Tag: Manuel Castells

  • “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

    “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya

    “Mingkemnya” Pers Disentil Purbaya
    Jurnalis, Mahasiswa S3 Ilmu Politik
    MENTERI
    Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyentil pers yang “mingkem”, tidak berani melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritik itu disampaikan Purbaya dalam acara yang digelar Forum Pemimpin Redaksi di Jakarta, Minggu 16 November 2025.
    Kritik Purbaya ini menarik dan mengandung separuh kebenaran.  PK Ojong punya pandangan yang senada.
    Pers
    dibuat bukan untuk menjilat kekuasaan.  Kritik pers memang dibutuhkan karena kekuasaan itu  cenderung korup. Pada saat ini, kritik pers justru amat dibutuhkan ketika bangsa sedang mengalami krisis representasi.  
    DPR mengalami apa yang disebut Carl Schmitt sebagai telah kehilangan dasar moral dan spiritualnya. Itu ditulis Schmitt dalam buku
    The Crisis of Parliamentary Democracy
    , 1923. Selain pers yang “mingkem”, DPR, DPD, ormas pun sebenarnya “mingkem” melihat praktik politik penuh ketidakadilan. Dalam bahasa pemikir kebhinekaan, Sukidi, bangsa sedang dibangun dalam situasi republik ketakutan (
    republic of fear
    ).
    Gejala pers yang “mingkem” sudah ditengarai Daniel Dhakidae dalam disertasinya di Cornel tahun 1991. Dalam disertasi
    The State, the Rise of Capital, and the Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry
    , Daniel memprediksi sistem pers Orde Baru dengan kontrol kertas di tangan pemerintah akan menciptakan situasi menjadi akhir dari jurnalisme politik (
    the end of political journalism
    ).
    Kritik Purbaya disebut sebagai separuh kebenaran karena sebenarnya ada juga pers, katakan Tempo, yang berani mengkritik pemerintahan secara lugas dan tegas terhadap tata kelola pemerintahan. Namun kini, Tempo tengah menghadapi gugatan ganti rugi Rp 200 miliar oleh Menteri Pertanian. Bisa saja pandangan Purbaya adalah pandangan pribadi seorang menteri berbeda dengan menteri yang lain.
    Dalam praktik selama ini, dalam lingkungan komunitas pers, tertangkap suasana kebatinan bahwa pemerintah lebih suka dengan berita-berita positif, terlebih  pujian. Dalam beberapa kejadian selalu ada upaya tangan tak kelihatan untuk mengendalikan pers bebas yang memang sedang dalam tahapan
    survival mode
    . “Padahal, pujian adalah
    silent killer
    ,” kata Sukidi, dalam sebuah pernyataan di Forum Warga Negara.
    Ini berbeda misalnya dengan pandangan Ali Sadikin. Ali Sadikin dalam satu wawancara pernah mengatakan, “… wartawan itu karyawan pemerintah yang tidak dibayar negara. Tugasnya justru mengkritik kebijakan pemerintah….,” kata Ali Sadikin.
    Tapi apakah pejabat kita seterbuka Ali Sadikin menerima kritik dari
    media
    sebagaimana disampaikan Purbaya.
    Sejak lama, media disebut sebagai pilar keempat demokrasi—
    the fourth estate
    —setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Media dimandatkan untuk mengawasi kekuasaan, menyediakan informasi publik, dan menjadi forum deliberasi bagi warga negara.
    Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam The Elements of Journalism menulis: “Kewajiban pertama jurnalisme adalah kepada kebenaran, dan kesetiaan pertamanya adalah kepada warga.”
     Namun kini, secara umum posisi media itu goyah. Bukan karena hilangnya idealisme, tetapi karena dua tekanan besar: krisis ekonomi di dalam industri media, dan dominasi algoritma di luar ruang redaksi. Media berdiri di persimpangan: antara bisnis dan etika, antara klik dan kebenaran.
    Industri media kini menghadapi guncangan struktural yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pendapatan iklan berpindah ke platform digital seperti Google, Meta, dan TikTok. Ruang redaksi kehilangan kemandirian ekonomi, sementara pemilik modal semakin berkuasa menentukan arah pemberitaan. Robert McChesney menyebut fenomena ini sebagai
    market censorship
    — sensor pasar—di mana bukan negara yang menekan
    kebebasan pers
    , tetapi logika bisnis yang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh diberitakan.
    Konsentrasi kepemilikan membuat media kerap kehilangan keberanian moral. Liputan investigative berkurang.  Isu publik tergantikan oleh sensasi politik. Kecenderungan media menjadi pelapor fakta. Namun, tentunya masih ada media yang mencoba menjalankan jurnalisme advokatif.
    Selain krisis ekonomi, kita juga menghadapi krisis suara. Manuel Castells, dalam
    Communication Power
    , mengatakan: “Kekuasaan di era informasi adalah kekuasaan untuk memprogram arus komunikasi.”
