Tag: Laksamana Cheng Ho

  • Cheng Ho singgah di nusantara, awal diplomasi Tiongkok–Indonesia

    Cheng Ho singgah di nusantara, awal diplomasi Tiongkok–Indonesia

    Klenteng Sam Poo Kong di Semarang, tempat penghormatan terhadap Laksamana Cheng Ho yang singgah pada awal abad ke-15. (FOTO ANTARA)

    11 Juli 1405: Cheng Ho singgah di nusantara, awal diplomasi Tiongkok–Indonesia
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Jumat, 11 Juli 2025 – 06:00 WIB

    Elshinta.com – Pada 11 Juli 1405, Laksamana Cheng Ho memulai pelayaran pertamanya dari Pelabuhan Liujiagang, Tiongkok, yang kemudian menjadikannya tokoh penting dalam sejarah hubungan awal antara Tiongkok dan Nusantara. Dalam misi diplomatik atas perintah Kaisar Yongle dari Dinasti Ming, Cheng Ho memimpin armada raksasa dengan tujuan menjalin kerja sama dan pengaruh di Asia Tenggara, termasuk ke sejumlah kerajaan di wilayah Indonesia saat ini.

    Nusantara menjadi salah satu tujuan utama dalam pelayaran tersebut. Cheng Ho tercatat singgah di beberapa pelabuhan penting seperti Palembang, Semarang, dan Tuban. Di Palembang, ia membantu menumpas kelompok bajak laut yang dipimpin Chen Zuyi dan mendukung tokoh lokal yang pro terhadap Kekaisaran Ming. Sementara di Semarang, kedatangannya dikenang hingga kini dengan berdirinya Klenteng Sam Poo Kong, tempat peristirahatan pasukan Cheng Ho yang sakit sebelum melanjutkan pelayaran.

    Kehadirannya di wilayah-wilayah tersebut membuka jalur diplomasi antara Dinasti Ming dan kerajaan-kerajaan lokal seperti Majapahit dan Samudera Pasai. Beberapa sumber menyebutkan adanya pertukaran utusan dan hadiah sebagai bentuk pengakuan terhadap supremasi Kaisar Tiongkok, namun tanpa unsur penjajahan. Pelayaran ini juga memperkuat pengaruh budaya Tionghoa di Indonesia, termasuk melalui perdagangan, permukiman, dan penyebaran teknologi maritim.

    Ekspedisi Cheng Ho dipandang sebagai upaya diplomatik damai, berbeda dengan ekspansi kolonial yang muncul di masa-masa selanjutnya. Sebagai pelaut Muslim keturunan Hui, Cheng Ho juga dikenal karena menghormati komunitas lokal, termasuk masyarakat Islam di pesisir utara Jawa dan Sumatra. Hal ini turut mempererat hubungan budaya dan keagamaan antara kedua wilayah.

    Pelayaran ini menjadi bagian dari tujuh ekspedisi besar yang berlangsung hingga tahun 1433, dan membuka jalur perdagangan laut yang aktif antara Tiongkok dan Indonesia. Jejaknya masih dapat dirasakan hingga kini, tidak hanya dalam bentuk bangunan bersejarah, tetapi juga dalam narasi sejarah hubungan internasional Indonesia yang terbentuk jauh sebelum era kolonial Eropa.

    Sumber : Sumber Lain

  • Rano Karno Buka Pameran Cheng Ho, Harap Warga Paham Sejarah Nusantara-Tiongkok

    Rano Karno Buka Pameran Cheng Ho, Harap Warga Paham Sejarah Nusantara-Tiongkok

    Jakarta

    Pemerintah Provinsi DKI Jakarta resmi membuka pameran bertajuk Miles Apart, Close Heart di Museum Keramik, Kota Tua, Jakarta Barat. Pameran ini menyoroti kisah pelayaran Laksamana Cheng Ho yang menjadi simbol perdamaian dan jalur diplomasi budaya Nusantara-Tiongkok berabad-abad silam.

    Wakil Gubernur DKI Jakarta Rano Karno mengatakan, kerja sama ini lahir dari kolaborasi antara Museum Keramik dengan Museum Shanghai, yang dikenal sebagai salah satu museum terbesar di Tiongkok. Menurut Rano, pameran ini bukan soal artefak sejarah, tetapi juga jembatan kebudayaan antarbangsa.

