Tag: Kuntoro Boga Andri

  • Prospek sektor pertanian di era perang tarif

    Prospek sektor pertanian di era perang tarif

    Pekerja membongkar muatan kelapa sawit dari dalam truk di sebuah tempat jual beli tanda buah segar (RAM) di Desa Purnama Dumai, Riau, Sabtu (18/1/2025). ANTARA FOTO/Aswaddy Hamid/rwa.

    Prospek sektor pertanian di era perang tarif
    Dalam Negeri   
    Editor: Widodo   
    Jumat, 18 April 2025 – 17:01 WIB

    Elshinta.com – Perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang dipicu kebijakan tarif Presiden Donald Trump beberapa tahun lalu ternyata dapat membawa berkah tersendiri bagi sektor perkebunan Indonesia.

    Meskipun perang tarif tersebut sempat mengguncang tatanan perdagangan global, Indonesia justru melihat peluang meraup manfaat di sektor pertanian, khususnya untuk komoditas perkebunan.

    Sektor pertanian khususnya komoditas perkebunan Indonesia memiliki potensi produksi dan ekspor yang sangat besar. Indonesia merupakan produsen utama dunia untuk komoditas seperti kelapa, kelapa sawit, kopi, kakao, dan berbagai rempah.

    Pada 2022, produksi kelapa Indonesia mencapai 17,19 juta ton, sementara minyak kelapa sawit (CPO) menembus lebih dari 45 juta ton per tahun (BPS). Indonesia memasok sekitar 59 persen dari total produksi sawit global, menjadikannya produsen dan eksportir sawit nomor satu dunia dengan nilai ekspor sekitar 22,7 miliar dolar AS pada 2023 (fas.usd.gov).

    Komoditas perkebunan andalan lainnya juga berkontribusi besar. Produksi kopi Indonesia sekitar 793 ribu ton pada 2022, dengan nilai ekspor melampaui 1,1 miliar dolar AS di tahun tersebut. Untuk kakao, Indonesia menghasilkan sekitar 728 ribu ton biji kakao pada 2021, menempatkan negara ini sebagai produsen kakao terbesar ketiga di dunia (fao.org).

    Di segmen rempah-rempah, Indonesia masih merajai pasar global dengan memasok sekitar tiga perempat kebutuhan pala dunia dan termasuk produsen lada terbesar dunia. Adapun pada komoditas tebu, produksi gula dalam negeri mencapai 2,4 juta ton pada 2022 (konsumsi nasional, sekitar 3,2 juta ton).

    Terakhir, sektor perkebunan juga merambah energi hijau melalui biodiesel sawit. Berkat mandatori B40, Indonesia memproduksi lebih dari 11 juta kiloliter biodiesel pada 2022, dengan sebagian diekspor (sekitar 436 ribu ton pada 2022) terutama ke pasar Tiongkok (BPS, 2024).

    Dampak perang dagang

    Perang dagang antara AS dan Tiongkok sejak 2018 telah mengubah pola perdagangan internasional secara signifikan. Kebijakan Trump yang mengenakan tarif tinggi terhadap ratusan miliar dolar barang Tiongkok direspons Beijing dengan tarif balasan atas produk-produk AS.
    Alhasil, perdagangan langsung kedua negara tersebut menyusut tajam dan muncul fenomena trade diversion (pengalihan perdagangan) ke negara lain.

    Sebagai contoh, China menerapkan tarif tambahan 25% pada impor kedelai AS mulai Juli 2018, yang membuat volume impor kedelai dari AS anjlok hampir 50 persen pada tahun itu. Berkurangnya pasokan kedelai tersebut mengurangi produksi minyak kedelai di pasar Tiongkok, sehingga negeri itu meningkatkan impor minyak sawit sebagai substitusi.

    Bahkan, pada 2019 impor sawit Tiongkok mencapai rekor tertinggi 7,6 juta ton akibat tarif tinggi pada kedelai AS (mpoc.org.my).