    Buzzer politik, influencer, dan mesin algoritma kini bertindak sebagai “editor baru” ruang publik. Mereka menentukan apa yang trending, bukan apa yang penting. Mereka menyebarkan emosi, bukan pengetahuan. Kita hidup dalam demokrasi simulatif: terlihat ramai, tapi kehilangan kedalaman. Setiap warga seolah punya suara, tapi suara-suara itu dikendalikan oleh kekuatan yang tak terlihat— oleh mesin, oleh modal, oleh kepentingan politik. Buzzer telah menjadi industri. Tapi apakah itu kebenaran? Belum tentu.
    Saat Revisi UU KPK (2019) terjadi, bagaimana
    cyber troops
    dikerahkan untuk mendelegitimasi KPK dengan narasi “KPK sarang Taliban” dan narasi lain untuk menggolkan agenda politik revisi UU KPK dan kemudian berhasil. KPK berhasil dilumpuhkan melalui operasi kartel partai politik dalam lima hari.
    Krisis media juga merupakan krisis relasi kekuasaan. Media tidak lagi di luar kekuasaan, tetapi menjadi bagian dari arena kekuasaan itu sendiri. Kita menyaksikan munculnya oligarki informasi— di mana konglomerasi media dan politik menyatu dalam kepentingan yang sama.
    Hasilnya: ruang redaksi kehilangan otonomi, dan kebebasan pers berubah menjadi kebebasan bagi pemilik modal. McChesney pernah mengingatkan: “Kebebasan pers tanpa kebebasan ekonomi redaksi adalah kebebasan semu.”
    Inilah paradoks media hari ini: secara hukum bebas, tetapi secara struktural terpenjara. Ketika kekuatan politik, kekuatan ormas, kekuatan media berada dalam satu tangan, bukankah  itu merupakan tanda-tanda awal dari totalitarianisme?
    Namun, krisis ini bukan akhir. Ia bisa menjadi awal kebangkitan baru bagi media— jika media berani kembali pada akarnya: etika, empati, dan keberpihakan serta dukungan publik.
    Apakah publik mendukung jurnalisme yang sehat? Jurnalisme bukanlah propaganda. Jurnalisme yang membuka ruang perdebatan publik.  Esensi jurnalisme adalah mengingatkan yang mapan (
    polite watch dog
    ), menghibur yang papa. Namun itu juga sepenuhnya tergantung pengurus negara. 
    Ada empat langkah yang harus ditempuh.
    Media harus kembali pada misi moralnya: berpihak pada publik, bukan kekuasaan. Mengutip Budayawan/Rohaniawan GP Sindhunata: bagaimana menjaga agar “danyang” jurnalisme tidak
    oncat
    atau mencelat dari ruang jurnalisme. “Danyang” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang cenderung ada unsur mistis dan magis. Tapi “danyang” bisa diartikan sebagai roh yang menggerakan jurnalisme, nilai yang diperjuangkan dalam jurnalisme. Apakah “danyang” jurnalisme masih ada? Ada untuk beberapa media.
    Bill Kovach menulis, “Verifikasi lebih penting daripada viralitas.” Kecepatan bukan ukuran profesionalisme; integritaslah yang utama.
    Kemandirian ekonomi adalah syarat mutlak bagi independensi redaksi. Model
    membership journalism
    atau
    public funding
    bisa menjadi jalan keluar. Kita bisa belajar dari The Guardian, ProPublica, atau di Indonesia— Tempo Investigasi, Project Multatuli. Itu sekadar contoh. Tapi intinya, perkembangan media membutuhkan dukungan publik dan  pemerintah. Perjuangan Forum Pemred memperjuangkan
    No Tax For Knowledge
    perlu dipertimbangkan Purbaya. Industri media yang sejatinya adalah industri pengetahuan masih dibebani begitu banyak pajak-pajak yang memberatkan.
    Kebenaran adalah hasil kerja kolektif. Ekosistem kolaboratif—antara redaksi, universitas, dan NGO— akan memperkuat
    fact checking
    dan literasi publik. Dukungan pelanggan amat sangat menentukan. 
    Negara harus hadir bukan untuk membungkam, tetapi melindungi jurnalisme dari tirani algoritma. Transparansi konten politik berbayar dan keadilan algoritmik adalah prasyarat demokrasi digital yang sehat.
    Media boleh lemah secara industri, tetapi jika ia teguh pada moralitas kebenaran, ia tetap akan menjadi penjaga rasionalitas bangsa. Justice Hugo Black pernah berkata: “
    Freedom of the press is not for the press itself, but for the people to know
    .”
    “Kebenaran adalah pekerjaan rumah harian demokrasi.”
    Tugas media bukan hanya menyampaikan berita, tetapi menjaga nurani bangsa agar tetap waras dan  mengerakkan semangat berbela rasa, mengingatkan yang mapan dan menghibur yang papa, di tengah kebisingan digital. Di era suara sintesis, media sejati bukan yang paling keras, tetapi yang paling jujur. Namun itu semua membutuhkan dukungan publik.
    Kritik Purbaya harus diterima. Namun, Purbaya perlu mengambill  langkah  melonggarkan beban pajak yang melilit industri pers. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menag Nasaruddin Umar Hadiri Pembukaan Forum Perdamaian Dunia di Roma

