Tag: Kim Jong Un

  • Presiden Korsel Berniat Minta Maaf ke Korut soal Selebaran Propaganda dan Drone Pendahulunya

    Presiden Korsel Berniat Minta Maaf ke Korut soal Selebaran Propaganda dan Drone Pendahulunya

    JAKARTA – Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung mempertimbangkan kemungkinan permintaan maaf kepada Korea Utara atas kecurigaan pendahulunya sengaja berupaya meningkatkan ketegangan militer antara kedua negara dalam persiapan untuk deklarasi darurat militer singkatnya pada Desember 2024.

    Berbicara kepada wartawan pada peringatan satu tahun perebutan kekuasaan yang gagal oleh mantan Presiden Yoon Suk Yeol, Lee menekankan keinginannya untuk memperbaiki hubungan dengan Korea Utara.

    Namun, ketika ditanya tentang penahanan beberapa warga negara Korea Selatan selama bertahun-tahun oleh Korea Utara, Lee mengatakan ia tidak mengetahui masalah tersebut, yang menuai kritik dari keluarga yang menuntut agar mereka dipulangkan dengan selamat.

    Seorang jaksa khusus pada bulan lalu mendakwa Yoon dan dua pejabat tinggi pertahanannya atas tuduhan bahwa ia memerintahkan penerbangan pesawat nirawak/drone di atas Korea Utara untuk memicu ketegangan.

    Media Korea Selatan juga melaporkan pada Senin, militer Korea Selatan di bawah kepemimpinan Yoon menerbangkan balon-balon yang membawa selebaran propaganda melintasi perbatasan.

    Lee mempertimbangkan permintaan maaf kepada Korea Utara

    Meskipun tuduhan drone dan penyebaran selebaran belum terbukti di pengadilan, Lee tetap mengatakan ia secara pribadi ingin meminta maaf kepada Korea Utara.

    “Saya rasa kita perlu meminta maaf, tetapi saya belum bisa mengatakannya karena saya khawatir itu dapat digunakan untuk mencemarkan nama baik (saya) sebagai pro-Korea Utara atau memicu pertikaian ideologis politik” di Korea Selatan, kata Lee dilansir Associated Press, Rabu, 3 Desember.

    “Hanya itu yang akan saya katakan untuk saat ini,” sambungnya.

    Korea Utara secara terbuka menuduh pemerintahan Yoon menerbangkan drone di atas Pyongyang untuk menyebarkan selebaran propaganda anti-Korea Utara tiga kali pada Oktober 2024. Militer Korea Selatan menolak untuk mengonfirmasi klaim tersebut, dan pengakuan publik apa pun atas aktivitas pengintaian di Korea Utara akan sangat tidak lazim.

    Sejak menjabat pada bulan Juni, Lee telah mengambil langkah-langkah proaktif untuk meredakan ketegangan antar-Korea, termasuk mematikan pengeras suara garis depan yang menyiarkan berita K-pop dan dunia, serta melarang aktivis menerbangkan balon yang membawa selebaran propaganda melintasi perbatasan.

    Korea Utara sejauh ini mengabaikan ajakan Lee, dengan pemimpin Kim Jong Un menyatakan pemerintahnya tidak tertarik untuk berdialog dengan Seoul.

  • Korea Nyaris Chaos Karena Orang Ini, Rela Perang Demi Tetap Berkuasa

    Korea Nyaris Chaos Karena Orang Ini, Rela Perang Demi Tetap Berkuasa

    Jakarta, CNBC Indonesia – Mantan Presiden Korea Selatan (Korsel) Yoon Suk Yeol, diduga terlibat dalam rencana rahasia untuk memprovokasi Pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un melalui penerbangan drone ke jantung Pyongyang.

    Jaksa Korsel merilis detail plot tersebut, yang diklaim mendahului upaya Yoon mendeklarasikan undang-undang darurat militer yang gagal pada Desember tahun lalu.

    Jaksa merilis bukti tersebut pada Senin (10/11/2025), yang tampaknya mengonfirmasi klaim Korut bahwa Korsel mengirim drone terselubung untuk menjatuhkan selebaran anti-rezim pada Oktober tahun lalu. Penerbangan tersebut memicu pernyataan keras dari adik Kim Jong Un, Kim Yo Jong, yang mengancam akan memutuskan semua koneksi ke Selatan.

    Di antara catatan yang ditemukan, terdapat referensi untuk menciptakan situasi yang tidak stabil. Hal ini untuk melanggengkan darurat militer

    “Harus mencari dan memanfaatkan peluang sekali seumur hidup yang dapat menghasilkan efek jangka pendek. Untuk melakukan itu, kita harus menciptakan situasi yang tidak stabil atau memanfaatkan peluang yang telah tercipta,” tulis memo itu.

    Memo lain bahkan secara spesifik menargetkan lokasi sensitif Korut Lokasi yang didaftar termasuk ibu kota, dua fasilitas nuklir, rumah liburan Kim, serta situs suci Samjiyon dan kawasan wisata Wonsan.

    “Menargetkan di mana (Korea Utara) kehilangan muka sedemikian rupa sehingga mereka merasa tidak punya pilihan selain merespons.”

