Tag: Masayoshi Son

  • Ilmuwan AS Prediksi Manusia Bisa Hidup Abadi Mulai Tahun 2030

    Ilmuwan AS Prediksi Manusia Bisa Hidup Abadi Mulai Tahun 2030

    Bisnis.com, JAKARTA – Ilmuwan Amerika Serikat Ray Kurzweil memperkirakan manusia dapat mencapai keabadian pada tahun 2030.

    Dia mengatakannNanobot dapat merevolusi pengobatan, akan memperbaiki sel dan membalikkan penuaan manusia. Kurzweil juga memperkirakan AI akan menyamai kecerdasan manusia pada tahun 2029.

    Menurutnya, manusia dan mesin akan bergabung. Ini akan meningkatkan kemampuan manusia. Singularitas, periode perubahan teknologi yang cepat, dapat terjadi sekitar tahun 2045. 

    Dilansir dari timesofindia, Kurzweil telah meramalkan bahwa pada tahun 2030, manusia dapat mencapai apa yang sebelumnya dianggap mustahil keabadian biologis. Pernyataan tersebut, meskipun luar biasa, bukanlah khayalan.

    Sebaliknya, pernyataan tersebut didukung oleh kemajuan pesat disiplin ilmu utama seperti nanoteknologi, genetika, dan robotika. Kurzweil meramalkan bahwa masa depan kedokteran akan ditandai dengan munculnya mesin mikroskopis yang disebut nanobot. Robot kecil semacam ini akan membantu perjalanan dalam sistem peredaran darah manusia, terus-menerus memeriksa status tubuh, menyembuhkan sel-sel yang rusak, dan membalikkan tanda-tanda penuaan.

    Jika terwujud, teknologi ini mungkin tidak hanya menyembuhkan penyakit sebelum muncul tetapi juga memulihkan tubuh manusia pada tingkat seluler, yang secara efektif menghentikan proses penuaan. Siapakah Ray Kurzweil? Ray Kurzweil tidak asing dengan dunia prediksi teknologi yang dramatis. Ia terkenal karena visinya dalam mengantisipasi arah inovasi digital. Sebagian besar prediksinya, yang dibuat bertahun-tahun lalu dan dianggap tidak mungkin pada saat itu, telah menjadi kenyataan dengan ketepatan yang mencengangkan. Ia terkenal meramalkan kemunculan internet, kecerdasan buatan, dan penggabungan biologi dan komputasi, terkadang puluhan tahun sebelum diterima secara luas.

    Banyak orang yang percaya dengan ucapannya, karena hampir 86 persen dari 147 prediksinya terbukti benar. Pada tahun 1999, ia dianugerahi National Medal of Technology, penghargaan tertinggi yang diberikan oleh pemerintah Amerika kepada para inovatornya. Kredibilitasnya tidak hanya berasal dari keberhasilan profesionalnya, tetapi juga karena pendekatan langsungnya terhadap penelitian dan pengembangan teknologi canggih. Bagaimana AI dan pikiran manusia akan bergabung untuk mendefinisikan ulang kecerdasan pada tahun 2029

    Bersamaan dengan transformasi biologis ini muncul evolusi kecerdasan buatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kurzweil berpikir AI akan mencapai tolok ukur krusialnya pada tahun 2029, ketika mesin akan memiliki kecerdasan tingkat manusia dan akan mampu lulus uji Turing—tolok ukur kemampuan mesin untuk mensimulasikan perilaku yang tidak dapat dibedakan dari manusia.

    Ia memperkirakan bahwa manusia dan mesin tidak hanya akan hidup berdampingan, tetapi akan bersatu. Penggabungan kesadaran manusia dengan AI akan meningkatkan daya ingat, persepsi, dan pengambilan keputusan sehingga kemampuan manusia melampaui batas biologis alami. Kecerdasan manusia akan berkembang biak melebihi imajinasi sekitar tahun 2045

    Inti dari ramalan Kurzweil adalah gagasan tentang Singularitas, sebuah titik waktu teoritis di masa depan di mana perkembangan teknologi melaju cepat hingga ke titik yang mengubah peradaban manusia secara radikal. Ia meramalkan transisi ini akan terjadi sekitar tahun 2045. Kecerdasan manusia akan meningkat satu miliar kali lipat saat kita mulai berintegrasi dengan penemuan kita sendiri. Integrasi ini akan menghasilkan jenis keberadaan baru di mana kesadaran tidak terbatas pada jaringan berbasis karbon tetapi dapat diunggah, ditambah, dan bahkan dibuat bertahan selamanya.

    Kurzweil bukan satu-satunya yang membayangkan dunia seperti itu. Para inovator teknologi di seluruh dunia telah menyetujui pemikiran tersebut. Salah satunya adalah Masayoshi Son, CEO SoftBank, yang juga telah meramalkan munculnya mesin super-cerdas pada tahun 2047. Menurut Son, mesin-mesin itu akan belajar sendiri dan berpotensi memperoleh kecerdasan emosional yang dapat menggulingkan posisi manusia di puncak rantai intelektual. Penciptaan Pepper oleh SoftBank, sebuah robot humanoid dengan kemampuan untuk merasakan emosi manusia, adalah contoh bagaimana komputasi emosi sudah mulai merambah ke dalam kehidupan. Bagaimana terobosan AI terbaru membentuk kembali masyarakat dan meningkatkan kewaspadaan

    Meskipun visi Kurzweil tentang keabadian didasarkan pada harapan akan kekuatan sains, visi tersebut mengangkat isu-isu etika dan filosofis yang sangat mendasar. Jika manusia tidak lagi menua dan mati secara alami, bagaimana masyarakat akan mengelola pertumbuhan populasi, distribusi sumber daya, dan keseimbangan ekonomi? Akankah keabadian hanya menjadi pilihan bagi orang kaya, atau akan menjadi hak yang dimiliki setiap orang? Dan, yang lebih mendasar, apa yang dilakukan persepsi kita tentang kehidupan, tujuan, dan warisan ketika kematian tidak lagi menjadi kenyataan yang tak terelakkan? Ini bukan hanya pertanyaan ilmiah—ini adalah isu budaya, etika, dan sangat manusiawi yang perlu kita persiapkan untuk dihadapi. 