    Menag Nasaruddin Umar Hadiri Pembukaan Forum Perdamaian Dunia di Roma

    Jakarta: Menteri Agama Republik Indonesia sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., menghadiri pembukaan Pertemuan Internasional untuk Perdamaian Dunia (International Meeting for Peace) yang digelar oleh Komunitas Sant’Egidio (La Comunità di Sant’Egidio) di Auditorium Parco della Musica, Roma, Minggu, 26 Oktober 2025.
     
    Dalam acara tersebut, Menag Nasaruddin duduk berdampingan dengan Presiden Italia, Sergio Mattarella dan Ratu Belgia, Mathilde bersama sejumlah pemimpin dunia dan tokoh lainnya.
     
    Kehadiran Menag dalam forum tersebut menegaskan posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang aktif berkontribusi dalam dialog lintas iman dan perdamaian global.
     
    Forum tahun ini mengusung tema “Daring Peace” atau “Berani Mewujudkan Perdamaian,” dan mempertemukan para pemimpin dunia, akademisi, serta tokoh kemanusiaan dari berbagai negara. Lebih dari 10.000 peserta hadir untuk menyerukan pesan perdamaian dan kesejahteraan dunia.
     
    Sementara itu, sejumlah tokoh terkemuka yang hadir sebagai pembicara di sesi pembukaan antara lain Presiden Italia Sergio Mattarella, Ratu Belgia Mathilde, Kardinal Pietro Parolin (Sekretaris Negara Takhta Suci Vatikan), Grand Syeikh Al-Azhar Ahmed Al-Tayyeb, penyintas bom atom Hiroshima Kondo Koko, Presiden Conference of European Rabbis Pinchas Goldschmidt, serta sosiolog Manuel Castells dari Universitas California Berkeley.

     
    Menag Nasaruddin dijadwalkan berbicara pada sesi bertema “Remembering Pope Francis” pada Senin, 27 Oktober sore waktu Roma. Nasaruddin akan menyampaikan warisan nilai kemanusiaan Paus Fransiskus yang tetap relevan dalam memperkuat dialog lintas iman serta solidaritas global.
     
    Menag Nasaruddin menilai pesan kemanusiaan Paus sejalan dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika, bahwa keberagaman adalah kekuatan pemersatu umat manusia. Di Indonesia, semangat toleransi itu diwujudkan secara nyata melalui Terowongan Silaturahim yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta.
     
    International Meeting for Peace akan ditutup dengan Upacara Perdamaian (Peace Ceremony) di Koloseum Roma yang dihadiri langsung oleh Sri Paus Leo XIV. Sebagai tokoh agama yang kerap mengedepankan dialog dan empati lintas iman, Nasaruddin membawa pesan bahwa perdamaian sejati hanya dapat lahir dari keterbukaan, penghormatan, dan kemanusiaan universal.

    Jakarta: Menteri Agama Republik Indonesia sekaligus Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A., menghadiri pembukaan Pertemuan Internasional untuk Perdamaian Dunia (International Meeting for Peace) yang digelar oleh Komunitas Sant’Egidio (La Comunità di Sant’Egidio) di Auditorium Parco della Musica, Roma, Minggu, 26 Oktober 2025.
     
    Dalam acara tersebut, Menag Nasaruddin duduk berdampingan dengan Presiden Italia, Sergio Mattarella dan Ratu Belgia, Mathilde bersama sejumlah pemimpin dunia dan tokoh lainnya.
     
    Kehadiran Menag dalam forum tersebut menegaskan posisi Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yang aktif berkontribusi dalam dialog lintas iman dan perdamaian global.
     
