Tag: M. Jamiluddin Ritonga

  • Gerindra dan PSI Tutup Pintu untuk Budi Arie, Pengamat Singgung Sosok Kutu Loncat

    Gerindra dan PSI Tutup Pintu untuk Budi Arie, Pengamat Singgung Sosok Kutu Loncat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Penolakan Partai Gerindra dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, memunculkan banyak dugaan di publik.

    Namun, bagi sebagian kalangan, sikap dua partai itu dianggap sebagai hal wajar dalam dinamika politik, terutama ketika menyangkut proses rekrutmen kader.

    Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, mengatakan setiap partai memiliki hitungan matang sebelum menerima seseorang bergabung.

    Mulai dari rekam jejak, loyalitas, hingga potensi mendongkrak dukungan publik selalu menjadi pertimbangan utama.

    “Gerindra, kadernya menilai lebih banyak negatifnya bila menerima Budi Arie. Sebagian kader Gerindra setidaknya menilai Budi Arie hanya sosok kutu loncat yang tak banyak manfaatnya bagi partainya,” kata Jamiluddin dalam pernyatannya, dikutip Sabtu (22/11/2025).

    Menurutnya, penolakan itu bukan sekadar penilaian personal, tapi sudah menjadi suara yang berkembang di internal Gerindra.

    Bahkan, kata dia, ada kekhawatiran bahwa kehadiran Budi Arie justru dapat membawa masalah baru.

    “Budi Arie bisa saja dinilai layaknya virus yang dapat menebar penyakit di Gerindra. Karena itu, kader Gerindra merasa lebih baik menghindar dan bahkan menjauh dari virus,” ujarnya.

    Tidak hanya Gerindra, PSI juga disebut punya alasan tersendiri. Partai yang dipimpin Kaesang Pangarep itu menilai Budi Arie tidak memiliki nilai jual secara elektoral.

    “Karena itu, PSI merasa tidak perlu menawarkan ke Budi Arie untuk bergabung untuk menjadi kadernya,” ujar Jamiluddin.

  • Wajar Ditolak Gerindra dan PSI: Budi Arie Kutu Loncat!

    Wajar Ditolak Gerindra dan PSI: Budi Arie Kutu Loncat!

    GELORA.CO -Penolakan Partai Gerindra dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap Ketua Umum Projo Budi Arie Setiadi merupakan hal yang wajar terjadi dalam dinamika politik.

    Menurut Pengamat Komunikasi Politik dari Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, setiap partai memiliki kalkulasi dan seleksi yang ketat sebelum menerima seseorang sebagai kader. 

    Termasuk mempertimbangkan rekam jejak, loyalitas, hingga manfaat elektoral yang mungkin diberikan.

    “Gerindra, kadernya menilai lebih banyak negatifnya bila menerima Budi Arie. Sebagian kader Gerindra setidaknya menilai Budi Arie hanya sosok kutu loncat yang tak banyak manfaatnya bagi partainya,” kata Jamiluddin kepada Kantor Berita Politik RMOL, Senin, 17 November 2025.

    Jamiluddin  menambahkan, di internal Gerindra, muncul anggapan bahwa kehadiran Budi Arie justru berpotensi membawa masalah.

    ?“Budi Arie bisa saja dinilai layaknya virus yang dapat menebar penyakit di Gerindra. Karena itu, kader Gerindra merasa lebih baik menghindar dan bahkan mrnjauh dari virus,” ujarnya.

    Sementara itu, PSI disebut memiliki pertimbangan berbeda. Partai besutan Kaesang Pangarep itu dinilai tidak melihat nilai jual politik dari Budi Arie.

    “Karena itu, PSI merasa tidak perlu menawarkan ke Budi Arie untuk bergabung untuk menjadi kadernya,” ujar Jamiluddin.

    Bagi PSI, lanjutnya, sosok yang direkrut harus memiliki kemampuan menaikkan elektabilitas dan dukungan publik. 

    “Karena itu, tak ada manfaat bagi PSI merekrut Budi Arie menjadi kadernya,” tandasnya.