    “Kami bahagia bisa melakukan kolaborasi dengan Museum Shanghai. Pelayaran Cheng Ho ini adalah simbol keterbukaan dan perdamaian. Nilai-nilai itu yang kita angkat agar generasi sekarang paham akar sejarah kita,” kata Rano di Museum Keramik, Jakarta Barat, Jumat (11/7/2025).

    Pameran Miles Apart, Close Heart memamerkan berbagai benda seni, keramik, replika alat kapal, serta catatan perjalanan Cheng Ho yang dahulu singgah di wilayah Nusantara. Sejumlah koleksi dipajang dengan narasi interaktif agar pengunjung, terutama anak muda, bisa mengenal jalur rempah dan jalur budaya maritim yang pernah menghubungkan Asia Tenggara dengan Tiongkok.

    Rano menegaskan, kerja sama ini diharapkan tidak berhenti di Jakarta. Pemprov DKI berencana menjadikan Museum Keramik dan Museum Shanghai sebagai sister museum dalam waktu dekat. Dengan status tersebut, pameran serupa ditargetkan bisa digelar di Shanghai pada 2027 mendatang.

    “Kalau sudah jadi sister museum, akan lebih mudah mendesain pameran balasan di Shanghai. Targetnya 2027, pas ulang tahun ke-500 Jakarta. Ini butuh perencanaan panjang, tapi saya optimis,” ujarnya.

    Pameran Miles Apart, Close Heart di Museum Keramik akan berlangsung selama satu bulan, dari tanggal 11 Juli hingga 11 Agustus mendatang. Masyarakat Jakarta pun diimbau memanfaatkan kesempatan ini untuk mengenal sejarah hubungan Nusantara-Tiongkok melalui jalur maritim Cheng Ho.

    (bel/zap)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Babat Gongso, Kuliner Khas Semarang yang Jadi Bukti Kedatangan Laksamana Cheng Ho

    Babat Gongso, Kuliner Khas Semarang yang Jadi Bukti Kedatangan Laksamana Cheng Ho

    Liputan6.com, Semarang – Babat gongso merupakan salah satu kuliner khas Semarang yang masih eksis hingga saat ini. Tak hanya lezat, kuliner ini ternyata juga menyimpan jejak kedatangan Laksamana Cheng Ho di Kota Atlas.

    Pada abad ke-15, Laksamana Cheng Ho diperkirakan datang ke Semarang. Kedatangan tersebut membawa pengaruh besar terhadap kuliner di Kota Semarang, seperti lumpia, wingko babat, tahu gimbal, dan babat gongso.

    Babat gongso lahir dari perpaduan kuliner lokal dengan pengaruh Tionghoa. Perpaduan tersebut menghasilkan kuliner dengan cita rasa yang kaya.

    Mengutip dari laman Indonesia Kaya, babat gongso terinspirasi dari kuliner Tionghoa yang umumnya dimasak dengan bumbu kecap dan cabai. Cara memasak tersebut diadaptasi oleh masyarakat lokal untuk mengolah babat, yakni bagian lambung sapi.

    Pada masa itu, babat merupakan salah satu bahan yang tersedia di daerah Jawa. Lebih sering diolah menjadi hidangan berkuah, babat hadir dalam bentuk berbeda melalui babat gongso.

    Para pedagang kaki lima di Semarang pun banyak yang mulai mengolah babat dengan bumbu yang lebih beragam dan menggunakan teknik menumis. Dari sanalah lahir babat gongso.

    Terkait penyebutan gongso sebenarnya nama ini berasal dari bahasa Jawa yang berarti ditumis. Sementara itu, pengaruh budaya Tionghoa tercermin dalam penggunaan bumbu kecap manis dan teknik menumisnya.

    Babat gongso menawarkan tekstur babat yang empuk. Bumbu pada masakan ini pun meresap sempurna dan menghasilkan cita rasa gurih, manis, dan sedikit pedas.

    Sebelum diolah menjadi babat gongso, pertama-tama babat direbus hingga empuk terlebih dahulu. Proses ini menghasilkan tekstur lembut yang dapat membuat bumbu meresap dengan baik, sehingga menciptakan cita rasa gurih yang khas.

