Tag: Lestari Moerdijat

  • Upaya Penghapusan Perkawinan Anak Harus Konsisten Dilakukan

    Upaya Penghapusan Perkawinan Anak Harus Konsisten Dilakukan

    Jakarta: Upaya penghapusan perkawinan anak harus konsisten dilakukan demi mengakselerasi lahirnya generasi penerus bangsa yang berdaya saing di masa depan. 

    “Tren penurunan angka perkawinan anak yang terjadi saat ini harus kita syukuri. Namun lebih penting dari itu adalah bagaimana perkawinan anak itu benar-benar bisa dicegah agar tidak terjadi,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 23 Maret 2025. 

    Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebutkan angka perkawinan anak terus menurun pada rentang 2021-2023 dengan rincian 10,35% pada 2021, 9,23% pada 2022, dan 6,92% pada 2023.

    Menurut Kemen PPPA pencapaian tersebut merupakan hasil kerja para pemangku kepentingan lintas sektor dari tingkat provinsi hingga desa, serta tokoh-tokoh masyarakat dan agama. 

    Lestari mendorong agar kolaborasi yang terjadi antara para pihak yang terkait itu harus mampu terus ditingkatkan, agar perkawinan anak benar-benar dapat dihapuskan. 

    Pasalnya, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, bila perkawinan anak masih terjadi, kekhawatiran terhadap kualitas generasi penerus bangsa yang rendah di masa datang semakin besar. 

    Karena, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, perkawinan usia dini berisiko meningkatkan kematian bayi, serta anak berpotensi kekurangan gizi, sehingga anak hasil perkawinan usia dini berisiko terhambat pertumbuhannya karena stunting. 

    Baca juga: Political Will Para Pemangku Kepentingan Wujudkan Kesetaraan Harus Konsisten Direalisasikan

    Kondisi tersebut, jelas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, merupakan tantangan yang harus  dihadapi bila perkawinan anak masih terjadi. 

    Rerie sangat berharap para pihak terkait dapat terus meningkatkan kolaborasi untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di daerahnya masing-masing sehingga dapat mengakselerasi upaya penghapusan perkawinan anak di tanah air. 

    Jakarta: Upaya penghapusan perkawinan anak harus konsisten dilakukan demi mengakselerasi lahirnya generasi penerus bangsa yang berdaya saing di masa depan. 
     
    “Tren penurunan angka perkawinan anak yang terjadi saat ini harus kita syukuri. Namun lebih penting dari itu adalah bagaimana perkawinan anak itu benar-benar bisa dicegah agar tidak terjadi,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 23 Maret 2025. 
     
    Catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebutkan angka perkawinan anak terus menurun pada rentang 2021-2023 dengan rincian 10,35% pada 2021, 9,23% pada 2022, dan 6,92% pada 2023.

    Menurut Kemen PPPA pencapaian tersebut merupakan hasil kerja para pemangku kepentingan lintas sektor dari tingkat provinsi hingga desa, serta tokoh-tokoh masyarakat dan agama. 
     
    Lestari mendorong agar kolaborasi yang terjadi antara para pihak yang terkait itu harus mampu terus ditingkatkan, agar perkawinan anak benar-benar dapat dihapuskan. 
     
    Pasalnya, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, bila perkawinan anak masih terjadi, kekhawatiran terhadap kualitas generasi penerus bangsa yang rendah di masa datang semakin besar. 
     
    Karena, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, perkawinan usia dini berisiko meningkatkan kematian bayi, serta anak berpotensi kekurangan gizi, sehingga anak hasil perkawinan usia dini berisiko terhambat pertumbuhannya karena stunting. 
     
    Baca juga: Political Will Para Pemangku Kepentingan Wujudkan Kesetaraan Harus Konsisten Direalisasikan
     
    Kondisi tersebut, jelas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, merupakan tantangan yang harus  dihadapi bila perkawinan anak masih terjadi. 
     
    Rerie sangat berharap para pihak terkait dapat terus meningkatkan kolaborasi untuk mencegah terjadinya perkawinan anak di daerahnya masing-masing sehingga dapat mengakselerasi upaya penghapusan perkawinan anak di tanah air. 
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (TIN)

  • VIDEO Momen Jokowi dan Puan Maharani Satu Meja di Bukber NasDem, Surya Paloh di Tengah – Halaman all

    VIDEO Momen Jokowi dan Puan Maharani Satu Meja di Bukber NasDem, Surya Paloh di Tengah – Halaman all

    TRIBUNNEWS.OM, JAKARTA – Suasana hangat dan penuh keakraban terasa di NasDem Tower, Jakarta, saat Partai NasDem menggelar acara buka puasa bersama pada Jumat (21/3/2025). 

    Namun, yang membuat pertemuan ini menarik perhatian publik adalah kehadiran dua tokoh sentral politik Tanah Air: Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua DPR RI sekaligus Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Puan Maharani.

    Momen ini semakin menarik ketika keduanya duduk di meja yang sama, dengan Ketua Umum NasDem Surya Paloh di tengah-tengah mereka.

    Puan duduk di sebelah kanan Surya Paloh.

    Sedangkan Jokowi duduk di sebelah kiri Surya Paloh.

    Jokowi tiba lebih dulu sekitar pukul 17.07 WIB, mengenakan batik lengan panjang bernuansa cokelat. 

    Kehadiran Jokowi langsung disambut Bendahara Umum DPP Partai NasDem Ahmad Sahroni, Ketua Dewan Pertimbangan NasDem Siti Nurbaya Bakar, dan Ketua Fraksi NasDem DPR Victor Laiskodat.

    Tak lama berselang, pada pukul 17.18 WIB, Puan Maharani datang dengan mengenakan busana serba putih.

    Ia disambut oleh Ketua Majelis Tinggi NasDem sekaligus Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat serta Ketua DPP Partai NasDem Sugeng Suparwoto.

    Puan Maharani Soal Pertemuannya dengan Jokowi

    Saat ditanya awak media apakah ada pembahasan khusus dalam pertemuan ini, mengingat kehadiran Jokowi, Puan menepis segala spekulasi dan menegaskan suasana akan berlangsung hangat.