  • Perang AS-China Meledak, Proyek Bom Atom Dihidupkan Kembali

    Perang AS-China Meledak, Proyek Bom Atom Dihidupkan Kembali

    Daftar Isi

    Jakarta, CNBC Indonesia – Amerika Serikat (AS) dan China sedang dalam ‘perang’ untuk mendominasi teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI). Kedua negara terus-terusan melancarkan aksi pemblokiran teknologi demi menjegal perkembangan AI satu sama lain.

    Dalam beberapa tahun terakhir, sejak era pemerintahan Joe Biden hingga digantikan Donald Trump, AS berkali-kali mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor chip buatan AS ke China.

    Tak tinggal diam, China balas dendam memblokir ekspor mineral penting seperti galium dan germanium ke AS. Keduanya merupakan komponen penting untuk mengembangkan semikonduktor dalam chip berkecepatan tinggi.

    Sebagai informasi, chip merupakan tulang punggung dalam pengembangan AI. Fungsinya untuk menganalisa data besar (big data) dan melatih AI agar bisa menjalankan perintah secara akurat dan cepat.

    Upaya AS memblokir chip ke China dinilai sebagai cara ampuh untuk membunuh pengembangan AI di China. Pasalnya, AS khawatir China akan mengembangkan AI untuk memperkuat militernya.

    Kendati demikian, China tak habis akal. Presiden Xi Jinping dalam beberapa tahun terakhir sudah menyerukan gerakan untuk mendorong kemandirian lokal dan melepas ketergantungan negaranya ke AS.

    Tak tanggung-tanggung, pemerintahan Xi Jinping meluncurkan program pendanaan yang dibekingi negara bertajuk ‘Big Fund’ untuk menggenjot industri semikonduktor. Fase pendanaan terakhir diluncurkan pada Juli 2024 lalu senilai US$47,5 miliar.

    Perlu diketahui, ketegangan geopolitik antara China dan AS memiliki sejarah panjang, sejak dimulainya Perang Dingin (Cold War) antara Blok Barat penganut kapitalis dan Blok Timur penganut komunis.

    Efek dari Perang Dingin untuk menguasai pengaruh global masih terasa hingga sekarang, dan makin jelas terlihat dalam pertarungan AI antara AS dan China. AI digadang-gadang sebagai teknologi baru yang mengubah cara hidup manusia.

    Potensi ekonomi global dari AI diprediksi mencapai US$19,9 triliun pada 2030, menurut firma riset IDC. Goldmand Sachs memprediksi PDB global akan meningkat sebesar US$7 triliun dalam 10 tahun ke depan.

    Singkatnya, negara yang mampu memenangkan pertarungan AI bisa dibilang merupakan penguasa dunia di masa mendatang.

    Bangkitnya Proyek Manhattan ala Perang Dunia-II

    Pada akhir 2024, US-China Economic and Security Review Commission (USCC) merekomendasikan inisiatif untuk mendanai pengembangan AI dengan kecerdasan setara atau melebihi manusia atau diistilahkan Artificial General Intelligence (AGI).

    USCC merupakan komisi legilatif AS yang fokus memantau, menyelidiki, dan melaporkan ke Kongres AS terkait implikasi keamanan nasional dari relasi ekonomi dan perdagangan antara AS dan China.

    Pendanaan yang diajukan USCC memiliki konsep serupa ‘Proyek Manhattan’ di era Perang Dunia-II. Proyek rahasia itu mengolaborasikan pemerintah AS dan sektor swasta untuk mendanai penelitian dan produksi bom atom pertama.

    Komisioner USCC, Jacob Helberg, mengatakan sejarah membuktikan bahwa negara pertama yang berhasil memanfaatkan periode pertama perubahan teknologi yang cepat akan memimpin pergeseran kekuatan global.

    “China menggenjot implementasi AGI. Sangat penting untuk kita menghadapinya secara serius,” kata Helberg, dikutip dari Reuters.

    Dalam dokumen yang diajukan USCC, ditekankan bahwa pemerintah AS harus terlibat langsung dalam pendanaan untuk memimpin pengembangan AGI. Selain itu, pengembangan AGI juga harus menjadi prioritas nasional di bawah arahan Kementerian Pertahanan.

    “[Kongres AS] mengarahkan Kementerian Pertahanan AS untuk menyediakan Sistem Alokasi dan Prioritas Pertahanan ‘DX Rating’ dalam hal-hal terkait ekosistem AI untuk memastikan proyek ini menjadi prioritas nasional,” tertera dalam rekomendasi USCC ke Kongres AS.

    DX Rating merujuk pada prioritas nasional tertinggi. Perintah DX Rating umumnya krusial untuk pertahanan nasional, seperti peralatan militer dan infrastruktur kritis.

    Berdasarkan dokumen rekomendasi tersebut, USCC mengindikasikan peran krusial AGI dalam sistem pertahanan dan keamanan AS melawan China. Bisa dibilang AGI menjadi ‘bom atom’ baru di era kecerdasan buatan untuk memenangkan pengaruh global.

    Proyek Besar Trump Bernilai US$500 Miliar

    Rekomendasi USCC sepertinya ditanggapi serius oleh Trump. Beberapa saat usai dilantik, Trump bergegas mengumumkan investasi senilai US$500 miliar untuk pembangunan infrastruktur AI dalam melawan China.

    Investasi tersebut, antara lain, didukung oleh pencipta ChatGPT yaitu OpenAI, SoftBank, dan Oracle. Ketiga perusahaan membentuk perusahaan patungan yang diberi nama Stargate dengan tujuan membangun kompleks data center dan menciptakan lebih dari 100.000 lapangan kerja.

    Stargate berkomitmen mengucurkan modal US$100 miliar dalam waktu dekat. Sisanya akan dikucurkan secara bertahap dalam 4 tahun ke depan.