    Babat gongso biasanya disantap bersama nasi hagat dan lauk pelengkap lain, seperti paru goreng atau telur dadar. Tak hanya jadi kuliner khas yang melegenda, babat gongso juga menjadi simbol kekayaan tradisi yang terus bertahan dan berkembang di Semarang.

    Penulis: Resla

  • Rekomendasi Wisata di Jakarta, Cocok untuk Habiskan Libur Panjang Lebaran – Page 3

    Rekomendasi Wisata di Jakarta, Cocok untuk Habiskan Libur Panjang Lebaran – Page 3

    3. Pameran Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara

    Pameran “KONGSI: Akulturasi Tionghoa di Nusantara” adalah pameran yang menampilkan perjalanan sejarah dan budaya Tionghoa yang berbaur dengan Indonesia. Pameran ini digelar di Museum Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.

    Koleksi yang dipamerkan Wayang potehi, Kebaya encim, Ragam kain peranakan, Biografi Laksamana Cheng Ho hingga Didi Nini Thowok, Karya seni instalasi.

    Pameran ini berlangsung dari 11 Februari hingga Mei 2025 di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 12, Jakarta Pusat. Tiket masuk Rp25.000 untuk dewasa, Rp15.000 untuk anak (3-12 tahun), Rp50.000 untuk Warga Negara Asing (WNA).

    4. Pameran Tunggal Arkiv Vilmansa “Semesta Arkiv”

     

    Seniman kontemporer asal Bandung Arkiv Vilmansa menggelar pameran tunggal bertajuk “SEMESTA ARKIV” di Galeri Nasional Indonesia yang berlangsung hingga 11 Mei 2025, menghadirkan eksplorasi seni, teknologi, dan kemanusiaan.

    Pameran ini merupakan hasil kolaborasi antara Galeri Nasional Indonesia, Studio Arkiv, dan Galeri Zen1. Dalam pameran ini, Arkiv menampilkan kolaborasi dengan sejumlah seniman, seperti Sunaryo, Darbotz, Erwin Windu Pranata, dan Mulyana (Mangmoel).

    Pameran “Semesta Arkiv” menampilkan perjalanan kreatif Arkiv Vilmansa melalui eksplorasi warna, karakter imajinatif, dan kolaborasi lintas disiplin yang tersebar di beberapa gedung Galeri Nasional Indonesia.

    5. Jakarta Lebaran Fair

    Jakarta Lebaran Fair 2025 bisa menjadi pilihan destinasi libur Lebaran, bagi warga yang tidak mudik. Pameran, wisata kuliner, hingga hiburan dapat ditemukan di sana.

     

    Perhelatan Jakarta Lebaran Fair 2025 digelar pada 19 Maret-6 April 2025 di JIExpo Kemayoran.

    Kalian bisa menikmati tenan berbagai produk mulai dari otomotif, barang elektronik, fashion, peralatan rumah tangga, kosmetik, produk jasa, hingga kerajinan tangan. Banyak promo dan diskon menarik yang ditawarkan sehingga sangat disayangkan jika dilewatkan.

    Lalu, ada kedai makanan yang menyajikan berbagai hidangan lezat maupun booth cemilan kemasan. Ada juga konser musik turut memeriahkan Jakarta Lebaran Fair 2025 mulai Wijaya 80, Adrian WST, Start Koplo, hingga Coconut Treez.

     

  • Rekomendasi wisata akhir pekan di DKI Jakarta saat libur Lebaran

    Rekomendasi wisata akhir pekan di DKI Jakarta saat libur Lebaran

    Jakarta (ANTARA) – Akhir pekan merupakan waktu yang ditunggu-tunggu khususnya bagi warga Jakarta untuk melepas penat setelah bekerja dan beraktivitas. Apalagi, akhir pekan ini merupakan momentum libur Lebaran.

    Bagi anda yang ingin menghabiskan waktu bersama keluarga atau kerabat dengan berwisata, berikut rekomendasi tempat wisata dan acara yang bisa dikunjungi hari ini:

    1. Lebaran di TMII

    Dalam rangka menyambut Hari Raya Idul Fitri 2025, Taman Mini Indonesia Indah (TMII) mengadakan Pawai Obor pada malam takbiran dengan rute dari Plaza Promenade menuju Plaza Kori Agung.