    “Hangat dong, orang ga ada apa-apa. Hangat, hangat,” ujar Puan sambil tersenyum.

    Namun, yang menarik, Puan juga mengaku dirinya baru mengetahui bahwa Jokowi turut hadir dalam acara tersebut.

    “Saya baru tahu Pak Jokowi datang. “

    “Saya datang ke sini, ‘kan diundang oleh pak Surya Paloh untuk bukber di kantor NasDem. “

    “Nanti ini baru mau ketemu pak Jokowi,” ucapnya.

    Selain Jokowi dan Puan, sejumlah tokoh politik lainnya juga terlihat hadir, termasuk Wakil Presiden ke-6 RI Tri Sutrisno, Presiden PKS Ahmad Syaikhu, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung, dan Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid.

    Jokowi Ngobrol Hangat Bersama Puan Saat Buka Puasa di NasDem Tower

    Jokowi tampak duduk semeja dengan Puan, ditemani Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dan Wakil Presiden ke-6 RI Try Sutrisno. 

    Setelah menikmati hidangan buka puasa, Jokowi mengaku pertemuannya dengan Puan berlangsung dengan penuh kehangatan.

    “Hubungannya memang hangat betul, emang hangat, dengan Mbak Puan hangat,” ujar Jokowi.

    Jokowi Berkelakar: Bahas Apa? Ya, Makanan!

    Dalam suasana santai, Jokowi sempat berkelakar bahwa dirinya, Puan, dan Surya Paloh turut membahas menu makanan yang disajikan.

    “Jadi ya ini berbuka puasa sambil silaturahmi, berbicara, semua dibicarakan, terutama makanan, makanan yang disajikan,” kata Jokowi.

    Saat ditanya menu favoritnya, Jokowi dengan spontan menjawab, “Sate.”

    Puan: Hubungan dengan PDIP Baik-Baik Saja

    Senada dengan Jokowi, Puan Maharani juga menyatakan demikian, perbincangan dirinya dengan Jokowi terjalin hangat saat buka puasa bersama di NasDem Tower.

    Ia menegaskan hubungan mereka tetap harmonis, termasuk dengan PDIP.

    “Hubungan sama, hubungan dengan PDI Perjuangan baik-baik saja,” kata Puan singkat.

    Momen kebersamaan ini menarik perhatian, mengingat dinamika politik yang berkembang antara Jokowi dan PDIP dalam beberapa waktu terakhir.

    Hubungan Jokowi dan PDIP saat ini menjadi sorotan setelah politisi PDIP Deddy Sitorus menyebut ada utusan yang datang dan meminta PDIP tidak memecatnya.

    Jokowi menantang PDIP untuk membuka-bukaan terkait identitas utusan yang dimaksud.

    (Tribunnews/Rizki/Reza Deni/Apfia Tioconny Billy/Malau)

     

  • Pimpinan MPR: Pemenuhan hak penyandang disabilitas harus ditingkatkan

    Pimpinan MPR: Pemenuhan hak penyandang disabilitas harus ditingkatkan

    “Sejumlah kebutuhan dasar masih sulit diakses oleh para penyandang disabilitas sehingga diperlukan upaya bersama pihak-pihak terkait untuk meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar mereka,”

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan pemenuhan hak kebutuhan dasar penyandang disabilitas harus terus ditingkatkan sebagai bagian dari kewajiban negara memberikan perlindungan kepada setiap warganya.

    “Sejumlah kebutuhan dasar masih sulit diakses oleh para penyandang disabilitas sehingga diperlukan upaya bersama pihak-pihak terkait untuk meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar mereka,” kata Rerie, sapaan karibnya, dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Menurut dia, upaya pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas membutuhkan dukungan nyata dari banyak pihak di sektor-sektor terkait.

    Dia lantas memaparkan bahwa terdapat 4,3 juta penyandang disabilitas kategori sedang hingga berat di Indonesia dengan mayoritas berada pada kelompok dewasa dan lanjut usia, berdasarkan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regosek) tahun 2023.

    Sementara itu, 17,2 persen penyandang disabilitas berusia 15 tahun ke atas tidak pernah bersekolah dan hanya 4,24 persen yang berhasil mencapai pendidikan tinggi, berdasarkan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024.

    “Penyandang disabilitas dan keluarganya itu tercatat masih menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan,” ujarnya.

    Adapun pada sisi kesehatan, lanjut dia, penyandang disabilitas cenderung memiliki akses yang lebih rendah terhadap jaminan kesehatan, baik dari pemerintah maupun swasta.

    “Sehingga dibutuhkan komitmen dan kolaborasi yang kuat antarpara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah untuk mewujudkannya,” tuturnya.

    Dia pun mendorong langkah sosialisasi masif terkait pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas agar menjadi pemahaman bersama semua pihak.

    Rerie berharap dengan terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas maka dapat meningkatkan partisipasi aktif mereka sebagai bagian dari warga negara dalam proses pembangunan nasional.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

  • Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Harus Ditingkatkan

    Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Harus Ditingkatkan

    Jakarta: Pemenuhan hak kebutuhan dasar penyandang disabilitas harus terus ditingkatkan sebagai bagian dari kewajiban negara memberikan perlindungan kepada setiap warganya. 

    “Sejumlah kebutuhan dasar masih sulit diakses oleh para penyandang disabilitas sehingga diperlukan upaya bersama pihak-pihak terkait untuk meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar mereka,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 21 Maret 2025. 

    Berdasarkan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regosek) 2023 terdapat 4,3 juta penyandang disabilitas sedang hingga berat di Indonesia, dengan mayoritas berada pada kelompok usia dewasa dan lanjut usia. 

    Penyandang disabilitas dan keluarganya itu tercatat masih menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan. 

    (Menurut Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat upaya pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas membutuhkan dukungan nyata dari banyak pihak di sejumlah sektor terkait. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)

    Sementara itu, Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 menunjukkan bahwa 17,2% penyandang disabilitas berusia 15 tahun ke atas tidak pernah bersekolah, dan hanya 4,24% yang berhasil mencapai pendidikan tinggi. 