    Forum tahun ini mengusung tema “Daring Peace” atau “Berani Mewujudkan Perdamaian,” dan mempertemukan para pemimpin dunia, akademisi, serta tokoh kemanusiaan dari berbagai negara. Lebih dari 10.000 peserta hadir untuk menyerukan pesan perdamaian dan kesejahteraan dunia.
     
    Sementara itu, sejumlah tokoh terkemuka yang hadir sebagai pembicara di sesi pembukaan antara lain Presiden Italia Sergio Mattarella, Ratu Belgia Mathilde, Kardinal Pietro Parolin (Sekretaris Negara Takhta Suci Vatikan), Grand Syeikh Al-Azhar Ahmed Al-Tayyeb, penyintas bom atom Hiroshima Kondo Koko, Presiden Conference of European Rabbis Pinchas Goldschmidt, serta sosiolog Manuel Castells dari Universitas California Berkeley.
     

     
    Menag Nasaruddin dijadwalkan berbicara pada sesi bertema “Remembering Pope Francis” pada Senin, 27 Oktober sore waktu Roma. Nasaruddin akan menyampaikan warisan nilai kemanusiaan Paus Fransiskus yang tetap relevan dalam memperkuat dialog lintas iman serta solidaritas global.
     
    Menag Nasaruddin menilai pesan kemanusiaan Paus sejalan dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika, bahwa keberagaman adalah kekuatan pemersatu umat manusia. Di Indonesia, semangat toleransi itu diwujudkan secara nyata melalui Terowongan Silaturahim yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral Jakarta.
     
    International Meeting for Peace akan ditutup dengan Upacara Perdamaian (Peace Ceremony) di Koloseum Roma yang dihadiri langsung oleh Sri Paus Leo XIV. Sebagai tokoh agama yang kerap mengedepankan dialog dan empati lintas iman, Nasaruddin membawa pesan bahwa perdamaian sejati hanya dapat lahir dari keterbukaan, penghormatan, dan kemanusiaan universal.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di

    Google News


    Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id

    (PRI)

  • Gerakan Anti Empati Pejabat Publik
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        29 September 2025

