Tag: Kim Il

  • Korea Utara Akhirnya Pakai Kalender Masehi di 2025, Bukan Lagi Juche

    Korea Utara Akhirnya Pakai Kalender Masehi di 2025, Bukan Lagi Juche

    Jakarta, CNN Indonesia

    Korea Utara akhirnya bakal menggunakan kalender masehi untuk edisi 2025 menggantikan sistem penanggalan khas ‘juche’.

    Berdasarkan penanggalan sebelumnya, Korut memasuki Juche 114 pada 2025. Penanggalan itu berpatokan pada tahun lahir pendiri negara tersebut, Kim Il sung.

    Kim Il Sung merupakan kakek dari pemimpin Korut saat ini, Kim Jong Un.

    Belakangan, muncul kabar bahwa Kim Jong Un akan menghapus tanggalan Juche dan menggunakan kalender masehi yang lazim digunakan secara internasional.

    Langkah itu tampaknya merupakan salah satu cara Kim Jong Un untuk mengurangi pengkultusan mendiang sang ayah, Kim Jong Il, dan sang kakek di masa lalu.

    “Tahun ini, Korea Utara menghilangkan simbol-simbol pemujaan terhadap Kim Il Sung dan Kim Jong Il,” seorang keturunan Korut yang ada di China menerangkan kepada Radio Free Asia.

    Sistem penanggalan juche sendiri diambil dari nama ideologi yang ditanamkan Kim Il Sung. Juche berarti menentukan nasib sendiri tanpa bergantung dari pihak lain.

    Sementara itu, kalender resmi merupakan bagian dari propaganda penting di Korea Utara. Kalender-kalender itu dibagikan secara gratis kepada para warga di sana sebagai hadiah.

    Kalender-kalender itu pun kerap menampilkan gambar berupa pencapaian-pencapaian negara, kata-kata rasa hormat terhadap pemimpin, atau memamerkan kekuatan militer Korut.

    Kalender baru 2025 Korut dengan penanggalan masehi didominasi dengan gambar foto gedung-gedung pencakar langit yang gemerlapan dengan lampu di Pyongyang pada malam hari.

    Gambar itu tampaknya untuk mempropagandakan program 50 ribu rumah yang rencananya akan selesai pada akhir 2025.

    (bac/bac)

    [Gambas:Video CNN]

  • Mengapa Kim Jong-un Abaikan Cita-cita Penyatuan Korut dengan Korsel?

    Mengapa Kim Jong-un Abaikan Cita-cita Penyatuan Korut dengan Korsel?

    Jakarta

    Kim Jong-un mengumumkan pergeseran ideologis terbesar dalam 77 tahun sejarah Korea Utara. Reunifikasi dua negara di Semenanjung Korea merupakan tujuan utama Korea Utara yang didirikan Kim Il-sung, kakek Kim Jong-un, pada tahun 1947.

    Cita-cita satu Korea, di bawah Kim Jong-un, sekarang sudah ditinggalkan sepenuhnya. Dan pengabaian ini bukan sekadar penurunan prioritas seperti yang sebelumnya terjadi.

    Dalam deklarasinya, Kim Jong-Un menyebut reunifikasi tidak lagi menjadi tujuan negara komunis itu. Dia mengatakan Korea Selatan telah menjadi “musuh utama”.

    Julukan ini sebelumnya hanya ditujukan terhadap Amerika Serikat.

    Kim Jong-un tidak berhenti di deklarasi itu saja.

    Dia membongkar badan dialog dan kerja sama antar-Korea, menghancurkan Gapura Reunifikasi yang menjadi simbol, serta menghancurkan jalan dan rel kereta api yang dirancang untuk menghubungkan kedua negara ketika mereka menjadi satu.

    BBC

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Istilah reunifikasi, atau tongil dalam bahasa Korea, juga dihapus dari surat kabar dan buku pelajaran sekolah.

    Kata itu bahkan dihapus dari satu stasiun kereta bawah tanah di Pyongyangnamanya diganti menjadi Moranbong.

    Semua ini terjadi di tengah ketegangan antara Korea Utara dan Korea Selatan.

    Sebelumnya, meski fase konflik dan fase pemulihan hubungan terjadi silih berganti dalam beberapa dekade terakhir, kedua Korea tidak pernah sekalipun mempertanyakan tujuan suci reunifikasi.

    Jadi, ada apa di balik perubahan paradigma Kim yang radikal?

    Pentingnya reunifikasi

    Semenanjung Korea, dan rakyat Korea, telah terbagi menjadi Utara dan Selatan selama hampir delapan dekade.

    Barangkali 80 tahun terlihat seperti waktu yang lama.

    Akan tetapi, periode ini relatif sebentar jika dibandingkan dengan masa bersatunya wilayah Korea selama lebih dari 12 abad di bawah dinasti dan kekaisaran yang berbeda dari tahun 668 hingga 1945.

    Ketika Amerika Serikat dan Uni Soviet memecah belah Korea setelah Perang Dunia II Utara yang komunis dan Selatan yang kapitalis pemisahan Korea dipandang sebagai anomali sejarah yang harus diperbaiki sesegera mungkin.

    Kim Il-sung, pendiri Korea Utara dan kakek dari pemimpin saat ini, mencoba melakukannya dengan kekerasan dan hampir berhasil ketika ia menginvasi Korea Selatan pada tahun 1950.

    Getty ImagesKim menghancurkan Gapura Reunifikasi yang dibangun di selatan Pyongyang pada tahun 2001.

