Formappi Kritik Natalius Pigai: Masalah Demo Bukan Tempat, tapi Sikap DPR
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengkritik usulan Menteri Hak Asasi Manusia (HAM) Natalius Pigai yang mendorong DPR menyiapkan lapangan khusus untuk demonstrasi di halaman gedung parlemen.
Menurut Lucius, usulan tersebut justru berpotensi menyingkirkan substansi demonstrasi sebagai wujud kebebasan warga negara dalam menyampaikan pendapat.
“Usulan Menteri HAM agar disiapkan tempat khusus di kompleks DPR bagi pendemonstrasi agar tidak mengganggu pengguna jalan di depan gedung DPR kesannya sih jadi solusi yang cemerlang,” kata Lucius kepada Kompas.com, Minggu (14/9/2025).
Namun, dia heran karena Menteri HAM justru fokus pada lokasi demonstrasi, bukan pada substansinya sebagai wujud hak kebebasan berkumpul dan menyampaikan pendapat.
“Yang jadi urusan Kementerian HAM kan soal hak warga negara menyampaikan pendapat dan berkumpul. Kalau urusan infrastruktur itu mestinya sih jadi pekerjaan Kementerian Pekerjaan Umum lah,” ujarnya.
Lucius menilai persoalan utama justru terletak pada sikap DPR yang dinilai tidak ramah terhadap rakyat yang datang menyampaikan aspirasi.
Menurutnya, massa yang datang menggunakan haknya itu kerap tidak dihargai oleh pimpinan lembaga atau anggota lembaga parlemen.
“Mereka dipaksa untuk berteriak di depan gerbang dengan pintu gerbang yang ditutup rapat, dijaga aparat, dilapisi kawat berduri. Bagaimana bisa memahami respons DPR atas kehadiran warga dengan cara seperti itu?” ucapnya.
Ia pun berpandangan bahwa akar masalah unjuk rasa yang kerap berlangsung di jalanan justru karena DPR menutup ruang interaksi langsung dengan masyarakat.
“Jadi jangan lalu Menteri HAM menyalahkan pedemo yang mengganggu ketertiban jalan umum. Yang salah itu ya DPR yang tak ramah dengan warga yang datang menyampaikan aspirasi,” kata Lucius.
“Pagar tertutup, ribuan aparat yang berbaris di bagian dalam pagar, kawat berduri, gas air mata, semua itu ekspresi permusuhan dan perang. DPR memosisikan rakyat sebagai musuh yang harus diblok dari kompleks parlemen. Itulah yang jadi alasan pedemo memenuhi jalanan di depan gedung DPR,” lanjutnya.
Lucius menilai usulan penyediaan lapangan demonstrasi justru bisa menjadi siasat DPR untuk mengendalikan aksi masyarakat.
Dia mengatakan, sikap DPR yang tak ramah pada rakyat yang datang menyampaikan pendapat membuat usulan menyiapkan tempat khusus demonstrasi terlihat sebagai siasat untuk mengendalikan demonstrasi.
“Dengan disiapkan tempat, berikutnya aturan pemakaian tempat itu akan jadi sarana DPR untuk mengatur aksi sesuai keinginan mereka. Persiapan tempat itu untuk mengendalikan aksi, bukan untuk menjamin kebebasan menyampaikan pendapat dari masyarakat,” kata Lucius.
Ia pun mendesak agar Kementerian HAM lebih fokus pada upaya membangun kesadaran pejabat dan DPR tentang pentingnya menghormati hak rakyat untuk menyampaikan pendapat.
“Jadi yang harus dilakukan Kementerian HAM itu ya harusnya bagaimana membangun kesadaran pejabat dan DPR soal hak rakyat atau hak setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat dan berkumpul karena merupakan hak asasi rakyat, harusnya DPR menghormati kegiatan penyampaian pendapat itu dan menyambut mereka yang datang untuk itu,” kata Lucius. “Bukan malah membangun benteng pertahanan seolah-olah rakyat adalah penjahat yang harus dilarang atau tak pantas disambut,” imbuhnya.
Sebelumnya, Menteri HAM Natalius Pigai mengusulkan agar DPR menyiapkan lapangan demonstrasi di halaman gedung parlemen agar massa tidak menggelar aksi di jalan raya.
Menurut Pigai, halaman DPR yang luas bisa dijadikan pusat demokrasi yang menampung 1.000 hingga 2.000 orang.
Ia juga berharap setiap pimpinan lembaga, baik eksekutif maupun legislatif, mau keluar gedung untuk menerima aspirasi masyarakat di tempat itu.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Lucius Karus
-
/data/photo/2025/09/09/68c013117af82.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Formappi Kritik Natalius Pigai: Masalah Demo Bukan Tempat, tapi Sikap DPR Nasional 14 September 2025
-
/data/photo/2025/05/13/6822cf828a4c9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
RUU Perampasan Aset: Penting, tetapi Jangan Asal Jadi Nasional 12 September 2025
RUU Perampasan Aset: Penting, tetapi Jangan Asal Jadi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Sejumlah pihak mengingatkan DPR RI agar tidak asal-asalan dalam menyusun dan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.
