Tag: Lestari Moerdijat

  • Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD 45 karena Pisahkan Pemilu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai
    Nasdem
    menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) terkait
    pemisahan pemilu
    adalah melanggar konstitusi serta mencuri kedaulatan rakyat. Begini pernyataan lengkap
    NasDem
    .
    Pernyataan sikap partai ini disampaikan di Nasdem Tower, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025) malam.
    Pernyataan sikap ini disampaikan oleh Anggota Majelis Tinggi
    Partai Nasdem
    Lestari Moerdijat, yang disaksikan oleh sejumlah kader Nasdem.
    Adapun kader-kader yang hadir meliputi Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    Ada pula Ketua Komisi II DPR RI yang merupakan kader Nasdem, Rifqinizamy Karyasuda.
    DPP Partai Nasdem menilai putusan tersebut
    inkonstitusional
    sehingga mencuri kedaulatan masyarakat.

    Nasdem pun beranggapan bahwa
    putusan MK
    seolah mengambil tanah legislasi.
    “Sehubungan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 menyangkut pemisahan skema pemilihan umum, Dewan Pimpinan Pusat
    Partai NasDem
    menyampaikan bahwa terdapat problematik ketatanegaraan yang dapat menimbulkan ketidakpastian bernegara,” kata Lestari memulai pernyataan sikap.
    Berikut adalah 10 poin yang disampaikan Lestari Moerdijat mewakili DPP Partai NasDem:
    1. Kewenangan MK dalam UUD NRI 1945 Pasal 24C Ayat (1) menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
    2. Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock konstitutional. Sebab, apabila putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi. Pasal 22E UUD NRI 1945 menyatakan pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali [ayat (1)]. Kemudian, pemilu (sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut) diselenggarakan untuk memilih Presiden-Wakil Presiden, anggota DPR, DPD, dan DPRD [ayat (2)]. Dengan demikian, ketika setelah 5 tahun periode DPRD tidak dilakukan pemilu DPRD maka terjadi pelanggaran konstitusional.
    3. MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah). MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi.
    4. MK melanggar prinsip kepastian hukum, yakni prinsip hukum yang tidak mudah berubah, bahwa putusan hakim harus konsisten. Dari sini jelas menegaskan pentingnya kepastian hukum dan stabilitas dalam sistem hukum, dan putusan hakim yang tidak konsisten dan berubah-ubah dapat menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem hukum; ini sebagai moralitas internal dari sistem hukum.
    5. Pemisahan skema pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI dengan Kepala Daerah dan DPRD adalah melanggar UUD NRI 1945 dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional. Hal ini bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap 5 tahun sekali. Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan Kepala Daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22E UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam Putusan MK 95/2022, sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda.
    6. MK, dalam kapasitas sebagai guardian of constitution, tidak diberikan kewenangan untuk mengubah norma dalam UUD, sehingga putusan MK terkait pergeseran pemilihan kepala daerah dan DPRD melampaui masa pemilihan 5 tahun adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan Pasal 22B UUD NRI 1945.
    7. Bahwa perpanjangan masa jabatan anggota DPRD setelah selesai periode 5 tahun, akan menempatkan para anggota DPRD tersebut bertugas dan menjabat tanpa landasan demokratis, padahal jabatan anggota DPRD adalah jabatan politis yang hanya dapat dijalankan berdasarkan hasil pemilu sebagaimana Pasal 22E UUD NRI 1945. Artinya, berdasarkan konstitusi, tidak ada jalan lain selain pemilu yang dapat memberikan legitimasi seseorang menjadi anggota DPRD. Menjalankan tugas perwakilan rakyat tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat melalui pemilu adalah inkonstitusional.
    8. Perubahan sistem pemilu berdasarkan putusan MK yang mengambil posisi positive legislator ini harus dirunut sejak putusan MK yang memerintahkan pilpres dan pileg serentak, yang pertimbangannya bukan didasarkan tafsir konstitusional yang berdasarkan risalah pembahasan terkait pelaksanaan pemilu dengan 5 kotak, termasuk kotak DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Namun, dalam putusan MK kali ini, MK menegasikan pertimbangan pemilu 5 kotak yang didasarkan pada tafsir konstitusionalitas MK sendiri, dengan memisahkan pemilu nasional dengan pemilu daerah. Oleh karena itu, krisis konstitusional ini harus dicarikan jalan keluarnya agar semua kembali kepada ketaatan konstitusi, di mana konstitusi memerintahkan pemilu (pileg dan pilpres) dilaksanakan setiap 5 tahun sekali, tanpa ada perintah sistem pemilu seperti apa yang harus dijalankan, sehingga pilihan sistem penyelenggaraan pemilu harus kembali menjadi open legal policy sesuai yang dimaksudkan oleh konstitusi itu sendiri.
    9. MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan mengubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini, MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat.
    10. Partai NasDem mendesak DPR RI untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

    Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah

    Nasdem Desak DPR Minta Penjelasan MK Buntut Putusan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    Nasdem
    dalam pernyataan sikapnya mendesak agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI meminta penjelasan Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) terkait putusan memisahkan pelaksanaan pemilihan umum (
    pemilu
    ) serentak nasional dan lokal.
    “Partai
    NasDem
    mendesak
    DPR RI
    untuk meminta penjelasan MK dan menertibkan cara MK memahami norma Konstitusi dalam mengekspresikan sikap kenegarawanannya yang melekat pada diri para hakimnya,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem, Lestari Moerdijat di kantor DPP Nasdem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Pasalnya, Nasdem dengan tegas menyatakan bahwa
    putusan MK
    tersebut menyalahi konstitusi.
    “Pemisahan skema pemilihan presiden,
    DPR
    RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” ujar Lestari.
    Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.
    “Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari lagi.
    Selain itu, dia menyebut, MK telah memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah. Sebab, penentuan waktu pasti penyelenggaraan pemilu merupakan
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.
    “MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata Lestari.
    Tak hanya itu, Nasdem menilai, MK melakukan pencurian terhadap kedaulatan rakyat karena memutuskan pemisahan pemilu serentak nasional dan lokal.
    Sebab, lagi-lagi berdasarkan Pasal 22e ayat 1 UUD NRI 1945, pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “MK tunduk pada batas kebebasan kekuasaan kehakiman dan tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan norma baru, apalagi membuat putusan merubah norma konstitusi UUD NRI 1945. Dengan keputusan ini MK sedang melakukan pencurian kedaulatan rakyat,” ujar Lestari.
    Dalam pernyataan sikap ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Dalam pertimbangan hukum, MK menyoroti pelaksanaan
    Pemilu
    2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
    Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan
    Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat

    NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat

    NasDem: Putusan MK soal Pemisahan Pemilu Tak Berkekuatan Mengikat
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    NasDem
    menilai putusan
    MK
    soal pemisahan pemilu serentak tidak punya kekuatan hukum yang mengikat lantaran bersifat inkonstitusional.
    “Dan karenanya putusan MK tidak mempunyai kekuatan mengikat dan merupakan putusan inkonstitusional,” kata anggota Majelis Tinggi Partai NasDem,
    Lestari Moerdijat
    di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Dalam pengumuman pernyataan sikap DPP Partai NasDem ini, hadir politikus elite NasDem lain antara lain Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar NasDem Peter F Gontha.
    NasDem menilai putusan MK itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan tiap lima tahun sekali.
    Adapun menurut putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024, pemilu nantinya dipisah antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal dengan jeda antara 2 tahun sampai 2 tahun 6 bulan. Putusan itu akan diberlakukan untuk
    Pemilu 2029
    .
    “Pemisahan skema pemilihan presiden, DPR RI, DPR RI dengan kepala daerah dan DPRD adalah melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,” kata Rerie, sapaan Lestari Moerdijat.
    NasDem juga menyatakan MK tidak punya kewenangan mengubah norma hukum dan konstitusi.
    Sebagaimana diketahui, MK memutuskan bahwa pemilu serentak dibagi menjadi dua, yakni, pertama, pemilu serentak nasional terdiri dari Pilpres, Pileg DPR, MPR, dan DPD. Kedua, pemilu serentak lokal terdiri dari Pilkada, Pileg DPRD Provinsi, dan Pileg DPRD Kabupaten/Kota.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pernyataan Lengkap NasDem Sebut MK Langgar UUD “45 karena Pisahkan Pemilu