  • Budi Arie Salah Langkah Berlabuh ke Gerindra bila Motifnya Cari Perlindungan

    Budi Arie Salah Langkah Berlabuh ke Gerindra bila Motifnya Cari Perlindungan

    GELORA.CO -Langkah Ketua Umum Projo, Budi Arie bergabung ke Partai Gerindra tidak tepat bila motifnya untuk mendapatkan perlindungan politik.

    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menilai, para kader tentu tidak ingin Gerindra dijadikan sebagai tempat berlindung bagi pihak-pihak yang sedang berhadapan dengan persoalan hukum. 

    Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dikenal tidak pernah menolerir kader yang tersangkut masalah hukum.

    “Prabowo tidak akan melindungi kadernya yang bermasalah hukum,” ujar Jamiluddin kepada RMOL, Sabtu, 15 November 2025.

    Karena itu, Jamiluddin menilai bila alasan Budi Arie merapat ke Gerindra adalah untuk menghindari tekanan hukum, maka pilihan tersebut justru keliru. Penolakan sejumlah DPC Gerindra terhadap wacana masuknya Budi Arie dinilai berangkat dari prinsip itu.

    “Budi Arie akan sia-sia berlabuh ke Gerindra bila motifnya ingin mendapatkan perlindungan politik. Sebab, Prabowo tidak akan mentolerir kadernya yang bermasalah hukum,” tandasnya.

    Aspirasi kader di sejumlah daerah yang menolak wacana bergabungnya Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi ke Partai Gerindra direspons santai Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco.

    Menurut Dasco, hal tersebut merupakan dinamika yang wajar dalam dunia politik.

    “Ya namanya dinamika di politik, itu soal tidak menerima, atau ada yang menerima itu kan biasa,” kata Dasco kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis 13 November 2025. 

  • Penolakan Gerindra Terhadap Budi Arie Keputusan Tepat

    Penolakan Gerindra Terhadap Budi Arie Keputusan Tepat

    GELORA.CO -Sikap sejumlah organisasi sayap hingga Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Gerindra untuk menolak rencana Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, bergabung ke Gerindra, dinilai sebagai langkah yang tepat dan masuk akal.

    Penolakan ini muncul setelah Budi Arie memberi sinyal kuat bahwa Projo akan berlabuh ke Partai Gerindra untuk memperkuat barisan pendukung pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

    Pengamat komunikasi politik dari Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, menjelaskan bahwa penolakan tersebut memiliki dasar yang logis, yaitu keinginan kuat kader untuk menjaga dan mempertahankan idealisme Gerindra.

    Menurut Jamiluddin, penolakan kader terhadap tokoh yang dianggap oportunis seperti Budi Arie sangat beralasan. Ia khawatir orang yang oportunis dapat merusak soliditas dan kohesivitas internal partai.

    “Penolakan itu logis karena ingin menjaga dan mempertahankan idealisme Gerindra,” kata Jamiluddin kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 11 November 2025.

    Jamiluddin menyimpulkan bahwa Gerindra lebih baik menolak masuknya tokoh tersebut demi menjaga keutuhan internal partai.

    Sebelumnya, sinyal merapat ke Gerindra disampaikan langsung oleh Budi Arie saat pidato pembukaan Kongres III Projo di Jakarta, Sabtu 1 November 2025. 