Peringatan ini disampaikan menyusul keputusan DPR RI yang menetapkan RUU Perampasan Aset sebagai RUU inisiatif DPR dan memasukkannya dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Adapun RUU Perampasan Aset telah dinantikan banyak pihak untuk disahkan sebagai salah satu instrumen penting dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Melalui RUU itu, aparat penegak hukum bisa menyita aset dan harta penyelenggara negara yang tidak wajar namun asal usulnya tidak dapat dibuktikan (
illicit enrichment
).
Kehadiran RUU ini diharapkan bisa mengembalikan kerugian negara dengan cepat dan memiskinkan koruptor.
Kendati dinantikan banyak pihak, DPR diingatkan untuk tidak membahas RUU Perampasan Aset secara asal-asalan hanya agar mewujudkan adanya UU Perampasan Aset.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan RUU Perampasan Aset menambah daftar beban legislasi akhir tahun.
Padahal, sepanjang 2025, DPR RI baru mengesahkan dua dari 42 Prolegnas, yakni RUU TNI dan Penyelenggaraan Haji dan Umrah.
Keputusan untuk memasukkan RUU Perampasan Aset sebagai inisiatif DPR membuat lembaga legislatif harus menyiapkan naskah akademik.
Namun, sampai saat ini belum ada kejelasan mengenai naskah akademik maupun draf RUU.
“Tentu kita tidak ingin RUU Perampasan Aset ini asal jadi saja,” kata Lucius saat dihubungi
Kompas.com
, Kamis (11/9/2025).
Lucius menyebut, keberadaan naskah akademik dan draf itu penting untuk memastikan muatan RUU tersebut bermanfaat.
Sebab, RUU Perampasan Aset digadang-gadang bakal mendukung pemberantasan korupsi.
“Kejelasan sejak awal naskah akademik dan drafnya penting untuk memastikan manfaat RUU ini,” ujar dia.
Terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil menyebut RUU Perampasan Aset harus mengatur batas jumlah harta terkait pidana yang bisa dirampas.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, mengatakan, berdasarkan Pasal 6 draf RUU Perampasan Aset per April 2023, aset yang bisa dirampas minimal Rp 100 juta dengan ancaman 4 tahun penjara atau lebih.
“Batas ini penting untuk dibahas kembali untuk menyesuaikan dengan, misalnya, kondisi inflasi, nilai ekonomis, dan lain sebagainya,” kata Wana dalam keterangannya, Kamis.
Pernyataan itu disampaikan ICW bersama Auriga Nusantara, Institute for Criminal Justice Reform, IM57+Institute, Kaoem Telapak, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.
Mereka mengingatkan pentingnya aturan mengenai harta yang tidak bisa dijelaskan sumbernya.
Hal ini merupakan konsep dasar illicit enrichment atau penambahan kekayaan secara ilegal.
Ketika seorang pejabat memiliki harta lebih banyak atau tidak sesuai dengan pendapatan sahnya, maka patut dicurigai bahwa harta itu bersumber dari suap atau gratifikasi.
”
Unexplained wealth
penting untuk diatur dalam RUU Perampasan Aset, sebab akan mempermudah pembuktian dugaan korupsi,” ujar Wana.
RUU Perampasan Aset telah disepakati pemerintah, dalam hal ini Menteri Hukum dan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025.
Keputusan itu diambil dalam rapat evaluasi Prolegnas 2025 yang digelar Baleg DPR RI dengan Menteri Hukum pada Selasa (9/9/2025).
Ketua Baleg DPR RI, Bob Hasan, mengatakan pihaknya menargetkan RUU itu bisa rampung dibahas tahun ini.
Meski demikian, ia tetap menekankan pentingnya pembahasan yang melibatkan masyarakat secara berarti.
“Targetnya tahun ini semuanya harus dibereskan,” kata Bob saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Menurut Bob, publik harus mengetahui isi RUU Perampasan Aset, bukan hanya judulnya.
DPR akan menjelaskan substansi RUU itu, termasuk yang menyangkut pidana pokok.
“Harus tahu seluruh publik apa isinya perampasan aset itu. Itu kalau secara makna,” ujar Bob.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/01/15/65a4f6481afe3.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Gaji dan Tunjangan DPR Dinilai Masih Terlalu Tinggi, Formappi Minta Evaluasi Lagi Nasional 6 September 2025
Gaji dan Tunjangan DPR Dinilai Masih Terlalu Tinggi, Formappi Minta Evaluasi Lagi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) meminta DPR RI mengevaluasi seluruh tunjangan yang didapat anggota dewan, menyusul masih tingginya gaji (take home pay/THP) yang diterima anggota dewan.
Jumlah THP yang diterima mencapai Rp 65 juta per bulan setelah DPR RI menghapus berbagai tunjangan, meliputi tunjangan perumahan Rp 50 juta, biaya langganan, daya listrik, jasa telepon, biaya komunikasi intensif, dan biaya tunjangan transportasi.