    “Kim memberikan banyak tekanan kepada Stalin dan Mao untuk mengizinkannya menginvasi Korea Selatan hingga berhasil pada 1950, dengan tujuan utama untuk mencapai reunifikasi sesuai keinginannya dengan mengambil alih kendali atas Korea Selatan,” jelas akademisi Sung-Yoon Lee, profesor kajian Korea di Wilson Center di Washington DC, kepada BBC Mundo.

    Akan tetapi, Perang Korea (1950-1953) menewaskan lebih dari dua juta orang di kedua belah pihak. Hal ini kemudian mengkonsolidasikan pembagian Korea.

    Gencatan senjata yang mengakhiri konflik antara Korea Utara dan Korea Selatan tidak pernah dilanjutkan dengan perjanjian damai.

    Secara teknis, Korea Utara dan Selatan masih dalam keadaan perang dan dipisahkan Zona Demiliterisasi (DMZ) yang hampir tidak dapat dilewati.

    Baca juga:

    Sejak itu, dua sistem yang tidak dapat didamaikan mempertahankan cita-cita yang sama: penyatuan kembali alias reunifikasi.

    Di Korea Selatan, Pasal 4 Konstitusi 1948 yang masih berlaku hingga saat ini menetapkan tujuan “penyatuan kembali bangsa di bawah prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi yang damai.”

    Di sisi lain, Korea Utara, mengusulkan “penyatuan kembali bangsa berdasarkan kemerdekaan, unifikasi damai dan persatuan nasional yang besar,” menurut Pasal 9 Konstitusi mereka.

    Konstitusi mereka juga menyebutkan “kemenangan sosialisme” sebagai tujuan.

    Penyatuan kembali secara damai atau dipaksakan?

    Akan tetapi, bagaimana caranya agar negara dan rakyat Korea dapat bersatu kembali?

    Di sinilah kedua negara berbeda pendapatmasing-masing ingin melakukan reunifikasi dengan caranya sendiri.

    Di Korea Selatan, dengan jumlah penduduk dua kali lipat lebih banyak dari Korea Utara dan PDB hampir 60 kali lebih besar menurut data pada 2023, pilihan yang paling banyak diminati dalam beberapa dekade terakhir adalah model Jerman: menyerap tetangganya di bawah sistem pasar bebas yang demokratis.

    Adapun Pyongyang secara tradisi berkeinginan untuk menerapkan sosialisme di seluruh semenanjung.

    Sejak 1980-an, mereka juga sempat mengajukan gagasan tentang negara konfederasi tunggal dengan dua sistem, seperti China dan Hong Kong.

    Getty Images Kim Il-sung menginvasi Korea Selatan dengan tujuan menyatukan semenanjung ini ke dalam sistem komunis di bawah komandonya.

    Penyatuan kembali secara damai dengan koeksistensi dua sistem merupakan tujuan yang dinyatakan dalam deklarasi bersama yang ditandatangani pada Juni 2000.

    Pemimpin Korea Utara saat itu, Kim Jong-il (ayah Kim Jong-un) dan Kim Dae-jung dari Korea Selatan menandatangani deklarasi bersejarah tersebut.

    Tahun demi tahun berlalu dan deklarasi menjelma menjadi surat mati.

    “Penyatuan secara paksa, tidak peduli berapa banyak nyawa yang hilang, selalu menjadi tujuan nasional tertinggi rezim Kim, dari Kim Il-sung hingga Kim Jong-un,” kata Profesor Lee.

    Getty Images Pemimpin Korea Selatan dan Utara saat itu, Kim Dae-jung dan Kim Jong-il, berjanji untuk menyatukan kembali semenanjung tersebut pada pertemuan bersejarah di tahun 2000.

    Cendekiawan dari Wilson Center ini meyakini bahwa, pada intinya, “metodologi prioritas Pyongyang selalu menjadi ‘model Vietnam’, yaitu memaksa Amerika Serikat untuk meninggalkan Korea Selatan melalui kombinasi kekuatan dan diplomasi.”

    Kim Jong-un telah menyerukan agar Konstitusi Korea Utara diamandemen untuk menghapus referensi tentang reunifikasi dan menyebut Korea Selatan sebagai “negara yang tidak bersahabat”.

    Hal ini menandai pergeseran ideologi yang mengejutkan di negara komunis tersebut sekaligus menimbulkan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya dicari oleh pemimpin Korea Utara.

    Kami menganalisis berbagai hipotesis yang mencoba menjawabnya.

    Apa motif Kim?

    Kim mengaitkan pergeseran ideologinya dengan “provokasi” yang dilakukan oleh Korea Selatan dan Amerika Serikat.

    Beberapa bentuk “provokasi” yang dimaksud antara lain memperkuat kerja sama dengan Jepang, membentuk grup untuk melakukan koordinasi menanggapi serangan nuklir, atau memperluas Komando PBB.

    Akan tetapi, ketegangan di semenanjung Korea bahkan yang lebih serius sudah sering terjadi dalam beberapa dekade terakhir.

    Baru kali ini Korea Utara mempertimbangkan untuk meninggalkan cita-cita reunifikasi.

    Mengapa hal ini bisa terjadi?

    Getty Images Kim Jong-un mungkin mencoba mengacaukan stabilitas Korea Selatan tanpa meninggalkan ide unifikasi dengan paksaan, menurut beberapa ahli.