    Soal Pemilu Dipisah, Nasdem: MK Memasuki dan Ambil Kewenangan Legislatif…

    Soal Pemilu Dipisah, Nasdem: MK Memasuki dan Ambil Kewenangan Legislatif…
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Partai
    Nasdem
    menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) memasuki dan mengambil kewenangan legislatif dan pemerintah karena memutuskan
    pemilu
    anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Pasalnya, dalam pernyataan sikapnya, Nasdem menegaskan bahwa hal itu harusnya
    open legal policy
    yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden atau pemerintah.
    “MK memasuki dan mengambil kewenangan legislatif terkait open legal policy yang merupakan kewenangan DPR RI dan Presiden (Pemerintah),” kata anggota Majelis Tinggi Partai
    NasDem
    , Lestari Moerdijat di kantor DPP NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (30/6/2025).
    Selain itu, Lestari mengatakan, Nasdem menilai bahwa MK telah menjadi negative legislator sendiri. Padahal, bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis.
    “Dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” ujarnya.
    Lebih lanjut, Wakil Ketua MPR yang biasa disapa sebagai Rerie ini memaparkan bahwa
    putusan MK
    itu bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 22e ayat 1 yang menyatakan bahwa pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali.
    “Perlu untuk dipahami bahwa pemilihan anggota DPRD dan kepala daerah merupakan bagian dari rezim pemilu. Penegasan DPRD sebagai rezim pemilu dijelaskan dalam Pasal 22e UUD NRI 1945, sedangkan pilkada sebagai rezim pemilu ditegaskan dalam putusan MK 95/2022,” katanya.
    “Sehingga secara konstitusional, pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun sekali dan terlepas dari waktu pemilihan yang berbeda,” ujar Lestari melanjutkan.
    Dalam pernyataan sikap ini, hadir politikus elite Nasdem lain antara lain Ketua Fraksi Nasdem DPR Victor Laiskodat, Ketua Fraksi NasDem MPR Robert Rouw, hingga Ketua Dewan Pakar Nasdem Peter F Gontha.
    Diberitakan sebelumnya, MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
    Dalam putusan yang dibacakan pada 26 Juni 2025, MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).
    Dalam pertimbangan hukum, MK menyoroti pelaksanaan
    Pemilu
    2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.
    Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan
    Menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • MPR dorong pemerintah dukung perempuan jadi pelaku UMKM

    MPR dorong pemerintah dukung perempuan jadi pelaku UMKM

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat meminta pemerintah terus mendukung kaum perempuan untuk aktif di dunia usaha sebagai pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

    Hal tersebut harus dilakukan agar kaum perputaran uang dapat berjalan dengan maksimal melalui para pelaku UMKM.

    “Keterlibatan perempuan di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) cukup signifikan, sejatinya langkah untuk mengatasi tantangan yang dihadapi perempuan harus segera dilakukan untuk mengakselerasi pertumbuhan UMKM secara keseluruhan,” kata Lestari dalam siaran pers resmi yang diterima Antara, Sabtu.

    Lestari menjelaskan berdasarkan data dari Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dia miliki, tercatat ada 57 juta unit UMKM per Mei 2025.

    Dari total unit usaha tersebut, 64,5 persen atau sekitar 37 juta unit usaha dikelola oleh perempuan. Angka ini menurut Lestari merupakan capaian yang cukup besar.

    Walau demikian, lanjut Lestari, kaum perempuan masih mengalami kesulitan dalam menggeluti dunia usaha, terutama dalam akses permodalan mengadopsi teknologi digital dalam usaha.

    “Berbagai persyaratan untuk mengakses permodalan harus segera diimbangi dengan pemberdayaan perempuan pengusaha UMKM dari sisi peningkatan kapasitas dan keterampilan dalam berusaha,” kata dia.

    Karenanya, dia berharap pemerintah dan pihak terkait mampu mencari solusi agar pelaku UMKM perempuan juga bisa mendapatkan akses permodalan usaha dan keterampilan di bidang teknologi.