“Jenis tunjangan harus benar-benar dievaluasi manfaatnya,” kata Peneliti Formappi, Lucius Karus dalam keterangannya, Sabtu (6/9/2025).
“Kita mengharapkan agar setelah respons awal DPR dengan penghapusan tunjangan perumahan dan pengurangan nominal tunjangan untuk jenis tunjangan lain, DPR akan kembali melakukan pembenahan menyeluruh untuk jenis dan nominal tunjangan yang mereka terima,” imbuh Lucius.
Lucius bertanya-tanya mengapa DPR hanya berani menghapus tunjangan perumahan dan tunjangan lainnya secara tidak menyeluruh.
Tunjangan komunikasi intensif misalnya, masih diterima sebesar Rp 20 juta per bulan. Padahal, eksekusi tunjangan ini tidak jelas, menyusul banyak pihak yang merasa DPR selama ini tidak cukup aspiratif.
Belum lagi tunjangan jabatan dan tunjangan kehormatan bernilai fantastis yang masih didapat seorang anggota DPR RI.
“Ini kan dua tunjangan yang maknanya sama. Kenapa mesti dibikin menjadi dua jenis tunjangan? Apalagi nominal untuk masing-masingnya cukup besar, Rp 9,7 juta itu tunjangan jabatan, sementara Rp 7,1 juta untuk tunjangan kehormatan anggota DPR RI,” beber Lucius.
Tak hanya itu, ada pula tunjangan-tunjangan lain yang maknanya sama.
Lucius mengungkapkan, tunjangan itu adalah tunjangan peningkatan fungsi dan honorarium kegiatan.
“Pengikatan fungsi dewan juga tampak sama tujuannya, tetapi dibikin seolah-olah menjadi hal yang berbeda. Kan bisa terlihat kalau jenis atau item tunjangan ini menjadi semacam strategi untuk bisa menambah pundi-pundi saja,” kritik Lucius.
Selain itu, DPR masih memiliki tunjangan reses, tunjangan aspirasi, rumah aspirasi, dan lain-lain.
Tunjangan reses, lanjut Lucius, memang tidak diberi setiap bulan.
Tetapi jumlahnya cukup besar tiap anggota dewan melalui masa reses dan harus kunjungan ke daerah pemilihan (dapil) masing-masing.
Ia menekankan, kunjungan seorang anggota ke dapil mencapai 12 kali kunjungan yang dibagi menjadi 3 klaster, yakni kunjungan pada masa reses sebanyak 5 kali, kunjungan pada masa sidang dan atau masa reses sebanyak 1 kali setahun selama 5 hari, serta kunjungan di luar masa reses dan di luar masa sidang sebanyak 6 kali setahun.
“Kalau ditotalin jumlahnya menjadi 12 kali. Itu artinya tunjangan reses dan kunker ke dapil sama saja dengan tunjangan-tunjangan bulanan lain itu,” jelas Lucius.
Oleh karenanya, Lucius ingin DPR mengevaluasi menyeluruh tunjangan yang diterima.
Lucius tidak ingin DPR hanya mengakali bahwa tunjangan-tunjangan tersebut tidak masuk dalam bagian THP.
“Jadi dari kegiatan kunker dengan ragam jenisnya itu, pundi-pundi pendapatan anggota bisa jadi masih cukup banyak. Mestinya pimpinan DPR sekaligus menjelaskan soal varian kunker-kunker ini beserta klasifikasi tunjangannya masing-masing,” tandas Lucius.
Sebelumnya diberitakan, DPR RI mengumumkan take home pay anggotanya sebesar Rp 65 juta per bulan setelah tunjangan perumahan hingga tunjangan lainnya dipangkas merespons 17+8 Tuntutan Rakyat.
Penghapusan tunjangan merupakan salah satu dari 6 poin keputusan menindaklanjuti kritik masyarakat hingga demo berhari-hari sejak Senin (25/8/2025), yang dibacakan oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad di Gedung DPR, Jakarta, pada Jumat (5/9/2025).
“Pada hari ini kami menyampaikan hasil keputusan rapat konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi DPR RI yang dilaksanakan kemarin,” ujar Dasco, Jumat malam.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -

Anggota DPR Masih Terima Puluhan Juta, Formappi Desak Evaluasi Tunjangan Komunikasi dan Kehormatan
GELORA.CO – Tunjangan rumah anggota DPR sebesar Rp50 juta resmi dihapus. Namun, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus mendesak agar pemerintah turut mengevaluasi tunjangan komunikasi dan kehormatan.
Penghapusan tunjangan rumah, kata Lucius, belum signifikan. Pasalnya, take home pay anggota DPR RI masih dinilai besar yakni, Rp65 juta per bulan.