    Rencana tersebut tampak bertujuan untuk menciptakan kondisi perang. Hal ini diketahui dari memo lain tertanggal 5 November.

    “Tindakan musuh harus datang lebih dulu. Harus ada situasi perang atau situasi yang tidak dapat dikendalikan oleh pasukan polisi. Ciptakan kondisi musuh… kita harus menunggu kesempatan yang menentukan,” tambahnya.

    Kim Byung-joo, pensiunan jenderal Tentara Korea dan anggota parlemen, mengatakan kepada CNN bahwa drone tersebut terbang setidaknya pada tiga kesempatan dan bertujuan untuk memprovokasi respons militer dari Utara.

    “Itu seperti menodongkan pisau ke leher (Korea Utara),” ujarnya.

    Para analis mengatakan pengiriman drone ke Korut dapat ditafsirkan sebagai tindakan perang yang dapat memicu konflik. Victor Cha, Ketua Korea di Center for Strategic and International Studies, mencatat bahwa penerbangan drone ke Korut merupakan pelanggaran terhadap perjanjian gencatan senjata yang membagi Semenanjung Korea sejak tahun 1953.

    Meskipun darurat militer yang dideklarasikan Yoon pada Desember lalu dicabut dalam hitungan jam setelah parlemen membatalkannya, tindakannya memicu protes massa, tantangan hukum, dan akhirnya pemakzulan.

    (luc)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Korea Utara Kembali Luncurkan Rudal Balistik

    Korea Utara Kembali Luncurkan Rudal Balistik

    Pyongyang

    Korea Utara (Korut) kembali meluncurkan rudal balistik dari wilayahnya pada Jumat (7/11) waktu setempat. Peluncuran terbaru Pyongyang ini terjadi sepekan setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyetujui rencana Seoul untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir.

    Kepala Staf Gabungan Korea Selatan (JCS), seperti dilansir AFP, Jumat (7/11/2025), mendeteksi aktivitas peluncuran terbaru negara tetangganya tersebut, dan menyebut rudal balistik yang tidak teridentifikasi jenisnya itu diluncurkan ke perairan Laut Timur atau Laut Jepang.

    “Korea Utara menembakkan rudal balistik tak teridentifikasi ke arah Laut Timur,” ujar JCS dalam pernyataannya.

    Aktivitas balistik terbaru Korut itu dilakukan sepekan setelah Trump mengumumkan bahwa Korsel akan membangun kapal selam di AS, di mana teknologi nuklir buatan Washington merupakan salah satu rahasia militer yang paling sensitif dan dijaga ketat.

    Tidak seperti kapal selam bertenaga diesel, yang harus muncul ke permukaan laut secara teratur untuk mengisi ulang baterainya, kapal selam bertenaga nuklir dapat bertahan di dalam air jauh lebih lama.

    Para analis mengatakan bahwa pengembangan kapal selam bertenaga nuklir akan menandai lompatan signifikan dalam basis industri Angkatan Laut dan pertahanan Korsel, bergabung dengan sekelompok kecil negara yang telah memiliki kapal selam jenis tersebut.

    Sejauh ini, menurut laporan media dan analisis, hanya AS, Australia, China, Rusia, India, Prancis, dan Inggris yang telah beralih ke kapal selam bertenaga nuklir.

    Kantor kepresidenan Korsel mengatakan bahwa Seoul membutuhkan persetujuan Washington karena membutuhkan bahan baku yang diperlukan untuk membangun kapal selam bertenaga nuklir, yang dibatasi untuk penggunaan militer.

    Sejak pertemuan puncak antara pemimpin Korut Kim Jong Un dan Trump pada tahun 2019 lalu berujung kegagalan terkait masalah denuklirisasi dan pencabutan sanksi, Pyongyang telah berulang kali mendeklarasikan diri sebagai negara nuklir yang “tidak dapat diubah”.

    Awal pekan ini, Korut menembakkan sejumlah roket artileri saat Menteri Pertahanan (Menhan) AS Pete Hegseth berkunjung ke Korsel. Rentetan roket artileri itu ditembakkan oleh Pyongyang ke Laut Kuning sekitar satu jam sebelum Hegseth mengunjungi area perbatasan kedua negara.

    Sementara pekan lalu, Korut melakukan uji coba rudal jelajah di lepas pantai barat Semenanjung Korea, sebelum Trump mendarat di Korsel. Pyongyang pada saat itu menyebut uji coba rudal itu menjadi pesan untuk “musuh-musuhnya”.

    Wakil Ketua Komisi Militer Pusat Korut, Pak Jong Chon, yang mengawasi uji coba rudal pada saat itu mengatakan bahwa “keberhasilan penting” sedang dicapai dalam pengembangan “kekuatan nuklir” Korut sebagai pencegah perang.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Dengan Kapal Selam Nuklir, Korsel Masuki Era Perlombaan Senjata

    Dengan Kapal Selam Nuklir, Korsel Masuki Era Perlombaan Senjata

    Jakarta

    Presiden Donald Trump yang ingin memulai babak baru aliansinya dengan Asia Timur, mendukung gagasan Korea Selatan untuk membangun dan mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir. Dia menambahkan bahwa kapal pertama akan dibuat di AS.