    Dia juga meminta pemerintah untuk peka terhadap ragam permasalahan yang dihadapi pelaku UMKM perempuan dalam dunia usaha.

    Dengan upaya-upaya tersebut, dia yakin pelaku UMKM perempuan dapat bersaing dengan sehat dan perekonomian pun dapat berputar dengan baik.

    Pewarta: Walda Marison
    Editor: Hisar Sitanggang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MPR ingatkan amanat konstitusi dalam sikapi konflik antarnegara

    MPR ingatkan amanat konstitusi dalam sikapi konflik antarnegara

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan pemerintah untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia sebagaimana amanat konstitusi UUD 1945 dalam menyikapi konflik antarnegara yang sedang berkecamuk saat ini.

    “Dalam menyikapi sejumlah konflik yang terjadi saat ini, konstitusi kita telah mengamanatkan agar pemerintah Indonesia harus melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,” kata Rerie, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Rabu.

    Hal itu disampaikannya saat memberikan sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema “Senjata Nuklir atau Pergantian Rezim? Perkembangan Perang Israel-Iran” yang diselenggarakan Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu.

    Dia mengingatkan amanat konstitusi UUD 1945 untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia serta ikut mewujudkan perdamaian dunia harus mampu direalisasikan dalam menyikapi konflik yang terjadi antarnegara di dunia.

    “UUD 1945 juga menekankan bahwa sebagai bagian dari tujuan bernegara Indonesia harus ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,” ujarnya.

    Dia pun menilai situasi geopolitik dalam beberapa bulan terakhir berdampak signifikan pada berbagai bidang kehidupan.

    “Dampak tersebut secara langsung maupun tidak langsung juga berdampak pada sejumlah sektor seperti ekonomi dan politik di Indonesia,” ucapnya.

    Untuk itu, dia berharap para pemangku kebijakan di Indonesia dapat mengambil langkah-langkah yang tepat dalam menyikapi sejumlah konflik di dunia, dengan tetap mengedepankan upaya untuk mewujudkan perdamaian dunia.

    Sementara itu, pengamat militer Jaleswary Pramodhawardani berpendapat serangan Israel ke Iran pada 13 Juni lalu bukanlah insiden biasa, melainkan menggeser dinamika kawasan global secara fundamental dengan terlibatnya Amerika dalam konflik Israel-Iran.

    Menurut dia, dalam waktu dekat eskalasi konflik di kawasan itu akan berdampak pada ekonomi global dalam bentuk disrupsi pada perdagangan minyak dunia, serta diperkirakan akan mengarah pada meluasnya perang di kawasan.

    “Indonesia harus mampu menyiapkan langkah strategis untuk merespons dampak disrupsi ekonomi tersebut,” ujarnya.

    Untuk itu, dia mendorong adanya upaya dialog dan de-eskalasi konflik tersebut melalui berbagai saluran diplomatik, baik multilateral dan bilateral.

    “Segera desain strategi cepat jangka pendek untuk merespons dampak negatif konflik Iran-Israel,” katanya.

    Adapun peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Pieter Pandie memandang perkembangan konflik Israel-Iran yang terjadi saat ini masih terlalu dini untuk bisa diperkirakan kondisi akhirnya.

    Menurut dia, kondisi gencatan senjata pada konflik Israel-Iran saat ini pun masih berpotensi diabaikan oleh keduabelah pihak.

    “Jadi, masih sulit untuk memperkirakan konflik ini akan berakhir,” ujar dia.

    Forum diskusi tersebut turut diisi pula oleh mantan Duta Besar RI untuk Iran, Dian Wirengjurit, hingga Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia Broto Wardoyo.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Edy M Yakub
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Lestari Moerdijat Dorong Upaya Pemenuhan Hak Anak atas Informasi yang Layak

    Lestari Moerdijat Dorong Upaya Pemenuhan Hak Anak atas Informasi yang Layak

    Jakarta

    Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menegaskan upaya pemenuhan hak anak atas informasi yang layak harus menjadi perhatian serius semua pihak.