    Pada sisi kesehatan, penyandang disabilitas cenderung memiliki akses yang lebih rendah terhadap jaminan kesehatan, baik dari pemerintah maupun swasta.

    Menurut Lestari, upaya pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas membutuhkan dukungan nyata dari banyak pihak di sejumlah sektor terkait. 

    Sehingga, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, dibutuhkan komitmen dan kolaborasi yang kuat antarpara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah untuk mewujudkannya. 

    Baca juga: Political Will Para Pemangku Kepentingan Wujudkan Kesetaraan Harus Konsisten Direalisasikan

    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu mendorong langkah sosialisasi masif terkait pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas agar menjadi pemahaman bersama semua pihak. 

    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap dengan terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas, dapat meningkatkan partisipasi aktif mereka sebagai bagian dari warga negara, dalam proses pembangunan nasional.

    Jakarta: Pemenuhan hak kebutuhan dasar penyandang disabilitas harus terus ditingkatkan sebagai bagian dari kewajiban negara memberikan perlindungan kepada setiap warganya. 
     
    “Sejumlah kebutuhan dasar masih sulit diakses oleh para penyandang disabilitas sehingga diperlukan upaya bersama pihak-pihak terkait untuk meningkatkan pemenuhan hak-hak dasar mereka,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 21 Maret 2025. 
     
    Berdasarkan data Registrasi Sosial Ekonomi (Regosek) 2023 terdapat 4,3 juta penyandang disabilitas sedang hingga berat di Indonesia, dengan mayoritas berada pada kelompok usia dewasa dan lanjut usia. 

    Penyandang disabilitas dan keluarganya itu tercatat masih menghadapi keterbatasan akses terhadap layanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan ketenagakerjaan. 
     

    (Menurut Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat upaya pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas membutuhkan dukungan nyata dari banyak pihak di sejumlah sektor terkait. Foto: Ilustrasi/Dok. Pexels.com)
     
    Sementara itu, Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 menunjukkan bahwa 17,2% penyandang disabilitas berusia 15 tahun ke atas tidak pernah bersekolah, dan hanya 4,24% yang berhasil mencapai pendidikan tinggi. 
     
    Pada sisi kesehatan, penyandang disabilitas cenderung memiliki akses yang lebih rendah terhadap jaminan kesehatan, baik dari pemerintah maupun swasta.
     
    Menurut Lestari, upaya pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas membutuhkan dukungan nyata dari banyak pihak di sejumlah sektor terkait. 
     
    Sehingga, jelas Rerie, sapaan akrab Lestari, dibutuhkan komitmen dan kolaborasi yang kuat antarpara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah untuk mewujudkannya. 
     
    Baca juga: Political Will Para Pemangku Kepentingan Wujudkan Kesetaraan Harus Konsisten Direalisasikan
     
    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu mendorong langkah sosialisasi masif terkait pemenuhan hak-hak dasar penyandang disabilitas agar menjadi pemahaman bersama semua pihak. 
     
    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap dengan terpenuhinya hak-hak penyandang disabilitas, dapat meningkatkan partisipasi aktif mereka sebagai bagian dari warga negara, dalam proses pembangunan nasional.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (TIN)

  • Wakil Ketua MPR: Pemikiran Bung Hatta modal hadapi tantangan ekonomi

    Wakil Ketua MPR: Pemikiran Bung Hatta modal hadapi tantangan ekonomi

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan bahwa pemikiran Wakil Presiden Pertama RI Mohammad Hatta atau Bung Hatta mengenai kedaulatan rakyat, gotong royong, dan keadilan sosial merupakan modal penting untuk menghadapi tantangan perekonomian nasional.

    “Pemikiran para pendiri bangsa terkait pembangunan perekonomian nasional sejatinya bisa kita cermati bersama sebagai bagian dari upaya untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi bangsa ini,” kata Rerie, sapaan akrabnya, sebagaimana keterangan tertulis diterima di Jakarta, Kamis.

    Menurut dia, nilai-nilai yang ditanamkan para pendahulu bangsa bisa menjadi dasar pertimbangan bagi generasi sekarang dalam mengambil kebijakan menghadapi tantangan bangsa di sektor ekonomi.

    Ia berpendapat, pemikiran untuk menerapkan nilai-nilai kedaulatan rakyat, gotong royong, dan keadilan sosial dalam pembangunan ekonomi yang diperkenalkan Bung Hatta bisa menjadi salah satu dasar dalam menerapkan kebijakan ekonomi nasional.

    Untuk itu, Rerie berharap generasi penerus dapat mengambil pelajaran dari sejumlah langkah para pendiri bangsa dalam menjawab berbagai tantangan di masa lalu.

    Di sisi lain, dia juga itu mendorong para pemangku kebijakan di tanah air dapat memahami dan mengamalkan nilai-nilai warisan para pendiri bangsa dalam menerapkan berbagai kebijakan.

    Rerie menyampaikan hal itu pada diskusi daring Relevansi Pemikiran Sosial Ekonomi Bung Hatta dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Yayasan Hatta dan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Rabu (19/3).

    Pada kesempatan yang sama, Anggota Pembina Yayasan Hatta Sri Edi Swasono mengatakan bahwa pada dasarnya ekonomi Pancasila mengacu pada Pasal 33 UUD NRI 1945. Selain itu, juga didukung oleh Pasal 27 Ayat (2) UUD NRI 1945 dan dieksplisitkan pada sila ke-5 Pancasila.

    Ia menjelaskan, pada 1965 berdasarkan penugasan dari Departemen Urusan Research Nasional, ekonom Emil Salim menulis naskah Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia. Pada naskah itu, Emil Salim menegaskan sistem ekonomi Indonesia sebagai sistem ekonomi sosialisme Pancasila.

    Sementara itu, kata Sri Edi, dalam pemikiran ekonomi Bung Hatta, terdapat asas kekeluargaan yang mengedepankan kerukunan dan solidaritas sehingga ada tanggung jawab bersama dalam setiap pengembangan perekonomian.