    “Korea Selatan akan membangun Kapal Selam Bertenaga Nuklirnya di Philadelphia,” tulis Trump di platform Truth Social miliknya.

    Seoul menyambut gembira keputusan ini. Menteri Pertahanan Korea Selatan Ahn Gyu-back mengatakan dalam pertemuan parlemen yang digelar bersamaan dengan pengumuman Trump itu bahwa kapal selam bertenaga nuklir akan berdampak signifikan memperkuat militer Korsel.

    Saat ini, Korea Selatan mengoperasikan kapal selam konvensional bertenaga hibrid – diesel dan listrik. Namun menurut Ahn, kapal selam bertenaga nuklir akan menawarkan kecepatan dan daya jelajah yang lebih baik untuk menandingi kemampuan kapal selam tempur nuklir Korea Utara.

    Meskipun Pyongyang belum memberikan komentar resmi, para analis mengatakan bahwa rezim Kim Jong Un hampir pasti akan bereaksi dengan marah dan kemungkinan besar mengumumkan langkah balasan terhadap keputusan Korea Selatan.

    Korea Selatan memasuki era perlombaan senjata

    Para ahli memperingatkan bahwa Korea Utara dan Selatan kini dengan cepat meningkatkan perlombaan senjata, sementara negara-negara lain di Asia Timur Laut lainnya terpantau turut menambah anggaran pertahanan mereka.

    “Tidak diragukan lagi, kita sudah berada dalam era perlombaan senjata,” kata Andrei Lankov, profesor sejarah dan hubungan internasional di Universitas Kookmin, Seoul.

    “Trump tampaknya tidak henti mengatakan bahwa ia sudah jemu dengan sekutu-sekutu parasitnya, yaitu Korea Selatan dan Jepang. Ia bisa mengumumkan bahwa AS akan hengkang dari sekutunya kapan saja,” tambah Lankov.

    Bagi kedua negara, lanjut Lankov, hal itu akan menjadi ancaman. Terutama Korsel yang berbatasan langsung dengan musuh bersenjata nuklir yang berulang kali menyerangnya di masa lalu.

    “Sehingga sangat wajar jika Seoul meningkatkan kemampuan militernya secara drastis dan mungkin juga mengembangkan senjata nuklir,” tambahnya.

    Lankov juga menyoroti faktor kedua yakni perkembangan militer Korea Utara yang sangat cepat selama satu dekade terakhir, termasuk keberhasilan mengembangkan rudal balistik antarbenua dengan bahan bakar padat dan memperluas arsenal hulu ledak nuklirnya.

    Kemajuan militer tersebut didukung oleh Rusia. Moskow diperkirakan telah memasok Pyongyang dengan reaktor miniatur untuk mengoperasikan kapal selam bertenaga nuklir.

    Faktor ketiga yang tak terhindarkan, menurut Lankov, adalah Cina yang berupaya menguatkan kekuatan militernya dan melengkapinya dengan sistem persenjataan yang paling mutakhir.

    Pyongyang unjuk kekuatan jelang kunjungan Trump

    “Cina ingin menegaskan perannya di Asia Timur sebagai pusat kekuatan utama yang tidak dapat ditantang siapa pun,” kata Lankov.

    Sementara itu, menurut Lankov, AS tampak semakin ingin mengurangi keterlibatannya di kawasan meski beberapa pasukan AS masih bertahan di Semenanjung Korea.

    Ancaman terhadap Korea Selatan semakin serius karena aliansi Pyongyang yang semakin erat dengan Rusia serta kekerabatan lamanya dengan Cina. Aliansi tersebut memungkinkan Pyongyang bertindak lebih agresif.

    Bahkan rezim Korea Utara menguji rudal hipersonik seminggu sebelum kedatangan Trump di Korea Selatan jelang forum APEC pada 1 November lalu serta menembakkan sejumlah rudal jelajah sesaat sebelum kedatangan Trump.

    Pyongyang juga meluncurkan rudal dan artileri pada Senin (3/11) saat Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mengunjungi Zona Demiliterisasi (DMZ).

    Taipei dan Tokyo meningkatkan anggaran Pertahanan

    Masih di kawasan, Cina sedang melakukan uji kapal induk ketiganya, Fujian, dan semakin sering menguji pertahanan udara dan laut negara tetangganya. Jepang di sekitar Kepulauan Okinawa serta Filipina di Laut Cina Selatan.

    Beijing juga memiliki ambisi jangka panjang untuk mengambil alih Taiwan, yang dianggapnya sebagai bagian dari provinsinya yang memisahkan diri. Taipei kini meningkatkan anggaran pertahanan, termasuk pembelian 66 jet tempur F-16V dan bom luncur dari AS.

    Jepang mulai secara signifikan membangun sistem pertahanannya, mengucurkan investasi besar pada pertahanan laut dan udara dengan rudal baru yang canggih, pasukan kapal selam yang lebih besar, serta drone laut dan udara.

    Perdana Menteri Jepang Sanae Takaichi mengatakan kepada Trump dalam pertemuan mereka di Tokyo akhir Oktober lalu bahwa Jepang akan meningkatkan pengeluaran pertahanan dari 1% menjadi 2% dari PDB pada awal tahun fiskal berikutnya (1 April).

