Tag: Marine Le Pen

  • Ada Apa Prancis, PM Mundur 27 Hari Menjabat-Kabinet Bubar 14 Jam?

    Ada Apa Prancis, PM Mundur 27 Hari Menjabat-Kabinet Bubar 14 Jam?

    Jakarta, CNBC Indonesia – Krisis politik di Prancis semakin dalam setelah Perdana Menteri (PM) Sebastien Lecornu dan seluruh kabinetnya mengundurkan diri pada Senin (6/10/2025). Hal ini hanya beberapa jam setelah kabinet resmi diumumkan.

    Pemerintahan ini tercatat sebagai yang tersingkat dalam sejarah modern Prancis. Di mana Lecornu bertahan sebagai 27 hari saja sebagai PM dan pemerintahannya hanya bertahan selama 14 jam.

    Pengunduran diri yang cepat dan tak terduga ini langsung mengguncang pasar keuangan. Indeks saham acuan Paris, CAC 40, anjlok 2%, sementara mata uang Euro tergelincir 0,7% ke level US$ 1,1665.

    Lalu, apa yang menyebabkan PM pilihan Presiden Emmanuel Macron ini memilih mundur secepat kilat?

    Dalam pidato singkatnya, Lecornu secara blak-blakan menyalahkan kondisi parlemen yang terpecah belah. Ia menyebut ada keengganan para politisi untuk berkompromi sebagai alasan utama keputusannya.

    “Seseorang tidak bisa menjadi perdana menteri ketika syarat-syaratnya tidak terpenuhi,” ujar Lecornu.

    Ia menuding “ego” para politisi oposisi yang kaku pada manifesto partai masing-masing dan menolak kompromi. Di sisi lain, ia juga menyalahkan anggota dari koalisi minoritasnya sendiri yang dinilai lebih fokus pada ambisi presidensial pribadi mereka ketimbang kepentingan negara.

    “Anda harus selalu lebih mengutamakan negara Anda daripada partai Anda,” tegasnya.

    Pemicu utama krisis ini adalah susunan kabinet baru yang diumumkan Lecornu. Alih-alih menyatukan, kabinet tersebut justru membuat marah lawan dan kawan politik. Sebagian pihak menilainya terlalu condong ke kanan, sementara yang lain menganggapnya kurang berhaluan kanan.

    Akibatnya, pemerintahan baru ini tidak memiliki mayoritas yang solid di parlemen yang terfragmentasi, membuat mereka sangat rentan untuk dijatuhkan kapan saja.

    Pasar Keuangan Merespons Negatif

    Instabilitas politik ini menjadi sentimen negatif besar bagi pasar. Analis menyoroti masalah fundamental ekonomi Prancis yang kini diperparah oleh krisis pemerintahan.

    “Ini hanya satu pemerintahan berganti dengan yang lain… ini adalah masalah besar bagi aset-aset Prancis, tetapi juga memiliki efek limpahan (spillover) ke seluruh Eropa,” kata Chris Beauchamp, kepala analis pasar di IG Group.

    Utang Prancis saat ini telah mencapai 113,9% dari produk domestik bruto (PDB). Defisit anggaran yang hampir dua kali lipat dari batas 3% yang ditetapkan Uni Eropa (UE).

    Oposisi Serukan Pemilu Dini

    Langkah pengunduran diri Lecornu, yang merupakan Pm kelima Macron dalam dua tahun terakhir, langsung disambut oleh seruan dari pihak oposisi untuk membubarkan parlemen. Mereka meminta mengadakan pemilu dini.

    “Saya menyerukan kepada Presiden Republik untuk membubarkan Majelis Nasional… lelucon ini sudah berlangsung terlalu lama, sandiwara ini harus diakhiri,” kata pemimpin sayap kanan Marine Le Pen.

    Hal senada diungkapkan oleh Mathilde Panot dari partai sayap kiri France Unbowed. Ia bahkan dengan tegas mengatakan Macron juga harus ikut mundur.

    “Lecornu mundur. Tiga Perdana Menteri dikalahkan dalam waktu kurang dari setahun. Hitung mundur telah dimulai. Macron harus pergi,” ujarnya.

    (tps/tps)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Macron Cari Perdana Menteri Baru Prancis Usai Bayrou ‘Digulingkan’

    Macron Cari Perdana Menteri Baru Prancis Usai Bayrou ‘Digulingkan’

    JAKARTA – Presiden Prancis Emmanuel Macron sedang mencari perdana menteri kelimanya dalam waktu kurang dari dua tahun setelah partai-partai oposisi bersatu untuk menggulingkan Perdana Menteri Francois Bayrou atas rencana pengetatan anggaran yang tidak populer.