    CEO SoftBank Masayoshi Son, CEO OpenAI Sam Altman, dan pendiri Oracle Larry Ellison berada di sisi Trump saat pengumuman rencana investasi besar-besaran tersebut.

    Proyek pertama Stargate telah dimulai di Texas. Ellison menyatakan secara total ada 20 data center yang akan dibangun dengan luas masing-masing 4,6 hektare. Tiap data center, antara lain, bisa memanfaatkan AI untuk analisis rekam kesehatan dan membantu dokter dalam perawatan pasien.

    Pujian juga muncul dari mulut Altman. “AGI bisa dibangun di sini, kami tak akan bisa melakukannya tanpa Anda Pak Presiden,” kata Altman dalam acara pengumuman tersebut.

    Proyek Stargate sebetulnya sudah diberitakan sebelumnya oleh The Information. Pada Maret 2024, The Information mengabarkan bahwa OpenAI dan Microsoft menjajaki rencana proyek data center US$100 miliar termasuk superkomputer AI bernama Stargate yang akan diluncurkan pada 2028 mendatang.

    Pengumuman dari Trump merupakan bentuk dukungan pemerintah terhadap inisiatif yang dibangun oleh sektor swasta. Hal ini sesuai dengan rujukan USCC untuk memperkuat kolaborasi pemerintah-swasta dalam mendominasi pengembangan AGI melawan China.

    Kemunculan DeepSeek Bikin AS Terguncang

    Tak lama setelah USCC mengeluarkan rekomendasi pengembangan AGI ala Proyek Manhattan, China mengguncang dunia melalui peluncuran model AI R1 DeepSeek pada Januari 2025.

    R1 DeepSeek dirilis sebagai sumber terbuka (open source). Jadi, siapa saja bisa mengunduhnya secara gratis dan menjalankannya di perangkat masing-masing atau untuk melakukan pengembangan sistem lebih lanjut.

    DeepSeek dinilai sebagai sistem AI pertama China yang mampu menyamai akurasi dan kecepatan AI dari AS, namun dengan biaya operasional jauh lebih murah.

    Perusahaan China itu mengaku modal mengembangkan R1 ‘hanya’ senilai US$5,5 juta. Angka itu jauh lebih efisien ketimbang investasi miliaran dolar AS yang digelontorkan raksasa AS untuk mengembangkan sistem AI.

    Hal ini membuat Silicon Valley terguncang. Investor mempertanyakan pengeluaran besar-besaran raksasa AS ketika startup China mampu meluncurkan AI canggih berbiaya rendah.

    Bursa saham AS, Wall Street, langsung ambruk dan kehilangan ratusan miliar dolar AS ketika DeepSeek diluncurkan. DeepSeek juga berhasil mengalahkan ChatGPT dalam review aplikasi gratis terbaik di App Store Apple AS, pada 28 Januari 2025. Dalam waktu singkat, kekayaan 500 orang terkaya dunia rontok sebesar US$108 miliar.

    Hal ini menjadi pukulan telak bagi AS. Lagi-lagi, China mampu membuktikan kekuatannya di tengah gempuran blokir bertubi-tubi dari AS.

    Bumerang Blokir Chip AS ke China

    Kemunculan DeepSeek membuat AS makin murka. Pemerintahan Trump menuduh China berhasil menyelundukan chip-chip Nvidia yang dilarang, sehingga berhasil mengembangkan DeepSeek.

    Hingga kini, penyelidikan terhadap dugaan penyelundupan chip Nvidia ke China masih berlangsung. Di saat bersamaan, Trump makin ganas dan membabi buta memblokir chip ke China.

    Terbaru, Trump mengumumkan pemblokiran chip H20 Nvidia ke China. Padahal, chip yang tak terlalu canggih itu khusus dirancang Nvidia untuk China agar tidak melanggar aturan pemerintah sebelumnya.

    Hal ini bisa menjadi bumerang bagi AS. Nvidia sudah berkali-kali menyuarakan bahaya jika pemerintah AS memblokir total akses chip ke China. Nvidia menilai pemblokiran total hanya akan menumbuhkan kemandirian China dan merugikan raksasa AS.

    China merupakan negara pasar utama bagi Nvidia yang berkontribusi terhadap 22% pendapatannya sebelum kebijakan kontrol ekspor pertama ditetapkan Joe Biden pada 2022. Kontribusi pendapatan dari China pelan-pelan berkurang menjadi 13%.

    CEO Nvidia Jensen Huang mengatakan pasar AI China memiliki potensi senilai US$50 miliar dalam waktu 2-3 tahun ke depan. Jika perusahaan AS tak mengambil peluang, kerugiannya akan sangat besar.

    Kekhawatiran Nvidia bukan tanpa alasan. The Wall Street Journal melaporkan Huawei bersiap menguji chip AI terbaru dan palingg canggih untuk menggantikan Nvidia.

    Huawei dikatakan telah mendekati beberapa perusahaan teknologi China untuk menguji kelayakan teknis chip baru tersebut, yang disebut Ascend 910D, kata laporan itu, mengutip orang-orang yang mengetahui masalah tersebut.

    Sumber Dolar Baru Asia Tenggara

    Di tengah perang yang memanas antara dua kekuatan ekonomi terbesar, negara-negara lain juga turut ambil bagian dalam pengembangan AI. Misalnya Uni Emirat Arab (UEA), Inggris, Jerman, Jepang, Korea Selatan, hingga Indonesia, yang mulai gencar berinvestasi dalam infrastruktur, riset, dan talenta AI.

    Selain chip yang menjadi tulang punggung AI, pusat data (data center) merupakan infrastruktur penting untuk menyimpan dan memroses data yang dijalankan oleh chip. Tak heran, raksasa teknologi berbondong-bondong membangun data center baru.

    Data center untuk menampung chip AI berteknologi canggih membutuhkan lahan luas dan pasokan listrik yang besar. Kawasan Asia Tenggara belakangan dilirik untuk menempatkan data center karena memenuhi dua kriteria tersebut.