    Jepang juga menandatangani kesepakatan untuk memasok Australia dengan 11 fregat kelas Mogami dan tengah bernegosiasi dengan Selandia Baru untuk kesepakatan serupa.

    Selain itu, Tokyo juga sepakat untuk memberikan Filipina pesawat patroli pantai dan sistem radar canggih guna membantu Manila memantau kapal-kapal Cina di Laut Cina Selatan.

    Masa damai di Asia Timur mulai berakhir

    Dan Pinkston, profesor hubungan internasional di kampus Seoul Universitas Troy, mengatakan bahwa negara-negara Asia telah menikmati masa damai selama beberapa dekade, namun masa-masa mungkin akan perlahan berakhir.

    Pinkston menjelaskan kepada DW bahwa banyak negara Asia Timur kini memiliki kekuatan ekonomi yang cukup untuk meningkatkan kekuatan militer mereka.

    Ia juga memperingatkan bahwa pembelian kapal selam bertenaga nuklir dapat menjadi langkah awal bagi Korsel untuk memperoleh senjata nuklir, meskipun Seoul secara resmi mendukung Traktat Non-Proliferasi Nuklir (NPT).

    “Kita tidak pernah bisa menduga detail kesepakatan yang dibuat Trump atau apa yang akan dia usulkan selanjutnya,” kata Pinkston, menyinggung dukungan mendadak presiden AS terhadap rencana kapal selam bertenaga nuklir Korsel.

    “Namun apakah berarti Korsel akan bergerak sendirian?” tanyanya.

    Menurut Pinkston, Korea Selatan berencana membeli uranium yang diperkaya dari AS untuk reaktor kapal selam bertenaga nuklir. Korsel juga sudah memiliki fasilitas dan teknologi nuklir sendiri, sehingga bisa saja ia memperkaya bahan bakar nuklirnya. Langkah berikutnya, Korsel bisa mengembangkan senjata nuklirnya sendiri, katanya.

    “Jika kapal-kapal selam itu dirancang untuk membawa rudal dengan hulu ledak konvensional, maka itu tidak terlalu jauh dari rencana perancangan hulu ledak nuklir yang menurut Seoul penting bagi keamanan nasionalnya. Korsel semakin mendekat ke rencana tersebut,” pungkas Pinkston.

    Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Rizky Nugraha

    Tonton juga Video: Cekcok Dengan Eks Presiden Rusia, Trump Kirim 2 Kapal Selam Nuklir

    (ita/ita)

  • Tanda Tanya Ribuan Tentara Korut Dikirim ke Rusia

    Tanda Tanya Ribuan Tentara Korut Dikirim ke Rusia

    Jakarta

    Korea Utara (Korut) lagi-lagi mengirim pasukan tentara ke Rusia setelah invasi Moskow ke Ukraina. Pengiriman pasukan tentara Pyongyang ke Moskow ini masih mengandung tanda tanya.

    Korut dilaporkan telah mengirimkan lagi sekitar 5.000 tentaranya ke Rusia sejak September lalu. Pengiriman personel militer Pyongyang itu disebut untuk membantu “rekonstruksi infrastruktur” di Rusia.

    Informasi terbaru soal pengiriman tentara Korut itu, dilansir AFP, Rabu (5/11), diungkapkan oleh seorang anggota parlemen Korea Selatan (Korsel), Lee Seong Kweun, setelah mendapatkan penjelasan dari badan intelijen Seoul (NIS) pada Selasa (4/11) waktu setempat.

    Pemimpin Korut Kim Jong Un disebut menjadi semakin berani dengan perang di Ukraina. Kim dilaporkan mengamankan dukungan penting dari Moskow setelah mengirimkan ribuan tentaranya untuk bertempur bersama pasukan militer Rusia.

    Saat berbicara kepada wartawan, Lee mengatakan bahwa ribuan tentara Korut kembali dikerahkan ke Rusia secara bertahap untuk misi “rekonstruksi infrastruktur”.

    “Sekitar 5.000 tentara konstruksi Korea Utara telah dipindahkan ke Rusia secara bertahap sejak September dan diperkirakan akan dimobilisasi untuk rekonstruksi infrastruktur,” sebutnya.

    Lee menambahkan bahwa “tanda-tanda berkelanjutan untuk pelatihan dan seleksi personel dalam persiapan pengerahan pasukan tambahan telah terdeteksi”.

    Badan intelijen Korsel mengatakan kepada para anggota parlemen, menurut Lee, bahwa sekitar 10.000 tentara Korut diperkirakan saat ini dikerahkan ke dekat perbatasan Rusia-Ukraina.

    2.000 Tentara Korut Tewas dalam Perang Rusia-Ukraina

    Pada September lalu, Badan intelijen Korsel melaporkan sekitar 2.000 tentara Korut diperkirakan tewas setelah dikerahkan untuk membantu Rusia bertempur melawan Ukraina. NIS, dilansir AFP, Selasa (2/9), melaporkan pada April lalu bahwa “jumlah korban perang setidaknya 600 perang”.

    “Namun, berdasarkan penilaian terbaru, kini diperkirakan jumlahnya sekitar 2.000 tentara,” kata anggota parlemen Korsel, Lee Seong Kweun, saat berbicara kepada wartawan setelah mendapatkan pengarahan intelijen terbaru dari NIS.