“Jika melihat total take home pay bulanan anggota yang masih di level Rp65 juta per bulan, tampaknya tak ada penyesuaian signifikan pada tunjangan-tunjangan lain DPR. Jadi hanya tunjangan perumahan saja yang benar-benar dengan berani dihapus oleh DPR,” tutur Lucius, Sabtu (6/9/2025).
Ia pun mempertanyakan langkah DPR RI yang hanya berani menghapus tunjangan perumahan tetapi tidak dengan tunjangan lain. Misalnya, tunjangan komunikasi intensif Rp20.033.000 per bulan.
“Kan banyak tuh yang nanya, eksekusi tunjangan komunikasi intensif dengan masyarakat itu apa? Beli pulsa, beli paket, atau apa? Seintensif apa komunikasi anggota DPR dengan dukungan tunjangan sebesar itu?” ucap dia.
Selain itu, kata dia, tunjangan jabatan dan kehormatan anggota DPR RI. Menurutnya, dua jenis tunjangan itu sama dan total nilainya bisa mencapai Rp17 juta.
“Kenapa mesti dibikin menjadi dua jenis tunjangan? Apalagi nominal untuk masing-masingnya cukup besar Rp9.700.000 itu tunjangan jabatan, sementara 7.187.000 untuk tunjangan kehormatan anggota DPR RI?” ucapnya.
Sekadar informasi, DPR RI telah resmi memangkas tunjangan dan fasilitas anggota dewan. Hal ini sekaligus menjawab 17+8 Tuntutan Rakyat.
“DPR RI akan memangkas tunjangan dan fasilitas anggota DPR. Setelah evaluasi, meliputi biaya langganan daya listrik, jasa telepon, biaya komunikasi intensif, dan biaya tunjangan transportasi,” kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad, Jumat (5/9/2025).
DPR memutuskan menghentikan pemberian tunjangan perumahan Rp50 juta bagi anggotanya. Meski begitu, DPR masih mendapat gaji dan tunjangan lain dengan nilai bersih atau take home pay yang dikantongi per bulan mencapai Rp 65.595.730.
Adapun rincian gaji pokok dan tunjangan jabatan yang melekat pada anggota DPR RI sebagai berikut:
– Gaji Pokok: Rp4.200.000 (PP 75/200)
– Tunjangan Suami/Istri Pejabat: Rp420.000 (PP 51/1992)
– Tunjangan Anak Pejabat Negara: Rp168.000 (PP 51/1992)
– Tunjangan Jabatan: Rp9.700.000 (PP 59/2003)
– Tunjangan Beras Pejabat Negara: Rp289.680 (Keppres 9/1982)
– Uang Sidang/Paket: Rp2.000.000 (Surat Keppres 60/2003)
– Total: Rp16.777.680
Tunjangan Konstitusional
– Biaya Peningkatan Komunikasi Intensif dengan Masyarakat: Rp20.033.000
– Tunjangan Kehormatan Anggota DPR: Rp7.187.000
– Pelaksanaan Fungsi Pengawasan dan Anggaran sebagai pelaksana konstitusional Dewan: Rp4.830.000
Honorarium
– Fungsi Legislasi: Rp8.461.000
– Fungsi Pengawasan: Rp8.461.000
– Fungsi Anggaran: Rp8.461.000
Total: Rp57.433.000
Total Bruto: Rp74.210.680
Pajak PPH 15 persen: Rp8.614.950
Take Home Pay: Rp65.595.730
-

Sorotan soal Gaji Usai Anggota DPR Dinonaktifkan
Jakarta –
Anggota DPR yang dinonaktifkan karena kontroversial hingga melukai hati rakyat kini mendapat sorotan publik. Pasalnya, mereka masih menerima gaji meski berstatus nonaktif.
Adapun mereka yang dinonaktifkan itu yakni yakni Ahmad Sahroni, Nafa Urbach dari fraksi NasDem, Eko Hendro Purnomo (Eko Patrio), Surya Utama (Uya Kuya) dari fraksi PAN dan Adies Kadir dari fraksi Golkar. Apa sebenarnya makna status anggota DPR nonaktif?
Tak Terima Tunjangan Fasilitas
Ketua MKD DPR RI, Nazaruddin Dek Gam, menegaskan penonaktifan anggota DPR bermasalah penting dilakukan untuk menjaga marwah lembaga legislatif.
“Kami minta ketua umum parpol untuk menonaktifkan anggota DPR yang bermasalah. Kalau sudah dinonaktifkan, artinya mereka tidak bisa lagi beraktivitas sebagai anggota DPR,” kata Nazaruddin kepada wartawan, Minggu (31/8/2025).
Menurutnya, status nonaktif bukan sekadar simbolik. Dia mengatakan para anggota yang dinonaktifkan tak akan mendapat fasilitas lagi.
“Dengan dinonaktifkan, otomatis mereka juga tidak bisa mendapatkan fasilitas ataupun tunjangan sebagai anggota DPR RI,” ujarnya.
Nazaruddin menegaskan MKD akan terus mendorong ketua umum parpol mengambil sikap tegas demi menjaga integritas DPR.