    Masa jabatan Bayrou selama sembilan bulan berakhir pada Senin malam ketika ia kalah dalam mosi tidak percaya parlemen.

    Dilansir Reuters, pada Selasa sore, ia mengajukan pengunduran dirinya kepada Macron, menurut situs web pemerintah.

    Bayrou dan pemerintahannya akan tetap menjabat sebagai pejabat sementara hingga pemerintahan baru dibentuk.

    Siapa pun yang dipilih Macron untuk menggantikannya akan menghadapi tugas yang hampir mustahil, yaitu menyatukan parlemen untuk mengesahkan anggaran tahun depan.

    Prancis berada di bawah tekanan untuk menurunkan defisit yang hampir dua kali lipat batas 3% Uni Eropa, dan tumpukan utang yang setara dengan 114% PDB.

    Nama Menteri Pertahanan Sebastien Lecornu termasuk di antara nama-nama yang beredar untuk calon perdana menteri berikutnya, dengan Macron juga berpotensi mempertimbangkan seseorang dari sayap kiri-tengah atau seorang teknokrat.

    Tidak ada aturan yang mengatur siapa yang harus dipilih presiden, atau seberapa cepat, meskipun sebuah sumber pemerintah mengatakan Macron, yang telah menjabat sejak 2017, mungkin akan menunjuk perdana menteri barunya pada Selasa malam.

    Jordan Bardella, presiden partai sayap kanan ekstrem National Rally (RN), adalah pilihan paling populer untuk perdana menteri Prancis berikutnya, menurut jajak pendapat RTL yang dipublikasikan pada Selasa, 9 September.

    Sekitar 43% responden menginginkannya mendapatkan pekerjaan tersebut, sementara pimpinan RN, Marine Le Pen, dan Menteri Dalam Negeri yang konservatif, Bruno Retailleau, masing-masing menerima 36% tanggapan positif.

    RN mendesak Macron untuk mengundurkan diri atau mengadakan pemilihan legislatif dadakan.

    Jajak pendapat menunjukkan mayoritas pemilih akan menyambut baik kedua hasil tersebut, meskipun Macron telah mengesampingkan pengunduran dirinya.

    Keputusannya untuk mengadakan pemilihan dadakan tahun lalu menghasilkan parlemen yang terfragmentasi sehingga menyulitkan pemerintahan dasar.

    Partai Sosialis mengatakan bahwa sekarang giliran mereka untuk mencoba.

    “Kita perlu mengklaim kekuasaan,” kata ketua Partai Sosialis, Olivier Faure, kepada radio France Inter.

  • Lecornu Gantikan Bayrou sebagai PM Prancis, Siapa Dia?

    Lecornu Gantikan Bayrou sebagai PM Prancis, Siapa Dia?

    Jakarta

    Presiden Prancis Emmanuel Macron pada hari Selasa (09/09) menunjuk Menteri Pertahanan Sebastien Lecornu sebagai perdana menteri baru, menggantikan François Bayrou yang mengundurkan diri.

    Penunjukan ini, hanya beberapa jam setelah pengunduran diri Bayrou, menunjukkan bahwa Macron berniat mempertahankan pemerintahan minoritas.

    Lecornu, yang kini berusia 39 tahun, sebenarnya sudah menjadi kandidat perdana menteri sejak Desember lalu, tetapi saat itu Macron memilih Bayrou yang lebih tua dan dianggap lebih berpengalaman.

    Sebastien Lecornu, mantan politisi Partai Republik (kanan-tengah), bergabung dengan gerakan sentris Macron pada 2017 dan memimpin kampanye pemilihan ulang Macron di tahun 2022.

    Macron telah menginstruksikan Lecornu untuk “berkonsultasi dengan kekuatan politik yang ada di parlemen guna menyusun anggaran negara dan mencapai kesepakatan penting untuk keputusan-keputusan dalam beberapa bulan ke depan,” demikian pernyataan dari Istana Élysee.

    PM kelima Prancis dalam dua tahun

    Macron terpaksa menunjuk perdana menteri kelima dalam waktu kurang dari dua tahun setelah parlemen mencopot Bayrou dari jabatannya karena rencana penghematan untuk mengatasi utang negara yang membengkak.

    Bayrou secara resmi menyerahkan surat pengunduran dirinya kepada Macron pada hari Selasa (09/09), sehari setelah pemerintahnya kalah dalam pemungutan suara kepercayaan di Majelis Nasional.

    Macron menyatakan bahwa ia telah “mencatat” hasil pemungutan suara tersebut.

    Dengan utang nasional kini mencapai 114% dari PDB, Bayrou yang berusia 74 tahun mengusulkan pemangkasan anggaran sebesar €44 miliar pada tahun 2026 dan penghapusan dua hari libur nasional.