    Badan-badan intelijen Korsel dan Barat mengatakan bahwa Korut mengirimkan lebih dari 10.000 tentaranya ke wilayah Rusia pada tahun 2024, terutama ke wilayah Kursk. Pyongyang juga diduga telah mengirimkan peluru artileri, rudal, dan sistem roket jarak jauh.

    Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un bertemu dengan keluarga tentara yang berpartisipasi dalam operasi militer di luar negeri, di Pyongyang, Korea Utara, dalam gambar yang dirilis oleh Kantor Berita Pusat Korea pada 30 Agustus 2025. (Reuters)

    Lee mengatakan bahwa NIS meyakini Korut berencana untuk mengerahkan 6.000 tentara dan teknisi tambahan ke Rusia, dengan sekitar 1.000 personel di antaranya telah tiba.

    “Diperkirakan dari rencana pengerahan ketiga 6.000 tentara baru-baru ini, sekitar 1.000 teknisi tempur telah tiba di Rusia,” ungkapnya pada September lalu.

    Halaman 2 dari 2

    (rfs/ygs)

  • Siaga Perang, Ini Gaya Kim Jong Un Sidak Markas Pasukan Khusus Korut

    Siaga Perang, Ini Gaya Kim Jong Un Sidak Markas Pasukan Khusus Korut

    HOME

    MARKET

    MY MONEY

    NEWS

    TECH

    LIFESTYLE

    SHARIA

    ENTREPRENEUR

    CUAP CUAP CUAN

    CNBC TV

    Loading…

    `

    $(‘#loaderAuth’).remove()
    const dcUrl=”https://connect.detik.com/dashboard/”;

    if (data.is_login) {
    $(‘#connectDetikAvatar’).html(`

    `);
    $(‘#UserMenu’).append(`
    ${prefix}

    My Profile

    Logout

    ${suffix}
    `);

    $(“#alloCardIframe”).iFrameResize();

    } else {
    prefix = “

    $(‘#connectDetikAvatar’).html(`

    `);
    $(‘#UserMenu’).append(`
    ${prefix}

    REGISTER

    LOGIN
    ${suffix}
    `);
    }
    }

  • Korut Tembakkan Roket Saat Menhan AS Kunjungi Korsel

    Korut Tembakkan Roket Saat Menhan AS Kunjungi Korsel

    Seoul

    Korea Utara (Korut) menembakkan sejumlah roket artileri saat Menteri Pertahanan (Menhan) Amerika Serikat (AS) Pete Hegseth berkunjung ke Korea Selatan (Korsel). Rentetan roket artileri itu ditembakkan oleh Pyongyang ke Laut Kuning sekitar satu jam sebelum Hegseth mengunjungi area perbatasan kedua negara.

    Korut, menurut Kepala Staf Gabungan militer Korsel (JCS), seperti dilansir AFP, Selasa (4/11/2025), juga menembakkan senjata serupa beberapa menit sebelum Presiden Korsel Lee Jae Myung melakukan pembicaraan dengan Presiden China Xi Jinping pekan lalu.

    JCS dalam pernyataannya melaporkan bahwa pihaknya baru-baru ini “mendeteksi sekitar 10 roket artileri yang ditembakkan ke bagian utara Laut Barat” — sebutan Seoul untuk Laut Kuning.

    Rentetan roket artileri itu, menurut JCS, ditembakkan sekitar pukul 15.00 waktu setempat pada Sabtu (1/11) dan sekitar pukul 16.00 waktu setempat pada Senin (3/11).

    “Detail proyektil tersebut sedang dianalisis secara cermat saat ini oleh otoritas intelijen Korea Selatan dan AS,” sebut JCS.

    Hegseth mengunjungi perbatasan yang dijaga ketat yang memisahkan Korsel dan Korut pada Senin (3/11) waktu setempat. Kunjungan itu menjadikan Hegseth sebagai pemimpin Pentagon pertama dalam delapan tahun terakhir yang melakukannya.

    Dia juga mengunjungi Panmunjom, desa gencatan senjata simbolis yang menjadi tempat bagi pasukan kedua Korea saling berhadapan. Sebelum itu, Hegseth singgah di Post Pemantauan Ouellette yang menghadap ke Zona Demiliterisasi.

    Hegseth dan Menhan Korsel Ahn Gyu Back, menurut Kementerian Pertahanan Korsel, “menegaskan kembali postur pertahanan gabungan yang kuat dan kerja sama yang erat antara Korea Selatan dan Amerika Serikat”.

    Kunjungan Hegseth ke perbatasan Korea itu dilakukan setelah tawaran Presiden AS Donald Trump kepada pemimpin Korut Kim Jong Un, selama turnya ke Asia pekan lalu, tidak mendapat respons dari Pyongyang.

    Namun, Trump telah mengindikasikan bahwa dirinya masih bersedia “kembali” untuk pertemuan mendatang dengan Kim Jong Un.