    “Bung Hatta berpendapat sistem ekonomi Indonesia adalah sistem ekonomi sosialis. Sosialisme Indonesia merupakan ekspresi jiwa bangsa Indonesia yang mendapatkan perilaku yang tidak adil di masa itu,” katanya.

    Di samping itu, Peneliti LP3ES Zaenal Muttaqin menyebut pemikiran sosial ekonomi Bung Hatta menegaskan bahwa ilmu ekonomi digunakan untuk menciptakan kemakmuran rakyat. Bung Hatta meyakini tidak mungkin ada kemakmuran tanpa keadilan.

    “Ini merupakan kunci dalam pelaksanaan pembangunan,” Zaenal menegaskan dalam diskusi yang sama.

    Zaenal juga berpendapat langkah efisiensi yang dilakukan pemerintah saat ini berpotensi menimbulkan terjadinya ketimpangan. Namun, potensi ketimpangan itu dapat ditekan dengan menerapkan langkah-langkah sosial sehingga kemakmuran dapat tercapai.

    Pewarta: Fath Putra Mulya
    Editor: Laode Masrafi
    Copyright © ANTARA 2025

  • Belajar dari Bung Hatta, Begini Strategi Menghadapi Tantangan Ekonomi Nasional

    Belajar dari Bung Hatta, Begini Strategi Menghadapi Tantangan Ekonomi Nasional

    Jakarta: Pemikiran Bung Hatta tentang kedaulatan rakyat, semangat gotong-royong, dan keadilan sosial dinilai tetap relevan dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi Indonesia saat ini. 
     
    Gagasan-gagasan tersebut bisa menjadi pedoman bagi para pemangku kebijakan dalam menentukan arah pembangunan ekonomi yang lebih berkeadilan.
     
    Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, menegaskan bahwa warisan pemikiran para pendiri bangsa, termasuk Bung Hatta, dapat menjadi landasan dalam mencari solusi atas permasalahan ekonomi nasional.

    “Pemikiran para pendiri bangsa terkait pembangunan perekonomian nasional sejatinya bisa kita cermati bersama sebagai bagian dari upaya untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi bangsa ini,” ujar Lestari dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertajuk Relevansi Pemikiran Sosial Ekonomi Bung Hatta dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia yang diselenggarakan oleh Forum Diskusi Denpasar 12 bersama Yayasan Hatta dan LP3ES, Rabu, 19 Maret 2025.
     
    Menurut Lestari, konsep kedaulatan rakyat, gotong-royong, dan keadilan sosial yang diperjuangkan Bung Hatta seharusnya menjadi dasar dalam pengambilan kebijakan ekonomi saat ini. 
     
    Ia pun mendorong generasi penerus untuk belajar dari strategi para pendiri bangsa dalam menghadapi berbagai tantangan ekonomi di masa lalu.
     

    Prinsip ekonomi Pancasila
    Senada dengan itu, Anggota Pembina Yayasan Hatta, Sri Edi Swasono, menjelaskan bahwa konsep ekonomi Pancasila merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 yang menegaskan prinsip demokrasi ekonomi. Selain itu, dasar-dasar keadilan sosial dalam sistem ekonomi Indonesia juga termaktub dalam Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 serta sila kelima Pancasila.
     
    Sri Edi juga mengungkapkan bahwa pada 1965, ekonom Emil Salim pernah menyusun naskah Sistem Ekonomi dan Ekonomi Indonesia atas penugasan dari Departemen Urusan Research Nasional. Dalam naskah tersebut, Emil Salim menekankan bahwa sistem ekonomi Indonesia merupakan sistem ekonomi sosialisme Pancasila yang mengedepankan nilai kekeluargaan dan solidaritas.
     
    “Kekeluargaan dalam ekonomi Indonesia bermakna brotherhood, di mana setiap elemen masyarakat memiliki tanggung jawab bersama dalam pengembangan perekonomian,” tutur Sri Edi.
     
    Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Bung Hatta melihat sistem ekonomi Indonesia sebagai ekonomi sosialis yang lahir dari semangat perjuangan rakyat dalam menghadapi ketidakadilan di masa kolonial.
     
    Pemikiran Bung Hatta tentang koperasi sebagai pilar utama ekonomi kerakyatan juga masih sangat relevan hingga saat ini. Hal ini disampaikan oleh Dosen FEB Universitas Muslim Indonesia, Ratna Sari. Menurutnya, Bung Hatta menekankan tiga prinsip utama dalam membangun perekonomian, yaitu kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan demokrasi ekonomi.
     
    “Bung Hatta percaya bahwa sebuah negara merdeka harus memiliki ekonomi yang mandiri, dan koperasi adalah bentuk ekonomi yang paling sesuai dengan budaya Indonesia,” kata Ratna.
     
    Dalam konsep demokrasi ekonomi yang diusung Bung Hatta, masyarakat memiliki kendali atas sumber daya ekonomi. Ratna menegaskan bahwa rakyat tidak hanya berhak memilih pemimpin, tetapi juga harus memiliki peran dalam menentukan arah pembangunan ekonomi.
     

    Sementara itu, Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI, Usman Kansong, menambahkan bahwa pemikiran Bung Hatta dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial selalu berorientasi pada kedaulatan rakyat. Ia menilai bahwa konsep demokrasi ekonomi yang digagas Bung Hatta bertujuan untuk memastikan kesejahteraan masyarakat secara merata.
     
    “Dalam politik, Bung Hatta mengedepankan demokrasi kerakyatan, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat,” ujar Usman.
     
    Pada sektor sosial, lanjutnya, pemikiran Bung Hatta tentang pendidikan menitikberatkan pada pemberdayaan rakyat, dengan tujuan akhir terciptanya keadilan sosial. Sementara di bidang ekonomi, ia berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945 dan konsep koperasi yang ia pelajari hingga ke negara-negara Skandinavia.
     
    Menurut Usman, pemikiran Bung Hatta juga memiliki corak ke-Indonesia-an yang kental, dengan nilai-nilai religiusitas yang berakar kuat, terutama dalam konteks keislaman. Ia pun melihat bahwa gagasan Bung Hatta menawarkan jalan tengah di antara dua kutub ekstrem, yakni komunisme dan liberalisme.
     