    Lalu, Bazar Oase Nusantara yang menghadirkan ragam aneka kuliner khas Nusantara, Atraksi Budaya seperti Tari Kecak, Lompat Batu, Kuda Lumping, Sisingaan, Soul of Youth di Plaza Kori Agung, Jelajah Malam Museum di Museum Indonesia dan Museum Pusaka.

    Permainan anak dan rakyat yang tersebar di beberapa anjungan daerah, Perdana Ria Jakarta di Plaza Lokomotif, dan Senandung Lebaran bersama Shaky Town Band yang akan membawa suasana lebaran lebih hidup.

    Selain itu, TMII juga memberikan akses masuk gratis untuk masyarakat yang akan melaksanakan Sholat Ied di Plaza Keong Emas pada Senin (31/3) mendatang.

    Jam operasional TMII selama periode acara ini mulai pukul 06.00 WIB-20.00 WIB dengan akses melalui gate 1, 3, dan 4.

    2. Samudra Ancol: Petualangan Seru bersama Satwa

    Nuansa Lebaran juga akan menyapa pengunjung di Samudra Ancol. Pengunjung bisa melihat lebih dekat perilaku satwa yang lucu dan pintar antara lain Ketupat Rindu di Dolphin Adventures, Ale & Ketupat Emas di Sea Lion and Friends, serta kehadiran Dolphin & Light Percussion di Underwater Theater.

    Atraksi magic balloon serta si robot pintar Twirly juga akan menghibur pengunjung sepanjang hari pada 1-7 April 2025.

    3. Pameran Kongsi: Akulturasi Tionghoa di Nusantara

    Pameran “KONGSI: Akulturasi Tionghoa di Nusantara” adalah pameran yang menampilkan perjalanan sejarah dan budaya Tionghoa yang berbaur dengan Indonesia. Pameran ini digelar di Museum Nasional Indonesia, Jakarta Pusat.

    Koleksi yang dipamerkan Wayang potehi, Kebaya encim, Ragam kain peranakan, Biografi Laksamana Cheng Ho hingga Didi Nini Thowok, Karya seni instalasi.

    Pameran ini berlangsung dari 11 Februari hingga Mei 2025 di Museum Nasional, Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 12, Jakarta Pusat. Tiket masuk Rp25.000 untuk dewasa, Rp15.000 untuk anak (3-12 tahun), Rp50.000 untuk Warga Negara Asing (WNA).

    4. Pameran Tunggal Arkiv Vilmansa “Semesta Arkiv”

    Seniman kontemporer asal Bandung Arkiv Vilmansa menggelar pameran tunggal bertajuk “SEMESTA ARKIV” di Galeri Nasional Indonesia yang berlangsung hingga 11 Mei 2025, menghadirkan eksplorasi seni, teknologi, dan kemanusiaan.

    Pameran ini merupakan hasil kolaborasi antara Galeri Nasional Indonesia, Studio Arkiv, dan Galeri Zen1. Dalam pameran ini, Arkiv menampilkan kolaborasi dengan sejumlah seniman, seperti Sunaryo, Darbotz, Erwin Windu Pranata, dan Mulyana (Mangmoel).

    Pameran “Semesta Arkiv” menampilkan perjalanan kreatif Arkiv Vilmansa melalui eksplorasi warna, karakter imajinatif, dan kolaborasi lintas disiplin yang tersebar di beberapa gedung Galeri Nasional Indonesia.

    5. Jakarta Lebaran Fair

    Jakarta Lebaran Fair 2025 bisa menjadi pilihan destinasi libur Lebaran, bagi warga yang tidak mudik. Pameran, wisata kuliner, hingga hiburan dapat ditemukan di sana.

    Perhelatan Jakarta Lebaran Fair 2025 digelar pada 19 Maret-6 April 2025 di JIExpo Kemayoran.

    Kalian bisa menikmati tenan berbagai produk mulai dari otomotif, barang elektronik, fashion, peralatan rumah tangga, kosmetik, produk jasa, hingga kerajinan tangan. Banyak promo dan diskon menarik yang ditawarkan sehingga sangat disayangkan jika dilewatkan.