    Meski telah mengimbau Majelis Nasional untuk “menghadapi kenyataan” dan “bertindak tanpa penundaan” agar tidak “dikuasai oleh para kreditor,” anggota parlemen dari kubu kiri dan kanan ekstrem bergabung untuk menolak rencananya dengan suara 364 berbanding 194, hanya sembilan bulan setelah ia menjabat.

    Dengan menunjuk Lecornu, Macron berisiko kehilangan dukungan dari Partai Sosialis (kiri-tengah) dan kini bergantung pada dukungan dari partai sayap kanan ekstrem, National Rally (RN) yang dipimpin Marine Le Pen.

    Lecornu adalah mantan politisi konservatif

    Pada tahun 2024, Lecornu sempat menuai kontroversi karena makan malam bersama Marine Le Pen, pemimpin RN. Pertemuan tersebut memicu kemarahan dari kubu kiri, tetapi bisa membuat Lecornu lebih diterima oleh kalangan kanan.

    Presiden RN, Jordan Bardella, mengatakan bahwa mereka akan “menilai perdana menteri baru berdasarkan kinerjanya, tanpa ilusi,” sambil menegaskan bahwa partainya tetap memiliki “garis merah” yang tegas.

    RN masih meyakini bahwa mereka dicurangi dalam pemilu legislatif Juli lalu, ketika mereka unggul di putaran pertama, tetapi kalah di putaran kedua dari koalisi kiri yang tergesa-gesa dibentuk, yaitu Nouveau Front Populaire (NFP), yang kini menuntut agar perdana menteri berasal dari kalangan sosialis.

    “Sekarang saatnya bagi pihak kiri, yang menang tahun lalu, untuk memimpin pemerintahan. Bagi mereka yang ingin mengambil tanggung jawab, silakan ambil inisiatif,” kata anggota parlemen sosialis Boris Vallaud pada hari Senin. “Sebagai kaum sosialis, kami tidak akan lari dari tanggung jawab ini.”

    Pengunjuk rasa membanjiri Prancis

    Sementara itu, para demonstran di seluruh Prancis merencanakan aksi mogok dan gangguan besar-besaran pada hari Rabu (10/09) dengan slogan: “Bloquons tout” atau mari kita blokir semuanya.

    Badan penerbangan sipil Prancis (DGAC) memperkirakan akan terjadi gangguan dan penundaan di “semua bandara Prancis,” sementara para demonstran di Paris berencana memblokir akses utama menuju pusat kota, termasuk jalan lingkar yang mengelilingi ibu kota.

    Di wilayah Paris, perusahaan ritel besar Amazon dan perusahaan energi di utara juga diperkirakan akan terdampak aksi mogok.

    Operator kereta api Prancis, SNCF, menyatakan bahwa layanan kereta cepat TGV akan “beroperasi normal” baik untuk rute domestik maupun internasional.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Joan Aurelia

    Editor: Hani Anggraini

    Lihat juga Video: Macron Tunjuk Francois Bayrou Sebagai PM Baru Prancis

    (ita/ita)

  • PM Prancis Ancam Anggota Parlemen-Pejabat yang Cari Untung!

    PM Prancis Ancam Anggota Parlemen-Pejabat yang Cari Untung!

    Jakarta

    Perdana Menteri (PM) Prancis Francois Bayrou melontarkan peringatan keras kepada para anggota parlemen dan pejabat yang mengambil keuntungan dengan tidak semestinya. Dia mengancam akan membeberkan nama-nama mereka, seraya memperingatkan bahwa publik menganggap semua politisi “mencari untung”.

    Dilansir kantor berita AFP, Sabtu (23/8/2025), Bayrou mengatakan kecurigaan tersebut telah diungkapkan secara luas ketika ia mengajukan permohonan untuk pemangkasan anggaran besar-besaran.

    PM Prancis itu telah menghadapi perlawanan keras dari kubu oposisi atas program pemangkasan defisit sebesar 43,8 miliar euro (sekitar Rp757 triliun). Tujuannya adalah menurunkan defisit anggaran yang tahun lalu mencapai 5,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB), hampir dua kali lipat batas maksimum yang ditetapkan Uni Eropa sebesar 3%.

    Rencana pemangkasan anggaran itu mencakup penghapusan dua hari libur nasional untuk meningkatkan produktivitas, pemangkasan jumlah pegawai sektor publik, serta pembekuan pembayaran kesejahteraan dan pensiun yang biasanya disesuaikan dengan inflasi.