    “Pertanyaannya, apakah kita sudah benar-benar mengimplementasikan pemikiran Bung Hatta dalam kebijakan ekonomi kita saat ini?” pungkas Usman.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Miris! Jumlah Pekerja Anak Masih Tinggi, Gejolak Ekonomi Jadi Penyebabnya

    Miris! Jumlah Pekerja Anak Masih Tinggi, Gejolak Ekonomi Jadi Penyebabnya

    Jakarta: Gejolak ekonomi global bukan hanya berdampak pada sektor keuangan dan bisnis, tetapi juga berisiko memperburuk masalah sosial, termasuk meningkatnya jumlah pekerja anak. 
     
    Ketika kondisi ekonomi sulit, banyak keluarga yang terpaksa melibatkan anak-anak mereka dalam dunia kerja demi membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari. 
     
    Jika dibiarkan, hal ini bisa menghambat perkembangan sumber daya manusia (SDM) nasional dan memperburuk kesenjangan sosial. 
    Potensi lonjakan pekerja anak di tengah gejolak ekonomi
    Tren jumlah pekerja anak di Indonesia menunjukkan angka yang mengkhawatirkan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa jumlah pekerja anak sempat melonjak dari 0,92 juta pada 2019 menjadi 1,33 juta pada 2020.

    Lalu akibat dampak ekonomi dari pandemi covid-19 hingga 2023, angka tersebut masih stagnan di 1,01 juta, menunjukkan bahwa masalah ini belum terselesaikan sepenuhnya.
     
    Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengingatkan bahwa situasi ekonomi yang tidak menentu dapat kembali mendorong peningkatan jumlah pekerja anak. 
     
    “Gejolak perekonomian dunia yang berdampak pada perekonomian dalam negeri, dan berpotensi mempengaruhi proses pembangunan di sektor lain harus segera diantisipasi,” ujar dia dalam keterangan tertulis, Sabtu, 15 Maret 2025.
     

    Dampak buruk pekerja anak bagi masa depan bangsa
    Melibatkan anak dalam dunia kerja bukan hanya mengganggu hak mereka untuk memperoleh pendidikan, tetapi juga berdampak jangka panjang terhadap kualitas SDM nasional. 
     
    “Dampak gejolak di sektor ekonomi berpotensi menerpa kehidupan keseharian masyarakat, terutama kelompok masyarakat marginal yang di dalamnya juga ada anak-anak yang rentan terdampak,” ungkap dia.
    Strategi antisipasi
    Menurut Lestari, sejumlah langkah antisipasi dalam menghadapi dampak gejolak ekonomi harus direalisasikan.
     
    Langkah tersebut, tambah Lestari, antara lain peningkatan dan kemudahan akses pendidikan, dukungan ekonomi keluarga, dan peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemenuhan hak-hak anak. 
     
    Selain itu, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, penegakan hukum secara ketat juga harus dilakukan terhadap pihak-pihak yang mempekerjakan anak-anak. 
    Menyelamatkan generasi penerus bangsa
    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap potensi dampak dari gejolak ekonomi yang terjadi dapat dihadapi bangsa ini secara bersama-sama. 
     
    Rerie mendorong agar upaya untuk membangun kolaborasi yang kuat antarpara pemangku kepentingan di tingkat pusat dan daerah, serta masyarakat bisa segera dilakukan untuk mengantisipasi sejumlah dampak yang akan terjadi. 
     
    Rerie sangat berharap pemenuhan hak-hak anak untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik dan menjadi generasi penerus yang berdaya saing di masa datang dapat diwujudkan.
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (ANN)

  • Political Will Para Pemangku Kepentingan Wujudkan Kesetaraan Harus Konsisten Direalisasikan

    Political Will Para Pemangku Kepentingan Wujudkan Kesetaraan Harus Konsisten Direalisasikan

    Jakarta: Political will dari para pemangku kepentingan dan kesiapan para perempuan untuk memenuhi amanah konstitusi dalam mewujudkan kesetaraan harus konsisten direalisasikan. 

    “Pada Pasal 27 UUD 1945 mengamanatkan kepada negara bahwa setiap warga negara, termasuk perempuan, memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Sehingga perlu political will pihak-pihak terkait, termasuk kesiapan para perempuan untuk mewujudkannya,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 9 Maret 2025. 

    Pernyataan Lestari itu disampaikan pada saat wawancara secara daring dengan Metro TV pada Sabtu, 8 Maret 2025, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.

    Tahun ini peringatan Hari Perempuan Internasional mengambil tema “Untuk Semua Perempuan dan Anak Perempuan: Hak, Kesetaraan, Pemberdayaan.” 

    Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, sejatinya konstitusi kita sudah mengamanatkan perlakuan yang setara bagi setiap warga negara, termasuk perempuan. 

    (Lestari Moerdijat selaku Wakil Ketua MPR RI mengatakan konstitusi kita sudah mengamanatkan perlakuan yang setara bagi setiap warga negara, termasuk perempuan. Foto: Ilustrasi/Dok. Freepik.com)

    Sejumlah tantangan, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, dalam bentuk tekanan sosial pada kultur patriarki yang berkembang di sejumlah daerah. 

    Baca juga: Patriotisme Perempuan Harus Mampu Mendorong Kemajuan Bangsa

    Hal itu, tambah dia, harus mampu dihadapi untuk melaksanakan amanah kesetaraan dari konstitusi kita. 

    Menurut Rerie, sejumlah langkah pemberdayaan dan afirmasi sangat dibutuhkan dalam upaya mendorong para perempuan agar mampu menembus ‘tembok kaca’ yang menghalangi partisipasi aktif mereka di ruang publik. 

    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap semakin tumbuh politcal will dari para pemangku kepentingan dan kepercayaan diri para perempuan dalam mewujudkan kesetaraan pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik di masa datang. 

    Jakarta: Political will dari para pemangku kepentingan dan kesiapan para perempuan untuk memenuhi amanah konstitusi dalam mewujudkan kesetaraan harus konsisten direalisasikan. 
     
