Presidential Threshold Dihapus, Mayoritas Parpol Diyakini Siap Usung Capres Sendiri
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Peneliti Senior dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli meyakini mayoritas partai politik siap mencalonkan kandidatnya sendiri pada Pilpres mendatang, setelah tidak adanya
presidential threshold
.
Di samping itu, partai politik pun kini memiliki keleluasaan yang lebih dalam mencari
calon presiden
dan wakil presiden yang akan diusungnya.
“Saya kira para parpol tersebut sudah sangat siap, jika dari dalam parpol tidak ada, bisa mencalonkan dari kalangan non parpol. Cukup banyak calon-calon pemimpin terbaik untuk bangsa ini,” ujar Romli kepada
Kompas.com
, Senin (13/1/2025).
Menurut Romli, penghapusan ambang batas pencalonan presiden menjadi angin segar bagi pesta demokrasi 5 tahunan di Indonesia. Sebab, ajang Pilpres akan lebih kompetitif dengan lebih banyak kandidat yang bersaing.
Masyarakat pun bakal memiliki lebih banyak alternatif pilihan calon presiden dan wakil presiden untuk dipilih menjadi pemimpin negara.
“Tanpa
presidential threshold
akan muncul beragam kandidat dan akan kompetitif. Rakyat sebagai pemilih akan mempunyai beberapa alternatif pilihan sehingga nanti yang terbaik yang akan muncul dan terpilih,” kata Romli.
Meski begitu, lanjut Romli, tindak lanjut dari penghapusan ambang batas pencalonan presiden oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berada di tangan pemerintah dan DPR.
Sebab, diperlukan revisi Undang-Undang (UU) terkait Pemilu agar pelaksanaan Pilpres tanpa
presidential threshold
bisa diterapkan pada pesta demokrasi mendatang.
“Sekarang bola ada pada pembuat UU, pemerintah dan DPR, yang notabene orang partai juga. Kita berharap akan melaksanakan putusan MK sebaik baiknya, tidak membelokkan dan atau mengabaikan,” ungkap Romli.
“Acuan rekayasa konstitusional yang diberikan oleh MK menjadi acuan atau rujukan dalam merevisi UU pemilu,” sambungnya.
Romli menambahkan bahwa pemerintah dan DPR harus benar-benar mematuhi putusan MK dalam merevisi UU demi perbaikan sistem Pemilu ke depan.
“Revisi UU tersebut harus sesuai dengan putusan MK, kalau tidak bisa terulang lagi kejadian demo besar-besaran saat DPR menolak putusan MK tentang ambang batas pencalonan pilkada,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan menghapus presidential threshold melalui putusan perkara nomor 62/PPU-XXII/2025 pada Kamis, 2 Januari 2025.
Dalam putusan tersebut, MK juga mempertimbangkan perpolitikan Indonesia yang cenderung mengarah pada pencalonan tunggal. Selain itu, ambang batas pencalonan juga dinilai sebagai bentuk pelanggaran moral yang tidak bisa ditoleransi lantaran memangkas hak rakyat mendapat lebih banyak pilihan calon presiden.
Oleh karena itu, Mahkamah menyatakan norma hukum Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Pasal 222 UU Pemilu sebelumnya berbunyi, “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya”.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Lili Romli
-
/data/photo/2018/07/12/2834729712.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Presidential Threshold Dihapus, Mayoritas Parpol Diyakini Siap Usung Capres Sendiri Nasional 13 Januari 2025
-

Untung rugi satu atau dua putaran dalam Pilkada Jakarta 2024
Anggota KPPS menghitung hasil surat suara Pilkada DKI Jakarta 2024 di TPS 32 Kebon Melati, Tanah Abang, Jakarta, Rabu (27/11/2024). . ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/YUb
Untung rugi satu atau dua putaran dalam Pilkada Jakarta 2024
Dalam Negeri
Editor: Novelia Tri Ananda
Kamis, 28 November 2024 – 09:45 WIBElshinta.com – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2024 menjadi sorotan utama dalam kancah politik Indonesia. Dengan persaingan ketat antara pasangan calon Pramono Anung-Rano Karno dan Ridwan Kamil-Suswono, pertanyaan yang muncul adalah apakah Pilkada ini akan selesai dalam satu putaran atau harus berlanjut ke putaran kedua?