    Bayrou telah merilis serangkaian video di media sosial untuk mendukung kampanye reformasi anggarannya. Dalam video terbaru yang dirilis pada hari Jumat (22/8) waktu setempat, ia menyampaikan hasil dari program pemangkasan anggarannya.

    “Banyak orang percaya bahwa pemerintah harus menyentuh hak-hak istimewa — dalam tanda kutip — para pemimpin politik, anggota parlemen, atau anggota pemerintah,” kata Bayrou.

    “Saya menanggapi hal ini dengan sangat serius karena ini berarti ada kecurigaan. Banyak orang Prancis mulai percaya bahwa para politisi hanya mengantongi keuntungan pribadi … bahwa itu adalah pemborosan uang publik,” katanya.

    “Kita perlu mengklarifikasi semua ini. Adakah situasi di mana anggota parlemen atau pemimpin politik Prancis menerima tunjangan yang tidak semestinya, berlebihan, atau tidak dapat diterima?” tanyanya.

    Sebelumnya, tokoh sayap kanan National Rally, Marine Le Pen, telah dinyatakan bersalah atas penggelapan dana Uni Eropa untuk partainya. Sementara sejumlah politisi Prancis lainnya juga tercatat dalam kasus-kasus serupa yang cukup terkenal.

    Sebelumnya, dalam video yang diunggah ke YouTube baru-baru ini, Bayrou mengatakan bahwa total utang Prancis saat ini telah mencapai 3,4 triliun euro atau sekitar Rp58.820 triliun. Jika tidak ada tindakan tegas, ia memperkirakan pembayaran bunga utang bisa mencapai 100 miliar euro (Rp1.730 triliun) per tahun pada 2029.

    “Utang kita sudah mencapai angka yang nyaris tak terbayangkan. Ini adalah bahaya mematikan,” tegas Bayrou, seperti dikutip RT. “Kita harus bertindak sekarang, atau menghadapi krisis fiskal yang jauh lebih besar nanti,” tandasnya.

    Halaman 2 dari 2

    Simak Video “Video: PM Prancis Terancam Digulingkan oleh Parlemen Lewat Mosi Tidak Percaya”
    [Gambas:Video 20detik]
    (ita/ita)

  • Horor Asisten Guru Prancis Tewas Ditikam Saat Geledah Tas Murid

    Horor Asisten Guru Prancis Tewas Ditikam Saat Geledah Tas Murid

    Jakarta

    Seorang asisten guru ditikam oleh seorang murid berusia 15 tahun di luar sebuah sekolah di Nogent, Prancis timur. Korban meninggal karena luka-lukanya.

    Para pejabat mengatakan bahwa siswa sekolah menengah itu ditangkap setelah menyerang asisten guru berusia 31 tahun itu dengan pisau selama penggeledahan tas.

    Prancis dalam beberapa tahun terakhir telah mengalami serangkaian serangan terhadap guru dan murid oleh anak-anak sekolah.

    “Saat melindungi anak-anak kita, seorang asisten guru kehilangan nyawanya, korban gelombang kekerasan yang tidak masuk akal,” tulis Presiden Emmanuel Macron di media sosial X, mengomentari kejadian terbaru dalam serangkaian insiden serupa di sekolah-sekolah Prancis.

    “Bangsa ini sedang berduka dan pemerintah dimobilisasi untuk mengurangi kejahatan,” tambahnya, seperti dilansir kantor berita AFP, Selasa (10/6/2025).

    Macron mengatakan, Menteri Pendidikan Elisabeth Borne sedang dalam perjalanan ke Nogent “untuk mendukung seluruh komunitas sekolah dan polisi.”

    “Saya memuji ketenangan dan dedikasi mereka yang bertindak untuk melumpuhkan penyerang dan melindungi siswa dan staf,” tulisnya di X.

    Asisten pengajar mengalami beberapa luka tusukan tepat saat kelas dimulai, dan tersangka penyerang, yang berhasil dilumpuhkan oleh polisi, “tampaknya adalah seorang siswa di sekolah tersebut,” kata pejabat pendidikan.

    Lihat juga Video ‘Jemaah di Masjid Prancis Tewas Ditikam Saat Salat’:

    Sebelumnya pada bulan Maret lalu, polisi Prancis memulai penggeledahan acak terhadap pisau dan senjata lain yang disembunyikan di dalam tas di dalam areal sekolah dan sekitarnya.

    Asisten pengajar tersebut “hanya melakukan tugasnya dengan menyambut siswa di pintu masuk sekolah”, kata Elisabeth Allain-Moreno, sekretaris jenderal serikat guru SE-UNSA.

    Allain-Moreno mengatakan bahwa serangan tersebut “menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat sepenuhnya aman dan bahwa pencegahanlah yang perlu difokuskan.”