    “Pada Pasal 27 UUD 1945 mengamanatkan kepada negara bahwa setiap warga negara, termasuk perempuan, memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Sehingga perlu political will pihak-pihak terkait, termasuk kesiapan para perempuan untuk mewujudkannya,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam keterangan tertulisnya, Minggu, 9 Maret 2025. 
     
    Pernyataan Lestari itu disampaikan pada saat wawancara secara daring dengan Metro TV pada Sabtu, 8 Maret 2025, dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional.

    Tahun ini peringatan Hari Perempuan Internasional mengambil tema “Untuk Semua Perempuan dan Anak Perempuan: Hak, Kesetaraan, Pemberdayaan.” 
     
    Menurut Rerie, sapaan akrab Lestari, sejatinya konstitusi kita sudah mengamanatkan perlakuan yang setara bagi setiap warga negara, termasuk perempuan. 
     

    (Lestari Moerdijat selaku Wakil Ketua MPR RI mengatakan konstitusi kita sudah mengamanatkan perlakuan yang setara bagi setiap warga negara, termasuk perempuan. Foto: Ilustrasi/Dok. Freepik.com)
     
    Sejumlah tantangan, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, dalam bentuk tekanan sosial pada kultur patriarki yang berkembang di sejumlah daerah. 
     
    Baca juga: Patriotisme Perempuan Harus Mampu Mendorong Kemajuan Bangsa
     
    Hal itu, tambah dia, harus mampu dihadapi untuk melaksanakan amanah kesetaraan dari konstitusi kita. 
     
    Menurut Rerie, sejumlah langkah pemberdayaan dan afirmasi sangat dibutuhkan dalam upaya mendorong para perempuan agar mampu menembus ‘tembok kaca’ yang menghalangi partisipasi aktif mereka di ruang publik. 
     
    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu sangat berharap semakin tumbuh politcal will dari para pemangku kepentingan dan kepercayaan diri para perempuan dalam mewujudkan kesetaraan pada kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik di masa datang. 
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (TIN)

  • Patriotisme Perempuan Harus Mampu Mendorong Kemajuan Bangsa

    Patriotisme Perempuan Harus Mampu Mendorong Kemajuan Bangsa

    Medcom • 05 Maret 2025 19:47

    Jakarta: Patriotisme perempuan harus mampu dibangkitkan agar mampu mendorong semangat bersama untuk memperjuangkan hak-haknya dalam mengisi kemerdekaan. 

    “Berbagai kisah perjuangan perempuan mengisi lembar sejarah perjuangan bangsa kita sejak dulu. Karena perjuangan perempuan adalah perjuangan yang berkelanjutan,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi bertema “Peringatan Hari Perempuan Internasional 2025 – Patriotisme Perempuan: Dulu, Kini, dan Nanti” yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia bersama Forum Diskusi Denpasar 12 dan Keluarga Besar Wirawati Catur Panca, di ruang Delegasi, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025. 

    Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari  (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Pia Feriasti Megananda, BA (Ketua Umum Wirawati Catur Panca), Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.M. (Ketua Dewan Pers), dan Nicky Clara (Social Entrepreneur) sebagai narasumber. 

    Selain itu hadir pula Irine Hiraswari Gayatri, Ph.D (Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) sebagai penanggap. 

    Lestari menegaskan, perempuan di Nusantara sejak dahulu adalah perempuan yang tangguh. 

    Baca juga: Lestari Moerdijat: Butuh Afirmasi dan Edukasi untuk Dorong Perempuan Aktif di Dunia Politik

    Di Aceh, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, pada masa lalu bahkan dipimpin para sultana dengan pemikiran yang jauh melampaui zamannya. 

    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu mengungkapkan, pada abad ke-16 juga ada pejuang perempuan bernama Ratu Kalinyamat dari Jepara yang menerapkan konsep poros maritim di Nusantara untuk menggalang aliansi dalam melawan Portugis. 

    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap momentum diskusi tentang patriotisme perempuan ini dapat membangkitkan semangat para perempuan untuk sama-sama bergandeng tangan menyelesaikan ‘pekerjaan rumah’ yang belum selesai dalam proses pembangunan. 

    Pada sambutan tertulisnya, Ketua Umum Wirawati Catur Panca, Pia Feriasti Megananda mengungkapkan, acara diskusi tentang patriotisme perempuan yang diselenggarakan di gedung MPR RI ini merupakan simbol perjuangan bangsa, yang juga melibatkan perempuan. 

    Menurut Pia, peran perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa berkelanjutan sejak masa lalu, masa kini, hingga masa datang. 

    Di masa lalu, ujar Pia, pejuang perempuan memiliki patriotisme yang tinggi. Selain memperjuangkan kemerdekaan bangsa, pejuang perempuan juga memperjuangkan hak-hak mereka. 

    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengungkapkan keterlibatan aktif perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan di sejumlah bidang memang sudah terjadi sejak dahulu. 

    Namun, tambah dia, di era saat ini, pada sejumlah kasus, perempuan tidak dipandang sama dengan laki-laki. 

    Diakui Ninik, dalam konteks penerapan kesetaraan gender saat ini ada kemajuan. Namun, tambah dia, di beberapa sektor terjadi stagnasi, bahkan kemunduran dalam pelaksanaan kesetaraan gender. 

    (Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat berharap momentum diskusi tentang patriotisme perempuan ini dapat membangkitkan semangat para perempuan untuk sama-sama bergandeng tangan menyelesaikan ‘pekerjaan rumah’ yang belum selesai dalam proses pembangunan. Foto: Dok. Istimewa)

    Penerapan aturan yang berbeda berdasarkan suku, ras, dan agama, ujar Ninik, menyebabkan stagnasi penerapan kesetaraan gender di sejumlah sektor. 

    Sejumlah regulasi, ungkap Ninik, mendorong terjadinya diskriminasi yang memicu terjadinya tindak kekerasan dan sejumlah hal yang merugikan perempuan. 

    Sehingga, ujar dia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan dalam hal penerapan kesetaraan gender di tanah air. 