    Dalam 3 tahun terakhir, Johor di Malaysia telah menarik sekitar 50 proyek data center, termasuk dari ByteDance dan Microsoft. Menurut firma riset DC Byte, kapasitas total data center di Johor, termasuk yang sedang dibangun dan direncanakan, telah bertumbuh 100 kali lipat dalam 5 tahun terakhir.

    Malaysia menjadi salah satu wilayah yang paling ramai dilirik asing untuk investasi data center karena memiliki kemudahan regulasi. Namun, Singapura sudah lebih dulu menjadi tempat andalan asing menyimpan data center dengan lebih dari 70 proyek.

    Thailand, Vietnam, dan Indonesia juga mulai ramai disorot asing untuk membangun data center, meski belum sebanyak Malaysia dan Singapura.

    Pengembangan AI yang cepat dan dinamis mendatangkan banyak peluang baru. Para pakar menyebut era AI sudah menjadi hal mutlak, sehingga manusia mau tak mau harus beradaptasi menghadapi perubahan zaman.

    Selain itu, setiap negara juga perlu membentuk regulasi konkrit dalam memitigasi risiko negatif dari pengembangan AI. Utamanya dari segi etika, keamanan, hingga ancaman hilangnya pekerjaan manusia.

    (fab/fab)

  • Gibran, Eks CEO eFishery Bersuara Soal Tuduhan Manipulasi Laporan Keuangan

    Gibran, Eks CEO eFishery Bersuara Soal Tuduhan Manipulasi Laporan Keuangan

    Bisnis.com, JAKARTA – Mantan CEO eFishery Gibran Huzaifah mengungkapkan awal mula dirinya memalsukan laporan keuangan startup agritech tersebut hingga akhirnya semua terbongkar.

    Dalam wawancara dengan Bloomberg News, Gibran mengakui aksinya tersebut dimulai pada 2018. Saat itu, startup yang ia dirikan dari prototipe alat pemberi makan ikan hingga menjadi perusahaan rintisan dengan 100 pegawai kesulitan pendanaan dan hanya menyisakan tiga bulan sebelum cadangan mereka benar-benar habis.

    Dia kemudian mulai memasukkan angka fiktif ke laporan keuangan kemudian mengirimnya ke investor. Para investor terkesan dengan perkembangan bisnisnya. Mereka menambah suntikan modal, tanpa sadar bahwa angka-angka tersebut palsu.

    Pada akhir 2018, Gibran mulai mengembangkan fondasi manipulasi tersebut, yang kelak ambruk dan akhirnya merugikan investor kelas dunia hingga ratusan juta dolar.

    “Ketika Anda bercermin dan menyadari kesalahan, Anda tahu itu bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Saya melakukannya untuk bertahan hidup,” ujar Gibran seperti dilansir Bloomberg, Rabu (16/4/2025).

    Awal Mula Segalanya

    Cerita Gibran dalam dunia startup bermula ketika dia mengikuti berbagai kompetisi startup di Jakarta pada 2012. Dari sini dia belajar cepat mengenai membuat presentasi bisnis, menyusun strategi, dan menyelaraskan visi dengan angka yang menarik bagi investor.

    Sebuah video YouTube dari Oktober 2013 memperlihatkan Gibran muda mempresentasikan gagasan andalannya: proses pemberian makan adalah biaya terbesar dalam akuakultur, dan alatnya bisa membuatnya jauh lebih efisien.

    Pada 2015, Aqua-Spark, investor asal Belanda yang fokus pada akuakultur berkelanjutan, setuju mengucurkan dana awal sebesar $750.000.

    Tantangan utama eFishery saat itu adalah harga alatnya yang tinggi dibanding margin tipis para petani ikan kecil. Harga satu unit bisa berkisar antara US$400 sampai US$600, tergantung ukuran dan diskon.

    Jumlah yang tak terjangkau bagi banyak petani di Indonesia, di mana sekitar 10% dari 280 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan dan biaya tenaga kerja murah.

    Gibran lalu mengubah model bisnis. Dia menyewakan alat kepada petani dan berharap cara ini bisa memperluas pasar lebih cepat dan menutup biaya produksi dalam beberapa tahun. Tapi karena harus menanggung biaya produksi di awal, ia cepat kehabisan dana.

    Ia berusaha menarik perhatian investor ventura di kawasan Asia Tenggara, namun ditolak berulang kali. Pada Desember 2017, laporan keuangan di Singapura mencatat eFishery hanya memiliki kas US$8.142.

    Namun Aqua-Spark masih tertarik. Pada Mei 2018, mereka sepakat ikut pendanaan Seri A senilai US$1,5 juta, dibagi dalam tiga tahap. Tahap terakhir sebesar US$500.000 baru akan diberikan jika ada investor lain yang ikut.

    Amy Novogratz yang merupakan salah satu pendiri Aqua-Spark membantah ada tanggungan pribadi dalam perjanjian.

    Nyaris putus asa, kemudian ia bertanya ke pendiri startup lain. Jawabannya hanya kode “dipoles,” “growth hack.” Bagi Gibran, maknanya jelas. Manipulasi angka sudah jadi rahasia umum.

    “Saya tahu itu salah. Tapi ketika semua melakukannya dan tak satu pun terkena, kamu mulai bertanya: apakah ini benar-benar salah?,” ungkapnya kepada Bloomberg.

    Ia menilai dilema ini layaknya teka-teki moral: jujur tapi gagal, atau berbohong demi kelangsungan hidup banyak pihak.

    “Kompas moral saya cenderung rasional — selama manfaat sosial yang dihasilkan lebih besar dari risikonya, saya anggap itu masih positif.”

    Pergantian arah sentimen investor terjadi cepat usai Gibran mengirimkan pembaruan laporan keuangan. Putaran pendanaan Seri A sukses menarik perhatian Wavemaker Partners dari Singapura dan 500 Global dari San Francisco. Total dana yang dihimpun mencapai US$4 juta, termasuk kontribusi lanjutan dari Aqua-Spark.

    Untuk menopang angka yang ia sajikan dalam spreadsheet, Gibran merancang sistem pertama yang tampak sederhana namun penuh tipu daya.