    Gerakan Anti Empati Pejabat Publik Nasional 29 September 2025

    Gerakan Anti Empati Pejabat Publik
    Pengamat Komunikasi Politik dan Sosiologi Media
    KOMUNIKASI
    pejabat di ruang publik belakangan kerap menciptakan jarak, padahal komunikasi yang baik adalah barometer moral kekuasaan. Ucapan sembrono, candaan yang menyinggung, atau pernyataan yang abai pada penderitaan rakyat berulang kali terekam dan tersebar luas. Media sosial memperkuat dampaknya.
    Kemarahan terhadap pernyataan seorang anggota DPRD Gorontalo baru-baru ini membuktikan hal tersebut. Candaan tentang “merampok uang negara” seketika berubah menjadi pemicu jarak emosional antara pejabat dan rakyat. Kasus ini hanyalah contoh terbaru dari gejala yang lebih luas. Seolah-olah para pejabat sedang terlibat dalam sebuah “gerakan” terstruktur anti-empati terhadap keterpurukan ekonomi rakyat hari ini.
    Fenomena “gerakan” anti-empati dapat disimak dari pola yang berulang. Satu pejabat bergurau tentang uang negara, pejabat lain menuding korban bencana kurang bersyukur, yang lain sibuk memamerkan kemewahan ketika rakyat menghadapi krisis. Peristiwa ini tidak terjadi secara terpisah, melainkan menumpuk menjadi persepsi umum bahwa para pejabat kompak dan seirama dalam menolak sikap empati terhadap publik.
    Data harta kekayaan pejabat sering memperkuat ironi. Dalam kasus Gorontalo, laporan LHKPN menunjukkan minus kekayaan. Publik memandang kontradiksi itu sebagai bukti bahwa pejabat tidak memahami arti pendapatan dan segala fasilitas mewah pejabat sebagai amanah. Ketika gaya hidup berseberangan dengan narasi penderitaan rakyat, ucapan sembrono menjadi lebih menyakitkan. Lantas, klarifikasi yang muncul biasanya dangkal: permintaan maaf singkat, alasan tidak sadar direkam, atau tuduhan diperas.
    Alih-alih puas dengan jawaban teknis, publik menuntut pengakuan moral. Ketika itu absen, kepercayaan semakin terkikis. Krisis empati di pihak pejabat publik dan kepercayaan rakyat yang semakin tergerus merupakan alarm bahwa demokrasi kita tengah rapuh. Aktivitas politik tetap berjalan secara prosedural, tetapi bahasa lisan dan komunikasi non-verbal pejabat diam-diam terus pula memperlebar jarak.
    Konsekuensinya, legitimasi runtuh bukan (hanya) disebabkan hukum, melainkan karena laku komunikasi yang gagal memelihara sensitivitas publik. Inilah inti dari “gerakan” anti-empati, ketika sekelompok pejabat, disadari atau tidak, berbicara dengan pola yang sama, mengabaikan luka rakyat yang dipimpinnya.
    Mirisnya, serentetan blunder komunikasi itu tidak sekadar lewat, melainkan bermetamorfosis menjadi memori kolektif, tak akan terhapus di benak publik meskipun direvisi dengan klarifikasi. Ini memvalidasi prinsip
    irreversible
    dalam aktivitas komunikasi, bahwa pesan yang telah dikirim tidak dapat ditarik kembali atau diubah pengaruhnya, bahkan setelah permintaan maaf dilontarkan.
    Bahasa, yang mewujud dalam laku komunikasi, adalah wajah kuasa. Robert Entman (1993) mengingatkan, pembingkaian kata dan kalimat menentukan makna yang diterima publik. Di etalase komunikasi publik kita hari ini, ucapan sembrono pejabat memposisikan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Publik menolak bingkai itu, merespons dengan bingkai tandingan, sementara pejabat seolah tetap tidak peduli.