    Bagi Ellen Kim, peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS) yang berbasis di Washington DC, “rezim Korea Utara tidak lagi menginginkan reunifikasi khususnya demi mempertahankan sistemnya sendiri.”

    “Mereka khawatir akan popularitas film, musik, dan serial televisi Korea Selatan di kalangan generasi muda di Korea Utara,” kata akademisi tersebut kepada BBC Mundo.

    Dia menjelaskan bahwa “dengan semakin banyaknya informasi yang dikirim ke Korea Utara dari luar, meningkatnya kesadaran publik akan kemakmuran ekonomi Korea Selatan dan seluruh dunia kemungkinan akan membuat kepemimpinan Kim Jong-un dipertanyakan.”

    “Cara yang paling efektif bagi rezim untuk membuat warga Korea Utara berbalik melawan Korea Selatan adalah dengan menjadikan Korea Selatan sebagai musuh utama,” paparnya.

    Getty ImagesAmerika Serikat saat ini memiliki 28.500 tentara yang dikerahkan di Korea Selatan, sekutu yang sering melakukan latihan militer bersama.

    Christopher Green, seorang konsultan untuk semenanjung Korea di lembaga wadah pemikir International Crisis Group (ICG), menyatakan pendapat yang sama: Kim Jong-un mencoba untuk mengekang “pengaruh budaya dan politik Korea Selatan yang semakin besar” terhadap penduduk Korea Utara.

    “Selama 30 tahun terakhir, budaya pop Korea Selatan sebagian besar K-pop, opera sabun dan film menerobos masuk ke Korea Utara dan menantang kontrol rezim atas aliran informasi.”

    “Pyongyang sudah berupaya menghalangi agar konten semacam itu tidak masuk ke perbatasannya, tetapi mereka tidak begitu berhasil,” jelasnya dalam sebuah kolom yang diterbitkan di situs web ICG.

    Baca juga:

    Green menggarisbawahi bahwa Kim sebelumnya sudah memperberat hukuman bagi yang menjual atau mengonsumsi konten asing sejak 2020.

    “Langkah baru Kim merupakan cerminan institusional dari tren yang telah berkembang selama beberapa tahun terakhir,” ujar pakar itu.

    Dia menambahkan bahwa langkah ini bertujuan untuk “melestarikan narasi yang melegitimasi rezim dan mempertahankan kontrol ideologis.”

    Getty ImagesHingga saat ini, Korea Utara mengibarkan bendera reunifikasi, lambang netral semenanjung Korea yang dirancang pada tahun 1990-an.

    Rezim Korea Utara “unggul tidak hanya dari segi provokasi yang diperhitungkan terhadap AS dan Korea Selatan, atau dalam mencuci otak penduduknya, tetapi juga dalam manipulasi psikologis rakyat Korea Selatan,” kata akademisi tersebut.

    Dia menambahkan bahwa “gagasan untuk meninggalkan reunifikasi damai menciptakan ketegangan politik dan sosial di Korea Selatan”.

    “Tidak ada alasan untuk percaya bahwa Kim Jong-un benar-benar putus asa dalam keinginannya merebut wilayah Korea Selatan dan rakyatnya secara paksa,” ujar Lee.

    Pakar ini juga percaya bahwa dengan memandang negara Korea Selatan sebagai “musuh”, pemimpin komunis itu berada dalam posisi yang lebih nyaman untuk membenarkan tindakan permusuhan.

    “Mulai dari menerbangkan balon berisi tinja ke arah Selatan hingga mengirim pasukan tempur ke Rusia untuk memerangi Ukraina, atau terus-menerus mengancam untuk ‘memusnahkan’ Korea Selatan,” ujarnya.

    Sebuah momen penting

    Bagaimanapun, pergeseran ideologi Kim terjadi pada saat yang krusial di panggung regional dan internasional.

    Korea Utara dan Rusia telah menunjukkan pemulihan hubungan terdekat mereka sejak Perang Dingin, dengan Pyongyang memasok senjata, sesuatu yang bertentangan dengan sanksi internasional yang juga disetujui Moskow pada saat itu, dan masuknya pasukannya ke dalam konflik di Ukraina.

    Getty ImagesHubungan antara Kim dan Putin berada dalam kondisi terbaiknya di tengah-tengah perang di Ukraina

    Ditambah lagi dengan ketidakpastian seputar pergantian pemerintahan di Washington setelah kemenangan Donald Trump pada November, yang pada masa jabatan sebelumnya menjadi presiden AS pertama yang bertemu dengan pemimpin Korea Utara.

    Di sisi lain, rezim Kim Jong-un, terus memperkuat teknologi dan persenjataan militernya dalam beberapa tahun terakhir dengan rudal dan hulu ledak nuklir yang semakin banyak, kuat, dan canggih.

    Menurut para ahli, semua ini adalah bagian dari strategi pemimpin Korea Utara untuk memperkuat posisinya di panggung internasional, mencari sekutu strategis yang memungkinkannya untuk melawan tekanan Barat dan memproyeksikan pengaruhnya di luar semenanjung Korea.

    Lihat juga Video ‘Bertemu Menhan Belousov, Kim Jong Un ‘Bersumpah’ Korut Selalu Dukung Rusia’:

    (haf/haf)

  • Momen Kim Jong Un Kunjungi Makam Ayah dan Kakeknya

    Momen Kim Jong Un Kunjungi Makam Ayah dan Kakeknya

    Jakarta, CNN Indonesia

    Kim Jong Un, pemimpin tertinggi Korea Utara, mengunjungi makam ayahnya, Kim Jong Il, dan makam kakeknya, Kim Il Sung, pada Selasa (17/12).