    Dampak lebih luasnya, baik Washington maupun Beijing mulai mengalihkan perdagangan mereka ke mitra alternatif. China, misalnya, mengurangi pembelian sejumlah komoditas dari AS dan beralih ke pemasok lain.

    Hal serupa dilakukan AS dengan mencari sumber impor di luar Tiongkok. Keduanya khawatir ketergantungan perdagangan bisa dijadikan senjata ekonomi, sehingga berupaya mendiversifikasi rantai pasok masing-masing. Bagi dunia, gesekan dua ekonomi raksasa ini memicu pergeseran arus dagang: negara-negara ketiga mulai mengisi kekosongan di pasar yang ditinggalkan produk asal AS atau Tiongkok yang terkena hambatan tarif.

    Peluang peningkatan ekspor

    Tergesernya sebagian produk Amerika dan Tiongkok dari pasar global membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor produk perkebunannya. Ketika komoditas agrikultur AS sulit masuk pasar Tiongkok akibat tarif, importir di sana mencari pasokan substitusi dari negara lain.

    Situasi ini menjadi angin segar bagi Indonesia. Contoh nyata terjadi pada minyak nabati: saat pasokan dan produksi minyak kedelai di Tiongkok turun karena tarif terhadap kedelai AS, Indonesia sebagai produsen sawit terbesar siap mengisi kebutuhan tersebut. Peningkatan impor sawit Tiongkok jelas menguntungkan eksportir CPO kita.

    Demikian pula, jika produk pertanian tertentu dari AS kehilangan daya saing di pasar global, komoditas sejenis asal Indonesia berpotensi mengambil alih.

    Sebagai ilustrasi, penurunan ekspor kedelai dan jagung AS mendorong beberapa negara pengimpor untuk beralih ke sumber alternatif. Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini dengan menawarkan produk substitusi, entah itu minyak sawit sebagai pengganti minyak kedelai, ataupun produk olahan kelapa, kopi, dan rempah-rempah ke pasar-pasar yang mulai menghindari produk asal AS/Tiongkok. Data perdagangan menunjukkan sejumlah komoditas ekspor Indonesia meningkat pangsa pasarnya selama periode memanasnya perang tarif AS-Tiongkok.

    Potensi sektor perkebunan

    Setidaknya ada beberapa alasan mengapa sektor perkebunan Indonesia relatif diuntungkan oleh dinamika ini. Pertama, fleksibilitas pasar dan daya adaptasi komoditas kita cukup tinggi. Indonesia mampu dengan cepat mengalihkan penjualan ke negara yang menawarkan permintaan lebih baik ketika terjadi gangguan di suatu pasar.

    Sebagai contoh, saat Uni Eropa membatasi impor biodiesel sawit, produsen Indonesia sigap beralih ekspor ke Tiongkok yang justru meningkat permintaannya. Fleksibilitas semacam ini menjaga volume ekspor tetap tinggi meski peta perdagangan berubah.

    Kedua, diversifikasi tujuan ekspor mengurangi risiko. Ketergantungan yang tidak terlalu besar pada satu pasar membuat posisi tawar Indonesia kuat. Misalnya, Amerika Serikat belakangan muncul sebagai salah satu importir sawit terbesar (sekitar 2,5 juta ton pada 2023).

    Namun apabila akses ke pasar AS terhambat, Indonesia masih memiliki banyak pembeli lain seperti India, China, Pakistan, dan negara-negara di Timur Tengah. Jaringan pasar yang beragam ini memastikan produk perkebunan Indonesia selalu memiliki ceruk di pasar global.

    Ketiga, tren kenaikan harga komoditas dunia belakangan ini turut menguntungkan Indonesia. Perang dagang dan ketidakpastian global kerap mendorong importir menimbun stok dan memicu kenaikan harga. Bagi produsen Indonesia, harga yang lebih tinggi berarti pendapatan meningkat.

