Memburu Dewi Astutik, Bos Narkoba Jatim Dalangi 2 Ton Sabu Terbesar dalam Sejarah
Editor
KOMPAS.com –
Nama Dewi Astutik, seorang warga negara Indonesia asal Jawa Timur, kini menjadi sorotan utama dalam pengungkapan kasus besar narkotika internasional.
Ia diduga kuat menjadi otak di balik pengiriman 2 ton sabu yang diamankan dari KM Sea Dragon Tarawa di perairan Karimun, Kepulauan Riau, pada awal Mei 2025.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI, Komjen Marthinus Hukom, mengatakan, Dewi merupakan pengendali utama jaringan narkotika internasional yang tengah diburu.
“Keempat WNI yang diamankan memiliki hubungan dengan Dewi Astuti, dan kini berada di jaringan internasional Golden Triangle,” jelas Marthinus konferensi pers yang digelar di Dermaga Bea Cukai Batam, Tanjunguncang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (26/5/2025),
Untuk diketahui, Golden Triangle atau Segitiga Emas merupakan kawasan rawan peredaran narkoba yang meliputi Thailand, Myanmar, dan Laos.
Marthinus menyebut Dewi telah buron sejak 2024 dan diyakini saat ini berada di sekitar wilayah Kamboja.
“Kami bekerja sama dengan BIN untuk mencari Dewi Astuti di Kamboja dan sekitarnya,” tegasnya.
Selain nama Dewi Astuti, BNN juga mengungkap keterlibatan Chancai, warga negara Thailand yang juga menjadi pengendali jaringan narkotika lewat kapal yang sama.
Chancai kini telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) internasional.
BNN juga tengah menyelidiki kemungkinan hubungan antara KM Sea Dragon Tarawa dan kapal lain, KM Aungtoetoe 99, yang sebelumnya digagalkan TNI AL karena membawa 1,2 ton kokain dan 700 kilogram sabu.
Kedua kapal ini diamankan di perairan sekitar Karimun pada waktu yang berbeda.
Sebelumnya, petugas gabungan telah mengamkan empat WNI dalam pengungkapan narkotika terbesar dalam sejarah Indonesia ini, yaitu Fandi Ramdani, Leo Candra Samosir, Richard Halomoan, dan Hasiloan Samosir.
(Kontributor Batam Partahi Fernando Wilbert Sirait|Editor:Krisiandi)
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Marthinus Hukom
-

Jonathan Frizzy Klaim Vape Isi Etomidate Bukan Termasuk Obat Keras, Begini Faktanya
Jakarta –
Aktor Jonathan Frizzy membeberkan alasannya berani mencoba vape berisi zat etomidate. Ia mengaku baru mengetahui vape tersebut dari terdakwa lain, Evan, dan sempat mencobanya saat di Bangkok, Thailand.
Pria yang kerap disapa Ijonk itu menegaskan tidak pernah menggunakan narkoba. Terlebih, di lokasi syuting kerap dilakukan tes urine. Ia juga mengklaim kandungan dalam vape tersebut bukan termasuk obat keras.
Keyakinan Jonathan Frizzy ini muncul setelah mendapat penjelasan dari Evan. Karena penjelasan itulah, ia mengaku baru berani mencobanya.
“Saya pastikan kalau pods yang dibilang etomidate ini, itu bukan barang-barang obat keras,” tutur Jonathan Frizzy dalam ruang sidang Pengadilan Negeri Tangerang, Banten, Rabu (10/9/2025).
Lebih lanjut, Jonathan Frizzy mengungkapkan efek yang dirasakannya setelah menghisap vape berisi etomidate itu.
“Seperti relaks terus ngantuk sih,” sambungnya.
Apa Kata Ahli Farmasi dan BNN?
Guru Besar Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Zullies Ikawati menyoroti pentingnya pengawasan obat keras, berkaitan dengan kasus produksi vape mengandung etomidate.
Prof Zullies menjelaskan etomidate hanya bisa digunakan berdasarkan resep obat dan penggunaannya terbatas di lingkungan medis. Obat ini digunakan sebagai bius intravena yang biasanya diberikan pada pasien sebelum operasi.