    Pemimpin sayap kanan Prancis, Marine Le Pen mengecam apa yang disebutnya “normalisasi kekerasan ekstrem, yang didorong oleh sikap apatis pihak berwenang.”

    “Tidak ada seminggu pun berlalu tanpa tragedi yang menimpa sekolah,” tulis Le Pen di X.

    “Rakyat Prancis sudah muak dan menunggu respons politik yang tegas, tanpa kompromi, dan penuh tekad untuk mengatasi momok kekerasan remaja,” imbuhnya.

    Lihat juga Video ‘Jemaah di Masjid Prancis Tewas Ditikam Saat Salat’:

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Gempa Politik di Prancis setelah Vonis Marine Le Pen

    Gempa Politik di Prancis setelah Vonis Marine Le Pen

    Jakarta

    Putusan tersebut menggema di seluruh dunia, karena secara efektif melarang Marine Le Pen, calon presiden Prancis tiga kali yang juga menjadi tokoh kunci bagi sayap kanan Eropa, untuk berkompetisi dalam pemilihan presiden Prancis 2027, yang sejauh ini dianggap sebagai kesempatan emas baginya untuk meraih jabatan tertinggi di negara itu.

    Hanya sedikit yang bersuka cita atas berita ini. Pendukungnya mengatakan bahwa ia sengaja dibungkam, sementara beberapa kritikus khawatir akan konsekuensi politik yang jauh akibat keputusan para hakim tersebut.

    Seiring debu mereda setelah bertahun-tahun persiapan hukum, berbulan-bulan persidangan dan pembacaan putusan hukum yang memakan waktu berjam-jam, gempa politik di Prancis mungkin baru saja dimulai.

    Kejahatan dan hukuman

    Partai Le Pen telah berjanji untuk mengejar “segala kemungkinan upaya hukum” atas vonis tersebut, dan Le Pen sendiri sudah mengajukan banding.

    Namun pengadilan tinggi menyatakan pada hari Selasa (01/04) bahwa mereka mungkin akan mengeluarkan keputusan banding paling cepat pada musim panas 2026.

    Hingga saat itu, larangan mencalonkan diri sebagai kandidat presiden bagi Le pen berlaku segera, namun tidak berlaku bagi posisi Le Pen sebagai anggota legislatif, yang saat ini masih diizinkan untuk dipertahankan.

    Keputusan pengadilan Senin (31/03) lalu dijatuhkan oleh tiga hakim di pengadilan Paris, berdasarkan bukti yang diajukan oleh jaksa.

    Dia juga menambahkan bahwa penolakan konsisten dari Le Pen dan partainya atas tuduhan tersebut menunjukkan adanya risiko pengulangan pelanggaran.

    Profesor hukum di Paris, Julien Boudon, mengatakan kepada DW bahwa larangan lima tahun untuk mencalonkan diri yang dijatuhkan kepada Le Pen mengikuti peraturan hukum Prancis dan preseden hukum terkait kasus penggelapan oleh politisi.

    “Itu sepenuhnya sesuai dengan standar,” kata Boudon, menambahkan bahwa dia “tidak terkejut sama sekali.”

    Anggota legislatif Prancis telah memilih untuk memperketat hukuman bagi pelaku korupsi setelah skandal tahun 2016 yang melibatkan mantan Menteri Anggaran Jerome Cahuzac, yang akhirnya dijatuhi hukuman karena penipuan pajak. Undang-undang tersebut menjadikan larangan pemilihan sebagai hukuman untuk kejahatan seperti itu, dan Le Pen sendiri sebelumnya telah mendesak hukuman yang lebih keras bagi mereka yang terbukti menyalahgunakan dana publik.

    Profesor hukum Boudon juga mencatat bahwa, jika hakim memberi Le Pen larangan yang lebih ringan dari biasanya, mereka akan menghadapi tuduhan yang lebih keras lagi mengenai politisasi proses peradilan daripada yang mereka hadapi sekarang.

    Amarah sayap kanan

    Sementara itu, tuduhan pelanggaran terhadap supremasi hukum dan politisasi proses hukum terus mengalir baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pada hari Selasa, penerus Le Pen di Partai National Rally, Jordan Bardella, mengecam apa yang disebutnya sebagai “tirani para hakim yang melanggar kebebasan pemilih.”

    Klaim serupa bergema dari sekutu politik Le Pen di seluruh dunia.

    Matteo Salvini dari partai sayap kanan Italia, Lega, menyebut ini sebagai upaya untuk “mengeluarkan [Le Pen] dari kehidupan politik,” dan “sebuah deklarasi perang,” sementara mantan Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, menuduh di X bahwa pihak kiri Prancis menggunakan “aktivisme yudisial untuk memenangkan pemilu tanpa oposisi yang nyata.”