    Sebagai contoh, ekspor kopi dan karet Indonesia mendapat nilai lebih tinggi pada 2022 berkat lonjakan harga global. Kenaikan harga ini memberikan insentif bagi petani untuk meningkatkan produksi dan produktivitas.

    Produksi nasional dan swasembada

    Peluang ekspor dan harga jual yang lebih baik pada akhirnya mendorong peningkatan produksi dalam negeri. Ketika petani dan pengusaha menikmati harga komoditas yang tinggi, mereka terdorong memperluas areal tanam, intensifikasi budidaya, dan investasi di sektor ini.

    Contohnya di sektor sawit, keuntungan ekspor mendorong program peremajaan (replanting) kebun-kebun rakyat untuk memastikan keberlanjutan suplai CPO. Peningkatan produksi ini selain memenuhi permintaan ekspor, juga berkontribusi pada pemenuhan kebutuhan domestik.

    Dampak lainnya adalah Upaya percepatan swasembada komoditas. Dengan makin bergairahnya sektor perkebunan, pemerintah dapat mengakselerasi program swasembada gula, misalnya, karena iklim usaha bagi petani tebu membaik seiring tren harga yang menguntungkan. Intinya, keuntungan yang diperoleh dari ekspor dapat dialokasikan untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi nasional.

    Perang tarif AS-Tiongkok menunjukkan pentingnya kemampuan adaptasi dan diversifikasi. Tentu, perlu langkah berkelanjutan seperti peningkatan daya saing melalui hilirisasi dan kualitas, serta diplomasi dagang yang aktif agar manfaat ini berkelanjutan.

    *) Kuntoro Boga Andri : Kepala Pusat Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Perkebunan, Kementerian Pertanian.

    Sumber : Antara

  • Menenun tekstil hijau dari serat randu

    Menenun tekstil hijau dari serat randu

    Ilustrasi -Pengunjung berlarian di antara serat kapas dari pohon kapuk randu (Ceiba pentandra) yang berguguran dirumput di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. . ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/hp.

    Menenun tekstil hijau dari serat randu
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Senin, 07 April 2025 – 16:37 WIB

    Elshinta.com – Industri tekstil dan fesyen global saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, sektor ini menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi dunia. Namun, di sisi lain, industri ini turut menyumbang sekitar 10 persen emisi karbon global dan mengonsumsi sekitar 93 miliar meter kubik air setiap tahun.

    Bahan baku konvensional seperti kapas dan poliester mulai dipertanyakan karena jejak ekologisnya yang tinggi. Dalam menghadapi krisis iklim yang semakin mendesak, dunia memerlukan alternatif serat alami yang lebih berkelanjutan.

    Di sinilah serat randu (kapuk), yang sempat terlupakan, kembali menawarkan secercah harapan. Pohon randu (Ceiba pentandra), yang dahulu menjadi kebanggaan tanah Jawa, menghasilkan serat kapuk yang ringan, tahan air, dan dapat terurai secara hayati (biodegradable).

    Sayangnya, selama beberapa dekade, kapuk hanya dimanfaatkan sebagai bahan isian untuk kasur dan bantal, sehingga potensinya belum tergarap secara optimal. Kini, berkat kemajuan teknologi, serat kapuk dapat diolah menjadi bahan tekstil ramah lingkungan yang menjanjikan.

    Bagi Indonesia, ini merupakan peluang emas untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor kapas dan mengambil peran kepemimpinan dalam pasar global melalui produk-produk berkelanjutan yang berbasis pada sumber daya lokal.

    Potensi ekonomi

    Indonesia pernah menjadi raja kapuk dunia. Pada 1930-an, Jawa memasok 85 persen kebutuhan kapuk global. Namun, sejak 2000-an, popularitas kapuk merosot akibat gempuran busa sintetis dan kapas transgenik.