“Kalau tidak ada langkah dari parpol, masyarakat bisa menilai DPR ini lembaga yang tidak serius menjaga kehormatannya,” tutupnya.
Masih Terima Gaji
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah buka suara mengenai persoalan tersebut. Said mengatakan secara teknis anggota DPR RI yang dinonaktifkan tersebut masih menerima gaji.
“Kalau dari sisi aspek itu (teknis) ya terima gaji,” kata Said di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/9/2025).
Namun, Said menjelaskan dalam UU MD3 dan Tata Tertib DPR RI, tak ada istilah nonaktif. Meski begitu, dia menghormati sikap PAN, NasDem dan Golkar.
“Baik tatib maupun Undang-undang MD3, memang tidak mengenal istilah nonaktif,” ujarnya.
“Namun saya menghormati keputusan yang diambil oleh NasDem, PAN, Golkar, dan seharusnya pertanyaan itu dikembalikan kepada ketiga partai tersebut, supaya moralitas saya tidak melangkahi itu, dan tidak boleh lah ya,” sambung dia.
Publik lantas menyorot anggota DPR yang masih menerima gaji meski berstatus nonaktif. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai jika penonaktifan itu hanya untuk menyembunyikan anggota DPR bermasalah untuk sementara.
“Fraksi atau partai nampak tak ingin kehilangan 5 anggota mereka hanya karena dituntut publik. Mereka hanya ‘disembunyikan’ sementara waktu sambil menunggu perkembangan selanjutnya. Kalau situasi sudah tenang beberapa waktu kemudian, kelima anggota ini akan diaktifkan lagi,” kata Lucius kepada wartawan, Selasa (2/9/2025).
Lucius menyebut pemilihan diksi menonaktifkan 5 anggota DPR nampaknya lebih untuk menunjukkan respons cepat partai politik atas banyaknya tuntutan yang muncul dari publik. Menurutnya, diksi nonaktif tak ditemukan dalam UU MD3 sebagai dasar melakukan pergantian antara waktu (PAW) anggota DPR.
“Karena itu bisa dikatakan penonaktifan 5 anggota itu bermakna bahwa kelimanya hanya tak perlu beraktivitas dalam kegiatan-kegiatan DPR untuk sementara waktu tanpa mencabut hak-hak anggota sebagaimana yang lain,” ucap Lucius.
“Anggota-anggota non aktif ini akan tetap mendapatkan hak-hak sebagai anggota walau tak perlu bekerja,” tambahnya.
Dia menyebut nonaktif dari jabatan adalah istilah untuk meliburkan anggota DPR dari kegiatan pokoknya dengan tetap mendapatkan jatah anggaran dari DPR. Atas hal itu, Lucius tak melihat ada sanksi dari partai kepada anggotanya yang dituntut publik untuk bertanggungjawab atas perkataan dan perbuatannya.
“Dengan demikian fraksi atau partai tak mengakui bahwa apa yang dituntut publik terhadap anggota-anggota itu sesuatu yang salah menurut partai atau fraksi. Putusan menonaktifkan adalah pernyataan pembelaan parpol atas kader mereka dengan sedikit upaya untuk menyenangkan publik sesaat saja,” ujarnya.
Lucius mengatakan jika partai mengakui kesalahan kadernya yang membuat publik marah, seharusnya mengambil langkah pemberhentian. Menurutnya, dengan pemberhentian maka partai memaknai penolakan publik sebagai penarikan mandat atas kader yang dianggap tidak bisa dipercaya lagi mewakili rakyat.
“Dengan pemberhentian, maka akan ada proses PAW, sekaligus memastikan kelima orang itu tidak punya tanggungjawab secara moral dan politis untuk menjadi wakil rakyat,” tegasnya.
Lihat juga Video ‘Kata Bahlil soal Anggota DPR Nonaktif Masih Terima Gaji’:
Halaman 2 dari 2
(eva/wnv)
-
/data/photo/2025/09/01/68b519ea25167.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Formappi Sebut Status Nonaktif Hanya untuk "Sembunyikan" Sahroni-Uya Kuya Nasional 1 September 2025
Formappi Sebut Status Nonaktif Hanya untuk “Sembunyikan” Sahroni-Uya Kuya
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, tindakan sejumlah partai politik menonaktifkan kadernya di DPR RI hanya untuk “menyembunyikan” mereka selama beberapa waktu.
Adapun sejumlah anggota DPR RI itu adalah Ahmad Sahroni (Nasdem), Nafa Urbach (Nasdem), Adies Kadir (Golkar), Eko Patrio (PAN), dan Uya Kuya (PAN) yang pernyataan atau tindakannya membuat publik marah.
“Mereka hanya ‘disembunyikan’ sementara waktu sambil menunggu perkembangan selanjutnya,” kata Lucius saat dihubungi
Kompas.com
, Senin (1/9/2025).
Menurut Lucius, dalam Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), tidak ada ada istilah nonaktif untuk anggota DPR.