    Lalu, ada kedai makanan yang menyajikan berbagai hidangan lezat maupun booth cemilan kemasan. Ada juga konser musik turut memeriahkan Jakarta Lebaran Fair 2025 mulai Wijaya 80, Adrian WST, Start Koplo, hingga Coconut Treez.

    Pewarta: Siti Nurhaliza
    Editor: Ganet Dirgantara
    Copyright © ANTARA 2025

  • Sejarah dan Makna Lontong Cap Go Meh, Hidangan Wajib Penutup Imlek

    Sejarah dan Makna Lontong Cap Go Meh, Hidangan Wajib Penutup Imlek

    Jakarta, Beritasatu.com – Lontong Cap Go Meh adalah hidangan khas yang disajikan oleh komunitas Tionghoa-Indonesia pada perayaan Cap Go Meh, yaitu hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek. Lantas, bagaimana sejarah lontong Cap Go Meh?

    Hidangan ini menjadi simbol akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa, mencerminkan perpaduan tradisi kuliner yang kaya dan beragam. Sejarah lontong Cap Go Meh tidak hanya menceritakan tentang makanan, tetapi juga menggambarkan bagaimana dua budaya berbeda dapat bersatu dan menciptakan sesuatu yang unik.

    Asal-usul Lontong Cap Go Meh  
    Sejarah lontong Cap Go Meh berawal dari migrasi masyarakat Tionghoa ke Indonesia, khususnya ke Pulau Jawa, sejak abad ke-14. Para imigran Tionghoa yang datang ke Jawa sering menikah dengan perempuan lokal karena mereka tidak diperbolehkan membawa pasangan dari negara asalnya. Perpaduan budaya ini melahirkan masyarakat Peranakan yang mengadopsi berbagai aspek budaya Jawa, termasuk dalam hal kuliner.  

    Dalam tradisi Tionghoa, Cap Go Meh merupakan hari ke-15 sekaligus penutup rangkaian perayaan Tahun Baru Imlek. Di Tiongkok, hidangan khas perayaan ini adalah yuanxiao atau bola nasi ketan. Namun, di Indonesia, masyarakat Peranakan menggantinya dengan lontong, makanan khas Jawa yang dibuat dari beras yang dimasak dalam daun pisang. Kombinasi ini menciptakan hidangan khas yang kini dikenal sebagai lontong Cap Go Meh.  

    Selain asal-usul yang berkaitan dengan akulturasi budaya, ada juga legenda menarik mengenai penamaan hidangan ini. Konon, ketika Laksamana Cheng Ho (Sam Po Kong) singgah di Semarang, dia mengadakan kompetisi memasak hidangan Cap Go Meh. Seorang kepala desa yang ikut serta harus memasak dengan bahan yang tersedia dalam waktu terbatas.

    Ia pun menyajikan sup yang mengandung berbagai macam bahan, termasuk lontong. Ketika kompetisi berakhir, seorang pengawal Cheng Ho mencatat hidangan tersebut sebagai “Luang Tang Shiwu Ming”, yang dalam dialek Hokkien kemudian terdengar seperti “Lontong Cap Go Meh”. Sejak saat itu, nama ini melekat dan menjadi sebutan untuk hidangan khas perayaan Cap Go Meh di Indonesia.

    Makna Filosofis Lontong Cap Go Meh
    Setiap komponen dalam Lontong Cap Go Meh memiliki makna simbolis yang mendalam. Lontong yang berbentuk panjang melambangkan harapan untuk umur panjang. Kuah santan berwarna kuning keemasan mencerminkan kemakmuran dan rezeki yang melimpah, sementara telur melambangkan keberuntungan. Sayur lodeh rebung yang sering disertakan melambangkan kekuatan dan ketahanan, sejalan dengan sifat bambu yang kuat tetapi fleksibel.  

    Lontong Cap Go Meh bukan sekadar lontong, tetapi juga dilengkapi dengan berbagai lauk pauk yang kaya rasa. Biasanya, hidangan ini terdiri dari opor ayam, sayur lodeh, sambal goreng hati, telur pindang, abon sapi, bubuk koya, acar, sambal, dan kerupuk. Kombinasi ini menciptakan cita rasa yang kompleks dan lezat, mencerminkan kekayaan budaya kuliner Indonesia.  