    Padahal, komunikasi dalam konteks apa pun mengedepankan urgensi dialog, sebagaimana ditekankan oleh model komunikasi dua arah simetris yang dikemukakan James E. Grunig dan Todd Hunt (1984). Publik butuh didengar. Ironisnya, pola komunikasi pejabat didominasi pola monolog. Klarifikasi hanya membela diri. Tidak ada ruang untuk mendengar. Bagi publik, pola ini sama artinya dengan penolakan empati.
    Lebih jauh, fenomena ini sejatinya bukan khas Indonesia. Di Amerika Serikat, istilah
    political gaffe,
    menjelaskan bagaimana salah ucap bisa menggerus legitimasi. Mitt Romney jatuh karena menyebut “47 persen warga” tidak berharga. Di Inggris, komentar pejabat soal pandemi yang meremehkan korban juga jadi bumerang politik. Penelitian menunjukkan
    gaffe
    bukan sekadar salah bicara, tetapi jendela pikiran yang membuka jarak emosional.
    Di Indonesia,
    gaffe
    pejabat datang beruntun. Setiap kali, publik menemukan pola yang sama, menipisnya rasa empati yang menyertai kuasa. Maka, muncul kesan seolah para pejabat berada dalam satu barisan yang menolak belajar dari pengalaman pejabat lainnya yang ceroboh berkomunikasi di depan rakyatnya. Dari perspektif rakyat, pola ini menyerupai sebuah “gerakan” anti-empati yang meluas.
    Situasi makin kompleks dalam masyarakat informasi. Manuel Castells (1996) menyebut, informasi beredar lebih cepat daripada lembaga. Rakyat kini produsen sekaligus pengendali informasi. Potongan video, komentar, dan unggahan publik membentuk narasi yang lebih kuat daripada klarifikasi resmi. Reputasi pejabat bisa runtuh bahkan sebelum sidang etik dimulai.
    Di tengah kondisi ini, bahasa kuasa diuji lebih keras. Publik menolak jargon panjang. Mereka menuntut kalimat singkat, jujur, dan menyentuh. Empati harus hadir dalam bentuk yang sederhana namun meyakinkan. Siapa pun yang gagal membaca logika masyarakat informasi akan segera tersapu arus kritik.
    Jika “gerakan” ini terus dibiarkan, jawabannya bukan sekadar pemecatan individu, tetapi perombakan budaya. Kita membutuhkan etika baru dalam komunikasi pejabat publik. Etika yang menjaga laku bahasa, larangan humor yang melukai, dan aturan sikap yang menjaga martabat rakyat. Etika baru juga menuntut kepekaan empati.
    Pejabat perlu belajar mendengar, bukan hanya berbicara. Mereka harus mampu memahami konteks sosial dan merespons kritik dengan rendah hati. Komunikasi krisis harus dipahami sebagai kesempatan membangun kembali kepercayaan, bukan sekadar menyelamatkan citra.
    Selanjutnya, transparansi seyogyanya menjadi bagian dari bahasa moral. Publik berhak mengetahui laporan kekayaan, sumber pendapatan, dan pemakaian fasilitas negara. Tanpa keterbukaan, setiap ucapan pejabat akan dibaca dengan curiga. Oleh karena itu, transparansi adalah cara sederhana namun signifikan dalam meruntuhkan tembok ketidakpercayaan.
    Partai politik pun harus konsisten. Pemecatan cepat memang penting, tetapi jika hanya reaktif pada kasus viral, publik melihatnya sebagai sandiwara. Etika baru menuntut konsistensi, semua pejabat wajib diperlakukan sama, terlepas dari pangkat atau popularitasnya.
    Sekali lagi, empati merupakan fondasi kekuasaan. Pejabat yang peduli secara tulus akan nasib rakyat sudah pasti akan dihormati. Demokrasi niscaya semakin kokoh bila pejabat publik menyadari bahwa laku komunikasi mereka adalah cermin moral. Dengan berkomunikasi berlandaskan kepekaan empati, pejabat berpeluang merebut kembali hati rakyat. 
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 September 2025

    Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital Nasional 8 September 2025

    Politik sebagai Konten: Transformasi Gerakan Sosial di Era Digital
    Profesor di Unika Atmajaya, Full Member Sigma Xi, The Scientific Research Honor Society, Magister Hukum di IBLAM School of Law dan Doktor Hukum di Universitas Pelita Harapan
    FENOMENA
    yang merebak di ruang publik Indonesia dalam beberapa minggu terakhir, memperlihatkan bagaimana dinamika politik kini tidak lagi sekadar berkutat pada ruang rapat parlemen, ruang sidang pengadilan, atau jalan-jalan kota yang penuh demonstran, tapi juga muncul sebagai konten digital yang dikonsumsi, dibagikan, dan diperdebatkan secara masif.
    Ketika gagasan politik dirangkum dalam simbol sederhana berupa angka, warna, dan infografis lalu beredar cepat melalui ponsel jutaan orang, kita menyaksikan kelahiran bentuk artikulasi politik baru.
    Tidak hanya di Indonesia, fenomena serupa telah terjadi di berbagai belahan dunia, dari Amerika Serikat dengan tagar
    #BlackLivesMatter
    , Hong Kong dengan
    Umbrella Movement
    , hingga Eropa dengan
    Fridays for Future.
    Semua menghadirkan satu pola yang semakin jelas: politik tidak lagi sekadar proses formal institusional, melainkan juga performa visual dan naratif yang dirancang agar cocok dengan logika algoritme media sosial.
    Kasus 17+8 Tuntutan Rakyat yang meledak di Indonesia adalah contoh paling mutakhir, di mana 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang disusun dengan ringkas, tapi resonan, dikemas dalam warna pink yang lembut, namun penuh makna, dan dipopulerkan oleh influenser digital yang sebelumnya tidak dikenal sebagai aktivis politik.
    Fenomena ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan demokrasi, hubungan antara estetika digital dengan substansi politik, dan sejauh mana masyarakat bisa bergantung pada gerakan berbasis viralitas untuk menyelesaikan problem struktural yang dalam.
    Masalah yang tersirat dari semua ini adalah bagaimana politik sebagai praksis kolektif kini menghadapi tantangan ganda.
    Di satu sisi, keberhasilan gerakan
    digital-first
    menunjukkan bahwa partisipasi rakyat masih sangat hidup, bahkan justru menemukan ruang ekspresi baru di luar kanal formal.
    Di sisi lain, keterbatasan struktur, kerapuhan organisasi, dan risiko superfisialitas mengintai, sebab logika media sosial cenderung lebih menyukai konten singkat, emosional, dan mudah dibagikan ketimbang argumentasi panjang yang penuh nuansa.
    Di sinilah problem konseptual muncul: apakah gerakan yang lahir dari viralitas dapat bertahan melampaui siklus trending?
    Apakah politik yang disajikan sebagai konten mampu menembus sistem hukum, kebijakan, dan birokrasi yang penuh resistensi?
    Pertanyaan semacam ini membawa kita pada dilema epistemologis dan normatif yang mengingatkan pada perdebatan lama tentang peran opini publik dalam demokrasi.
    Jürgen Habermas, dalam karya monumentalnya tentang ruang publik, menekankan pentingnya diskursus rasional yang terbentuk dalam arena komunikasi.
    Namun, pada era media sosial, yang kita hadapi bukan sekadar diskursus rasional, melainkan banjir konten yang mencampuradukkan opini, emosi, dan simbol.
    Teori-teori tentang gerakan sosial membantu kita memahami transisi ini. Manuel Castells, sosiolog asal Spanyol, dalam analisisnya tentang jaringan komunikasi, menggambarkan bahwa kekuatan masyarakat kini terletak pada kemampuan membentuk jaringan horizontal yang mem-
    bypass
    institusi formal.
    Konsep
    networked movement
    menjelaskan mengapa gerakan tanpa pemimpin tunggal, tanpa organisasi mapan, tetap bisa meluas cepat karena jaringannya bersifat desentral.
    Zeynep Tufekci, peneliti asal Turki-Amerika, juga menekankan hal serupa dalam kajiannya tentang protes digital.
    Ia menunjukkan bahwa kekuatan viralitas bisa menciptakan mobilisasi masif dalam waktu singkat, tetapi tanpa kapasitas organisasi yang kokoh, gerakan tersebut rentan kehilangan arah setelah momen awal.
    Persis di sinilah kita melihat paradoks. Gerakan 17+8 di Indonesia mampu menggalang dukungan luas hanya dalam hitungan hari. Namun, pertanyaan yang muncul adalah, apakah ia bisa bertahan lebih lama dan menghasilkan perubahan struktural nyata?
    Jika kita menggeser pandangan ke ranah filsafat politik, kita menemukan refleksi yang memperkaya analisis ini.
    Alexis de Tocqueville, ketika menganalisis demokrasi Amerika pada abad ke-19, sudah menyinggung tentang bahaya tirani mayoritas dan ketidakstabilan opini publik yang cepat berubah.
    Pada masa kini, fenomena itu menemukan bentuk digitalnya: opini publik yang viral dapat menjadi basis legitimasi sesaat, tetapi tidak selalu membawa konsistensi kebijakan.
    Hannah Arendt, dengan fokusnya pada ruang publik sebagai arena tindakan politik, menekankan pentingnya keberlanjutan dalam bertindak kolektif.
    Tanpa kesinambungan, tindakan politik mudah memudar. Refleksi ini menyoroti bahwa politik sebagai konten menghadapi tantangan menjaga keberlanjutan, bukan hanya menciptakan ledakan viral sesaat.
    Studi kasus dari berbagai negara memperlihatkan pola yang mirip. Di Amerika Serikat,
    #BlackLivesMatter
    lahir dari pengalaman diskriminasi rasial dan kekerasan polisi, lalu menjadi gerakan global melalui visual dan hashtag.
    Di Hong Kong,
    Umbrella Movement
    pada 2014 memperlihatkan bagaimana simbol sederhana—payung kuning—mampu menjadi ikon perlawanan terhadap Beijing.
    Di Swedia, Greta Thunberg memulai
    Fridays for Future
    dengan aksi personal yang difoto dan dibagikan, lalu berkembang menjadi protes iklim global.
     