    Petambak yang memang sudah rutin membeli pakan dan menjual ikan diajak “mengalihkan” aktivitas mereka ke platform eFishery, dengan imbalan komisi 2–3%. Meski kenyataan di lapangan tak berubah, pencatatan keuangan perusahaan memperlihatkan lonjakan signifikan.

    “Ini hanya penyesuaian 20–30%. Tapi cukup untuk menunjukkan tren pertumbuhan—permulaan dari kurva hockey stick,” kata Gibran.

    Langkah yang lebih berisiko adalah program pembiayaan Kabayan, yang diklaim menggunakan data budidaya eFishery untuk menilai kelayakan kredit petani. Nyatanya, perusahaan menanggung langsung risiko kredit—dan tingkat gagal bayar sangat tinggi.

    Di atas kertas, eFishery tampak bersinar. Pendapatan melonjak 50 kali lipat dari US$185.405 pada 2018 menjadi US$10 juta pada 2019. Laba kotor tercatat positif, membuka jalan bagi ekspansi besar: aplikasi beli ikan langsung dari petambak, hingga titik distribusi pakan di pulau-pulau terpencil.

    Dampak riil tetap terasa. Suganda, petambak di Cirebon, adalah pengguna awal mesin eFeeder. Teknologi ini tak hanya memberi efisiensi, tapi juga membebaskannya dari rutinitas—memberinya kehidupan sosial. Ia dan kelompok petambaknya mendapat akses pinjaman hingga US$150.000, menambah kolam dari 10 menjadi 70 unit, dan meningkatkan penghasilan hingga 20%.

    eFishery menjadi startup yang menjawab momentum. Ketika tren investasi bergeser ke arah ESG dan dampak sosial, dana-dana besar membanjiri sektor ini. Pada 2020, dana berkelanjutan global naik 67% ke hampir US$1,7 triliun. Dengan narasi dari nol hingga sukses dan laporan keuangan yang “menggoda”, eFishery mencuri perhatian.

    Gibran kemudian meraih pendanaan Seri B sebesar US$20 juta dari Northstar Group dan Go-Ventures (kini Argor Capital). Lalu pada 2021, Gibran menerima kabar bahwa Masayoshi Son dari SoftBank ingin berbicara langsung. Dalam satu jam di tengah pandemi, kesepakatan hampir tercapai. SoftBank mengajukan valuasi US$200 juta.

    Tak lama, Sequoia India (Peak XV) dan Temasek ikut berlomba. Valuasi pun melonjak ke $300 juta lebih. Gibran bahkan menerima pesan WhatsApp langsung dari CEO Temasek, Dilhan Pillay—yang semula ia kira spam.

    Namun di tengah kegembiraan itu, Gibran dihantui kenyataan. Laporan kepada investor menyebut pendapatan Rp1,6 triliun dan laba sebelum pajak Rp142 miliar, padahal kenyataannya, pendapatan hanya Rp958 miliar dan kerugian sebelum pajak mencapai Rp164 miliar.

    Ia merasa bersalah, namun kembali teringat pada dilema etis ala “trolley problem”. Ia percaya eFishery memberi dampak. Tapi tekanan untuk terus tumbuh membuatnya menunda memperbaiki pembukuan.

    Akhirnya, SoftBank, Temasek, dan Sequoia India menyepakati investasi sebesar US$90 juta, mengerek valuasi eFishery ke US$410 juta—lompatan luar biasa dari valuasi US$12 juta hanya tiga tahun sebelumnya.

  • Investor Grab-GoTo Ketahuan Pinjam Uang Rp 263 Triliun Buat Ini

    Investor Grab-GoTo Ketahuan Pinjam Uang Rp 263 Triliun Buat Ini

    Jakarta, CNBC Indonesia – CEO SoftBank Group Masayoshi Son berencana meminjam uang senilai US$16 miliar (Rp263 triliun) untuk berinvestasi di sektor kecerdasan buatan (AI). Hal tersebut diungkap eksekutif perusahaan ke pihak bank pada pekan lalu, menurut laporan The Information, berdasarkan beberapa sumber dalam.

    Investor teknologi asal Jepang tersebut juga akan meminjam dana tambahan sebesar US$8 miliar (Rp131 triliun) pada awal 2026 mendatang, menurut laporan The Information, dikutip dari Reuters, Senin (3/3/2025).

    Pada Januari lalu, Reuters melaporkan SoftBank sedang dalam diskusi untuk menambah investasi senilai US$25 miliar ke OpenAI, perusahaan di balik layanan populer ChatGPT. Investasi itu di luar komitmen SoftBank senilai US$15 miliar untuk Stargate.

    Laporan The Information sebelumnya menyebut SoftBank berencana menginvestasikan total US$40 miliar ke Stargate dan OpenAI. Untuk itu, SoftBank sudah mulai berdiskusi untuk meminjam dana senilai US$18,5 miliar, dibekingi aset publik perusahaan.

    Stargate merupakan joint venture yang dibentuk Oracle, OpenAI dan SoftBank. Lembaga itu berencana mengumpulkan US$500 miliar (Rp8.240 triliun) untuk membantu AS mengalahkan China dalam dominasi AI.

    Presiden Donald Trump secara langsung mengumumkan pembentukan Stargate di Gedung Putih pada Januari lalu. Namun, Elon Musk sempat sesumbar bahwa Trump telah tertipu. Pasalnya, Son dkk tak memiliki uang untuk Stargate.

    Sejak awal booming teknologi AI, Son menjadi salah satu figur publik yang blak-blakan mendukung adopsi teknologi canggih tersebut. Ia juga menilai AI akan lebih banyak membawa manfaat ketimbang risiko, seperti yang dikhawatirkan banyak pihak.

    SoftBank sendiri diketahui sebagai salah satu perusahaan modal ventura kawakan yang banyak mendanai startup-startup kawakan, termasuk GoJek dan Grab yang populer di Indonesia.