Ia menduga, keputusan partai politik yakni, PAN, Nasdem, dan Golkar itu hanya menjadi respons cepat untuk menanggapi tuntutan publik.
Dengan menonaktifkan kelima orang tersebut, kata Lucius, mereka tidak perlu bekerja namun tetap menerima gaji dan fasilitas anggota dewan.
“Jadi tidak terlihat ada sanksi yang diberikan oleh partai kepada anggota yang dituntut publik bertanggung jawab atas perkataan dan perbuatan mereka,” ujar Lucius.
Lebih lanjut, Lucius melihat keputusan partai menonaktifkan Sahroni dan kawan-kawan hanya menyenangkan publik untuk sesaat.
Menurutnya, pimpinan partai politik mestinya memberhentikan mereka jika mendengar kemarahan rakyat.
“Dengan pemberhentian maka partai atau fraksi memaknai penolakan publik sebagai penarikan mandat atas kader-kader karena dianggap tidak bisa dipercaya lagi mewakili rakyat,” kata Lucius.
Sebelumnya, sejumlah anggota DPR RI dinonaktifkan oleh partainya setelah menyampaikan pernyataan yang membuat publik marah.
Mereka adalah Sahroni dan Nafa Urbach yang dinonaktifkan oleh Partai Nasdem, Eko Patrio dan Uya Kuya yang dinonaktifkan PAN, dan Adies Kadir yang dinonaktifkan Golkar.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/25/68abe506e979b.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Tingkah Laku dan Pernyataan Anggota DPR yang Buat Rakyat Marah… Nasional
Tingkah Laku dan Pernyataan Anggota DPR yang Buat Rakyat Marah…
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Suara-suara kritik terhadap lembaga legislatif memenuhi jagat media sosial sepanjang Agustus 2025.
Seruan seperti “Bubarkan DPR!” pun berseliweran di lini masa.
Kondisi ini menggambarkan kepercayaan publik pada “wakil rakyat” di Senayan yang mulai memudar karena kekecewaan yang dirasakan.
Gelombang kritik terhadap DPR sebenarnya bukan hal baru.
Isu soal gaji dan tunjangan jumbo anggota Dewan bahkan sudah lebih dulu memicu perdebatan publik.
Namun, kontroversi itu semakin menjadi sorotan setelah Wakil Ketua DPR RI Adies Kadir menyampaikan pernyataan yang keliru mengenai kenaikan drastis tunjangan para legislator.
Pada Selasa (19/8/2025), Adies menyebut tunjangan beras untuk anggota Dewan mencapai Rp 10 juta dan naik menjadi Rp 12 juta per bulan.
Dia juga menyatakan tunjangan bensin meningkat dari Rp 3 juta menjadi Rp 7 juta.
Pernyataan itu langsung menyulut amarah publik. Angka fantastis tersebut dirasa terlalu besar di tengah kondisi ekonomi rakyat yang sulit.
Keesokan harinya, Adies buru-buru mengklarifikasi pernyataannya.
Dia mengaku salah menyampaikan data mengenai tunjangan bagi anggota DPR.
“Setelah saya cek di kesekjenan, ternyata tidak ada kenaikan, baik itu gaji maupun tunjangan seperti yang saya sampaikan,” ujar Adies, di Gedung DPR RI, Rabu (20/8/2025).
Dia mengatakan, tunjangan beras sejatinya hanya Rp 200.000 per bulan dan tidak berubah sejak 2010.
Begitu pula tunjangan bensin yang tetap Rp 3 juta.
Gaji pokok pun, kata dia, sekitar Rp 6,5 juta per bulan, tak naik dalam 15 tahun terakhir.
Namun, penjelasan itu tidak serta-merta meredakan kemarahan publik yang telah lebih dulu menghitung nominal besar “
take home pay
” para anggota DPR.
Terlebih lagi, Adies tak menampik bahwa anggota DPR kini mendapat tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan, sebagai pengganti fasilitas rumah dinas anggota DPR yang tak lagi didapatkan.
Tak lama setelah klarifikasi Adies, giliran Nafa Urbach yang menuai sorotan.
Artis yang kini duduk sebagai anggota DPR Komisi IX dari Fraksi NasDem itu menyampaikan dukungannya terhadap tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan.
“Anggota Dewan itu kan enggak orang Jakarta semua, guys. Itu kan dari seluruh pelosok Indonesia. Nah, mereka diwajibkan kontrak rumahnya dekat-dekat Senayan supaya memudahkan menuju DPR,” kata Nafa, dalam siaran langsung di media sosial.
Dia bahkan membandingkan dengan dirinya yang tinggal di Bintaro dan harus bergulat dengan kemacetan setiap kali menuju Senayan.
Namun, bukannya mendapat dukungan publik, pernyataannya justru mengundang hujan kritik.
Publik menilai, Nafa gagal membaca situasi. Dia pun akhirnya meminta maaf.
“
Guyss maafin aku yah klo statement aku melukai kalian
,” tulisnya di Instagram Story, Jumat (22/8/2025).