    Kritik dari kiri dan kanan

    Namun, kritikus terhadap keputusan tersebut dapat ditemukan di seluruh spektrum politik. Mantan Menteri Keuangan Yunani Yanis Varoufakis, yang memimpin kelompok politik kiri Mera25, mengecam apa yang disebutnya sebagai “hipokrisi yang mencengangkan” di media sosial X.

    “Ketika pengadilan Turki melarang lawan utama Erdogan dalam pemilihan presiden, pikiran liberal memberontak dan langsung menolak argumen Erdogan bahwa hukum adalah hukum. Ketika pengadilan Prancis melakukan hal yang sama, pikiran liberal bersukacita dan mengulang-ulang ‘hukum adalah hukum,’” tulisnya d X.

    Peneliti politik di Istanbul, Aybike Mergen, menyebut perbandingan ini “menyesatkan.” Sementara Proyek Keadilan Dunia menempatkan Prancis pada peringkat 22 secara global dalam indeks supremasi hukum. Peringkat ini di bawah Jerman, namun di atas Amerika Serikat, sementara Turki berada pada peringkat 117.

    Di Strasbourg, kepala fraksi tengah-kanan Les Republicains di Parlemen Eropa, menyebut hari dijatuhkannya vonis Senin (31/03) lalu sebagai “hari gelap bagi demokrasi Prancis” dan mengatakan bahwa putusan hakim tersebut merupakan “campur tangan besar” dalam politik Prancis.

    “Saya telah berdebat dengan National Rally di setiap kampanye yang saya pimpin. Seperti setiap orang Prancis yang peduli dengan demokrasi, saya ingin perbedaan kita diselesaikan melalui keputusan pemilih,” tulis Francois-Xavier Ballamy di X.

    Kekalahan kelompok sentris?

    Pernyataan Ballamy merangkum ketakutan di antara banyak kalangan sentris: Bahwa argumen yang menentang ide-ide yang telah membuat Marine Le Pen begitu populer jauh dari usai, dan bahwa putusan ini akan menghambat upaya untuk merebut kembali popularitas di kotak suara.

    Analis Camille Lons cemas bahwa keputusan pengadilan itu malah ‘backfire’, yang akan membantu politisi sayap kanan mendukung klaim mereka bahwa sistem “dirancang melawan mereka,” seraya menambahkan bahwa “narasi” ini bisa “menggalang basis mereka dan memperkuat dukungan mereka menuju 2027.”

    Pejabat kebijakan di Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri itu juga menambahkan bahwa di tempat lain di dunia, vonis di Prancis kemungkinan besar akan “dibingkai sebagai bukti lebih lanjut dari keterlibatan Eropa yang berlebihan dan kemunduran demokrasi.”

    Independensi yudisial dalam sorotan

    Profesor hukum Prancis Boudon mengatakan bahwa ia tidak terkesan dengan pendapat para kritikus terhadap putusan pengadilan, terlepas dari warna politik mereka.

    “Sangat memalukan untuk mengatakan ini adalah keputusan politik. Itu adalah serangan terhadap kehormatan dan integritas hakim,” ujarnya kepada DW.

    “Keputusan ini adalah penghormatan terhadap supremasi hukum,” tambahnya, menegaskan bahwa “seorang politisi terpilih yang melanggar hukum harus bertanggung jawab.”

    Kasus Le Pen sudah memicu perdebatan tentang kemungkinan reformasi terhadap hukuman antikorupsi di negara itu.

    Perdana Menteri Prancis dari kalangan sentris, Francois Bayrou, mengatakan kepada para anggota parlemen pada hari Selasa (01/04) bahwa perlu ada “refleksi” tentang cara hukum diterapkan saat ini, demikian ditulis surat kabar Prancis Le Monde.

    Namun, ia menambahkan bahwa ia tidak berniat “mencampuradukkan diskusi” mengenai putusan tertentu dengan refleksi tentang keadaan hukum secara keseluruhan.

    (haf/haf)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Capres Prancis Marine Le Pen yang Terlibat Korupsi Dilarang Calonkan Diri, Bayar Denda Rp1,7 Miliar

    Capres Prancis Marine Le Pen yang Terlibat Korupsi Dilarang Calonkan Diri, Bayar Denda Rp1,7 Miliar

    PRANCIS – Calon presiden Prancis Marine Le Pen dilarang mencalonkan diri sebagai pejabat politik selama lima tahun setelah dinyatakan bersalah dalam kasus korupsi.