    Di hadapan ribuan kadernya, Budi Arie menyatakan langkah ini bertujuan memperkuat dukungan politik dan soliditas kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
     Keterwakilan perempuan dalam alat kelengkapan dewan (AKD), mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), Badan Kerja Sama Antar-Parlemen (BKSAP), Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), hingga Badan Urusan Rumah Tangga (BURT), masih menghadapi berbagai tantangan.
    Isu kesetaraan gender dan minimnya kaderisasi partai terhadap politisi perempuan menjadi dua faktor utama yang menghambat peningkatan representasi perempuan di tubuh AKD.
    Situasi ini kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutus perkara nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan itu, MK menyoroti perlunya perbaikan dalam posita dan petitum uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3 2014) serta perubahan pada UU MD3 Tahun 2018 yang berkaitan dengan UUD 1945.
    Melalui perbaikan petitum, para pemohon meminta agar ditetapkan minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pimpinan AKD.
    Sementara dalam posita, mereka menekankan pentingnya pengarusutamaan gender, pencegahan pembangkangan konstitusi dalam pengaturan representasi perempuan, serta jaminan konstitusional atas keterwakilan tersebut.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga mengimbau agar DPR dan partai politik mencari formula yang tepat agar keputusan MK bisa dijalankan tanpa mengorbankan efektivitas kerja parlemen.
    “DPR harus mampu mensiasati keputusan MK itu agar pemenuhan 30 persen legislator perempuan di setiap AKD tetap dapat menjaga kinerja sesuai fungsinya,” ujar dia ketika dihubungi, Senin (3/11/2025).
    Jamiluddin menilai, kunci utama keberhasilan implementasi keputusan MK ada di tangan partai politik.
    “Ke depan setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi calon legislatif. Caleg yang disiapkan juga harus dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan di setiap AKD,” ujarnya.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas menjadi hal penting. Tantangan ini menjadi PR bagi semua partai menjelang Pileg 2029,” pungkasnya.
    Sementara itu, dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, hambatan utama dalam keterwakilan perempuan dalam AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambah Titi.
    Titi mengatakan ada bias gender yang memandang bahwa isu perempuan bukanlah prioritas utama. Di sisi lain, keterwakilan perempuan cenderung tak mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” ungkap dia.
    Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik di lingkungan parlemen. 
    Jamiluddin juga menilai implementasi keputusan MK tersebut tidak akan mudah, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas legislator perempuan.
    “Bila jumlah legislator perempuan tidak mencukupi, maka keputusan MK dengan sendirinya tak dapat dilaksanakan. Sebab, jumlahnya tak cukup untuk dibagi rata minimal 30 persen di setiap AKD,” jelasnya.
    Hal serupa, lanjutnya, juga berlaku dari sisi kompetensi. Jika kemampuan para legislator perempuan hanya terkonsentrasi di bidang tertentu, distribusi merata di seluruh AKD justru berpotensi kontraproduktif.
    “Kalau kompetensi legislator perempuan hanya menumpuk di beberapa AKD, maka pendistribusian 30 persen itu hanya akan menjadi pemaksaan. Akibatnya, mereka bisa ditempatkan di komisi yang tak sesuai dengan keahliannya,” ucap Jamiluddin.
    Ia menilai hal tersebut bisa berdampak pada menurunnya produktivitas kinerja legislator perempuan dalam menjalankan tiga fungsi utama DPR pengawasan, anggaran, dan legislasi.
    “Kalau hal itu terjadi, legislator perempuan akan sulit melaksanakan fungsinya secara maksimal,” katanya.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.

    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Sementara itu, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan, hambatan dalam keterwakilan perempuan di parlemen berawal dari proses politik, yakni sejak pencalonan hingga penetapan calon legislatif.
    “Memang tidak mudah dari mulai proses pencalonan, penjaringan, penyaringan, hingga penetapan calon di elektoral,” ujarnya.
    Ia menekankan bahwa peran perempuan di parlemen sejatinya merupakan perpanjangan tangan dari partai politik, bukan sekadar individu. Karena itu, ia mendorong partai untuk memperkuat proses kaderisasi politik bagi perempuan.
    “Yang di parlemen itu kan perpanjangan partai, bukan person. Jadi penting kiranya kerja politik ini memperkuat kaderisasi partai terhadap perempuan,” katanya.
    Rieke menekankan pentingnya partai politik memandang keterwakilan perempuan bukan hanya sebagai pemenuhan kuota 30 persen, tetapi bagian dari sistem ketatanegaraan yang utuh.
    “Ini tidak bisa dimaknai hanya sebagai momen elektoral yang terpisah dari kehidupan bernegara. Harus dalam perspektif sistem ketatanegaraan yang menganut trias politika, di mana partai politik mempersiapkan kader perempuannya dengan pemahaman yang kuat tentang tugas dan tanggung jawab sebagai wakil rakyat,” jelas Rieke.
    Terpisah Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri.
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen. Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    Sementara itu, saat ini jumlah anggota DPR sebanyak 580 orang, dan keterwakilan perempuan hanya 127 orang. Sehingga secara persentase masih 21,9 persen.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Saat Partai Diuji, Mampukah Wujudkan 30 Persen Perempuan di Alat Kelengkapan DPR?