    Lihat juga Video: Geramnya Warga Korsel Atas Aksi Peluncuran Roket Korut yang Berulang

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

  • Siaran Asing Dihentikan, Korut Kian Terisolasi dari Dunia Luar

    Siaran Asing Dihentikan, Korut Kian Terisolasi dari Dunia Luar

    Jakarta

    Pemerintah Amerika Serikat dan Korea Selatan telah menghentikan operasi media yang menyiarkan berita ke Korea Utara, membuat puluhan ribu penduduk negara tersebut semakin terisolasi dari dunia luar.

    “Ini sangat buruk bagi rakyat Korea Utara dan jadi kemunduran yang sangat serius untuk hak asasi manusia di sana,” kata Kim Eu-jin, yang melarikan diri dari Korea Utara bersama ibu dan saudarinya pada tahun 1990-an.

    “Pemerintah menolak telak kebebasan rakyat Korea Utara untuk mengakses informasi, dan sekarang yang akan mereka dengar hanyalah propaganda Pyongyang,” ujarnya kepada DW.

    Warga Korea Utara sebelumnya bisa diam-diam mendengarkan Radio Free Asia (RFA) dan Voice of America (VOA) dari AS, serta siaran Voice of Freedom dari Korea Selatan. Aktivis mengatakan bahwa dengan mendengarkan siaran yang tidak diperbolehkan oleh rezim tersebut membantu warga Korea Utara bertahan menghadapi kesulitan.

    Kim mengatakan ia tidak pernah mendengarkan siaran radio asing sebelum melarikan diri dari Korea Utara karena terlalu berbahaya. Rezim di Pyongyang menginvestasikan banyak waktu dan tenaga untuk menangkap dan menghukum orang yang mengakses media asing. Dalam beberapa kasus, mereka yang tertangkap diadili secara terbuka dan dijatuhi hukuman kerja paksa. Dalam kasus ekstrem, bisa dijatuhi hukuman mati.

    Kim mengatakan pemerintah Korea Utara takut pada siaran ini dan dalam beberapa tahun ini kian serius memperingatkan dan mengancam mereka yang mendengarkan media asing tersebut.

    Mengapa siaran dihentikan?

    Sejak Donald Trump kembali memerintah di awal tahun, ia pun membungkam Voice of America dengan mengeluarkan perintah eksekutif untuk menghapus badan induk VOA, US Agency for Global Media. Ratusan staf kehilangan pekerjaan.

    Sistem pengeras suara besar di perbatasan yang sebelumnya menyiarkan berita dan musik pop Korea Selatan ke Korea Utara turut dibongkar.

    Pemerintah Korea Selatan mengatakan langkah tersebut bertujuan untuk mengurangi ketegangan dengan Korea Utara dengan harapan Pyongyang dapat membuka kembali negosiasi dengan Seoul. Namun, hingga saat ini belum ada indikasi positif dari harapan tersebut.

    Radio Free Asia: “Redaksi gelap, siaran dibungkam”

    Pada 29 Oktober, Rosa Hwang, pemimpin redaksi Radio Free Asia, menyatakan siarannya dihentikan karena “ketidakpastian pendanaan,” hal yang pertama kalinya terjadi sepanjang sejarah untuk RFA yang telah mengudara selama 29 tahun.

    “Redaksi gelap. Mikrofon dimatikan. Siaran dibungkam. Penerbitan dihentikan. Di media sosial. Di situs web kami.”

    “Tanpa RFA Korea, 26 juta warga Korea Utara terisolasi rezim represif yang menentang kebebasan berbicara dan pers yang bebas akan kehilangan akses penting akan informasi independen,” katanya, sambil menyoroti liputan RFA yang berhasil memenangkan penghargaan, liputan tentang nasib para pembelot Korea Utara.

    Pada Oktober 2025, situs 38 North yang menganalisis seputar Korea Utara, mengeksplorasi dampak radio dan televisi yang disiarkan ke Utara dalam sebuah acara.

    Hasilnya menunjukkan bahwa siaran radio anti-rezim menurun sebesar 85% dan program televisi hampir hilang sepenuhnya sejak pemotongan oleh pemerintah AS dan Korea Selatan.

    Meskipun sulit menentukan berapa banyak orang yang telah dijangkau siaran tersebut, para analis menekankan ada usaha dan sumber daya yang dikerahkan rezim Kim Jong Un untuk memblokir penetrasi siaran-siaran tersebut.

    Korea Utara semakin mahir mengacaukan sinyal siaran. Pandemi virus COVID-19 telah membuat penyelundupan USB dan kartu memori jadi lebih sulit.

    Menurut para ahli yang hadir di acara 38 North, pembatasan yang diperketat dengan Undang-Undang Anti-Pemikiran dan Budaya Reaksioner yang disahkan pada 2020 menunjukkan betapa seriusnya Pyongyang menghadapi ancaman ini.

    ‘Menjadi perpanjangan tangan’ rezim

    “Saya yakin pemerintah Pyongyang sangat senang dengan perkembangan ini,” kata Lim Eun-jung, profesor studi internasional di Kongju National University.

    “Menghentikan siaran ini berarti orang-orang di sana kini hanya memiliki media negara Korea Utara untuk didengar, dan mereka akan semakin sedikit mengetahui apa yang terjadi di dunia luar,” ujar sang professor kepada DW.