    Pengadilan Paris menjatuhkan hukuman empat tahun penjara kepada pemimpin sayap kanan Prancis berusia 56 tahun yang merupakan calon terdepan dalam pemilihan presiden 2027.

    Hukuman penjara itu setengahnya ditangguhkan, sementara dua tahun dapat dijalani di bawah pengawasan dengan mengenakan gelang kaki. Dilansir dar Anadolu,  Marine Le Pen juga didenda 100 ribu euro (Rp1,7 miliar).

    Partai National Rally Le Pen juga diperintahkan membayar denda sebesar 2 juta euro (Rp35,8 miliar).

    Pengacaranya, Rodolphe Bosselut, mengatakan mereka akan mengajukan banding.

    “Ini benar-benar, benar-benar luar biasa. Ada bentuk kriminalisasi hak untuk membela diri, yang menurut saya pribadi sangat memalukan,” tambahnya.

    Le Pen dan anggota partai lainnya dinyatakan bersalah karena mengalihkan lebih dari 4 juta euro (Rp71,6 miliar) dana Parlemen Eropa. Mereka dituduh menggunakan dana Uni Eropa untuk keuntungan partai mereka.

  • Marine Le Pen Divonis 4 Tahun Penjara, Terancam Gagal Ikut Pilpres Prancis

    Marine Le Pen Divonis 4 Tahun Penjara, Terancam Gagal Ikut Pilpres Prancis

    Jakarta

    Pemimpin politik sayap kanan di Prancis, Marine Le Pen, terancam gagal mengikuti pemilihan presiden (pilpres) Prancis pada 2027 mendatang. Pengadilan Prancis telah menyatakan Le Pen bersalah atas kasus skema pekerjaan palsu.

    Pengadilan Paris menjatuhkan hukuman empat tahun penjara kepada Le Pen. Namun, ia tidak akan dikurung karena dua tahun masa hukumannya ditangguhkan dan dua tahun sisanya akan dijalani di luar penjara dengan gelang elektronik.

    Selain Le Pen, sembilan orang dari partainya, National Rally (RN), juga dihukum atas skema di mana mereka memanfaatkan pengeluaran Parlemen Eropa untuk mempekerjakan asisten yang sebenarnya bekerja untuk partai tersebut.

    Bagi Le Pen, hukuman empat tahun ini membuat peluangnya berlaga di Pilpres Prancis 2027 mendatang mengecil. Pasalnya, dia dan pejabat lainnya dilarang mencalonkan diri usai dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

    “Pengadilan mempertimbangkan, selain risiko mengulangi tindak pidana, gangguan besar terhadap ketertiban umum jika seseorang yang sudah dihukum… adalah kandidat dalam pemilihan presiden,” kata hakim ketua Benedicte de Perthuis dilansir AFP, Senin (31/3/2025).

    Le Pen masih dapat mengajukan banding atas seluruh putusan, termasuk larangan mencalonkan diri, dalam kasus yang biasanya membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk disidangkan oleh pengadilan banding.

    Jika banding itu ditolak, ia dapat mengajukan banding ke Pengadilan Kasasi Prancis, tetapi dalam kasus yang rumit seperti itu, waktunya bisa berlarut-larut.

    (ygs/imk)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Pemerintahan Prancis Tumbang dalam Mosi Tidak Percaya yang Bersejarah – Halaman all

    Pemerintahan Prancis Tumbang dalam Mosi Tidak Percaya yang Bersejarah – Halaman all

    Pemerintahan Prancis Tumbang dalam Mosi Tidak Percaya yang Bersejarah

    TRIBUNNEWS.COM- Anggota parlemen Prancis memilih untuk menyingkirkan pemerintahan Perdana Menteri Michel Barnier, hanya tiga bulan setelah ia menjabat

    Pada hari Rabu, anggota parlemen Prancis memilih untuk menyingkirkan pemerintahan Perdana Menteri Michel Barnier hanya tiga bulan setelah masa jabatannya, menandai keputusan bersejarah yang memperdalam kekacauan politik negara tersebut.

    Untuk pertama kalinya dalam lebih dari enam dekade, majelis rendah Majelis Nasional menggulingkan pemerintah yang berkuasa dengan meloloskan mosi tidak percaya. 
    Meskipun mosi tersebut awalnya diusulkan oleh kubu paling kiri, mosi tersebut memperoleh dukungan penting dari kubu paling kanan yang dipimpin oleh Marine Le Pen.

    Pemberhentian Barnier yang cepat dari jabatannya menyusul pemilihan parlemen dadakan musim panas ini, yang mengakibatkan parlemen yang tidak memiliki suara mayoritas karena tidak ada satu partai pun yang memperoleh suara mayoritas. 