Nafa berjanji akan menjadikan kritik sebagai pengingat agar lebih sungguh-sungguh bekerja.
Kemudian, muncul pernyataan pedas Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Syahroni kepada publik yang mengkritik DPR.
Syahroni melontarkan kalimat yang kian memperkeruh suasana ketika menanggapi seruan “Bubarkan DPR” di media sosial.
“Catat nih, orang yang cuma mental bilang ‘bubarin DPR’, itu adalah orang tolol se-dunia,” ujarnya dalam kunjungan kerja di Medan, Jumat (22/8/2025).
“Kenapa? Kita ini memang orang pintar semua? Enggak. Bodoh semua kita, tetapi ada tata cara kelola bagaimana menyampaikan kritik yang harus dievaluasi oleh kita,” sambung dia.
Ucapan itu sontak memicu gelombang kecaman baru.
Publik menilai, Syahroni merendahkan rakyat yang tengah meluapkan kekecewaan.
Sahroni memahami bahwa publik memang memiliki hak untuk menyampaikan kritik, tetapi jangan berlebihan.
Sebab DPR tetap bekerja dan berempati kepada rakyat.
“Kami memang belum tentu benar, belum tentu hebat, enggak, tetapi minimal kami mewakili kerja-kerja masyarakat,” ucap Syahroni.
Belum reda amarah publik, tingkah anggota DPR sekaligus mantan komedian, Eko Patrio, kembali memancing kritik.
Bukannya menahan diri, Eko malah mengunggah parodi sebagai operator Sound Horeg.
Unggahan ini pun dianggap menantang rakyat yang tengah mengkritik pedas DPR.
Terlebih lagi, video Eko yang berjoget dalam Sidang Tahunan MPR 2025 sudah lebih dulu viral di jagat maya.
“Enggak ada (maksud apa-apa). Malah jauh banget itu (tafsirnya). Seandainya ada yang bagaimana-bagaimana, ya saya sebagai pribadi minta maaf lah,” ujar Eko, di Senayan Park, Jakarta, Minggu (24/8/2025) malam.
Eko menekankan dirinya tidak memiliki maksud apa pun dengan membuat video tersebut.
Dia mengeklaim pembuatan video itu hanya dalam rangka pembubaran panitia 17 Agustus-an.
“Enggak ada maksud apa-apa. Memang itu kemarin kan kita acara pembubaran panitia 17 Agustus-an,” ucap Eko.
Meski akhirnya Eko meminta maaf, warganet telanjur menilai sikapnya jauh dari empati.
Puncak kekecewaan publik terjadi Senin (25/8/2025), saat ribuan demonstran memenuhi kawasan Senayan.
Poster-poster tuntutan bertuliskan “DPR: Dewan Pembeban Rakyat”, “Bubarkan DPR”, “Sahkan RUU Perampasan Aset”, hingga “Stop Komersialisasi Pendidikan” dibentangkan.
Orasi berisi kritik soal penolakan tunjangan besar DPR disuarakan dengan lantang.
Aksi yang awalnya berlangsung damai berujung ricuh setelah aparat memukul mundur massa dari depan Gedung DPR/MPR.
Tindakan represif aparat yang menyemprotkan air hingga menembakkan gas air mata, membuat massa terpencar menjadi kelompok-kelompok kecil di Jalan Gatot Subroto, Jalan Gerbang Pemuda hingga kawasan Pejompongan.
Kerusuhan pun tak terhindarkan. Sejumlah fasilitas umum dirusak, motor dibakar, dan pos polisi juga menjadi sasaran amukan massa.
Bagi banyak demonstran, aksi itu bukan hanya soal gaji dan tunjangan jumbo DPR, tetapi juga tentang perasaan ditinggalkan dan dipermalukan oleh wakilnya sendiri.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai, sikap anggota DPR yang menyetujui tunjangan perumahan menjadi bukti bahwa mereka telah kehilangan
sense of crisis
.
“Kalau DPR punya
sense of crisis
, memilih prihatin dengan menggunakan fasilitas rumah dinas yang masih bagus akan menjadi pilihan. Sehingga uang tunjangan Rp 50 juta per orang itu diperuntukkan bagi rakyat saja,” ujar Lucius, kepada Kompas.com.
Bahkan, Lucius menilai besarnya tunjangan dan gaji DPR RI tak berbanding lurus dengan kinerja lembaga legislatif.
Dia pun menyoroti capaian DPR periode 2024-2029 yang dinilai masih minim.
Dari 42 rancangan undang-undang (RUU) yang masuk daftar prioritas tahun 2025, DPR baru mengesahkan satu RUU, yaitu revisi UU TNI.
Sementara 13 RUU lain yang berhasil disahkan, lanjut Lucius, justru berasal dari daftar kumulatif terbuka.
Misalnya, RUU tentang pembentukan provinsi atau kabupaten/kota, serta tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yakni RUU BUMN dan RUU Minerba.