“Ini tidak dijual di apotek biasa. Kalau ada yang menjual etomidate secara ilegal atau lewat jalur tidak resmi, itu melanggar hukum dan berisiko pidana,” jelas Prof Zullies ketika dihubungi detikcom, Selasa (30/4/2025).
Distribusi etomidate juga harus diawasi dengan ketat. Setiap tahap pengiriman, mulai dari produsen, distributor, rumah sakit, hingga pasien yang menerima, perlu didokumentasikan dengan baik.
Bahkan, etomidate ini tidak boleh diperjualbelikan melalui e-commerce maupun media sosial.
“Penjualan atau kepemilikan etomidate tanpa izin medis sah harus dikenai pidana berat. Karena risikonya bisa fatal,” jelasnya.
“Perlu memperhatikan tren penyalahgunaan. Jika ada indikasi trending misuse, misalnya percobaan etomidate dalam vape atau ‘party drugs’, otoritas harus cepat merespons dengan peringatan publik,” tandasnya.
Senada, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Marthinus Hukom menjelaskan kandungan zat etomidate pada kasus vape Jonathan Frizzy. Ia mengatakan bahwa etomidate itu mengandung penenang dan perlu pengawasan khusus.
Menurutnya, semua zat yang menghilangkan rasa sakit itu berarti ada obatnya. Sesuatu yang merangsang saraf itu perlu ada pengawasannya.
Namun, saat itu Marthinus menyebut zat etomidate belum dimasukkan ke golongan narkoba.
“Dia belum dimasukkan dalam golongan narkoba mungkin masih Undang-Undang Kesehatan ya,” ujar Marthinus pada awak media di DPR RI, Senin (5/5/2025).
Halaman 2 dari 2
(sao/naf)
-
/data/photo/2025/07/15/6875c3c5dbe19.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Kepala BNN Asahan Dinonaktifkan Usai Anggotanya Terlibat Perampokan Megapolitan 8 Agustus 2025
Kepala BNN Asahan Dinonaktifkan Usai Anggotanya Terlibat Perampokan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Marthinus Hukom menonaktifkan Kepala BNN Kota Asahan Andrea Retha, buntut keterlibatan salah satu anggotanya dalam aksi perampokan bersenjata.
“Tapi sementara saat ini atas kejadian tersebut, kepala BNN telah mengambil sikap menonaktifkan juga Kepala BNN Kota Asahan,” ucap Kepala Biro Humas dan Protokol BNN, Brigadir Jenderal Polisi Sulistyo Pudjo, di kantornya, Jumat (8/8/2025).
Pudjo mengatakan, Adrea Retha dicopot dari jabatannya karena lalai dalam menjalankan tugasnya. Terutama terkait fungsi pengawasannya terhadap gudang senjata milik BNN Asahan.
Akibat kelalaian itu, ASN BNN Asahan bernama Haidar Rizal Fikri (36), mengambil senjata dari gudang dan menggunakannya untuk menjalankan aksi perampokan.
“Kami sudah sangat ketat, memang karena kelalaian dari kepala BNN Asahan, karena harusnya mengeluarkan senjata tidak boleh sendirian,” kata Pudjo.
Dalam peristiwa perampokan yang melibatkan ASN BNN Asahan bernama Haidar Rizal Fikri (36)
Haidar yang bekerja di bagian logistik memiliki akses terhadap penyimpanan senjata.
“Karena yang bersangkutan tugas utama memegang logistik, akhirnya juga dia mendapatkan akses untuk penyimpanan senjata,” ucap dia.
Tak hanya Andrea Retha, Haidar akan dipecat setelah adanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
Dalam aksinya, Haidar bersama dua rekannya berpura-pura melakukan penggerebekan kasus narkoba menggunakan senjata api. Namun, mereka justru mengambil sepeda motor milik warga.
“Dia dengan kawannya melakukan penggerebekan lokasi narkoba ternyata mengambil motor orang. Sedang dilakukan pendalaman, apakah itu lokasi narkoba atau enggak,” ungkap dia.
Ia menduga motif terduga pelaku melakukan perampokan karena alasan ekonomi.