    Inovasi dan kebutuhan akan produk ramah lingkungan serta tren pasar tekstil hijau organik membalikkan keadaan dan membangkitkan kembali permintaan bahan kapuk alami. Sepanjang 2022, ekspor kapuk Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang saja mencapai 5 ribu ton (senilai Rp60 miliar), dengan India sebagai pembeli terbesar.​

    Yang menarik, kapuk tak lagi sekadar bahan kasur dan bantal. Industri elektronik memanfaatkannya sebagai isolator panas, sementara pasar tekstil hijau global membuka pintu lebar. Apalagi, kapuk dapat tumbuh di lahan kering marginal dan termasuk tanaman tahunan, yang sangat sesuai dengan 24 juta hektar lahan kering di Indonesia yang belum dimanfaatkan optimal.​

    Di sisi hilir, substitusi kapuk untuk kapas bisa mengurangi impor bahan baku tekstil Indonesia yang mencapai 900 ribu ton per tahun. Bayangkan jika 10 persen dari angka itu digantikan kapuk, devisa triliunan rupiah dapat dihemat, sambil menciptakan lapangan kerja dari hulu ke hilir.​

    Serat kapuk secara alamiah memiliki karakteristik yang pendek, licin, dan rapuh membuatnya sulit dipintal menjadi benang. Secara mikroskopis, permukaannya yang halus akibat lapisan lilin alami mengurangi daya lekat antar-serat. Kekuatan tariknya pun rendah, hanya sepertiga dari kapas.​

    Namun, melalui penelitian didapat bahwa perlakuan alkali dapat menghilangkan lignin dan lilin pada serat kapuk, meningkatkan kekasaran permukaan sehingga lebih mudah dipintal.

    Solusi lain adalah pencampuran dengan serat lain. Sebuah perusahaan Kanada misalnya, menciptakan kaos dari campuran 30 persen kapuk dan 70 persen kapas organik. Kombinasi ini tidak hanya memperkuat benang, tetapi juga menghemat 3 ribu liter air untuk produksi empat kaos, sebuah terobosan di industri yang boros air.​

    Inovasi teknologi juga datang dari sebuah perusahaan rintisan yang mendirikan pabrik pengolahan kapuk di Indonesia. Dengan mesin pemintalan canggih, mereka menghasilkan benang berkualitas tinggi yang diekspor ke pasar global. Selain itu, teknik needle punching untuk membuat kain non-anyam (felt) mulai diadopsi, membuka peluang aplikasi baru seperti material insulasi atau alas kaki ramah lingkungan.​

    Kebangkitan randu

    Balai Perakitan Tanaman Pemanis dan Serat yang dulu bernama Balittas (Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) memiliki peran strategis dalam konservasi dan pengembangan plasma nutfah tanaman serat, termasuk randu.

    Upaya Balittas meliputi rejuvinasi, konservasi lapang, dan konservasi in vitro untuk mencegah erosi genetik tanaman randu yang tak terhindarkan akibat faktor alam maupun aktivitas manusia. Selain itu, Balittas melakukan karakterisasi dan evaluasi terhadap koleksi plasma nutfah randu untuk mengidentifikasi potensi genetik yang dapat dimanfaatkan dalam program pemuliaan tanaman.

    Kebun Percobaan (KP) Muktiharjo yang dikelola Balittas memegang peran penting dalam konservasi dan pengembangan plasma nutfah randu di Indonesia. Sebagai sentra plasma nutfah randu terbesar dan terlengkap di Asia Tenggara, KP Muktiharjo memiliki 157 aksesi randu yang dikumpulkan dari berbagai daerah. Koleksi ini menjadi sumber genetik berharga untuk program pemuliaan dan adaptasi randu terhadap berbagai kondisi lingkungan. ​

    Balittas telah melepas beberapa varietas unggul kapuk hasil pemuliaan, seperti Muktiharjo 1 (MH1), Muktiharjo 2 (MH2), MH3, MH4 dan Togo B dari tipe Karibia yang sesuai untuk usaha tani monokultur pada tahun 2006. Varietas-varietas ini dikembangkan melalui seleksi klon-klon potensial yang menunjukkan produktivitas lebih tinggi dan adaptasi baik terhadap kondisi lokal.