Aktivis sekaligus mantan relawan Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Haris Rusly Moti, sangat meyakini Pilkada Jakarta akan memasuki putaran kedua yang diperkirakan bakal mempertemukan Ridwan Kamil – Suswono dan Pramono Anung – Rano Karno.
Sementara Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Politik Puan Maharani justru optimistis pasangan calon gubernur dan wakil gubernur nomor urut 3 Pramono Anung-Rano Karno bisa menang satu putaran pada Pemilihan Kepala Daerah Jakarta tahun 2024.
Memahami implikasi dari kedua skenario ini penting bagi masyarakat dan pemerintah dalam merespons dinamika politik yang berkembang. Jika salah satu pasangan calon berhasil meraih lebih dari 50 persen suara pada putaran pertama, Pilkada akan selesai dalam satu putaran.
Keuntungan utama dari skenario ini adalah stabilitas politik yang lebih cepat tercapai. Pemerintah daerah dapat segera berfokus pada implementasi program kerja tanpa terganggu oleh proses pemilihan yang berkepanjangan. Selain itu, biaya penyelenggaraan Pilkada dapat diminimalisir, mengingat putaran kedua memerlukan anggaran tambahan yang tidak sedikit.
Namun, kemenangan telak dalam satu putaran juga dapat menimbulkan tantangan. Dominasi satu pasangan calon mungkin mengurangi ruang bagi oposisi untuk berperan aktif, yang esensial dalam mekanisme check and balance. Oleh karena itu, meskipun stabilitas tercapai, dinamika demokrasi harus tetap dijaga agar aspirasi berbagai kelompok masyarakat tetap terwakili.
Jika tidak ada pasangan calon yang mencapai ambang 50 persen +1 suara, Pilkada akan berlanjut ke putaran kedua. Skenario ini membuka peluang bagi masyarakat untuk lebih mengenal visi dan misi pasangan calon yang tersisa. Debat dan kampanye tambahan dapat memberikan informasi lebih mendalam, memungkinkan pemilih membuat keputusan yang lebih terinformasi.
Namun, putaran kedua juga memiliki konsekuensi. Proses yang lebih panjang dapat memperpanjang ketegangan politik dan sosial. Selain itu, biaya tambahan untuk penyelenggaraan dan kampanye dapat membebani anggaran pemerintah dan pasangan calon. Risiko meningkatnya politik uang dan praktik negatif lainnya juga perlu diwaspadai, mengingat intensitas persaingan yang semakin tinggi.
Lili Romli, peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sekarang BRIN, pernah meriset tentang Perdebatan Sistem Pemilihan Umum Legislatif pada Pemilu Serentak 2019 yang dimuat dalam Jurnal DPR. Dalam risetnya ia membahas kelebihan dan kekurangan berbagai sistem pemilu, termasuk sistem dua putaran (runoff) dan dampaknya terhadap representasi politik serta stabilitas pemerintahan.
Ia mengkaji bagaimana sistem pemilu mempengaruhi partisipasi pemilih, efektivitas pemerintahan, dan keadilan dalam representasi politik. Dan ia menemukan bahwa sistem satu putaran dinilai lebih efisien secara biaya dan waktu, namun cenderung menghasilkan representasi yang kurang legitimate karena pemenang tidak selalu mendapat mayoritas mutlak.