    Di dunia Arab, gelombang
    Arab Spring
    berawal dari unggahan di media sosial yang kemudian menyulut revolusi.
    Di Indonesia, gerakan
    #ReformasiDikorupsi
    pada 2019 memperlihatkan kekuatan mahasiswa memobilisasi protes melalui visual digital.
    Semua ini mengajarkan bahwa viralitas adalah katalis, tetapi tidak otomatis menjamin hasil politik.
    Jika kita menganalisa lebih dalam, yang menjadi kekuatan utama gerakan digital adalah kemampuan menciptakan narasi singkat, mudah diingat, dan bersifat simbolik.
    17+8 adalah contoh sempurna: angka 17 dan 8 bukan hanya jumlah tuntutan, tetapi juga resonansi dengan 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.
    Warna pink bukan sekadar pilihan estetis, tetapi juga strategi membedakan diri dari warna-warna protes tradisional yang keras. Pink menyampaikan kesan empati, kelembutan, dan keterlibatan emosional yang lebih luas.
    Simbolisme ini sejalan dengan analisis semiotik Roland Barthes, yang menunjukkan bagaimana tanda-tanda visual dapat mengkristal menjadi mitos sosial.
    Barthes menulis bahwa mitos bukan kebohongan, melainkan cara tertentu dalam memberikan makna, dan dalam konteks ini pink menjadi mitos baru tentang perlawanan yang inklusif.
    Namun, di balik daya tarik simbolik, ada juga keterbatasan struktural. Tufekci menulis bahwa gerakan digital cenderung “mudah naik, mudah turun.”
    Tidak adanya organisasi mapan membuat mereka cepat meluas, tetapi juga cepat memudar. BLM bertahan lebih lama karena memiliki jaringan komunitas yang sudah lama ada di Amerika.
    Fridays for Future
    bertahan karena terhubung dengan isu global yang berkelanjutan. Sementara
    Umbrella Movement
    mengalami keterpecahan karena represi keras dan perbedaan strategi internal.
    Pertanyaannya, apakah 17+8 akan mengalami hal sama? Apakah ia akan menemukan struktur baru yang menghubungkan viralitas digital dengan advokasi hukum, perubahan kebijakan, atau bahkan lahirnya partai politik baru?
    Implikasinya bagi demokrasi sangat signifikan. Di satu sisi, gerakan seperti ini memperlihatkan bahwa masyarakat masih peduli, bahwa demokrasi tidak mati, dan bahwa rakyat menemukan cara kreatif menuntut keadilan.
    Di sisi lain, ada risiko bahwa pemerintah hanya melihat gerakan ini sebagai “tren medsos” yang bisa dibiarkan padam dengan sendirinya.
    Ada pula risiko bahwa partai politik justru akan meniru strategi ini untuk tujuan pencitraan, sehingga gerakan rakyat direduksi menjadi gaya kampanye. Hal ini menimbulkan dilema antara substansi dan performa.
    Jean Baudrillard, dalam teorinya tentang simulasi, mengingatkan bahwa dalam masyarakat kontemporer, tanda dan simbol sering kali lebih kuat daripada realitas itu sendiri.
    Politik sebagai konten bisa jatuh dalam jebakan simulasi, di mana performa digital lebih penting daripada hasil nyata.
    Di sinilah muncul kemungkinan solusi. Gerakan berbasis konten digital perlu mencari cara agar tidak hanya berhenti pada viralitas.
    Salah satunya adalah menjembatani antara dunia digital dan dunia formal: tuntutan yang viral harus diterjemahkan ke dalam advokasi hukum,
    judicial review,
    lobi parlemen, atau pembentukan jaringan sipil yang lebih kokoh.
    Hal ini membutuhkan kerja sama antara influenser digital dengan aktivis LSM, akademisi, dan praktisi hukum.
    Jika gerakan digital hanya berhenti pada “konten yang indah”, maka ia akan hilang bersama arus timeline. Namun, jika ia berhasil membentuk aliansi dengan struktur yang lebih berjangka panjang, maka ia dapat menjadi katalis perubahan nyata.
    Pengalaman BLM yang mendorong reformasi kepolisian, atau
    Fridays for Future
    yang memaksa isu iklim masuk agenda politik, menunjukkan bahwa hal ini mungkin dilakukan.
    Maka, yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menggabungkan kekuatan viralitas dengan ketahanan institusional.
    Habermas mengingatkan bahwa ruang publik harus menghasilkan diskursus rasional, bukan hanya pertukaran opini emosional.
    Tantangannya adalah bagaimana membuat konten digital yang bukan hanya estetis, tetapi juga menyajikan argumentasi rasional yang bisa masuk ke ranah kebijakan.
    Di sinilah peran akademisi dan intelektual publik sangat penting. Mereka dapat menjadi jembatan antara konten digital yang viral dengan substansi kebijakan yang kompleks.
    Antonio Gramsci pernah menulis tentang pentingnya “intelektual organik” yang terhubung dengan rakyat.
    Dalam era digital, intelektual organik mungkin adalah mereka yang mampu menulis, berbicara, dan menyajikan analisis di media sosial tanpa kehilangan kedalaman.
    Akhirnya, kita melihat bahwa politik sebagai konten adalah gejala zaman yang tidak bisa diabaikan.
    Ia lahir dari perubahan struktur komunikasi global, dari media cetak ke televisi hingga media sosial. Ia memperlihatkan kreativitas rakyat dalam menyuarakan aspirasi.
    Ia juga menunjukkan keterbatasan, karena viralitas tidak selalu berarti keberlanjutan. Namun, justru dalam ketegangan itulah demokrasi diuji.
    Apakah ia akan mampu menyerap energi digital menjadi reformasi nyata, ataukah ia akan membiarkan energi itu hilang begitu saja.
     
    Masa depan demokrasi Indonesia, dan mungkin demokrasi global, sangat ditentukan oleh bagaimana kita menjawab pertanyaan itu.
    Gerakan 17+8, dengan semua simbol, warna, angka, dan viralitasnya, adalah cermin dari era baru politik. Ia menunjukkan potensi sekaligus risiko.
    Ia adalah tanda bahwa politik kini harus dipahami bukan hanya sebagai keputusan di ruang sidang, tetapi juga sebagai konten yang viral di layar ponsel.
    Dan jika kita menutup refleksi panjang ini, jelas bahwa 17+8 bukan sekadar episode sesaat, melainkan momen penting yang menandai pergeseran paradigma.
    Ia membuat kita menyadari bahwa generasi digital menemukan cara baru untuk berbicara, memprotes, dan menuntut. Kita tidak bisa menolaknya, karena ini adalah bahasa politik zaman ini.
    Tantangan kita adalah memastikan bahwa bahasa baru ini tidak berhenti sebagai gaya visual, melainkan menjadi jalan menuju perubahan substantif.
    Demokrasi yang sehat hanya mungkin jika energi viral di dunia maya menemukan perwujudannya di dunia nyata. Dan perjalanan itu baru saja dimulai.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.