“Motifnya ekonomi. Dia ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Mengambil motor orang, kemudian dijual ya,” ujar dia.
Sebelumnya diberitakan, Aparatur Sipil Negara (ASN) di Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Asahan, Sumatera Utara, ditangkap polisi karena diduga terlibat aksi perampokan bersenjata bersama dua warga sipil.
ASN tersebut bernama Haidar Rizki Fikri (36), sedangkan dua pelaku lainnya yakni Zaki (32) dan Cucur (19). Dalam aksinya, mereka disebut menggunakan senjata api.
Dikutip dari Tribun Medan, perampokan terjadi di Kelurahan Aek Loba Pekan, Kecamatan Aek Kuasan, Kabupaten Asahan, Jumat (18/7/2025). Ketiga pelaku berpura-pura sebagai petugas BNN yang tengah melakukan razia narkoba.
Mereka menghentikan pengendara sepeda motor sambil membawa senjata. Salah satu korban tertipu dan sepeda motornya, Honda Vixion, dibawa kabur oleh ketiga pelaku.
Informasi lain menyebutkan ketiganya sudah beraksi di empat lokasi berbeda. Dari tangan pelaku, polisi mengamankan senjata laras panjang, puluhan peluru 9 mm, dan dua pucuk pistol otomatis.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Legislator Kritik Kepala BNN Larang Tangkap Pengguna Narkoba-Artis
Jakarta –
Anggota Komisi III DPR RI, Soedeson Tandra, menyikapi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Marthinus Hukom yang melarang anggotanya untuk menangkap pengguna narkoba, termasuk artis. Tandra lantas mempertanyakan bagaimana membedakan antara pengguna dan pengedar jika tidak ditangkap.
“Ini kita lihat dari dua sudut, normatif sama kita melihat dalam praktik di lapangan. Secara normatif, undang-undang kan sudah ngomong bahwa kalau pengguna, dia itu adalah korban. Maka minta direhabilitasi. Cuma kan beliau itu bicara dalam tataran kebijakan kan,” ujar Tandra dihubungi, Jumat (18/7/2025).
Tandra lantas heran bagaimana cara membedakan seseorang yang merupakan pengguna atau pengedar narkoba. Ia meyakini faktanya di lapangan aparat penegak hukum akan mengamankan pelaku dahulu untuk dimintai keterangan.
“Nah, persoalan kita, pertanyaan kita itu bagaimana kita tahu orang itu pengguna atau pengedar? Ya kan itu persoalan, jadi beliau (Kepala BNN) itu bicara dalam posisi tataran kebijakan,” ujar Tandra.
“Di lapangan, ya kalau aparat menemukan ada narkoba, ya semuanya diamankan dulu kan? Diperiksa, kemudian nanti dilihat ini kalau memang dia pengguna, dia korban, nanti direhabilitasi. Kalau dia pengedar, ya ditangkap, dimasukkan,” sambungnya.
Ia menyebut pengguna narkoba bukan berarti tidak ditangkap lebih dulu. Tandra menyinggung pengguna narkoba saat dimasukan ke penjara justru bisa menjadi komplotan pengedar.
“Pertama, karena dia korban, ya rehabilitasi. Tujuan kedua, kalau ini korban pengguna ini masukin ke dalam penjara, di satu sisi penjara itu penuh, pemerintah rugi mengeluarkan uang. Di sisi yang lain mereka keluar, malah tambah pinter. Iya, jadi komplotan,” ungkapnya.
Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Marthinus Hukom sebelumnya melarang anggota untuk menangkap pengguna narkoba, termasuk artis. Marthinus menegaskan bahwa hal ini sudah diatur dalam aturan yang berlaku.
Menurut Kepala BNN, bila merujuk pada aturan yang berlaku, para pengguna narkoba tidak dapat dipidana, melainkan direhabilitasi. Adapun di Indonesia saat ini terdapat 1.496 IPWL (Institusi Penerimaan Wajib Lapor) yang bisa dihubungi oleh pengguna narkoba untuk rehabilitasi.