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal

    Tantangan Nyata Keterwakilan Perempuan di Parlemen, Jumlahnya Naik tetapi Belum Ideal
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com – 
    Keterwakilan perempuan di alat kelengkapan dewan (AKD) DPR RI masih belum ideal.
    Dari total 580 anggota parlemen, hanya 127 di antaranya perempuan, tepatnya setara 21,9 persen.
    Angka itu masih terpaut cukup lebar dari ketentuan baru yang ditegaskan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan uji materi Nomor 169/PUU-XXII/2024 pekan lalu.
    Dalam putusan tersebut, MK menegaskan bahwa minimal keterwakilan perempuan dalam seluruh AKD harus mencapai 30 persen.
    Mulai dari komisi, Badan Musyawarah (Bamus), panitia khusus (Pansus), hingga Badan Legislasi (Baleg), Badan Anggaran (Banggar), BKSAP, MKD, dan BURT.
    Pada akhirnya, putusan ini menjadi penegasan kembali komitmen terhadap politik hukum kesetaraan gender di parlemen.
    Wakil Ketua Komisi XII DPR RI, sekaligus Ketua Fraksi PAN DPR RI, Putri Zulkifli Hasan menilai bahwa keputusan MK tersebut diharapkan mampu mendorong keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di DPR.
    “Saya melihat putusan MK itu sebagai penguatan bahwa perempuan memang harus hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan di DPR, termasuk di pimpinan AKD,” ujar Putri kepada Kompas.com, Senin (3/11/2025).
    Dia mengatakan Fraksi PAN terus berupaya dalam menjaga keseimbangan gender, dan menciptakan kepercayaan pada kader perempuan untuk memimpin.
    “Alhamdulillah, di Fraksi PAN kami berupaya menjaga keseimbangan dan memberikan kepercayaan kepada kader perempuan untuk memimpin (pimpinan komisi XII & BURT),” tegasnya.
    Terpisah, Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa putusan sudah sesuai dengan jumlah yang ada saat ini.
    “Jadi total sekarang kan 127 anggota perempuan dari total 580 anggota. Menurut saya ini menjadi penting, tidak dimaknai untuk bagaimana ini sekadar jumlah. Tapi, bagaimana partai itu betul-betul memberikan kaderisasi yang tepat kepada kader-kadernya,”
    “Pendidikan politik yang komprehensif dan mempersiapkan dari mulai sekolah partainya untuk merencanakan perwakilan perempuan itu memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya di bidang itu,” tambah dia.
    Ketua DPR RI Puan Maharani menyatakan akan menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mensyaratkan keterwakilan perempuan dalam setiap Alat Kelengkapan Dewan (AKD) dengan cara berkoordinasi dengan semua fraksi parpol di parlemen.
    “Keputusan MK ini akan kami tindak lanjuti, termasuk berdiskusi dengan tiap perwakilan fraksi. Terutama teknis pelaksanaan keputusan MK tersebut di tingkatan komisi,” kata Puan dalam siaran pers, Jumat (31/10/2025).
    Adapun dalam perbaikan bagian posita dan petitum, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3 2014) dan UU MD3 Tahun 2018 terhadap UUD 1945.
    Diantaranya, perbaikan petitum, para pemohon meminta penetapan paling sedikit 30 persen perempuan pada pimpinan AKD.
    Sementara pada perbaikan posita atau bagian dalil yang diajukan dalam sidang tersebut, mencakup pengarusutamaan gender, pembangkangan konstitusi dalam pengaturan keterwakilan perempuan dalam AKD, serta jaminan terhadap keterwakilan perempuan.
    “Oleh karena itu menurut saya bahwa penting kiranya kerja politik, karena yang di parlemen itu kan perpanjangan partai sebetulnya, bukan person. Tapi dia institusi kepartaian sehingga itu saja ini harapan saya bisa memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” lanjut Rieke.
    Mengutip laman kompas.id, sejak Pemilu 1955 hingga 2019, keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai 30 persen. Pemilu pertama tahun 1955 menghasilkan 16 perempuan yang duduk di parlemen. Jumlah ini hanya setara 5,9 persen dari total 272 anggota parlemen.
    Pada masa Orde Baru, yaitu pada Pemilu 1971 hingga Pemilu 1997, persentase keterwakilan perempuan berada pada angka 6,7 persen hingga 12,4 persen.
    Persentase tertinggi keterwakilan perempuan pada masa Orde Baru terjadi pada Pemilu 1992. Saat itu, 62 perempuan berhasil terpilih sebagai anggota DPR. Jumlah itu mencapai 12,4 persen dari total 500 anggota DPR.
    “Kemajuan yang patut diapresiasi, walau masih jauh dari target ideal minimal 30 persen keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, sebagaimana semangat afirmasi kesetaraan gender dalam politik Indonesia,” lanjut Puan.
    Dosen hukum tata negara Universitas Indonesia sekaligus Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, ada hambatan utama yang menyebabkan keterwakilan perempuan dalam AKD tak sampai 30 persen.
    “Hambatan utama keterwakilan perempuan di AKD selama ini bersumber dari struktur dan kultur politik yang masih sangat maskulin,” kata Titi.
    Dia bilang, hal ini diperparah dengan aturan dalam perekrutan partai dan negosiasi politik di parlemen.
    Ditambah lagi, posisi strategis sering didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, dan bukan prinsip kesetaraan gender.
    “Secara formal, memang tidak ada aturan yang melarang perempuan untuk duduk di AKD, tetapi proses pembentukan dan penentuan keanggotaan AKD sangat bergantung pada mekanisme internal partai politik dan negosiasi politik di parlemen,” ujar Titi.
    “Dalam praktiknya, posisi strategis seperti pimpinan komisi atau badan sering kali didistribusikan berdasarkan kalkulasi kekuasaan, bukan prinsip kesetaraan gender,” tambahnya.
    Di sisi lain, Titi melihat adanya pandangan bias gender dalam partai, yang menilai bahwa isu perempuan bukan prioritas utama. Ditambah lagi, anggota legislatif perempuan yang kebanyakan tidak mendapatkan dukungan dari partainya.
    “Masih terdapat pandangan bias gender dalam tubuh partai yang memandang isu perempuan bukan prioritas utama. Banyak perempuan anggota legislatif yang sudah berhasil terpilih pun belum mendapatkan dukungan struktural dan politik dari partainya untuk mengakses posisi pengambilan keputusan di AKD,” kata dia.
    Titi menilai dalam upaya mendorong jumlah perempuan dalam AKD, pendidikan politik dalam kaderisasi partai dinilai penting. Pelatihan kepemimpinan dinilai mampu meningkatkan kapasitas dan jaringan politik perempuan dalam partai.