    Kunjungan tersebut dilakukan di Istana Matahari Kumsusan untuk memperingati 13 tahun kematian Kim Jong Il.

    Sebuah keranjang bunga bertuliskan nama Kim Jong Un diletakkan di depan patung almarhum ayah dan kakeknya.

    Sementara itu, Korea Utara tetap diam dan enggan memberikan komentar terkait situasi politik, terutama setelah Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, memberlakukan darurat militer pada awal bulan ini.

  • Ketika Militer China Rebut Pyongyang dan Perang Nuklir Nyaris Terjadi

    Ketika Militer China Rebut Pyongyang dan Perang Nuklir Nyaris Terjadi

    Jakarta

    Pada Desember 1950, seorang juru kamera BBC merekam rangkaian peristiwa yang menentukan dalam Perang Korea, yaitu ketika militer China merebut Pyongyang. BBC merangkum bagaimana konflik tersebut menghancurkan lahan dan penduduknya, menentukan masa depan Semenanjung Korea, dan mendorong dunia ke ambang bencana nuklir.

    “Semua jalan menuju keluar kota dipenuhi pengungsi. Hanya sedikit yang tahu ke mana mereka akan pergi,” demikian laporan BBC saat menyiarkan tayangan warga Korea Utara yang mencoba melarikan diri dari Kota Pyongyang yang dilalap api pada 5 Desember 1950.

    Rekaman tersebut diabadikan oleh juru kamera BBC, Cyril Page, selama jam-jam terakhirnya di ibu kota Korea Utara itu.

    Setelah mendengar bahwa pasukan PBB akan ditarik dari Korut, Page turun ke jalan untuk mendokumentasikan kekacauan dan ketakutan warga Pyongyang di tengah kabar bahwa pasukan China segera tiba.

    Dalam kondisi musim dingin yang menusuk tulang, ia merekam para pengungsi yang ketakutan. Mereka tampak membawa apa pun yang bisa diangkut saat asap mengepul dari berbagai bangunan yang terbakar di belakang mereka.

    Evakuasi tersebut merupakan perubahan dramatis yang dialami oleh pasukan PBB pimpinan Jenderal Douglas MacArthur.

    Beberapa minggu sebelumnya, sang jenderal telah berjanji kepada Presiden Amerika Serikat, Harry S Truman, bahwa ia siap untuk menyatukan Korea.

    Kekacauan dan pertumpahan darah ini disebabkan oleh Perang Korea. Bagaimana perang itu bisa terjadi?

    Beberapa tahun sebelum Perang Dunia Kedua berakhir, Korea mengalami penderitaan akibat penjajahan Jepang yang brutal.

    AS mengusulkan kepada sekutu masa perangnya, Uni Soviet, bahwa mereka harus membagi kendali Korea untuk sementara waktu setelah Jepang menyerah guna memudahkan pelucutan pasukan Jepang.

    Pada 1945, AS dan Uni Soviet membagi Korea menjadi dua. Pembatasnya adalah garis demarkasi yang diberi nama paralel ke-38. Di utara, Uni Soviet mendukung Kim Il-sung dalam membentuk Republik Rakyat Demokratik Korea. Sedangkan AS mendukung Syngman Rhee membentuk Republik Korea di selatan.

    Sejak awal, Korea Utara dan Korea Selatan tidak mengakui legitimasi satu sama lain ataupun garis demarkasi yang ditetapkan oleh AS dan Uni Soviet.

    “[Garis] itu tidak pernah dianggap sah atau bermakna oleh orang Korea. Sama sekali tidak berarti bagi mereka,” kata Dr Owen Miller dari Pusat Studi Korea di SOAS, Universitas London, kepada siniar BBC History Magazine.

    Baca juga:

    Pada 1949, AS dan Uni Soviet telah menarik sebagian besar pasukan mereka dari Korea, tetapi tindakan itu tidak banyak membantu meredakan ketegangan antara Korut dan Korsel.

    Sebaliknya, bentrokan berdarah antara kedua negara semakin sering terjadi di sepanjang perbatasan de facto.

    Baik pemimpin Korut maupun pemimpin Korsel ingin menyatukan kembali Korea secara paksa.

    Getty ImagesPendiri Korea Utara, Kim Il Sung.

    Pada 25 Juni 1950, pemimpin komunis Korea Utara, Kim Il-sung, melancarkan aksinya.

    Saat matahari belum terbit, ia mengerahkan pasukan tempur yang terlatih guna melancarkan serangan mendadak dengan melintasi perbatasan paralel ke-38.

    Pasukan Korea Utara, yang dilengkapi senjata buatan Soviet, dengan cepat mengalahkan tentara Korea Selatan. Dalam beberapa hari, mereka berhasil merebut ibu kota Korea Selatan, Seoul, dan memaksa banyak warganya untuk bersumpah setia kepada Partai Komunis. Jika menolak, warga akan menghadapi hukuman penjara atau eksekusi mati.

    BBC

    BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

    Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

    BBC

    Di AS, Presiden Truman terkejut dengan kecepatan dan keberhasilan serangan Korea Utara.

    Sebagai seorang yang percaya pada “teori domino”bahwa jika satu negara jatuh ke tangan komunisme, negara lain akan mengikutiia memohon kepada PBB untuk membela Korea Selatan.