    Di tingkat komunitas, Desa Karaban di Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, merupakan contoh nyata revitalisasi industri kapuk. Desa ini dikenal sebagai pusat pengolahan kapuk terbesar di Indonesia, dengan sekitar 30 pengusaha skala besar dan 400 pengusaha skala kecil yang bergerak dalam produksi kasur, bantal, dan guling berbahan dasar kapuk. Produk-produk ini tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga diekspor ke luar Jawa, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi.

    Salah satu pengusaha di Desa Karaban, Kusno, mengungkapkan bahwa bahan baku kapuk sebagian besar didatangkan dari Jawa Timur dan luar Jawa, dengan harga mencapai Rp18.500 per kilogram. Meskipun menghadapi tantangan dalam pemasaran akibat fluktuasi pasar, produksi kapuk tetap berjalan. Pengusaha lain, Turi, menambahkan bahwa produk olahan kapuk seperti kasur dan bantal memiliki permintaan stabil, terutama dari luar Jawa. ​

    Namun, industri kapuk di Desa Karaban menghadapi tantangan serius terkait ketersediaan bahan baku. Dari 700 ribu pohon kapuk randu di Pati, 30 persen telah ditebang untuk berbagai alasan, termasuk pengembangan infrastruktur dan pemanfaatan kayu. Jika tren ini berlanjut, dalam lima tahun ke depan industri kapuk di desa tersebut terancam punah, mengingat sekitar 5.000 tenaga kerja produktif bergantung pada sektor ini.

    Dengan dukungan riset yang berkelanjutan, pengembangan varietas unggul, serta sinergi antara pemerintah, institusi penelitian, dan pelaku industri, kapuk randu memiliki potensi besar untuk kembali menjadi komoditas unggulan Indonesia.

    Langkah-langkah strategis ini diharapkan mampu membangkitkan kembali kejayaan kapuk, memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat, dan mendukung tumbuhnya industri tekstil hijau yang berkelanjutan.

    Implementasi hasil-hasil penelitian di lapangan secara tepat dan terarah menjadi kunci dalam mempercepat transformasi kapuk randu dari bahan tradisional menjadi bahan baku tekstil masa depan. Indonesia memiliki peluang besar untuk menenun kembali harapan industri tekstil hijau melalui pemanfaatan serat randu yang ramah lingkungan dan berbasis kearifan lokal.

    *) Kuntoro Boga Andri adalah Kepala Pusat Badan Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP) Perkebunan, Kementerian Pertanian

    Sumber : Antara

  • Inflasi harga komoditas perkebunan global dan peluang bagi Indonesia

    Inflasi harga komoditas perkebunan global dan peluang bagi Indonesia

    ​Sebagai produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia dengan pangsa pasar 58 persen, Indonesia diuntungkan oleh harga CPO yang tetap tinggi.

    Jakarta (ANTARA) – Harga komoditas perkebunan global berfluktuasi signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

    Setelah mencapai puncaknya pada tahun 2022 akibat pandemi dan konflik geopolitik, harga-harga tersebut sempat mereda pada 2023, namun tetap berada jauh di atas level sebelum pandemi.

    Bank Dunia memproyeksikan bahwa indeks harga komoditas untuk periode 2024–2025 hanya akan melemah tipis, tetapi masih 38 persen lebih tinggi dibandingkan masa sebelum Covid-19.​

    Bagi Indonesia, sebagai eksportir utama kelapa sawit, karet, kopi, kakao, dan teh, fluktuasi harga ini memiliki dampak ganda. Di satu sisi, lonjakan harga komoditas dapat meningkatkan pendapatan ekspor dan memperkuat perekonomian nasional.

    Namun, di sisi lain, volatilitas yang tinggi berisiko mengganggu stabilitas ekonomi, terutama jika harga tiba-tiba anjlok. Fluktuasi harga yang tidak terkendali dapat mempengaruhi kesejahteraan petani dan pelaku usaha di sektor perkebunan.