    (fab/fab)

  • Profil Tony Blair yang Jadi Dewan Pengawas Danantara: Eks PM Inggris Pernah Jadi Dewan Penasihat IKN – Halaman all

    Profil Tony Blair yang Jadi Dewan Pengawas Danantara: Eks PM Inggris Pernah Jadi Dewan Penasihat IKN – Halaman all

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA –  Presiden Prabowo Subianto meresmikan lembaga pengelola investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) di Lapangan Tengah, Istana Kepresidenan, Jakarta pada Senin (24/2/2025). Lembaga tersebut terdiri dari Dewan Pengawas dan Badan Pelaksana.

    Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi salah satu dari Dewan Pengawas Danantara tersebut. “Ibu Menteri (Jadi Dewan Pengawas),” kata Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono di Istana Kepresidenan, Jakarta.

    Tidak hanya Menteri Keuangan, Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair juga menjadi Dewan Pengawas Danantara. Hal itu disampaikan oleh Kepala atau CEO Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara, Rosan Roeslani.

    “Iya salah satunya,” katanya.

    Dikutip dari Encyclopaedia Britannica Tony Blair sebelumnya dikenal sebagai Perdana Menteri (PM) Inggris (UK) tahun 1997-2007. Saat itu, ia tercatat sebagai Perdana Menteri termuda di sejarah Britania Raya sejak 1812 dengan menjabat mulai usia 44 tahun.

    Masa jabatan Tony Blair sebagai PM Inggris selama 10 tahun juga tercatat yang kedua terlama setelah Margaret Thatcher.

    Pria kelahiran 6 Mei 1953 ini semula menempuh pendidikan di Fettes College di Edinburgh dan St. John College of the University of Oxford.

    Tony Blair di masa kuliah mempelajari hukum dengan peminatan ide religius dan musik populer. Lulus dari University of Oxford pada 1975, Tony Blair berfokus pada hukum ketenagakerjaan dan komersial.

    Ia lalu terlibat dalam Partai Buruh dan terpilih di House of Commons pada kursi parlemen Buruh di Sedgefield, bekas distrik pertambangan di Inggris. Perjalanan politiknya mengantarkan Tony Blair menjadi Perdana Menteri Inggris pada 1997. Ia terpilih kembali sebagai PM Inggris pada Mei 2001.

    Tony Blair pernah diminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempromosikan Ibukota Nusantara (IKN) ke dunia internasional. Kemudian pada 2020, Tony Blair menjadi anggota Dewan Penasihat IKN bersama pendiri dan CEO SoftBank Masayoshi Son dan Presiden Uni Emirat Arab Sheikh Mohammed bin Zayed al Nahyan yang saat itu masih menjadi putra mahkota UEA.

    Ketika menjadi Anggota Dewan Penasihat IKN, Tony Blair menyebut bahwa pemerintah dapat melakukan promosi ke beberapa negara lain seperti pemerintah Persatuan Emirat Arab (PEA) dan China serta sejumlah perusahaan asing di kawasan Asia untuk berinvestasi di IKN.

    Perusahaan dari Indonesia kata Tony juga dapat menanamkan modal untuk berkontribusi dalam pembangunan IKN.

  • Alibaba China Investasi Rp826 Triliun Kembangkan AI, Siap Saingi Eropa dan AS

    Alibaba China Investasi Rp826 Triliun Kembangkan AI, Siap Saingi Eropa dan AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Alibaba mengumumkan rencana investasi US$53 miliar atau Rp826 triliun selama 3 tahun ke depan untuk membangun pusat data AI generasi baru, pengembangan chip khusus AI (Hanguang 900), dan komputasi awan canggih.

    Langkah ini merupakan bagian dari transformasi strategis perusahaan dari e-commerce ke teknologi AI dan komputasi awan. 

    Melansir Bloomberg pada Senin (24/2/2025), perusahaan internet yang didirikan oleh Jack Ma itu berencana untuk mengeluarkan lebih banyak dana untuk AI dan jaringan komputasi awan dibandingkan dekade terakhir. 

    Dalam blog resminya, Alibaba menyebut perusahaan mempunyai visi untuk menjadi mitra utama bagi perusahaan-perusahaan yang mengembangkan dan menerapkan AI di dunia nyata seiring dengan berkembangnya model-model dan kebutuhan daya komputasi yang semakin meningkat.

    Alibaba memperbaiki bisnisnya yang terpuruk akibat tindakan keras pemerintah yang dimulai pada tahun 2020, dengan memfokuskan kembali ambisinya pada e-commerce dan AI. 

    Pekan lalu, Chief Executive Officer Eddie Wu menyatakan bahwa Artificial General Intelligence, atau AGI, kini menjadi tujuan utamanya, mengikuti perlombaan yang sejauh ini dipimpin oleh perusahaan-perusahaan seperti OpenAI dan perusahaan-perusahaan besar AS mulai dari Microsoft Corp. hingga Alphabet Inc.

    Komitmen ini menandakan persaingan yang makin panas antara negara-negara berkembang dalam pengembangan kecerdasan buatan. 

    Prancis (Rp1.830 Triliun)

    Pada 10 Januari 2025, Presiden Prancis Emmanuel Macron dikabarkan akan mengumumkan rencana investasi jumbo swasta senilai US$112,5 miliar atau Rp1.830 triliun untuk pengembangan kecerdasan buatan (AI).    

    Pendanaan tersebut mencakup rencana perusahaan investasi Kanada Brookfield untuk menginvestasikan US$20,61 miliar dalam proyek AI di Prancis dan pendanaan dari Uni Emirat Arab yang dapat mencapai US$51,52 miliar pada tahun-tahun mendatang. 

    Reuters melaporkan Istana Elysee mengatakan investasi UEA akan mencakup pembiayaan untuk pusat data 1 gigawatt. Surat kabar La Tribune de Dimanche melaporkan bahwa sebagian besar investasi Brookfield akan digunakan untuk pusat data. 

    Masayoshi Son (Rp1.600 Triliun)

    Sementara itu di penghujung 2024, Pendiri dan CEO dari SoftBank Group Corp. Masayoshi Son berencana untuk mengembangkan cip semikonduktor untuk kecerdasan buatan (AI) dan akan. berinvestasi US$100 miliar di Amerika Serikat selama 4 tahun mendatang. 