    Uni Soviet dapat saja memveto pemungutan suara ini. Namun pada saat itu, Uni Soviet memboikot Dewan Keamanan PBB karena menolak mengakui Republik Rakyat China.

    Maka, pada 28 Juni 1950, sebuah resolusi disahkan yang menyerukan kepada semua negara anggota PBB untuk membantu mengusir invasi Korut. MacArthur, jenderal AS yang telah menerima penyerahan Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua, diangkat menjadi komandan pasukan gabungan PBB.

    Membalikkan arus serangan

    AS adalah pihak pertama yang merespons, dengan mengirim tentaranya yang ditempatkan di Jepang. Namun, pasukan ini tidak siap menghadapi pasukan Korea Utara yang lebih unggul dan mampu memukul mundur pasukan AS.

    Pertempuran yang berkecamuk membuat ribuan warga sipil Korea terperangkap sehingga menewaskan mereka. Pada September, pasukan Korea Selatan dan PBB terdesak dan hanya mampu mempertahankan kantong kecil di sekitar Pelabuhan Busan di ujung selatan.

    Saat itu Korea Utara tampak selangkah lagi menyatukan seluruh semenanjung Korea.

    Baca juga:

    Namun, MacArthur memutuskan untuk mencoba melakukan serangan laut terhadap Inchon, sebuah pelabuhan di belakang lini pasukan Korea Utara.

    Melalui pengeboman besar-besaran, pasukan PBB mendarat di Inchon pada 15 September 1950, merebut pelabuhan tersebut, dan bergerak cepat untuk merebut kembali Seoul.

    Setelah mereka merebut kembali ibu kota Korsel, puluhan ribu penduduknya yang telah bersumpah setia kepada Korut ditembak oleh pasukan Korea Selatan.

    Itu hanyalah salah satu dari serangkaian pembunuhan massal yang mengerikan dan membabi buta terhadap warga sipil yang terjadi selama perang.

    “Terjadi banyak pembantaian selama perang, jauh dari garis depan. Di sana orang-orang ditangkap karena dianggap tidak setia,” kata Dr. Miller.

    AFPJenderal MacArthur (kanan) bersama Syngman Rhee, sosok yang didukung AS untuk mendirikan Korea Selatan.

    Operasi Inchon berhasil memutus jalur pasokan dan komunikasi tentara Korea Utara. Di lain pihak, pasukan PBB berhasil keluar dari Busan dan melancarkan serangan balasan. Hal ini membalikkan arus konflik sehingga tentara Korea Utara terpaksa mundur ke utara dan kembali melintasi perbatasan garis lintang 38 derajat.

    Namun berbekal resolusi PBB, MacArthur bertekad menghancurkan pasukan komunis sepenuhnya. Ia lantas memerintahkan pasukannya untuk mengejar pasukan Korea Utara hingga melintasi perbatasan.

    Pada 19 Oktober 1950, pasukan PBB telah merebut Pyongyang dan bergerak maju menuju Sungai Yalu di perbatasan China. Situasi yang begitu mengerikan bagi Korea Selatan beberapa bulan sebelumnya kini tampaknya telah berubah.

    Baca juga:

    Truman ragu untuk memperluas konflik karena bisa menyeret China dan Rusiayang saat itu telah mengembangkan bom atomnya sendirike dalam perang dunia ketiga.

    Namun MacArthur yakin bahwa ia bisa meraih kemenangan yang akan menyatukan kembali Korea di bawah kepemimpinan Korea Selatan yang pro-Barat. Ia meyakinkan Truman bahwa perang akan berakhir sebelum Natal.

    Namun, kemajuan pesat PBB menuju perbatasan China membuat pemimpin komunis Tiongkok, Mao Zedong, gelisah.

    Getty ImagesSejumlah serdadu Korea Utara dan China menjadi tahanan perang pasukan PBB pada Juni 1950.

    Mao memerintahkan tentara China untuk berkumpul secara diam-diam di perbatasan untuk menghadapi pasukan MacArthur yang terus bergerak maju. Pada akhir November, tentara China mengubah arah Perang Korea.

    Ribuan tentara Tiongkok melancarkan serangkaian serangan terhadap pasukan PBB.

    Menderita kerugian besar dan bertempur dalam kondisi musim dingin, pasukan MacArthur tidak mampu mempertahankan wilayah luas yang telah mereka rebut beberapa minggu sebelumnya.

    Pada Pertempuran Sungai Ch’ongch’on, pasukan Tiongkok mengalahkan pasukan PBB secara telak, yang disebut-sebut sebagai salah satu penarikan mundur paling berdarah dalam sejarah Korps Marinir AS.

    Ancaman perang nuklir

    Karena tidak mampu menghentikan laju pasukan China yang tak kenal lelah, MacArthur memutuskan untuk meninggalkan Pyongyang.

    Pasukan PBB diperintahkan untuk membakar semua perlengkapan dan peralatan, yang menyebabkan banyak bangunan di kota itu dilalap api.

    Getty ImagesWarga sipil Korea mengungsi ke arah selatan pada Januari 1951.

    Menyadari bahwa tentara Korea Utara dan China mengancam akan membersihkan siapa pun yang dicurigai membantu pasukan PBB, ribuan penduduk Pyongyang meninggalkan kota itu dalam ketakutan dan kondisi lelah.