    “Saya bisa memahami keputusan pemerintah Korea Selatan yang tidak ingin ketegangan antar negara meningkat dan berharap membuka jalur komunikasi dengan Korea Utara, tapi pada saat yang sama, ini berarti orang-orang yang sudah hidup layaknya di ‘penjara’ kini memiliki akses informasi yang lebih sedikit.”

    Pembelot Korea Utara, Kim, mengatakan meskipun siaran asing tidak berperan besar dalam pembelotannya tiga dekade lalu, siaran itu kemudian menjadi alat penting melawan rezim.

    “Siaran itu mengajarkan orang di Korea Utara tentang hak asasi manusia,” katanya.

    “Itu memberi tahu mereka apa itu kebebasan. Bagi sebagian orang, hal itu membuat mereka berjuang untuk kebebasan itu dengan meninggalkan Korea Utara. Saya tidak mengerti mengapa kita justru ‘menjadi perpanjangan tangan’ rezim dengan menghentikan siaran ini.”

    Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

    Diadaptasi oleh Sorta Caroline

    Editor: Yuniman Farid

    Tonton juga Video: Media Korea Utara Merilis Gambar Rudal Balistik Ketujuh

    (ita/ita)

  • Presiden Korsel Minta Tolong Xi Jinping Soal Kim Jong-un, Bilang Gini

    Presiden Korsel Minta Tolong Xi Jinping Soal Kim Jong-un, Bilang Gini

    Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung punya permintaan khusus pada pimpinan China Xi Jinping. Dia ingin bantuan menghadapi negara tetangganya, Korea Utara.

    Pertemuan keduanya terjadi di Korea Selatan, dalam pertemuan tingkat tinggi pemimpin Asia Pasifik di Gyeongju. Ini juga jadi pertama kalinya Xi mengunjungi Korsel setelah 11 tahun.

    Lee berupaya mengurangi ketegangan dengan Korea Utara setelah duduk jadi presiden pada Juni lalu. Selain juga mengupayakan perkuatan hubungan dengan sekutu Amerika Serikat (AS).

    Khusus untuk China, Lee ingin juga tak ingin ada permusuhan. Selain itu keinginan untuk memperkuat komunikasi antar dua negara.

    “Sangat positif pada situasi di mana kondisi dengan Korea Utara yang mulai terbentuk,” kata Lee, mengacu pada pertemuan tingkat tinggi Korea Utara dan China baru-baru ini, dikutip dari Reuters, Sabtu (1/11/2025).

    “Harapan saya juga Korea Selatan dan China bisa memanfaatkan kondisi menguntungkan ini untuk memperkuat komunikasi strategis agar dapat melanjutkan dialog dengan Korea Utara,” imbuhnya.

    China juga menganggap penting hubungan dengan Korea Selatan. Sebelum pertemuan, Xi juga mengatakan Seoul sebagai mitra kerja.

    Korut diketahui sebagai sekutu yang cukup dekat dengan China. Belum lama ini, pemerintahan Kim Jong Un menolak agenda denuklirisasi yang diusulkan Korsel.

    Bahkan menyebut permintaan itu sebagai mimpi kosong, alias tak akan bisa terwujud. Ini bukan penolakan pertama dari Korut.

    Pyeongyang telah berulang kali dan menolak tawaran tetangganya. Memastikan pula tak akan ada pembicaraan antara dua negara.

    Upaya pendekatan bertahap yang diusulkan itu dimulai dengan keterlibatan dan pembekuan pengembangan senjata nuklir ke depannya.

    Sementara itu, Kim Jong-un memastikan mau berbicara dengan Amerika Serikat (AS). Asalkan tuntutan denuklirisasi dihentikan.

    Foto: Presiden China Xi Jinping dan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung saling memandang selama pertemuan puncak Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Gyeongju, Korea Selatan, 1 November 2025. (via REUTERS/YONHAP NEWS AGENCY)
    Presiden China Xi Jinping dan Presiden Korea Selatan Lee Jae Myung saling memandang selama pertemuan puncak Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di Gyeongju, Korea Selatan, 1 November 2025. (Yonhap via REUTERS)

    (dce)

    [Gambas:Video CNBC]

  • Trump-Kim Jong Un Terlihat Masih Ingin Akur, Apa Alasannya?

    Trump-Kim Jong Un Terlihat Masih Ingin Akur, Apa Alasannya?

    Jakarta

    Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah mengonfirmasi bahwa ia tidak akan bertemu dengan Pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un, selama kunjungan dinasnya ke Asia. Alasannya: gagal “mengatur jadwal yang tepat.”

    Sehari sebelum Trump tiba di Korea Selatan untuk KTT APEC, Korea Utara menguji coba rudal jelajah di lepas pantai baratnya.

    Padahal, awal pekan ini Trump sempat menyatakan bahwa ia akan “senang sekali bertemu” Kim. Bahkan dia menawarkan diri untuk kembali mengunjungi Korea Utara.

    Sebelumnya, sekitar enam tahun lalu, Donald Trump mencetak sejarah dengan menjadi Presiden AS aktif pertama yang menginjakkan kaki di Korea Utara.

    Sepanjang masa jabatan pertamanya (20182019), ia tercatat bertemu dengan Kim Jong Un sebanyak tiga kali.

    Namun kini, alur komunikasi antara kedua negara tersebut diselimuti ketidakjelasan.