    “Hambatan lainnya adalah minimnya pelatihan kepemimpinan politik dan pengarusutamaan gender di lingkungan parlemen, yang membuat kapasitas dan jaringan politik perempuan tidak berkembang optimal,” lanjut Titi.
    Rieke menambahkan, pada dasarnya mempersiapkan kader-kader perempuan yang siap untuk menjadi calon legislatif bukanlah perkara yang mudah. Dia bilang, kaderisasi parpol terhadap anggota perempuan perlu dilakukan.
    “Memang tidak mudah untuk dari mulai keterpilihan proses dari pencalonan, penjaringan, penyaringan, kemudian penetapan sebagai calon di elektoral. Oleh karena itu menurut saya bahwa penting memperkuat bagaimana kaderisasi dari partai politik terhadap perempuan,” kata Rieke.
    Rieke juga menilai, pendidikan politik yang komprehensif dapat mempersiapkan kader politik yang tidak hanya mampu bertugas di DPR, dan memiliki kemampuan pilitik yang memumpuni.
    “Partai (perlu) merencanakan perwakilan perempuan itu yang memiliki kemampuan secara spesifik untuk nanti ditugaskan, dipersiapkan untuk menjadi wakil rakyat dan kemudian ditugaskan di komisi-komisi yang sesuai dengan kemampuan politiknya,” lanjut dia.
    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul sekaligus mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta M. Jamiluddin Ritonga menegaskan bahwa ke depannya setiap partai perlu menyiapkan kader perempuan lebih intensif untuk menjadi caleg.
    “Caleg yang disiapkan juga dikaitkan dengan kompetensi yang dibutuhkan untuk setiap AKD. Melalui persiapan yang matang, diharapkan caleg perempuan lebih banyak lagi yang terpilih ke Senayan,” kata Jamiluddin.
    “Bila ini terwujud maka Keputusan MK baik secara kuantitas maupun kualitas lebih berpeluang dipenuhi dan dilaksanakan,” lanjut Jamiluddin.
    Dia menegaskan bahwa partai adalah merupakan awal atau cikal – bakal kader politik perempuan tumbuh, memiliku kualitas untuk ditempatkan sebagai wakil rakyat di parlemen.
    “Jadi, bolanya ada di setiap partai. Keseriusan menyiapkan kader perempuan yang lebih banyak dan berkualitas tampaknya menjadi penting. Tantangan ini jadi PR bagi semua partai yang akan ikut bertarung pada Pileg 2029,” tegas dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pemerintah Harus Tindak Tegas Aqua Pakai Air Sumur Bor