    Sejarah lontong Cap Go Meh tidak hanya menceritakan tentang makanan, tetapi juga tentang bagaimana dua budaya berbeda dapat bersatu dan menciptakan sesuatu yang unik. Hidangan ini menjadi bukti nyata akulturasi budaya Tionghoa dan Jawa yang harmonis.

  • Penampilan Barongsai Meriahkan Imlek di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban

    Penampilan Barongsai Meriahkan Imlek di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban

    Tuban (beritajatim.com) – Perayaan Imlek tahun 2025 di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban menampilkan hiburan Barongsai yang tampil memukau di depan para pengunjung dan umat beribadah.

    Dalam perayaan tersebut tampak meriah, saat Barongsai melakukan atraksi mengambil buah-buahan dan diberikan kepada pengurus TITD Klenteng Kwan Sing Bio Tuban.

    Dari aksinya itu, 2 Barongsai mendapatkan angpau ciri khas dari Imlek itu sendiri, serta pengunjung yang juga ikut memberikan saweran.

    Salah satu pengunjung Adilla (25) asal Semanding, Kabupaten Tuban ini mengaku terpukau melihat atraksi Barongsai di Klenteng Kwan Sing Bio Tuban, bahkan dirinya sudah menunggu sejak pagi tadi.

    “Niat kesini memang mau melihat Barongsai sama foto-foto dan sudah dari tadi jam 8, tapi belum mulai,” ujar Adilla, Rabu (29/01/2025)..

    Sementara itu, Pengurus Klenteng Kwan Sing Bio Tuban, Liana menjelaskan, bahwa setiap tahunnya perayaan Imlek yakni hiburan Barongsai selalu diberikan kepada masyarakat tidak hanya umat beribadah namun siapapun boleh melihatnya.

    “Memang kami berikan hiburan kepada pengunjung disini, tetapi di halaman Klenteng, tidak di area kawasan Altar, karena untuk ibadah saja,” ujar Liana.

    Selain itu, Barongsai ini khusus didatangkan dari Semarang dan baru sampai di Tuban tadi pukul 05.30 Wib. “Ya harapannya bisa memberikan hiburan kepada masyarakat,” terang dia.

    Menurut Liana, para pengunjung juga dapat menikmati spot foto yang ada di Klenteng terbesar se-Asia Tenggara ini, karena banyak hiasan berupa Lampion, serta patung Shio Ular Kayu.

    “Setiap tahunnya kita membuat patung Shio, kebetulan tahun ini kan Shionya Ular Kayu jadi patungnya menyerupai Ular Kayu,” tutup Liana.

    Sejarah Klenteng Kwan Sing Bio Tuban
    Klenteng Kwan Sing Bio di Tuban, Jawa Timur, merupakan salah satu klenteng terbesar di Asia Tenggara dan memiliki sejarah yang kaya, mencerminkan akulturasi budaya Tionghoa dengan lokal.

    Asal Usul dan Pendirian
    Klenteng ini awalnya merupakan tempat pemujaan kecil milik keluarga Tionghoa yang bermigrasi ke Jawa. Menurut legenda, pada sekitar 200 tahun lalu, patung Dewa Kwan Kong (Kwan Sing Tee Koen) yang hendak dipindahkan dari Desa Tambak Boyo terhenti di lokasi klenteng saat ini. Ritual “melempar pue” (kayu berbentuk ginjal) dilakukan, dan hasilnya menunjukkan keinginan dewa untuk menetap di Tuban.

    Klenteng kemudian dibangun di tepi pantai tersebut, yang dahulu merupakan area tambak.
    Terdapat perbedaan catatan tahun pendirian: beberapa sumber menyebut 1773, sementara lainnya menyatakan 1928. Namun, prasasti tertua di klenteng berasal dari tahun 1840, yang mungkin menandai periode renovasi atau perluasan.