    “Upaya untuk mengembangkan Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA) dalam rangka pemenuhan hak anak atas informasi yang layak anak harus didukung semua pihak,” kata Lestari dalam keterangannya, Selasa (24/6).

    Lestari menyampaikan pada pekan lalu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) melakukan Sosialisasi Pemenuhan Hak Anak atas Informasi Layak Anak melalui PISA 2025. Adapun kriteria informasi yang layak bagi anak adalah informasi yang bersifat positif, mendukung tumbuh kembang anak, serta sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

    Dalam pengembangan PISA, Lestari menilai Perpustakaan Nasional berperan penting untuk mewujudkan perpustakaan ramah anak di seluruh Indonesia melalui berbagai program dan kegiatan.

    Berdasarkan data Perpustakaan Nasional (Perpusnas), hingga 14 September 2023, terdapat 178.723 perpustakaan tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Lestari mengatakan sebaran dan kualitas perpustakaan yang belum merata di Tanah Air harus menjadi perhatian semua pihak terkait untuk segera ditingkatkan.

    Ia berharap informasi yang layak anak dapat terwujud dengan tata kelola yang jelas dan langkah nyata. Untuk itu, Lestari mendorong kolaborasi antara para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat untuk memanfaatkan berbagai potensi dalam menghadirkan informasi yang layak bagi tumbuh kembang anak.

    (akn/ega)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Wakil Ketua MPR dorong upaya pemenuhan hak anak atas informasi layak

    Wakil Ketua MPR dorong upaya pemenuhan hak anak atas informasi layak

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mendorong agar upaya pemenuhan hak anak atas informasi yang layak harus menjadi perhatian serius semua pihak untuk segera diwujudkan.

    “Upaya untuk mengembangkan Pusat Informasi Sahabat Anak (PISA) dalam rangka pemenuhan hak anak atas informasi yang layak anak harus didukung semua pihak,” kata Lestari dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa.

    Pekan lalu, menurut dia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melakukan Sosialisasi Pemenuhan Hak Anak atas Informasi Layak Anak melalui PISA 2025.

    Dia mengatakan kriteria informasi yang layak bagi anak adalah informasi yang bersifat positif, mendukung tumbuh kembang anak, serta sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.

    Dalam pengembangan PISA itu, menurut dia, Perpustakaan Nasional (Perpusnas) dinilai memiliki peran strategis dengan berbagai program dan kegiatan yang bisa disinergikan untuk mewujudkan perpustakaan ramah anak di seluruh Indonesia.

    Berdasarkan data Perpusnas hingga September 2023, menurut dia, terdapat 178.723 perpustakaan yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia.

    Menurut Lestari, sejumlah catatan yang menunjukkan berbagai potensi yang dimiliki harus mampu dimanfaatkan untuk mendukung pemenuhan hak anak atas informasi yang layak.

    Sebaran dan kualitas perpustakaan yang belum merata di tanah air, menurut dia, harus menjadi perhatian semua pihak terkait untuk segera ditingkatkan.

    Anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu berharap, upaya mewujudkan informasi yang layak anak harus mampu diwujudkan dengan tata kelola yang jelas dan langkah nyata.

    Untuk itu, dia mendorong terwujudnya kolaborasi yang kuat antara para pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat, agar mampu memanfaatkan berbagai potensi yang dimiliki untuk menghadirkan informasi yang layak bagi tumbuh kembang anak, demi melahirkan generasi penerus bangsa yang berdaya saing di masa depan.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Budi Suyanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MPR ingatkan upaya perluasan akses perguruan tinggi bagi disabilitas

    MPR ingatkan upaya perluasan akses perguruan tinggi bagi disabilitas

    Untuk mendukung perluasan akses bagi penyandang disabilitas, kesiapan peningkatan sejumlah sarana dan prasarana PT harus direalisasikan.

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan upaya perluasan akses perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas harus mendapatkan perhatian bersama oleh seluruh pihak di Tanah Air.

    “Perluasan akses perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas adalah salah satu upaya yang harus mendapat perhatian bersama,” kata Rerie, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Senin.

    Rerie memandang perlu perluasan akses perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas dalam rangka membangun kemandirian dan keterlibatan aktif kelompok difabel dalam pembangunan di Indonesia.