    Pemerintah Harus Tindak Tegas Aqua Pakai Air Sumur Bor

    GELORA.CO -Pemerintah didesak untuk menindak tegas produsen Aqua, PT Tirta Investama, lantaran diduga menggunakan sumber air mineral kemasan dari sumur bor. Sebab, hal itu bisa berdampak serius terhadap potensi kerusakan lingkungan. 

    Demikian penegasan pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga saat berbincang dengan RMOL sesaat lalu, Kamis, 23 Oktober 2025. 

    “Sebab, pihak Aqua yang menggunakan sumur bor sangat potensi merusak lingkungan,” kata Jamiluddin. 

    Namun demikian, Jamiluddin berharap agar dalam proses penindakannya pemerintah melalui kementerian atau lembaga terkait harus mengedepankan transparan publik. Sebab, hal itu berkaitan dengan kepentingan publik selaku konsumen. 

    “Pemerintah harus terbuka dalam mengungkap kasus tersebut. Termasuk tentunya sanksi yang diberikan harus disampaikan ke masyarakat,” pungkas Jamiluddin.

    Sebelumnya, Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke perusahaan air mineral kemasan merek Aqua di Subang, Jawa Barat, yang diunggah di kanal YouTube pribadinya.

    Dalam sidak tersebut, KDM, sapaan Dedi Mulyadi kaget sumber air pabrik Aqua ternyata bukan dari mata air pegunungan murni, melainkan berasal dari sumur bor. Fakta tersebut didapat KDM saat menanyakan sumber air produksi Aqua.

    “(Sumber) Airnya dari bawah tanah, pak,” kata seorang perempuan perwakilan perusahaan Aqua kepada KDM dikutip Rabu 22 Oktober 2025

  • Tuding Ada Kekuatan Besar di Balik Polemik Ijazah Palsu, Jokowi Cuma Bikin Gaduh

    Tuding Ada Kekuatan Besar di Balik Polemik Ijazah Palsu, Jokowi Cuma Bikin Gaduh

    GELORA.CO -Pernyataan Presiden ke-7 Joko Widodo yang menyebut ada kekuatan besar yang memainkan isu dugaan ijazah palsu dirinya sangat tidak etis. 

    Menurut pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, Jokowi selaku mantan presiden terkesan hanya ingin membuat gaduh. 

    Terlebih, kata dia, kasus ijazah palsu yang menyeret namanya tidak kunjung tuntas lantaran Jokowi belum menunjukan ijazah asli kepada publik. 