    Dewa Utama dan Fungsi Religius
    Klenteng ini didedikasikan untuk Dewa Kwan Kong (Guan Yu), dewa perang dalam kepercayaan Tionghoa yang dihormati sebagai simbol kesetiaan, kejujuran, dan pelindung perdagangan. Patungnya setinggi 30 meter pernah tercatat di Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai patung panglima perang tertinggi di Asia Tenggara, meski sempat rubuh pada 2020.
    Selain sebagai tempat ibadah Tri Dharma (Buddha, Tao, Konghucu), klenteng ini juga menjadi pusat kegiatan budaya dan toleransi antarumat beragama di Tuban.

    3. Arsitektur dan Simbol Unik
    – Nuansa Laut: Klenteng menghadap langsung ke Laut Jawa, menegaskan peran historis Tuban sebagai kota pelabuhan.
    – Patung Kepiting: Di atas gerbang masuk terdapat patung kepiting, simbol yang langka di klenteng lain. Legenda menyebutkan bahwa pengurus klenteng bermimpi tentang kepiting raksasa yang masuk ke area tersebut, sehingga dipasanglah patung ini sebagai penanda.
    – Warna dominan merah, kuning, dan hijau, serta ornamen naga dan lampion, menciptakan nuansa khas Tionghoa.

    4. Peran dalam Sejarah dan Budaya
    – Era Kolonial hingga Orde Lama: Pada masa pemerintahan Soekarno, gambar Dewa Kwan Kong pernah dipasang di pengadilan sebagai simbol sumpah bagi warga Tionghoa.
    – Akulturasi dengan Lokal: Klenteng menjadi saksi interaksi pedagang Tionghoa dengan masyarakat Jawa sejak abad ke-13, terutama saat Tuban menjadi pusat perdagangan Majapahit.
    – Kunjungan Cheng Ho: Catatan sejarah menyebutkan bahwa Laksamana Cheng Ho singgah di Tuban selama ekspedisinya, memperkuat jejak budaya Tionghoa di wilayah ini.

    5. Perkembangan dan Kontroversi
    – Legenda Mongol: Cerita turun-temurun menyebut klenteng telah ada sejak kedatangan tentara Mongol pada 1293 M, meski bukti tertulis terbatas.
    – Pemugaran dan Rekonstruksi: Klenteng mengalami perluasan dari masa ke masa, termasuk renovasi besar pada 1970-an. Patung Dewa Kwan Kong yang rubuh pada 2020 masih menjadi perhatian masyarakat untuk dipulihkan.

    Klenteng Kwan Sing Bio tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga simbol sejarah panjang akulturasi budaya, perdagangan, dan spiritual di Tuban. Keunikan arsitektur, legenda, dan perannya dalam memelihara tradisi menjadikannya destinasi wisata religi dan budaya yang penting di Jawa Timur.
    [ayu/ted]

  • Habiskan Rp 10,5 Miliar, Kawasan Pecinan Semarang Siap Sambut Libur Imlek dengan Wajah Baru
                
                    
                        
                            Regional
                        
                        14 Januari 2025

    Habiskan Rp 10,5 Miliar, Kawasan Pecinan Semarang Siap Sambut Libur Imlek dengan Wajah Baru Regional 14 Januari 2025