“Kalau ada petugas penegak hukum yang tiba-tiba mencoba bermain memproses itu, ya dia berhadapan dengan hukum itu sendiri. Itu sudah diatur, laporan wajib diterima lalu direhabilitasi tanpa proses hukum,” katanya.
Saat ditanya terkait tindakan tersebut bisa memicu penggunaan narkoba secara masif di kalangan masyarakat, Marthinus mengatakan cara pandang terhadap pengguna narkoba berbeda dengan pengedar narkoba.
Dalam pandangannya, pengguna itu adalah korban. Karena dia korban, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rehabilitasi, bukan pendekatan pidana.
“Artinya dia dalam posisi sebagai orang yang bergantungan. Kalau membawa dia ke penjara, kita menghukum dia untuk kedua kali. Kita menjadikan dia korban untuk kedua kalinya. Maka yang harus digunakan adalah pendekatan rehabilitasi. Banyak kok yang selesai direhabilitasi,” katanya.
(dwr/dek)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
-

Kepala BNN Larang Anggota Tangkap Pengguna Narkoba termasuk Artis
BADUNG – Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Marthinus Hukom melarang anggotanya untuk menangkap pengguna narkoba.
“Saya sebagai Kepala BNN melarang anggota dan jajaran menangkap pengguna, termasuk di dalamnya artis,” kata dia saat memberikan kuliah umum kepada ribuan mahasiswa di Auditorium Widya Sabha Universitas Udayana, Bali, Selasa, 15 Juli.
Menurut Kepala BNN, bila merujuk pada aturan yang berlaku, para pengguna narkoba tidak dapat dipidana, melainkan direhabilitasi.
Setidaknya di Indonesia terdapat 1.496 IPWL (Institusi Penerimaan Wajib Lapor) yang bisa dihubungi atau didatangi oleh para pengguna narkoba untuk program rehabilitasi tanpa proses pidana.
“Kalau ada petugas penegak hukum yang tiba-tiba mencoba bermain memproses itu, ya dia berhadapan dengan hukum itu sendiri. Itu sudah diatur, laporan wajib diterima lalu direhabilitasi tanpa proses hukum,” katanya.
Saat ditanya terkait tindakan tersebut bisa memicu penggunaan narkoba secara masif di kalangan masyarakat, Marthinus mengatakan cara pandang terhadap pengguna narkoba berbeda dengan pengedar narkoba.
Dalam pandangan Kepala BNN, pengguna itu adalah korban. Karena dia korban, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rehabilitasi, bukan pendekatan pidana.
“Artinya dia dalam posisi sebagai orang yang bergantungan. Kalau membawa dia ke penjara, kita menghukum dia untuk kedua kali. Kita menjadikan dia korban untuk kedua kalinya. Maka yang harus digunakan adalah pendekatan rehabilitasi. Banyak kok yang selesai direhabilitasi,” katanya.
Hal itu pun berlaku bagi para artis.
Marthinus melihat hal itu dalam hubungan manusia berdasarkan teori patron-klien. Patron adalah orang-orang yang mempunyai kekuasaan, punya kekuatan narasi, punya kekuatan mempengaruhi audience, sementara klien adalah yang memiliki posisi yang rendah.
Dia memandang artis adalah patron yang menjadi rujukan nilai, sementara klien adalah masyarakat kebanyakan.
“Ketika artis ditangkap lalu kemudian dipublikasikan berlebihan, maka persepsi publik akan terbelah di situ. Sebagian orang mengutuk dia. Tapi bagaimana anak-anak kita yang melihat idolanya seorang artis, lalu menangkap dan menginterpretasikan berdasarkan kemampuannya, ini menjadi bahaya,” katanya dilansir ANTARA.
Marthinus menegaskan dirinya bertanggung jawab secara moral atas keputusannya tersebut.
Namun demikian, terhadap para pengedar, Kepala BNN meminta jajarannya untuk melakukan tindakan tegas tanpa kompromi.
“Para pengedar kita harus bertindak keras, membawa mereka sampai ke pengadilan. Tidak boleh berkompromi dengan siapapun, walaupun di-back up oleh siapa pun,” katanya.
/data/photo/2025/05/26/68342e89928f4.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
/data/photo/2025/11/07/690dc764e8e30.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)