    Juru kamera BBC, Cyril Page, merekam orang-orang Korea ini yang berusaha mati-matian untuk menyeberangi Sungai Taedong agar tidak terjebak di Pyongyang saat pasukan PBB pergi.

    “Karena prioritasnya adalah kendaraan militer, para pengungsi tidak diizinkan menyeberangi jembatan di atas Sungai Taedong sebelah selatan Pyongyang,” demikian BBC melaporkan.

    Baca juga:

    Para teknisi militer AS sengaja mengatur agar jembatan-jembatan ini meledak setelah kendaraan militer pasukan gabungan PBB melintasinya demi memperlambat laju pasukan Korea Utara.

    “Namun, karena takut tertinggal di kota, ribuan orang berjalan ke tepi sungai,” lanjut laporan BBC. “Di sana, berbagai jenis kapal disiapkan untuk membawa mereka menyeberang.”

    Page sendiri diperintahkan untuk meninggalkan lapangan terbang sebelum senja. Ketika ia tiba di lapangan terbang itu, ia mendapati bahwa sebagian besar lapangan terbang itu juga dibakar pasukan PBB karena khawatir fasilitas itu dapat digunakan oleh Korea Utara.

    “Saat hari mulai gelap, hanggar dan bengkel yang menyala-nyala menerangi langit malam,” sebut laporan BBC. “Pada tengah malam, ratusan rumah pribadi di dekat lapangan terbang itu juga terbakar.”

    Saat pesawat yang ditumpangi Page lepas landas, ia mengambil gambar terakhir Pyongyang, yang sempat menjadi tempat kemenangan MacArthur tetapi saat itu melambangkan kegagalan strategi militernya.

    “Hari sudah hampir fajar ketika juru kamera kami meninggalkan lapangan udara Pyongyang,” BBC melaporkan, “dan saat pesawatnya berangkat, ia melihat pasukan PBB mundur ke selatan bersama barisan kendaraan yang tampaknya tak berujung.”

    Baca juga:

    Pada 6 Desember 1950, saat pasukan China dan Korea Utara kembali memasuki Pyongyang, strategi AS untuk mengakhiri perang mulai bergeser ke arah yang jauh lebih berbahaya.

    Hubungan Truman dengan MacArthur selalu sulit karena sang jenderal cenderung melangkahi wewenangnya dan mengabaikan perintah langsung.

    Kini, saat menghadapi situasi yang memburuk di Korea, kedua pria itu berulang kali berselisih pendapat mengenai arah perang.

    MacArthur, yang sebelumnya meremehkan kekhawatiran Truman bahwa Mao Zedong mungkin akan campur tangan, kini mulai secara terbuka menganjurkan peningkatan konflik.

    Ia berpendapat bahwa AS harus mengancam menggunakan senjata nuklir dan mengebom China jika pasukan komunis di Korea tidak meletakkan senjata mereka.

    MacArthur tidak sendirian dalam hal ini: Curtis LeMay, kepala Komando Strategis Udara AS selama Perang Korea, juga mendukung serangan pendahuluan.

    LeMay, yang percaya bahwa perang nuklir tidak dapat dihindari, belakangan mencoba membujuk Presiden John F Kennedy agar ia diizinkan untuk mengebom lokasi rudal nuklir saat Krisis Rudal Kuba.

    Desakan untuk menggunakan senjata nuklir ini sangat mengkhawatirkan negara-negara PBB lainnya yang terlibat dalam konflik Korea, termasuk Perdana Menteri Inggris, Clement Attlee. Dia bahkan sengaja terbang ke Washington DC untuk menolak gagasan tersebut.

    Namun MacArthur berkeras bahwa rencananya akan berhasil, karena ia yakin Rusia akan terintimidasi dan tidak akan melakukan apa pun terhadap serangan AS ke China.

    Kembali ke garis awal

    Pada 9 Desember 1950, MacArthur secara resmi meminta kewenangan untuk menggunakan senjata nuklir. Truman menolaknya.

    Dua pekan kemudian, MacArthur menyerahkan daftar target serangan, termasuk yang berada di China. Dia bahkan mencantumkan jumlah bom atom yang akan dibutuhkannya.

    Ia terus mendesak Pentagon untuk memberinya keleluasaan menggunakan senjata nuklir kapanpun diperlukan.

    Pada akhir Desember 1950, pasukan PBB telah didorong mundur melintasi perbatasan garis lintang 38 derajat. Adapun pasukan China dan Korea Utara merebut kembali kota Seoul yang terkepung dan dibom pada Januari 1951.

    “Mungkin jika beberapa komandan seperti Curtis LeMay lebih dekat dengan presiden, mereka mungkin akan menggunakan senjata nuklir karena komandan seperti LeMay dan MacArthur memang ingin menggunakannya,” kata Dr. Miller.

    “Mereka berpikir, ‘Apa gunanya punya senjata nuklir kalau kita tidak menggunakannya?’”

    Lantaran Truman tidak yakin dirinya bisa mengendalikan MacArthur, ditambah kekhawatiran bahwa sikap agresif sang jenderal dapat memicu Perang Dunia Ketiga, Truman memecatnya atas tuduhan pembangkangan pada April 1951.

    Baca juga:

    Getty ImagesPasukan PBB yang mundur dari Pyongyang menuju selatan dengan melintasi perbatasan garis lintang paralel ke-38, pada 1950.

    Perang Korea terus berlanjut selama dua tahun berikutnya. Adapun Seoul berpindah tangan lagi untuk keempat kalinya.