    Habiskan Rp 10,5 Miliar, Kawasan Pecinan Semarang Siap Sambut Libur Imlek dengan Wajah Baru
    Tim Redaksi
    SEMARANG, KOMPAS.com –
    Revitalisasi tahap pertama di Kawasan Pecinan,
    Kota Semarang
    , Jawa Tengah, telah selesai dilaksanakan menjelang Perayaan
    Imlek 2025
    .
    Proyek penataan ini mencakup perbaikan jalan, pedestrian, dan saluran air di beberapa ruas jalan di kawasan tersebut.
    Wali Kota Semarang,
    Hevearita Gunaryanti Rahayu
    , mengungkapkan bahwa lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) telah dipasang oleh Dinas Pekerjaan Umum (DPU).
    “Di sepanjang Jalan Pekojan, Gang Mangkok, Gang Pasar Baru, Gang Gambiran, Jalan Inspeksi, dan Gang Cilik,” kata perempuan yang akrab disapa Mbak Ita kepada awak media pada Selasa (14/1/2025).
    Anggaran yang digelontorkan oleh Pemerintah Kota Semarang untuk mendukung program revitalisasi ini mencapai Rp10,5 miliar melalui Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) tahun 2024.
    Mbak Ita berharap penataan di Kawasan Pecinan dapat menggeliatkan sektor pariwisata Kota Semarang.
    “Pecinan itu termasuk bagian kawasan Semarang Lama selain Kota Lama dan Kampung Melayu. Ke depan, kawasan Pecinan ini akan dibuat menjadi kawasan khusus perdagangan sehingga wisata Semarang Lama dapat terintegrasi satu dengan yang lainnya,” terangnya.
    Kawasan Pecinan di Kota Semarang telah ada sejak tahun 1679, ketika imigran China datang dan hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa, Arab, dan Melayu.
    Komunitas China, baik pedagang kelas atas maupun kelas bawah, telah memainkan peran penting dalam perekonomian Semarang jauh sebelum kehadiran VOC.
    Pada tahun 1742, VOC memindahkan orang-orang China yang sebelumnya tinggal di Gedong Batu ke daerah yang kini dikenal sebagai Kawasan Pecinan, yang terletak di sepanjang Kali Semarang.
    Di kawasan ini pula, Laksamana Cheng Ho datang menggunakan kapal menyusuri Sungai Semarang hingga sekitar Kelenteng Tay Kak Sie, salah satu kelenteng terbesar yang sering digunakan oleh umat Tionghoa di Kota Semarang untuk beribadah dan merayakan perayaan keagamaan.
    “Kelenteng Tay Kak Sie sudah menjadi ikon Kota Semarang. Dengan berjalannya revitalisasi ini, harapannya mampu mendongkrak aktivitas ekonomi kawasan sekitar,” tambah Mbak Ita.
    Dia juga menekankan bahwa dengan mendekatnya perayaan Imlek, revitalisasi tersebut akan memberikan kenyamanan bagi pengunjung yang datang ke Kawasan Pecinan.
    “Bisa menjadi tempat yang tepat untuk sembahyang bagi wisatawan asal Tiongkok sekaligus bernostalgia,” ucapnya.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Warga Jakarta Utara diajak lestarikan cagar budaya

    Warga Jakarta Utara diajak lestarikan cagar budaya

    Jakarta (ANTARA) – Pemerintah Kota Jakarta Utara (Pemkot Jakut) mengajak warga untuk berpartisipasi melestarikan dan menjaga cagar budaya di wilayah setempat agar tetap bertahan sehingga sejarah itu dapat dinikmati generasi mendatang.

    “Peninggalan-peninggalan sejarah yang berharga ini harus dijaga dengan baik dan dilestarikan,” kata Wakil Wali Kota Jakarta Utara Juaini Yusuf usai mengunjungi Vihara Bahtera Bakti, Ancol di Jakarta, Rabu.

    Wakil Wali Kota ingin warga Jakarta Utara tahu, bahwa ada makam umat Muslim di dalam sebuah Vihara yang diperkirakan berumur 600 tahun ini.

    Menurut dia, Vihara Bahtera Bakti ini merupakan satu vihara yang unik, karena kerap dikunjungi oleh yang beragama Islam, Budha dan Konghucu.

    Ia menambahkan vihara ini didirikan oleh Laksamana Cheng Ho dengan tujuan untuk menghormati dan memberi persembahan kepada juru masaknya, Sampo Soei Soe yang menikah dengan seorang penari bernama Siti Wati.

    Setelah pernikahan tersebut, Sampo Soei Soe diajak menetap di lokasi tersebut oleh istrinya Siti Wati dan mertuanya yang bernama Embah Said Areli Dato Kembang.

    Lalu mereka menetap hingga akhir hayatnya. Inilah yang membuat unik Vihara Bahtera Bakti menjadi unik dengan keberadaan makam Muslim di dalam sebuah vihara.

    “Hal ini karena Sampo Soei Soe, Siti Wati dan Embah Said Areli Dato Kembang sudah memeluk Islam dan dimakamkan di sini,” dia.

    Juaini berharap tempat yang dulu bernama Da Bo Gong dan usianya sekitar 600 tahun ini dapat dilestarikan.

    Pewarta: Mario Sofia Nasution
    Editor: Edy Sujatmiko
    Copyright © ANTARA 2024