    ​Fluktuasi harga komoditas perkebunan global signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Minyak kelapa sawit (CPO), sebagai salah satu komoditas andalan Indonesia, mencapai rekor harga 1.276 dolar AS per ton pada tahun 2022 akibat berbagai faktor, termasuk pandemi dan gangguan rantai pasok.

    Namun, harga tersebut turun tajam sebesar 30,5 persen menjadi 886 dolar AS per ton pada tahun 2023. Bank Dunia memproyeksikan harga CPO akan sedikit meningkat menjadi 905 dolar AS per ton pada tahun 2024 sebelum kembali turun ke 825 dolar AS per ton pada tahun 2025, yang masih berada di atas rata-rata historis. ​

    Di sisi lain, harga kakao melonjak dramatis. Pada Desember 2024, harga kakao melonjak 30 persen mencapai lebih dari 10 dolar AS per kilogram, didorong oleh kekhawatiran terhadap kondisi cuaca buruk di Afrika Barat dan permintaan musiman yang kuat.

    Produksi global kakao diperkirakan turun 14 persen pada musim 2023–2024 menjadi 4,2 juta metrik ton, terutama akibat penurunan output di Pantai Gading dan Ghana. Meskipun pasokan diperkirakan membaik pada musim 2024–2025, harga kakao tetap tinggi dan diproyeksikan turun sekitar 13 persen pada tahun 2025 dan 2 persen lagi pada tahun 2026 seiring masuknya pasokan tambahan ke pasar.

    Komoditas lainnya menunjukkan tren harga yang beragam. Harga kopi robusta mencapai titik tertinggi dalam tiga dekade pada Februari 2024 akibat kekhawatiran pasokan, sementara harga arabika juga meningkat 3 persen pada bulan yang sama. Namun, harga kopi diperkirakan melemah pada tahun 2025 seiring pemulihan produksi di negara-negara produsen utama.

    Sementara itu, harga karet alam yang sempat tertekan pada tahun 2023 mulai pulih dengan kenaikan 12 persen pada tahun 2024 berkat permintaan industri otomotif yang meningkat. Secara keseluruhan, harga komoditas perkebunan tetap tinggi, memberikan tantangan tersendiri bagi upaya pengendalian inflasi global. ​

    Biaya produksi, iklim, dan gangguan logistik

    Kenaikan biaya produksi menjadi faktor kunci di balik inflasi harga. Harga pupuk global melonjak 89 persen pada 2021–2022 akibat gangguan pasokan gas alam dan perang Ukraina.

    Di Indonesia, petani sawit terpaksa mengurangi pemupukan, menyebabkan produktivitas stagnan. Biaya energi dan upah buruh juga meningkat, memaksa produsen menaikkan harga jual untuk mempertahankan margin.

    Perubahan iklim memperburuk situasi. Cuaca ekstrem seperti embun beku di Brasil (2021) merusak 11 persen kebun kopi arabika, sementara El Niño 2023 memicu kekeringan di Asia Tenggara yang mengurangi panen robusta Vietnam.

    Di India, produksi teh 2024 anjlok 30 persen akibat gelombang panas, terendah dalam satu dekade. Fenomena ini mengganggu pasokan global, mendorong naiknya harga.

    Disrupsi rantai pasok pasca-pandemi dan konflik geopolitik turut menyumbang inflasi. Biaya angkutan laut melonjak 300 persen selama pandemi, sementara serangan Houthi di Laut Merah (2024) menghambat pengiriman teh dari Afrika Timur. Perang Rusia-Ukraina juga mengacaukan pasokan pupuk dan komoditas substitusi seperti minyak bunga matahari, memperparah ketegangan harga.

    Kebijakan perdagangan negara produsen semakin memanaskan pasar. Larangan ekspor CPO Indonesia (April 2022) dan pembatasan ekspor kakao oleh Pantai Gading (2024) menciptakan gejolak pasokan. Di sisi lain, aturan bebas deforestasi Uni Eropa (2023) memaksa produsen sawit meningkatkan standar keberlanjutan, dan ini menjadi tantangan tambahan bagi negara-negara eksportir.