    “Jadi, statemen Jokowi ada orang besar dibalik ijazah palsu dan pemakzulan Gibran dapat menimbulkan saling mencurigai di tengah masyarakat. Hal ini tentunya dapat menambah kegaduhan dalam politik nasional,” kata Jamiluddin kepada RMOL, Sabtu 26 Juli 2025. 

    Atas dasar itu, Jamiluddin menilai, pernyataan Jokowi itu sangat tidak etis dan tidak bersikap layaknya seorang negarawan. Pernyataan demikian sungguh tidak seharusnya keluar dari seorang mantan presiden.

    “Karena itu, lebih bijak bila Jokowi menyebut dengan tegas orang besar yang membackup tuduhan ijazah palsu dan pemakzulan Gibran,” kata mantan Dekan FIKOM IISIP ini. 

    Padahal dengan cara itu, kata Jamiluddin, Jokowi bisa meredam isu ijazah palsu yang dikeluhkannya tersebut. 

    “Masyarakat tidak liar dalam mempersepsi statemen Jokowi. Cara ini lebih elegan dan jauh dari kegaduhan di tengah masyarakat,” pungkasnya. 

    Diberitakan sebelumnya, Jokowi menduga ada agenda politik besar di balik isu pemakzulan anaknya dan ijazah palsu dirinya. 

    “Perasaan politik saya mengatakan, ada agenda besar politik untuk menurunkan reputasi politik, untuk men-downgrade, yang buat saya, ya biasa-biasa aja,” kata Jokowi di Solo, Jawa Tengah, pada Senin 14 Juli 2025.

    Namun demikian, Jokowi menyatakan pihaknya menyerahkan sepenuhnya persoalan kasus ijazah palsu pada proses penyidikan yang berjalan.

    “Saya baca kemarin sudah dalam proses penyidikan, ya sudah serahkan pada proses hukum yang ada,” kata Jokowi.

  • Prabowo Harus Perintahkan Tito Batalkan Kepmendagri soal Empat Pulau

    Prabowo Harus Perintahkan Tito Batalkan Kepmendagri soal Empat Pulau

    GELORA.CO -Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian harus bertanggung jawab atas dampak upaya pemindahan empat pulau dari Provinsi Aceh ke Provinsi Sumatera Utara (Sumut). 

    Terlebih pemindahan kepemilikan empat pulau itu terkesan sepihak karena tidak melibatkan Aceh. 

    Empat pulau yang dipindahkan adalah Pulau Panjang, Lipan, Mangkir Gadang, dan Mangkir Ketek.

    “Pengalihan empat pulau itu telah membuat gesekan antara warga Aceh dan Sumut. Padahal selama ini warga dua provinsi itu hidup damai,” kata pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga kepada RMOL, Senin 16 Juni 2025. 

    Atas dasar itu, Jamiluddin berpandangan, untuk mencegah konflik lebih luas, Presiden Prabowo Subianto harus segera memerintahkan Mendagri Tito Karnavian untuk membatalkan keputusannya tersebut. 

    “Hanya dengan membatalkan keputusan pengalihan empat pulau tersebut, ekskalasi amarah warga Aceh dapat diredakan,” kata Jamiluddin. 

    Bahkan, Jamiluddin menyarankan Presiden Prabowo untuk mengevaluasi Mendagri Tito dalam rangka mencegah potensi konflik horizontal terjadi. 

    “Presiden Prabowo juga harus mengevaluasi Tito sebagai Mendagri,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Nelayan dari Kabupaten Aceh Singkil, yang tergabung kedalan gerakan aliansi nelayan Aceh Singkil (Ganas) mengancam bakal melakukan patroli atau sweeping di wilayah empat pulau Aceh yang pindahkan ke Sumut. 

    Sweeping dilakukan untuk mempertahankan empat pulau Aceh yang sebelumnya masuk wilayah administratif Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, namun saat ini sudah beralih ke wilayah Tapanuli Tengah (Tapteng), Provinsi Sumatera Utara berdasarkan keputusan menteri dalam negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138/2025.