    Social Entrepreneur Nicky Clara mengungkapkan terlahir sebagai perempuan disabilitas menghadapi tantangan yang berlapis-lapis. 

    Stigma terkait perempuan dan disabilitas sangat kuat. Bahkan di sejumlah daerah, perempuan dengan disabilitas sampai dikurung. 

    Menurut Nicky, bila tidak mengikutsertakan perempuan dalam pengembangan ekonomi, negara akan kehilangan. Tetapi, tambah dia, faktanya hanya kurang dari 30 persen perempuan yang melek keuangan. 

    Karena itu, ujar Nicky, upaya pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi merupakan langkah yang penting. 

    Peneliti BRIN, Irine Hiraswari Gayatri berpendapat, gerakan perempuan itu berkembang sesuai zamannya, tetapi ada yang konsisten dalam setiap perjuangan itu yaitu militansi. 

    Diakui Irine, keberhasilan gerakan perempuan sering kali bergantung pada faktor lokal dan global.  Selain itu, tambah dia, juga menghadapi tantangan dalam konteks kondisi sosial dan ekonomi. 

    Menurut dia, sejumlah langkah afirmasi di bidang politik itu sejatinya upaya untuk mengakselerasi keterwakilan perempuan di parlemen. 

    Namun, disayangkan upaya itu tidak dibarengi dengan pendidikan politik yang memadai bagi perempuan. 

    Pada kesempatan itu, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, saat ini di Kabinet Merah Putih terdapat 5 menteri perempuan dan 9 wakil menteri perempuan. 

    Kondisi itu, sesuatu yang belum pernah terjadi. Bila itu berhasil, di masa depan kita akan punya 9 menteri perempuan. 

    Tetapi, ujar Saur, ada juga bidang-bidang yang tidak pernah dijabat oleh perempuan, sekarang dijabat perempuan, seperti Wakil Menteri  Pekerjaan Umum, Wakil Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi. “Bila angle itu yang dipakai saya tidak melihat ada regresi,” ujar Saur. 

    Saur khawatir, label yang dibuat terhadap perempuan dan laki-laki itu memperkuat diskriminasi. 

    Sebagai contoh, tambah Saur, kata bangsawan tidak ada bangsawati, negarawan tidak ada negarawati, rupawan tidak ada rupawati. 

    “Mengapa sampai ke kita ada kata taruna dan taruni? Taruna itu berasal bahasa Pali rumpun Indo Arya yang artinya muda,” ujarnya. 

    Jadi, tegas Saur, justru penciptaan bahasa itulah yang menyebabkan penguatan diskriminasi. Menurut Saur, kondisi tersebut harus dikoreksi melalui alam pikiran dalam berbahasa. 

    Jakarta: Patriotisme perempuan harus mampu dibangkitkan agar mampu mendorong semangat bersama untuk memperjuangkan hak-haknya dalam mengisi kemerdekaan. 
     
    “Berbagai kisah perjuangan perempuan mengisi lembar sejarah perjuangan bangsa kita sejak dulu. Karena perjuangan perempuan adalah perjuangan yang berkelanjutan,” kata Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat saat membuka diskusi bertema “Peringatan Hari Perempuan Internasional 2025 – Patriotisme Perempuan: Dulu, Kini, dan Nanti” yang diselenggarakan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia bersama Forum Diskusi Denpasar 12 dan Keluarga Besar Wirawati Catur Panca, di ruang Delegasi, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025. 
     
    Diskusi yang dimoderatori Eva Kusuma Sundari  (Staf Khusus Wakil Ketua MPR RI) itu menghadirkan Pia Feriasti Megananda, BA (Ketua Umum Wirawati Catur Panca), Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.M. (Ketua Dewan Pers), dan Nicky Clara (Social Entrepreneur) sebagai narasumber. 

    Selain itu hadir pula Irine Hiraswari Gayatri, Ph.D (Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN) sebagai penanggap. 
     
    Lestari menegaskan, perempuan di Nusantara sejak dahulu adalah perempuan yang tangguh. 
     
    Baca juga: Lestari Moerdijat: Butuh Afirmasi dan Edukasi untuk Dorong Perempuan Aktif di Dunia Politik
     
    Di Aceh, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, pada masa lalu bahkan dipimpin para sultana dengan pemikiran yang jauh melampaui zamannya. 
     
    Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu mengungkapkan, pada abad ke-16 juga ada pejuang perempuan bernama Ratu Kalinyamat dari Jepara yang menerapkan konsep poros maritim di Nusantara untuk menggalang aliansi dalam melawan Portugis. 
     
    Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu berharap momentum diskusi tentang patriotisme perempuan ini dapat membangkitkan semangat para perempuan untuk sama-sama bergandeng tangan menyelesaikan ‘pekerjaan rumah’ yang belum selesai dalam proses pembangunan. 
     
    Pada sambutan tertulisnya, Ketua Umum Wirawati Catur Panca, Pia Feriasti Megananda mengungkapkan, acara diskusi tentang patriotisme perempuan yang diselenggarakan di gedung MPR RI ini merupakan simbol perjuangan bangsa, yang juga melibatkan perempuan. 
     
    Menurut Pia, peran perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa berkelanjutan sejak masa lalu, masa kini, hingga masa datang. 
     
    Di masa lalu, ujar Pia, pejuang perempuan memiliki patriotisme yang tinggi. Selain memperjuangkan kemerdekaan bangsa, pejuang perempuan juga memperjuangkan hak-hak mereka. 
     
    Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu mengungkapkan keterlibatan aktif perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan di sejumlah bidang memang sudah terjadi sejak dahulu. 
     
    Namun, tambah dia, di era saat ini, pada sejumlah kasus, perempuan tidak dipandang sama dengan laki-laki. 
     
    Diakui Ninik, dalam konteks penerapan kesetaraan gender saat ini ada kemajuan. Namun, tambah dia, di beberapa sektor terjadi stagnasi, bahkan kemunduran dalam pelaksanaan kesetaraan gender. 
     