    Karena tidak ada pihak yang mampu meraih kemenangan yang menentukan, perang ini berubah menjadi perang yang berkepanjangan dan berdarah.

    “Salah satu ironi terbesar dari perang ini adalah, garis depan kedua pasukan berada pada musim semi tahun 1951 tidak jauh dari garis lintang 38 derajat,” kata Dr. Miller.

    “Setelah semua kerugian besar ini terjadi di kedua belah pihak, kehancuran sipil yang terjadi, tetapi mereka kurang lebih kembali ke garis awal.”

    Korsel dan Korut akhirnya mengakhiri pertempuran dengan gencatan senjata pada 1953, tetapi mereka tidak menandatangani perjanjian damai. Artinya, secara teknis mereka masih berperang.

    Konflik tersebut merusak Semenanjung Korea. Perkiraannya bervariasi, tetapi diyakini bahwa sekitar empat juta orang tewas selama Perang Korea dan setengahnya adalah warga sipil. Lebih banyak lagi yang mengungsi atau kelaparan.

    Pengeboman udara menghancurkan negara itu, menghancurkan seluruh kota. Keluarga yang terpisah akibat pemisahan tersebut tidak pernah bersatu kembali.

    Puluhan tahun kemudian, kedua negara masih terjebak dalam konflik, dipisahkan oleh zona demiliterisasi sepanjang 250 km yang dipenuhi ranjau darat dan dijaga oleh ratusan tentara.

    Warisan perang yang tidak pernah berakhir.

    Artikel ini dapat Anda baca dalam versi bahasa Inggris berjudul ‘As darkness fell, blazing hangars lit up the sky’: How the fall of Pyongyang brought the world to the brink of crisis pada laman BBC Culture.

    (ita/ita)

  • Puja Puji Putin Jelang Kunjungan ke Korut Usai 24 Tahun

    Puja Puji Putin Jelang Kunjungan ke Korut Usai 24 Tahun

    Pyongyang

    Presiden Rusia Vladimir Putin melontarkan pujian ke Korea Utara (Korut) jelang kunjungannya. Kunjungan ke Korut ini jadi yang pertama dilakukan Putin dalam 24 tahun terakhir.

    Dilansir BBC, Selasa (18/6/2024), Putin memuji Korut yang dianggapnya ‘dengan tegas mendukung’ perang di Ukraina. Putin diperkirakan melakukan kunjungan di Korut selama 2 hari, yakni 18 dan 19 Juni.

    Putin juga diprediksi akan bertemu dengan Pemimpin Korut, Kim Jong Un. Kedua pemimpin terakhir kali bertemu pada bulan September 2023 di kosmodrom Vostochny di timur jauh Rusia. Kunjungan Putin ini merupakan kunjungan pertama Putin ke Pyongyang sejak tahun 2000.

    Dalam surat yang diterbitkan di media pemerintah Korea Utara, Putin berjanji membangun sistem perdagangan dan keamanan dengan Pyongyang ‘yang tidak dikendalikan oleh Barat’.

    Putin juga disebut berjanji mendukung upaya Pyongyang untuk membela kepentingannya meskipun ada apa yang disebutnya sebagai ‘tekanan, pemerasan, dan ancaman militer AS’, dalam artikel yang dicetak di Rodong Sinmun, corong partai berkuasa di Korea Utara. Putin mengatakan kedua negara terus ‘menentang dengan tegas’ apa yang dia gambarkan sebagai ambisi Barat ‘menghalangi pembentukan tatanan dunia multipolarisasi berdasarkan rasa saling menghormati keadilan’.

    Kremlin sendiri menggambarkan kunjungan itu sebagai ‘kunjungan kenegaraan persahabatan’ dengan media Rusia melaporkan bahwa Putin dan Kim mungkin menandatangani perjanjian kemitraan, termasuk mengenai masalah keamanan, dan akan memberikan pernyataan bersama kepada media. Sebuah parade di alun-alun Kim Il Sung sudah disiapkan untuk menyambut Putin.

    Putin juga diperkirakan akan menonton konser dan mengunjungi Gereja Ortodoks Tritunggal Pemberi Kehidupan di Pyongyang, satu-satunya gereja ortodoks di Korea Utara. Ada laporan bahwa Putin akan menginap di wisma Kumsusan di Pyongyang, tempat terakhir kali pemimpin Tiongkok Xi Jinping menginap selama kunjungan kenegaraannya ke Korut pada tahun 2019.

    Putin diperkirakan akan tiba bersama Menteri Pertahanan baru, Andrei Belousov, sementara Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov dan Wakil Perdana Menteri Alexander Novak juga akan menjadi bagian dari delegasi tersebut. Kim mengatakan pekan lalu bahwa hubungan dengan Rusia telah ‘berkembang menjadi hubungan kawan seperjuangan yang tidak dapat dipatahkan’.

    Dalam pertemuan mereka tahun lalu, Putin mengatakan dia melihat ‘kemungkinan’ untuk kerja sama militer dengan Korea Utara, sementara Kim berharap presiden Rusia ‘menang’ di Ukraina.

    Gedung Putih mengaku tak khawatir dengan kunjungan Putin. Namun, AS prihatin dengan hubungan yang lebih erat antara Rusia dan Korut.

    “Kami tidak khawatir dengan perjalanan yang dilakukan Putin,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby kepada wartawan pada hari Senin.

    “Yang kami khawatirkan adalah semakin dalamnya hubungan antara kedua negara,” sambungnya.