    Dalam kebuntuan ini, kubu sayap kanan memegang pengaruh penting atas kelangsungan hidup pemerintah.

    Presiden Emmanuel Macron sekarang menghadapi tugas sulit untuk memilih pengganti yang layak, dengan lebih dari dua tahun tersisa dalam masa jabatan kepresidenannya.

    Dengan dukungan dari kubu sayap kanan, mayoritas 331 anggota parlemen dari 577 anggota majelis memberikan suara untuk menyingkirkan pemerintah. 

    Ketua DPR Yael Braun-Pivet mengonfirmasi bahwa Barnier kini akan diminta untuk menyerahkan pengunduran dirinya kepada Presiden Macron dan menyatakan sidang ditutup.

    Permintaan agar Macron mengundurkan diri

    Macron menuduh kubu sayap kanan Le Pen bersikap “sinisme yang tak tertahankan” karena mendukung mosi tidak percaya pada hari Selasa. 

    Karena tidak ada pemilihan umum baru yang diizinkan dalam kurun waktu satu tahun sejak pemungutan suara musim panas lalu, pilihan Macron untuk menyelesaikan kebuntuan politik sangat terbatas.

    Laurent Wauquiez, pemimpin deputi sayap kanan di parlemen, menyatakan bahwa baik kelompok sayap kanan ekstrem maupun sayap kiri ekstrem bertanggung jawab atas mosi tidak percaya tersebut, yang menurutnya akan “menjerumuskan negara ke dalam ketidakstabilan.”

    Beberapa pihak menyarankan agar Macron mengundurkan diri untuk menyelesaikan kebuntuan politik, tetapi presiden menepis seruan tersebut dan menyebut skenario tersebut sebagai “fiksi politik”.

    Pada bulan September, Presiden Macron mengabaikan koalisi sayap kiri yang memenangkan suara terbanyak dalam pemilihan parlemen dengan memilih Barnier, seorang tokoh dari sayap kanan sentris tradisional, yang membuat marah kaum kiri. 
    Sejak saat itu, Barnier menghadapi tantangan yang signifikan, menjalani “neraka Matignon,” istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesulitan memerintah dari Istana Matignon, tempat perdana menteri memegang kekuasaan terbatas, menurut NYT . 

    Pada hari Senin, Barnier meloloskan rancangan undang-undang anggaran melalui majelis rendah Parlemen tanpa pemungutan suara, sebuah langkah berisiko yang memicu mosi tidak percaya dari kedua partai sayap kiri dan Partai Nasional Rally sayap kanan Marine Le Pen. 

     

    SUMBER: AL MAYADEEN

  • Digulingkan, PM Prancis Temui Macron Sampaikan Pengunduran Diri

    Digulingkan, PM Prancis Temui Macron Sampaikan Pengunduran Diri

    Jakarta

    Perdana Menteri (PM) Prancis Michel Barnier menemui Presiden Emmanuel Macron untuk menyampaikan pengunduran dirinya, setelah kalah dalam mosi tidak percaya di parlemen. Macron pun harus segera mencari cara untuk menghentikan kekacauan politik dan keuangan yang berkembang.

    Dilansir kantor berita AFP, Kamis (5/12/2024), Barnier tiba di Istana Elysee pada Kamis (5/12) pagi waktu setempat untuk formalitas pengunduran dirinya. Dia menjadi perdana menteri dengan masa jabatan terpendek di Prancis.

    Sebelumnya, mayoritas anggota parlemen pada hari Rabu (4/12) mendukung mosi tidak percaya yang diusulkan oleh kubu kiri garis keras, dan didukung oleh kubu kanan garis keras yang dipimpin oleh Marine Le Pen.

    Pemicu penggulingan Barnier adalah rencana anggarannya tahun 2025 yang mencakup langkah-langkah penghematan yang tidak dapat diterima oleh mayoritas di parlemen, tetapi menurutnya diperlukan untuk menstabilkan keuangan Prancis.

    Dilansir DW, Kamis (5/12/2024), kubu sayap kiri dan sayap kanan mengecam Barnier karena menggunakan kekuasaan konstitusional khusus untuk mengadopsi sebagian anggaran yang tidak populer tanpa pemungutan suara akhir di parlemen, di mana anggaran itu tidak mendapat dukungan mayoritas. Rancangan anggaran tersebut bertujuan menghemat sebesar €60 miliar (sekitar Rp1 kuadriliun) untuk mengurangi defisit besar.

    “Realitas (defisit) ini tidak akan hilang hanya dengan mosi tidak percaya,” kata Barnier kepada anggota parlemen sebelum pemungutan suara, seraya menambahkan bahwa defisit anggaran akan terus menjadi beban bagi pemerintahan berikutnya.