“Jadi yang benar-benar menampakkan visi politik legislasi DPR baru satu RUU saja,” ujar Lucius.
Dengan tunjangan besar yang diterima, seharusnya tak ada hambatan bagi DPR bekerja maksimal demi rakyat.
“Sayangnya, tunjangan itu malah memanjakan anggota DPR,” pungkas Lucius.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2024/09/24/66f28dd095f27.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Formappi: Kalau Punya Sense of Crisis, DPR Pasti Pilih Rumah Dinas daripada Tunjangan Tambahan Nasional 19 Agustus 2025
Formappi: Kalau Punya Sense of Crisis, DPR Pasti Pilih Rumah Dinas daripada Tunjangan Tambahan
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai keputusan DPR RI menerima tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan, menunjukkan bahwa anggota dewan tidak memiliki
sense of crisis
.
Sebab, kebijakan tersebut justru dikeluarkan di tengah kondisi keuangan negara yang memburuk dan kesulitan ekonomi masyarakat.
“Kalau DPR punya
sense of crisis
, memilih prihatin dengan menggunakan fasilitas rumah dinas yang masih bagus akan menjadi pilihan. Sehingga uang tunjangan Rp 50 juta per orang itu diperuntukkan bagi rakyat saja,” ujar Lucius saat dihubungi
Kompas.com
, Selasa (19/8/2025).
Lucius menilai dasar perhitungan tunjangan tersebut tidak jelas dan lebih mencerminkan kepentingan pribadi ketimbang kepentingan rakyat.
“Soal tunjangan perumahan Rp 50 juta per bulan itu sih, dasar perhitungannya enggak jelas. Dari mana memperoleh angka Rp 50 juta itu, kalau sebenarnya yang digunakan adalah
common sense
saja,” kata Lucius.
Dia berpandangan bahwa penambahan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per orang setiap bulannya, sama saja dengan mengambil alokasi anggaran yang seharusnya lebih bisa digunakan untuk kepentingan rakyat.
Oleh karena itu, lanjut Lucius, seharusnya anggota DPR memilih sikap prihatin, dengan menggunakan fasilitas rumah dinas yang sebetulnya masih layak ketimbang meminta tambahan tunjangan.
“Yang tampak jelas, tidak ada
sense of crisis
dalam pertimbangan angka pengganti rumah dinas itu. Anggota DPR justru memilih memastikan uang untuk diri mereka sendiri ketimbang memikirkan bagaimana rakyat bisa bertahan di tengah gebrakan efisiensi pemerintah,” kata Lucius.
Diberitakan sebelumnya, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Indra Iskandar membantah bahwa gaji anggota DPR mencapai Rp 100 juta per bulan.
Indra menekankan bahwa tunjangan perumahan yang diterima anggota DPR berbeda dengan gaji.
“Salah itu kalau gaji Rp 100 juta. Cek saja ke Kemenkeu. Kalau tunjangan perumahan itu beda dengan gaji,” ujar Indra kepada Kompas.com, Senin (18/8/2025).
Indra memaparkan bahwa gaji anggota DPR masih berlandaskan Surat Edaran (SE) Setjen DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010.
Menurutnya, gaji pokok anggota DPR masih mengacu pada PP Nomor 75 Tahun 2000.
Untuk nominal tunjangan perumahan yang diterima anggota DPR, Indra membenarkan bahwa angkanya mencapai Rp 50 juta per bulan.
“Iya betul,” ucapnya.
Dengan demikian, kata Indra, gaji anggota DPR tidak mencapai setengah dari Rp 100 juta, seperti yang diberitakan.
“Iya, di luar tunjangan perumahan itu enggak sampai setengahnya,” imbuh Indra.
Sementara itu, Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR Said Abdullah menegaskan bahwa pemberian tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan kepada para anggota DPR jauh lebih efisien.
Said lantas membandingkan dengan biaya perawatan rumah dinas anggota DPR di Kalibata, Jakarta Selatan, yang bisa mencapai angka ratusan miliar per tahun.
“Lebih baik tunjangan perumahan daripada ratusan miliar setiap tahun untuk memperbaiki RJA (Rumah Jabatan Anggota). Rehab RJA, jaga tamannya RJA, satpamnya RJA, kerusakan-kerusakan perumahan RJA itu kan gede,” ujar Said di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (19/8/2025).
“Lebih efisien, tunjangan perumahan. RJA kita kembalikan ke negara, biar negara yang merawat atau bagi eselon-eselon di pemerintahan yang belum dapat perumahan,” sambungnya.
Ia kemudian menyinggung DPD yang justru sudah mendapat tunjangan perumahan lebih dulu ketimbang DPR.
“DPD itu tunjangan perumahannya sudah duluan dapat. Jangan salah. Justru sejak awal, karena memang RJA itu sudah tidak punya daya dukung terhadap kerja-kerja DPR. Maka DPR kemudian mengambil tunjangan perumahan. RJA sudah kosong, dikembalikan kepada Setneg (Sekretariat Negara),” jelas Said.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