    “Berbagai upaya untuk mendorong keterlibatan aktif setiap warga negara, termasuk penyandang disabilitas, dalam pembangunan harus mendapat dukungan semua pihak,” ucapnya.

    Ia lantas memaparkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat hanya 2,8 persen dari total 17,9 juta penyandang disabilitas yang ada di Indonesia mampu menyelesaikan pendidikan hingga perguruan tinggi, serta hanya ada 0,55 persen pekerja penyandang disabilitas dari total tenaga kerja nasional.

    Selain itu, data Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organizational/ILO) per Desember 2024 menyebutkan hampir 90 persen penyandang disabilitas di Indonesia tidak aktif bekerja atau mencari pekerjaan.

    “Data Kementerian Tenaga Kerja menunjukkan sekitar 75 persen dari total 720.748 pekerja dengan disabilitas di Indonesia bekerja di sektor informal,” katanya.

    Rerie memandang sejumlah catatan tersebut harus menjadi perhatian pemangku kepentingan dan masyarakat agar kesempatan untuk mewujudkan kemandirian bagi penyandang disabilitas bisa segera ditingkatkan.

    “Untuk mendukung perluasan akses bagi penyandang disabilitas, kesiapan peningkatan sejumlah sarana dan prasarana perguruan tinggi harus direalisasikan,” tuturnya.

    Menurut dia, harus pula dilakukan berbagai upaya untuk menekan stigma negatif dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam menempuh pendidikan tinggi.

    “Berharap akses perguruan tinggi bagi penyandang disabilitas dapat segera ditingkatkan demi membuka peluang lebih luas bagi terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan penyandang disabilitas di Tanah Air,” kata Rerie.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: D.Dj. Kliwantoro
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MPR ingatkan amanat konstitusi dalam sikapi konflik antarnegara

    MPR: Generasi muda harus mampu implementasikan Empat Pilar Kebangsaan

    “Tanpa disadari, kecepatan perkembangan teknologi bisa berpotensi mengikis ideologi yang dimiliki anak bangsa,”

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan bahwa generasi muda harus mampu mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Empat Pilar Kebangsaan untuk menjawab tantangan di masa mendatang.

    “Implementasi nilai-nilai Empat Pilar Kebangsaan, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan langkah penting untuk memandu kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita jalani,” kata Lestari dalam keterangan diterima di Jakarta, Minggu.

    Menurut Lestari, saat ini Indonesia menghadapi beragam tantangan dampak dari disrupsi teknologi yang perlu segera disikapi dengan langkah nyata.

    Apabila tidak diimbangi dengan literasi, kecepatan perkembangan teknologi dinilai bisa mengubah pola pikir dan kehidupan masyarakat.

    “Tanpa disadari, kecepatan perkembangan teknologi bisa berpotensi mengikis ideologi yang dimiliki anak bangsa,” katanya.

    Oleh karena itu, Lestari mendorong para mahasiswa dan generasi muda pada umumnya untuk benar-benar mampu mengimplementasikan nilai-nilai Empat Pilar Kebangsaan dalam kehidupan keseharian.

    “Berbekal nilai-nilai kebangsaan warisan para pendiri bangsa, setiap generasi penerus bangsa mampu menyikapi tantangan yang dihadapi untuk memenangi persaingan di masa datang,” tuturnya.

    Pesan tersebut disampaikan Lestari saat Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dengan tema Implementasi Empat Pilar Kebangsaan sebagai Fondasi Etika dan Moral di Perguruan Tinggi di hadapan civitas academica Universitas Muria Kudus (UMK) di Auditorium UMK, Jawa Tengah, Sabtu (14/6).

    Pada kesempatan sebelumnya, Lestari Moerdijat juga mengatakan bahwa peningkatan kemampuan dan penerapan nilai-nilai kebangsaan menjadi jawaban berbagai tantangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di era disrupsi.

    “Disrupsi yang terjadi saat ini butuh kemampuan bertahan sekaligus beradaptasi. Maka asah terus kemampuan yang kita miliki agar dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi,” kata Lestari di Purwokerto, Jawa Tengah, Kamis (15/5).

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.