    Amerika Serikat kukuh pada tujuan utamanya, yaitu denuklirisasi total di Semenanjung Korea. Namun, Kim yang menolak itu dan terus mengembangkan senjata nuklirnya telah menganggap tuntutan ini sebagai “obsesi kosong” yang harus ditinggalkan Barat.

    “Mereka punya banyak senjata nuklir, tapi tidak banyak layanan telepon.”

    Meskipun demikian, bulan lalu, Kim secara mengejutkan mengumumkan niatnya untuk melanjutkan dialog dengan AS, seraya mengatakan ia memiliki “kenangan baik tentang Presiden Trump.”

    Korea Selatan telah menangguhkan kunjungan wisatawan ke “desa gencatan senjata” zona demiliterisasi, Panmunjom, tempat pertemuan Trump-Kim terakhir diadakan, pada tahun 2019. (Reuters)

    Meskipun pertemuan antara Trump dan Kim kali ini batal, beberapa analis meyakini Amerika Serikat kemungkinan besar akan tetap melanjutkan keterlibatan diplomatik dengan Korea Utara.

    Bukan rahasia lagi bahwa Presiden Trump, yang menampilkan dirinya sebagai pembawa perdamaian global, mengincar penghargaan Nobel Perdamaian.

    Awal pekan ini, dalam perhentian pertamanya di Asia, Trump mengunjungi Malaysia untuk ambil bagian dalam penandatanganan perjanjian damai antara Thailand dan Kamboja.

    Pada Juli lalu, kedua negara itu melakukan pertempuran yang terburuk dalam satu dekade, yang menewaskan puluhan orang.

    Mungkin Anda tertarik:

    Setelahnya, Trump mengklaim telah mengakhiri delapan perang dalam delapan bulan.

    “Saya tidak boleh menyebutnya sebagai hobi, karena ini jauh lebih serius, tetapi ini adalah sesuatu yang saya kuasai dan sukai,” ujarnya.

    “Akan ada dorongan untuk mewujudkan perdamaian di Semenanjung Korea, yang dapat dikatakan sebagai tempat ‘terpanas’ di Asia Timur Laut, menormalisasi hubungan AS dan Korea Utara, dan bahkan menyelesaikan isu nuklir Korea Utara,” kata Kim Jae-chun, profesor hubungan internasional dari Universitas Sogang.

    Cho Han-beom, peneliti senior di Korean Institute for National Unification, sependapat. Ia menyebut Korea Utara sebagai “kepingan puzzle terakhir” yang tersisa.

    “Bahkan jika masalahnya tidak terselesaikan sepenuhnya, hal itu bisa menjadi jalan pintas menuju Hadiah Nobel Perdamaian karena dapat membangun citra bahwa masalah keamanan utama telah teratasi,” jelasnya.

    Pada September 2025, Kim terlihat bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan pemimpin China Xi Jinping selama parade militer China. (Reuters)

    Korea Utara telah muncul dalam posisi yang lebih kuat sejak pertemuan terakhir antara Trump dan Kim pada 2019.

    “Rezim Korea Utara telah memasuki periode stabilitas,” ujar Profesor Kang In-deok dari Universitas Kyungnam, yang pernah menjabat sebagai Menteri Unifikasi Korea Selatan pada akhir 1990-an.

    Pada September 2025, Kim Jong Un tertangkap kamera bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Pemimpin China Xi Jinping, selama parade militer China yang memperingati 80 tahun kemenangan atas Jepang di Perang Dunia II.

    Ini adalah penampilan publik pertama ketiga pemimpin tersebut secara bersamaan.

    Korea Utara telah menjalin aliansi militer dengan Rusia. Tahun lalu, kedua negara yang dikenai sanksi oleh Barat itu menandatangani perjanjian pertahanan bersama.

    Mereka sepakat untuk “segera memberikan bantuan militer dan bantuan lain dengan menggunakan semua sarana yang tersedia” jika salah satu menghadapi agresi.

    Pada Januari 2025, pejabat Barat melaporkan kepada BBC bahwa Korea Utara telah mengirim sekitar 11.000 tentara untuk berperang bagi Rusia di Ukraina.

    Sebagai imbalannya, Korea Utara diperkirakan akan menerima bantuan finansial dan teknologi.

    Sementara itu, hubungan ekonomi Pyongyang dengan China juga menguat secara signifikan. Data bea cukai China menunjukkan, perdagangan antara kedua negara meningkat sebesar 33%, mencapai US$1,05 miliar pada paruh pertama tahun 2025.

    Para analis menyebut China sempat menjaga jarak dari Korea Utara karena hubungan militernya yang semakin mendalam dengan Rusia.

    Namun, kini, dengan Washington dan Seoul yang kembali menunjukkan minat untuk memperbaiki hubungan dengan Pyongyang, Beijing tampaknya juga berusaha merapatkan barisan.

    Dalam tatanan dunia yang baru ini, dibandingkan dengan 2018 dan 2019, prospek pencabutan sanksi AS telah kehilangan sebagian urgensinya bagi Korea Utara, ujar Profesor Kang.

    Reportase dan penyuntingan tambahan oleh Grace Tsoi dan Olga Sawczuk, BBC World Service

    (ita/ita)