    Dampak bagi Indonesia

    ​Sebagai produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia dengan pangsa pasar 58 persen, Indonesia diuntungkan oleh harga CPO yang tetap tinggi.

    Pada Maret 2024, nilai ekspor CPO dan produk turunannya meningkat 29,8 persen secara bulanan menjadi 1,56 miliar dolar AS meskipun volume ekspor turun akibat permintaan global yang lesu. Pembatasan ekspor pada 2022 sempat menurunkan harga minyak goreng dalam negeri, tetapi mengguncang pasar global. ​

    Di sektor kakao, kenaikan harga menjadi berkah tersendiri. Meskipun produksi nasional stagnan di angka 200 ribu ton per tahun, jauh di bawah Pantai Gading dan Ghana, harga referensi biji kakao periode April 2024 ditetapkan sebesar 7.114,93 dolar AS per metrik ton, meningkat 31,84 persen dari bulan sebelumnya. Sayangnya, industri pengolahan dalam negeri terpukul karena ketergantungan pada impor biji kakao bermutu tinggi.​

    Kenaikan harga kopi robusta sebesar 33 persen pada 2024 membawa angin segar bagi petani Indonesia, meskipun produksi tahun tersebut diprediksi turun 18 persen akibat dampak El Niño. Sebaliknya, industri pengolahan kopi domestik menghadapi tekanan biaya bahan baku.

    Di sektor karet, pemulihan harga dengan kenaikan 12 persen pada 2024 mengembalikan optimisme petani di Sumatera dan Kalimantan, meskipun produktivitas kebun masih rendah akibat tanaman tua dan serangan jamur.

    Indonesia, sebagai produsen teh peringkat ke-7 dunia dengan produksi 139.362 ton pada 2022, kurang terdampak gejolak harga global. Pada komoditas teh, kenaikan harga dunia akibat gagal panen di India dan Kenya bisa menjadi peluang ekspor jika kualitas teh Indonesia dapat ditingkatkan.​

    Peluang hilirisasi dan adaptasi iklim

    ​Fluktuasi harga komoditas perkebunan global yang diperkirakan akan terus berlanjut menuntut Indonesia untuk mempercepat hilirisasi industri guna memaksimalkan manfaat ekonomi dan mengurangi dampak negatif volatilitas pasar.

    Salah satu langkah strategis adalah mengolah CPO menjadi produk bernilai tambah seperti biodiesel dan oleokimia. Peningkatan hilirisasi ini tidak hanya meningkatkan nilai ekspor, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam industri hilir sawit.

    Selain hilirisasi, adaptasi terhadap perubahan iklim menjadi krusial dalam menjaga keberlanjutan produksi perkebunan. Petani kopi dan kakao perlu didorong untuk menggunakan varietas tanaman yang tahan terhadap kondisi kekeringan dan penyakit. Sementara itu, perkebunan kelapa sawit dan karet memerlukan sistem irigasi berkelanjutan untuk memastikan ketersediaan air yang memadai selama musim kemarau.

    Pemerintah dan pemangku kepentingan sektor perkebunan juga perlu memperkuat diplomasi perdagangan untuk melobi aturan keberlanjutan global yang adil dan tidak merugikan eksportir dari negara berkembang.

    Menjaga stabilitas kebijakan ekspor sangat penting untuk memberikan kepastian bagi pelaku industri dan menarik investasi di sektor hilir.

    Kombinasi strategi hilirisasi, adaptasi iklim, dan diplomasi perdagangan yang efektif akan membantu Indonesia memanfaatkan peluang sekaligus menghadapi tantangan dalam dinamika pasar komoditas perkebunan global.

    *) Kuntoro Boga Andri adalah Kepala Pusat Perakitan dan Modernisasi Pertanian (BRMP), Perkebunan, Kementerian Pertanian

    Copyright © ANTARA 2025