Sebaliknya, sistem dua putaran lebih menjamin legitimasi pemenang dengan mayoritas suara, tetapi membutuhkan sumber daya lebih besar dan berpotensi menciptakan instabilitas politik antara dua putaran. Riset ini menyoroti dilema mendasar dalam pemilihan sistem pemilu yakni efisiensi versus legitimasi. Sistem satu putaran cocok untuk negara yang ingin mengurangi biaya dan waktu penyelenggaraan pemilu, tetapi harus siap menghadapi tantangan legitimasi politik.
Sebaliknya, sistem dua putaran menjanjikan hasil yang lebih representatif dan demokratis, tetapi memerlukan biaya lebih besar dan memiliki risiko instabilitas.
Partisipasi Aktif
Baik satu atau dua putaran, sejatinya masyarakatlah yang memegang peran kunci dalam menentukan arah Pilkada. Partisipasi aktif dalam proses pemilihan, mulai dari menghadiri kampanye hingga menggunakan hak suara, sangat penting. Pemilih harus kritis dalam menilai program kerja dan rekam jejak pasangan calon, bukan hanya terpengaruh oleh popularitas atau janji manis.
Selain itu, masyarakat harus waspada terhadap informasi palsu atau hoaks yang dapat memecah belah persatuan dan kekompakan. Edukasi politik dan literasi media menjadi krusial agar pemilih tidak mudah terprovokasi dan dapat membuat keputusan berdasarkan fakta.
Sementara Pemerintah, melalui Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), harus memastikan proses Pilkada berjalan jujur, adil, dan transparan. Netralitas aparat negara menjadi syarat mutlak agar kepercayaan publik terjaga. Pemerintah juga harus siap dengan skenario satu atau dua putaran, termasuk dalam hal anggaran dan logistik, untuk memastikan kelancaran proses pemilihan.
Edukasi politik kepada masyarakat perlu ditingkatkan, terutama terkait pentingnya partisipasi dan cara mengenali informasi yang valid. Pemerintah dapat bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil dan media untuk menyebarkan informasi yang akurat dan mendidik.
Demokrasi Partisipatoris
Pilkada Jakarta 2024 juga dapat menjadi momentum untuk mendorong demokrasi yang lebih partisipatoris. Selain memilih pemimpin, masyarakat harus dilibatkan dalam perumusan kebijakan publik. Forum-forum dialog antara pemerintah dan warga perlu diintensifkan agar aspirasi masyarakat terakomodasi dengan baik.
Pemerintah daerah yang terpilih harus membuka ruang partisipasi bagi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam menjalankan pemerintahan, sehingga kepercayaan publik dapat terjaga dan partisipasi masyarakat meningkat.
Apakah Pilkada Jakarta 2024 akan berlangsung satu atau dua putaran, masing-masing memiliki implikasi yang signifikan. Stabilitas dan efisiensi menjadi keuntungan dari satu putaran, sementara dua putaran dapat memperkaya dinamika demokrasi. Masyarakat dan pemerintah harus berperan aktif dan bijak dalam menyikapi proses ini, dengan tujuan akhir mewujudkan pemerintahan yang demokratis, transparan, dan akuntabel.
Pilkada DKI Jakarta 2024 bukan hanya soal memilih siapa yang akan memimpin ibu kota, melainkan menjadi cerminan kedewasaan demokrasi bangsa. Dengan segala dinamika dan tantangan yang menyertai, proses ini memberikan peluang untuk memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada.
Hasil akhir dari Pilkada ini diharapkan tidak hanya menghasilkan pemimpin yang kompeten dan visioner, tetapi juga memperkokoh semangat persatuan dan kesatuan di tengah keberagaman. Sebab, pada akhirnya, Pilkada adalah tentang masa depan bersama, di mana setiap suara memiliki peran penting dalam menentukan arah perjalanan bangsa.
Dengan demikian, Pilkada bukan sekadar menimbang untung rugi atau tidak hanya menjadi ajang memilih pemimpin, tetapi juga sarana memperkuat kualitas demokrasi di Indonesia.
Sumber : Antara
