didata. Nah, itu kalau dari situ sudah turun ya otomatis bisa penurunan [okupansi] itu sudah pasti ada,” ujar Maulana.

    Menurutnya, ada sejumlah faktor yang memicu penurunan jumlah pemudik, yang berujung pada lesunya okupansi hotel. Pertama adalah melemahnya daya beli. 

    Dia menjelaskan, lemahnya daya beli akan membuat masyarakat untuk menahan pengeluarannya dengan tidak berwisata. 

    “Enggak mungkin mereka akan bergerak berwisata kalau mereka tidak memiliki kemampuan untuk melakukan perjalanan wisata. Jadi daya beli itu adalah ukuran nomor satu,” jelasnya.

    Selain itu, kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja juga menjadi salah satu faktor. Apalagi, pemerintah saat ini tengah melakukan efisiensi anggaran tahun 2025 yang berdampak kepada berbagai sektor.

    “Dengan situasi kayak gitu kan masyarakat tentu akan menahan untuk melakukan spending. Karena kita belum tahu situasi ke depannya seperti apa,” pungkasnya.

  • Jelang Libur Lebaran 2025, Okupansi Kamar Hotel Masih Lesu

    Jelang Libur Lebaran 2025, Okupansi Kamar Hotel Masih Lesu

    Bisnis.com, JAKARTA — Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI) mengungkapkan tingkat hunian hotel atau okupansi hotel masih lesu jelang hari raya Idulfitri 2025. Hal ini salah satunya dipicu oleh pelemahan daya beli masyarakat.

    Ketua Umum PHRI Hariyadi B. Sukamdani mengatakan tingkat okupansi hotel secara rata-rata nasional mengalami perlambatan sekitar 30% dibanding tahun lalu. 

    “Okupansi hotel, kami mencatat sampai H-14 [Lebaran] kalau di hotel menunjukkan perlambatan 30% dibanding tahun lalu,” ujarnya dalam konferensi di Hotel Grand Sahid Jaya, Sabtu (22/3/2025).

    Di sisi lain, Hariyadi juga melihat tingkat keterisian atau load factor di sejumlah maskapai penerbangan. Menurutnya, jika tingkat keterisian pesawat penuh atau mencapai 100%, maka ada kemungkinan tingkat okupansi hotel ikut penuh.

    “Jadi kalau itu fully booked ya kemungkinan sama lah [tingkat okupansi hotel] kayak [periode Lebaran] tahun lalu,” katanya. 

    Kondisi berbeda kemungkinan terjadi untuk daerah-daerah yang menjadi tempat tujuan mudik seperti Solo, Malang, Yogyakarta. Hariyadi mengatakan, tingkat okupansi hotel di daerah-daerah ini kemungkinan mencapai sekitar 80%-100% pada libur Lebaran 2025.

    Namun, pihakya tidak dapat memperkirakan apakah kondisi akan terus berlanjut hingga libur panjang berakhir. 

    Apalagi, libur kali ini cukup lama lantaran libur adanya dua hari raya yang berdekatan yakni Tahun Baru Saka 1947 atau Nyepi pada 29 Maret 2025 dan Idulfitri 1446H/2025 M pada 1 April 2025, yang dilanjutkan dengan cuti bersama hingga 7 April 2025.

    Dia menilai terdapat kemungkinan masyarakat mengurangi waktu liburnya imbas pelemahan daya beli.

    “Kemungkinan orang perpendek liburnya karena yang kita khawatirkan adalah daya beli, makin lama liburan, ongkosnya makin banyak,” ucap Hariyadi. 

    Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran berpedapat Lebaran tahun ini menjadi tantangan bagi industri hotel dan restoran. Maulana menyebut, cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini telah menghambat beberapa akses jalan di sejumlah titik.  

    Beberapa destinasi di Indonesia juga kemungkinan terdampak imbas cuaca buruk sehingga ini menjadi tantangan bagi para pelaku usaha di industri ini. Belum lagi, kata dia, masyarakat yang menjadi korban bencana akibat curah hujan yang cukup besar kemungkinan akan menahan diri untuk melakukan perjalanan. 

    “Jadi, kita mesti melihat lagi ke depan apakah hal-hal ini akan mengganggu pergerakan wisatawan nusantara itu akhirnya. Tapi sampai saat ini kita masih optimistis itu bisa akan ada dampaknya,” tuturnya kepada Bisnis.

  • Risiko PHK Industri Hotel Imbas Efisiensi Anggaran, Menpar: Dampaknya Sementara

    Risiko PHK Industri Hotel Imbas Efisiensi Anggaran, Menpar: Dampaknya Sementara

    Bisnis.com, JAKARTA – Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) mengintai para pekerja di industri perhotelan imbas efisiensi anggaran pemerintah. 

    Merespons hal tersebut, Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana menyampaikan sejauh ini pihaknya belum mendengar kabar adanya rencana PHK di sejumlah hotel. 

    “Nanti kami klarifikasi lagi dengan mereka [Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia/PHRI],” kata Widiyanti ketika ditemui di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (27/2/2025).

    Dia mengakui, kebijakan efisiensi anggaran, sebagaimana tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) No.1/2025, memang dapat berdampak negatif terhadap industri perhotelan dalam negeri. Kendati begitu, dia meyakini dampak tersebut hanya bersifat sementara. “Memang ada dampak, tapi kami rasa itu akan sementara,” ujarnya. 

    Sebelumnya, Industri perhotelan dan restoran tengah mengantisipasi penurunan bisnis imbas efisiensi anggaran pemerintah. Pengusaha hotel dan restoran pun akan mengambil langkah efisiensi maupun penyesuaian untuk mempertahankan bisnisnya. 

    Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran mengatakan daerah-daerah di luar Pulau Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Papua, Sulawesi, dan Nusa Tenggara sangat bergantung pada kegiatan pemerintah. Hal ini mengingat tidak banyak perusahaan swasta yang melakukan aktivitas ekonomi di daerah-daerah tersebut. 

    Jika terjadi penurunan aktivitas di daerah-daerah tersebut, pengusaha kemungkinan akan menangguhkan sementara aktivitas kerja untuk pekerja harian maupun merekrut pekerja baru. Padahal, sektor ini berkontribusi positif terhadap pembukaan lapangan kerja. 

    “Kalau di sisi kami kan justru membuka lapangan pekerjaan, itu yang justru memicu pertumbuhan ekonomi,” ujar Maulana kepada Bisnis. 

    Penurunan bisnis hotel dan restoran, menurutnya, juga akan memberikan dampak rambatan ke pendapatan asli daerah (PAD). 

    “Tentu pertama PAD-nya akan menurun di setiap kota karena pajak hotel-restoran itu lima besar [sumber] pendapatan asli daerah,” tuturnya.