    Kepastian investasi ini diumumkan saat Son melakukan pertemuan dengan presiden terpilih AS Donald Trump di Mar-a-Lago pada pekan lalu.  

    Son berinvestasi di Amerika dinilai jauh lebih ambisius dan strategis. Menurut beberapa sumber yang mengetahui rencananya, Son tengah fokus pada pengembangan cip semikonduktor untuk kecerdasan buatan, dengan tujuan besar membangun cip AI yang dapat bersaing dengan Nvidia.

  • Arab Saudi Makin Ganas, Amerika-China Patut Waspada

    Arab Saudi Makin Ganas, Amerika-China Patut Waspada

    Jakarta, CNBC Indonesia – Startup semikonduktor AS, Groq, mendapat pendanaan senilai US$1,5 miliar dari Arab Saudi untuk memperluas pengiriman chip AI canggihnya ke negara tersebut.

    Perusahaan Silicon Valley yang didirikan oleh mantan engineer chip AI Alphabet, dikenal karena memproduksi chip inferensi AI yang mengoptimalkan kecepatan dan menjalankan perintah model yang telah dilatih sebelumnya.

    Perusahaan rintisan ini memiliki perjanjian yang sudah ada dengan Aramco Digital, anak perusahaan teknologi dari perusahaan minyak besar Aramco, di mana perusahaan-perusahaan tersebut membangun pusat AI di wilayah tersebut pada bulan Desember.

    Groq bahwa mereka akan menerima dana selama tahun ini untuk memperluas pusat data yang ada di Dammam, demikian dikutip dari Reuters, Selasa (11/2/2025).

    Perusahaan chip canggih khususnya untuk chatbot dan model bahasa besar lainnya masuk dalam kontrol ekspor AS, tetapi Groq mengatakan bahwa mereka telah mendapatkan lisensi yang diperlukan untuk mengirimkannya ke Dammam.

    Salah satu teknologi yang akan didukung oleh pusat data Dammam adalah teknologi AI yang disebut Allam, sebuah model bahasa AI yang dapat digunakan dalam bahasa Arab dan Inggris dan dikembangkan oleh pemerintah Saudi.

    Arab Kencang Investasi AI

    Sejumlah negara Timur Tengah beramai-ramai menyuntik dana ke perusahaan-perusahaan pembuat kecerdasan buatan atau Artificial intelligence (AI) di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS)

    Tren ini muncul setelah negara-negara kaya minyak seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait dan Qatar berusaha untuk mendiversifikasi ekonomi mereka, dan beralih ke investasi teknologi sebagai lindung nilai.

    Hal ini mengindikasikan negara-negara Arab turut serta secara aktif berkompetisi untuk mendominasi teknologi AI yang selama ini diperebutkan AS dan China.

    Dilansir CNBC Internasional, data dari Pitchbook menunjukkan, setahun terakhir pendanaan untuk perusahaan AI oleh negara Timur Tengah telah meningkat lima kali lipat.

    Banjir uang tunai membuat beberapa investor Silicon Valley khawatir tentang efek SoftBank, mengacu pada Vision Fund Masayoshi Son dari SoftBank terutama mendukung Uber dan WeWork, mendorong perusahaan ke valuasi setinggi langit sebelum go public. WeWork mengalami kebangkrutan tahun lalu setelah dinilai oleh SoftBank sebesar US$ 47 miliar pada 2019.

    Bagi AS, memiliki dana kekayaan negara yang berinvestasi di perusahaan-perusahaan Amerika, dan bukan di musuh China, telah menjadi prioritas geopolitik.

    Jared Cohen dari Goldman Sachs Global Institute mengatakan ada jumlah modal yang tidak proporsional yang berasal dari negara-negara seperti Arab Saudi dan UEA, dan kesediaan untuk menyebarkannya di seluruh dunia. Dia menggambarkan mereka sebagai “geopolitical swing states.”

    (fab/fab)

  • Investor Grab-GoTo Ketahuan Pinjam Uang Rp 263 Triliun Buat Ini

    Elon Musk Bilang Tak Punya Uang, Investor Grab-GoTo Buka Suara

    Jakarta, CNBC Indonesia – Di pengujung Januari 2025, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan program investasi sebesari US$500 miliar atau sekitar Rp8.100 triliun untuk membangun infrastruktur kecerdasan buatan (AI) sebagai upaya melawan China.

    Program investasi yang dinamai ‘Stargate’ tersebut didukung oleh perusahaan kawakan seperti OpenAI, SoftBank, dan Oracle. Mereka berambisi membangun komplek data center dan menciptakan lebih dari 100.000 lapangan kerja.

    Namun, orang terkaya dunia Elon Musk menanggapi program tersebut dengan sinisme. Ia mengatakan Trump tertipu janji para raksasa teknologi untuk berinvestasi AI.

    Pasalnya, Musk mengklaim perusahaan-perusahaan yang mendukung Stargate sejatinya tak punya uang. Secara spesifik, Musk mengatakan SoftBank hanya punya uang kurang dari US$10 miliar atau sekitar Rp160 triliun.

    “Mereka tidak punya uang,” kata Musk menanggapi soal Stargate.

    Menanggapi hal ini, pendiri SoftBank Masayoshi Son mengatakan perusahaannya berkomitmen untuk mewujudkan Stargate. SoftBank diketahui sebagai salah satu perusahaan modal ventura kawakan yang banyak mendanai startup-startup kawakan, termasuk GoJek dan Grab yang populer di Indonesia.

    “Kami bukan bank, kami SoftBank. Saya tak ada keraguan akan mewujudkannya [Stargate],” kata dia.

    Selain itu, Son membahas potensi penciptaan nilai AI yang eksponensial.

    “Hasil dari peningkatan intelijen secara linear bersifat eksponensial dalam hal nilai/ Pendapatannya mengikuti tren yang sama,” ia menuturkan, dikutip dari AnalyticsIndiaMag, Selasa (4/2/2025).