    (Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat berharap momentum diskusi tentang patriotisme perempuan ini dapat membangkitkan semangat para perempuan untuk sama-sama bergandeng tangan menyelesaikan ‘pekerjaan rumah’ yang belum selesai dalam proses pembangunan. Foto: Dok. Istimewa)
     
    Penerapan aturan yang berbeda berdasarkan suku, ras, dan agama, ujar Ninik, menyebabkan stagnasi penerapan kesetaraan gender di sejumlah sektor. 
     
    Sejumlah regulasi, ungkap Ninik, mendorong terjadinya diskriminasi yang memicu terjadinya tindak kekerasan dan sejumlah hal yang merugikan perempuan. 
     
    Sehingga, ujar dia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan dalam hal penerapan kesetaraan gender di tanah air. 
     
    Social Entrepreneur Nicky Clara mengungkapkan terlahir sebagai perempuan disabilitas menghadapi tantangan yang berlapis-lapis. 
     
    Stigma terkait perempuan dan disabilitas sangat kuat. Bahkan di sejumlah daerah, perempuan dengan disabilitas sampai dikurung. 
     
    Menurut Nicky, bila tidak mengikutsertakan perempuan dalam pengembangan ekonomi, negara akan kehilangan. Tetapi, tambah dia, faktanya hanya kurang dari 30 persen perempuan yang melek keuangan. 
     
    Karena itu, ujar Nicky, upaya pemberdayaan perempuan di sektor ekonomi merupakan langkah yang penting. 
     
    Peneliti BRIN, Irine Hiraswari Gayatri berpendapat, gerakan perempuan itu berkembang sesuai zamannya, tetapi ada yang konsisten dalam setiap perjuangan itu yaitu militansi. 
     
    Diakui Irine, keberhasilan gerakan perempuan sering kali bergantung pada faktor lokal dan global.  Selain itu, tambah dia, juga menghadapi tantangan dalam konteks kondisi sosial dan ekonomi. 
     
    Menurut dia, sejumlah langkah afirmasi di bidang politik itu sejatinya upaya untuk mengakselerasi keterwakilan perempuan di parlemen. 
     
    Namun, disayangkan upaya itu tidak dibarengi dengan pendidikan politik yang memadai bagi perempuan. 
     
    Pada kesempatan itu, wartawan senior Saur Hutabarat berpendapat, saat ini di Kabinet Merah Putih terdapat 5 menteri perempuan dan 9 wakil menteri perempuan. 
     
    Kondisi itu, sesuatu yang belum pernah terjadi. Bila itu berhasil, di masa depan kita akan punya 9 menteri perempuan. 
     
    Tetapi, ujar Saur, ada juga bidang-bidang yang tidak pernah dijabat oleh perempuan, sekarang dijabat perempuan, seperti Wakil Menteri  Pekerjaan Umum, Wakil Menteri Dalam Negeri, dan Wakil Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi. “Bila angle itu yang dipakai saya tidak melihat ada regresi,” ujar Saur. 
     
    Saur khawatir, label yang dibuat terhadap perempuan dan laki-laki itu memperkuat diskriminasi. 
     
    Sebagai contoh, tambah Saur, kata bangsawan tidak ada bangsawati, negarawan tidak ada negarawati, rupawan tidak ada rupawati. 
     
    “Mengapa sampai ke kita ada kata taruna dan taruni? Taruna itu berasal bahasa Pali rumpun Indo Arya yang artinya muda,” ujarnya. 
     
    Jadi, tegas Saur, justru penciptaan bahasa itulah yang menyebabkan penguatan diskriminasi. Menurut Saur, kondisi tersebut harus dikoreksi melalui alam pikiran dalam berbahasa. 
     
    Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
    dan follow Channel WhatsApp Medcom.id

    (TIN)

  • Wakil Ketua MPR: Patriotisme perempuan harus mampu majukan bangsa

    Wakil Ketua MPR: Patriotisme perempuan harus mampu majukan bangsa

    “Berbagai kisah perjuangan perempuan mengisi lembar sejarah perjuangan bangsa kita sejak dulu. Karena perjuangan perempuan adalah perjuangan yang berkelanjutan,”

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat mengatakan patriotisme perempuan harus dibangkitkan agar mampu mendorong semangat bersama untuk memperjuangkan hak-haknya dalam mengisi kemerdekaan demi kemajuan bangsa.

    “Berbagai kisah perjuangan perempuan mengisi lembar sejarah perjuangan bangsa kita sejak dulu. Karena perjuangan perempuan adalah perjuangan yang berkelanjutan,” kata Lestari saat diskusi bertema Peringatan Hari Perempuan Internasional di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.

    Dia menegaskan perempuan nusantara sejak dahulu adalah perempuan yang tangguh. Contohnya, kata dia, Aceh pada masa lalu dipimpin oleh para sultana (gelar sultan bagi perempuan) dengan pemikiran yang jauh melampaui zamannya.

    Selain itu, dia mengungkapkan pada abad ke-16 juga ada pejuang perempuan bernama Ratu Kalinyamat dari Jepara yang menerapkan konsep poros maritim di Nusantara untuk menggalang aliansi dalam melawan Portugis.

    Dia pun berharap momentum diskusi tentang patriotisme perempuan ini dapat membangkitkan semangat para perempuan untuk sama-sama bergandeng tangan menyelesaikan ‘pekerjaan rumah’ yang belum selesai dalam proses pembangunan bangsa.

    Sementara itu, Peneliti BRIN Irine Hiraswari Gayatri berpendapat gerakan perempuan itu berkembang sesuai zamannya, tetapi ada yang konsisten dalam setiap perjuangan itu yaitu militansi.

    Dia mengatakan keberhasilan gerakan perempuan seringkali bergantung pada faktor lokal dan global. Selain itu, perempuan juga masih menghadapi tantangan dalam konteks kondisi sosial dan ekonomi.

    Menurut dia, sejumlah langkah afirmasi di bidang politik itu sejatinya upaya untuk mengakselerasi keterwakilan perempuan di parlemen. Namun, disayangkan upaya itu masih belum bersamaan dengan pendidikan politik yang memadai bagi perempuan.

    Pewarta: Bagus Ahmad Rizaldi
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025