    “Langkah ini untuk memastikan nelayan dari Tapanuli Tengah (Tapteng) Sumatera Utara tidak masuk melakukan aksi penangkapan ikan di empat pulau ini,” tegas Ketua gerakan aliansi nelayan Aceh Singkil (Ganas), Rahmi Yasir, Jumat 13 Juni 2025

  • Samakan Jokowi dengan Nabi, Kader PSI Orang yang Irasional

    Samakan Jokowi dengan Nabi, Kader PSI Orang yang Irasional

    GELORA.CO -Pernyataan Politikus PSI Dedy Nur Palakka lewat cuitannya di akun media sosial X, platform yang sebelumnya dikenal Twitter @Dedynurpalakka yang menyebut Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) sudah memenuhi syarat untuk menjadi nabi, menuai kritik. 

    Pengamat komunikasi politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga berpandangan bahwa Politikus PSI yang menyamakan Jokowi adalah orang yang irasional.

    “Orang yang suka mengkultuskan seseorang tentu tipikal orang irasional. Karena itu, penilaian orang seperti ini tak perlu dihiraukan,” tegas Jamiluddin kepada wartawan, Kamis 12 Juni 2025. 

    Atas dasar itu, Jamiluddin menilai Politikus PSI tersebut perlu dicek kejiwaannya. Sebab, Jokowi yang notabene manusia biasa malah disamakan dengan nabi.

    “Bahkan orang seperti itu perlu di cek kesehatan jasmani dan rohaninya. Apalagi Jokowi hingga saat ini sosok kontroversial. Bahkan Jokowi dalam banyak hal disebut sosok antagonis,” kata mantan Dekan FIKOM IISIP Jakarta ini. 

    Di sisi lain, Jamiluddin menyebut tipikal politikus seperti Dedy Nur Palakka biasanya cenderung asal bapak senang (ABS). Sehingga rasionalitas dikesampingkan dan puja-puji yang selalu mereka elu-elukan. 

    “Jadi, penilaian irasional semacam itu akan terus bermunculan bila di negeri ini banyak yang asal bapak senang (ABS). Sosok seperti ini umumnya penjilat dan pernyataannya selayaknya dianggao angin lalu,” pungkasnya.

    Sebelumnya, akun centang biru Politikus PSI Dedy Nur Palakka @DedynurPalakka pada 9 Juni 2025 lalu meretweet cuitan dari The Last Dodo @bengkel dodo dengan komentar “Mantan Presiden Indonesia yang paling dekat dengan Rakyat namanya” cuit DedynurPalakka. 

    Kemudian, cuitan Dedy Nur tersebut dibalas oleh akun @Marquez_93 “Hadeh ngetag Jokowi lagi, kok nggak ketika ketemu sekalian lu jilat kaki Jokowi Bro.”

    “@jokowi presiden terbaik yang pernah dilahirkan oleh Indonesia ?? Iyakan bang @alisyarief ??,” timpal Dedy Nur lagi. 

    Lalu, cuitan Dedy Nur tersebut dibalas oleh akun @okedahcoy “Ada yang koordinir”.

    Seperti tak terima dengan kicauan tersebut, Dedy Nur pun kembali membalasnya “Ngga ada, rakyat datang dengan sadar ? fakta seperti ini yang agak susah diterima oleh akal Anda dkk. Tapi tidak mengapa, itu biasa dalam arena politik yang penuh dengan persepsi terbolak balik ?,” balas Dedy Nur. 

    Lalu, akun Binsar Panjaitan pun membalas kicauan Dedy Nur “Lama-lama jokowi jadi dukun pesugihan. Di saat rakyat sulit dapat duit/kerja lihat muka Jokowi jadi gampang hidupnya,” tegas @HalomoanHa91790.

    Sontak, Dedy Nur pun membalasnya dengan menyamakan Jokowi seperti nabi. “Jadi nabi pun sebenarnya beliau ini sudah memenuhi syarat, cuman sepertinya beliau menikmati menjadi manusia biasa dengan senyum selalu lebar ketika bertemu dengan rakyat. Sementara di dunia lain masih ada saja yang tidak siap dengan realitas bahwa tugas kenegaraan beliau sudah selesai dengan paripurna ?,” cuitnya