    CEO OpenAI, Sam Altman juga ikut berkomentar soal klaim Musk. Dia membalas langsung unggahan Musk dan mengatakan pernyataan orang terkaya dunia tersebut terkait Softbank salah.

    “Saya menyadari yang baik bagi negara tidak selalu optimal untuk perusahaan Anda, namun untuk peran baru Anda, saya harapkan lebih mengutamakan (emoji bendera Amerika),” tulisnya.

    (fab/fab)

  • SoftBank Mau Suntik Modal Rp406,54 Triliun ke OpenAi

    SoftBank Mau Suntik Modal Rp406,54 Triliun ke OpenAi

    Bisnis.com, JAKARTA – Perusahaan investasi milik Masayoshi Son, SoftBank Group Corp., tengah berdiskusi untuk menginvestasikan sebanyak US$25 miliar atau setara Rp406,54 triliun (US$1=Rp16.260) ke OpenAI. 

    Jika terealisasi, langkah tersebut berpotensi menjadikan SoftBank sebagai pendukung terbesar perusahaan rintisan AI tersebut.

    Mengutip Bloomberg pada Kamis (30/1/2025), menurut seorang sumber yang mengetahui rencana tersebut, perusahaan investasi Jepang tersebut tengah berunding untuk menginvestasikan antara US$15 miliar dan US$25 miliar. 

    Jumlah tersebut akan menambah komitmen eksisting US$15 miliar yang sebelumnya telah dikucurkan oleh SoftBank untuk Project Stargate, kata orang tersebut, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya saat membahas pembicaraan tertutup tersebut. 

    Adapun, Project Stargate adalah usaha patungan yang berpusat di Texas dengan OpenAI untuk membangun pusat data dan infrastruktur AI lainnya guna mendukung pembuat ChatGPT. 

    Rencana tersebut masih dalam tahap awal dan mungkin tidak akan menghasilkan investasi, kata orang tersebut. Perwakilan SoftBank dan OpenAI menolak berkomentar. Investor terbesar OpenAI, Microsoft Corp., juga menolak berkomentar terkait rencana investasi tersebut. 

    Son dan CEO OpenAI Sam Altman turut hadir ketika Presiden AS Donald Trump mengumumkan usaha patungan Stargate bulan ini. Kedua CEO tersebut telah berhubungan selama bertahun-tahun mengenai minat mereka yang sama dalam memajukan pengembangan kecerdasan buatan. 

    Bersama dengan mitra usaha patungan Oracle Corp. dan MGX yang didukung Abu Dhabi, Stargate berencana untuk menginvestasikan US$100 miliar pada tahap awal dan mengucurkan sebanyak US$500 miliar selama empat tahun.

    OpenAI mendambakan lebih banyak kapasitas pusat data untuk membuat AI-nya lebih canggih. Kini, perusahaan tersebut menghadapi pasar yang dipenuhi para pesaing, didorong oleh keberhasilan nyata perusahaan rintisan China, DeepSeek, dalam menyamai kemampuan OpenAI dengan biaya yang jauh lebih murah. 

    Perusahaan AS tersebut sejauh ini mengandalkan Microsoft untuk sebagian besar kebutuhan komputasi dan cloud-nya.

    SoftBank telah mencari momen yang tepat untuk memasuki pasar perangkat keras AI yang menguntungkan setelah bertahun-tahun bertaruh secara tidak seimbang pada perusahaan rintisan AI melalui Vision Fund. 

    Son dan Altman dari OpenAI pertama kali bertemu pada tahun 2019, ketika Son menawarkan investasi sebesar US$1 miliar kepada OpenAI, yang tidak pernah terwujud. Keduanya sejak itu telah terikat karena kekhawatiran bersama mereka seputar kekurangan semikonduktor yang dibutuhkan untuk mendukung aplikasi AI. 

    Vision Fund kemudian menginvestasikan US$500 juta pada perusahaan rintisan tersebut dan meluncurkan tender senilai US$1,5 miliar untuk membeli lebih banyak saham dari karyawan OpenAI bulan lalu.

    Berita tentang kemungkinan investasi SoftBank membantu meningkatkan kenaikan saham terkait chip Asia termasuk Advantest Corp. Saham SoftBank turun 1% pada Kamis pagi di Tokyo.

    “Masuk akal jika Nasdaq dan saham terkait semikonduktor dibeli, tetapi SoftBank, yang mengeluarkan uang, tidak akan melihat momentum pembelian yang sama,” kata Takehiko Masuzawa, kepala perdagangan ekuitas di Phillip Securities Japan.

    Pelaku industri teknologi, termasuk Elon Musk, mempertanyakan kurangnya rincian seputar Stargate dan pembiayaannya. Pendiri xAI menyatakan keraguan apakah perusahaan yang bergabung dengan pengumuman Trump dapat menindaklanjuti komitmen keuangan mereka. 

    SoftBank memiliki sekitar US$25 miliar dalam bentuk tunai dan setara kas pada akhir September serta kepemilikan di ratusan perusahaan rintisan dan 90% saham di perancang chip Arm Holdings Plc yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai taruhan tersebut.

    Namun, masih ada keraguan mengenai apakah Stargate benar-benar merupakan peningkatan dramatis dari rencana pembangunan pusat data yang diumumkan sebelumnya. 

    Bulan lalu, Son mengunjungi Mar-a-Lago untuk mengumumkan SoftBank akan menghabiskan US$100 miliar di AS selama masa jabatan presiden mendatang, dan Project Stargate memanfaatkan upaya tersebut, menurut seseorang yang mengetahui masalah tersebut.

  • Rencana OpenAI Bangun Pusat Data AI, Gelontorkan USD 500 Miliar

    Rencana OpenAI Bangun Pusat Data AI, Gelontorkan USD 500 Miliar

    Rencana untuk membangun sistem pusat data untuk kecerdasan buatan telah diungkapkan dalam konferensi pers Gedung Putih, dengan Masayoshi Son, Sam Altman, dan Larry Ellison. Proyek kerja sama yang dinamakan Proyek Stargate ini akan dimulai dengan pembangunan pusat data besar di Texas dan akan diperluas ke negara bagian lainnya.