    Pada awal karir kepresidenannya di tahun 2000, Putin bertemu dengan ayah Kim, Kim Jong Il, yang masih menjadi pemimpin tertinggi Korut. Hubungan antara kedua negara ini meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina.

    Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

    Korut diketahui membutuhkan bantuan dalam bidang teknologi luar angkasa setelah kegagalannya baru-baru ini dalam menempatkan satelit mata-mata kedua ke orbit – serta makanan, bahan bakar, dan mata uang asing. Sementara, Rusia terus menghadapi kekurangan senjata dalam perangnya di Ukraina.

    Washington dan Seoul menuduh Pyongyang memasok artileri dan peralatan lainnya ke Moskow, kemungkinan besar dengan imbalan makanan, bantuan militer, dan teknologi. Baik Korea Utara maupun Rusia menyangkal adanya kesepakatan senjata.

    Penerbangan Jadi Jadi Teka-teki

    Rencana perjalanan Putin, termasuk pesawat yang membawa Putin pun masih menjadi teka-teki. Otoritas Rusia dan Korut belum memberi penjelasan kapan tepatnya pemimpin Rusia itu akan tiba di Pyongyang. Meski demikian, kunjungannya dijadwalkan dimulai pada Selasa malam.

    Pesawat apa yang akan dinaiki Putin juga masih menjadi teka-teki. Hal ini membuat para pengamat di seluruh dunia terus memantau situs pelacak penerbangan.

    Media Rusia mengatakan Putin akan singgah di kota Yakutsk, Rusia, di Siberia timur. Putin diperkirakan akan menghabiskan beberapa jam di sana dan dijadwalkan bertemu dengan kepala daerah Yakutia serta menghadiri berbagai pameran. Dia mungkin berada di RSD201, yang sebelumnya lepas landas dari Moskow.

    Pesawat tersebut kini telah mendarat di Yakutsk dan diperkirakan akan mendarat di Pyongyang dalam waktu sekitar 3 jam. Namun, ada kemungkinan dia berada di dalam pesawat RSD 389, yang juga lepas landas dari Moskow dan kini terbang di atas Rusia. Pesawat itu baru akan tiba di Pyongyang sekitar 6 jam.

    Putin diperkirakan melakukan banyak hal penting di Korut pada Rabu (19/6) besok. Upacara penyambutan resmi antara delegasi kedua negara, di mana Putin juga akan menerima pengawal kehormatan bakal digelar besok.

    Pembicaraan besar akan dimulai setelah itu. Sebagai bagian dari kunjungan dua hari tersebut – Putin akan disuguhi konser gala.

    Dia juga dijadwalkan mengunjungi satu-satunya gereja ortodoks di Korea Utara – Gereja Tritunggal Pemberi Kehidupan – dalam perjalanan kembali ke bandara. Pemimpin Rusia tersebut diperkirakan akan langsung melakukan perjalanan ke Vietnam untuk kunjungan kenegaraan lainnya.

    Pyongyang Bersolek Sambut Putin

    Korut pun telah bersiap menyambut Putin. Foto Putin dan bendera Rusia terlihat menghiasi jalanan di ibu kota Korut, Pyongyang.

    Pyongyang telah didekorasi untuk menyambut Putin. Jalan-jalan di kota dipenuhi bendera Rusia dan potret Putin.

    Gambar dan rekaman yang dibagikan oleh kantor berita milik negara Rusia, RIA Novosti, menunjukkan spanduk menyambut Putin di sepanjang jalan bebas hambatan, dilapisi dengan poster propaganda Korea Utara.

    “Persahabatan antara Korea Utara dan Rusia abadi,” demikian tulisan salah satu spanduk di luar Bandara Internasional Sunan Pyongyang.

    “Kami dengan hangat menyambut Kamerad Presiden Rusia Vladimir Vladimirovich Putin,” demikian isi spanduk lainnya.

    Halaman 2 dari 2

    (haf/haf)

  • Putin Puji Korut Jelang Kunjungan Pertamanya dalam 24 Tahun

    Putin Puji Korut Jelang Kunjungan Pertamanya dalam 24 Tahun

    Pyongyang

    Presiden Rusia Vladimir Putin melontarkan pujian ke Korea Utara (Korut) jelang kunjungannya. Ini merupakan kunjungan pertama Putin ke Korut dalam 24 tahun terakhir.

    Dilansir BBC, Selasa (18/6/2024), Putin memuji Korea Utara karena ‘dengan tegas mendukung’ perang Moskow di Ukraina. Putin diperkirakan tiba di ibu kota Korut untuk bertemu dengan Pemimpin Korut, Kim Jong Un, Selasa malam.

    Kedua pemimpin terakhir kali bertemu pada bulan September 2023 di kosmodrom Vostochny di timur jauh Rusia. Kunjungan ini merupakan kunjungan pertama Putin ke Pyongyang sejak tahun 2000.

    Dalam surat yang diterbitkan di media pemerintah Korea Utara, Putin berjanji untuk membangun sistem perdagangan dan keamanan dengan Pyongyang ‘yang tidak dikendalikan oleh Barat’.

    Putin juga berjanji mendukung upaya Pyongyang untuk membela kepentingannya meskipun ada apa yang disebutnya sebagai ‘tekanan, pemerasan, dan ancaman militer AS’, dalam artikel yang dicetak di Rodong Sinmun, corong partai berkuasa di Korea Utara. Putin mengatakan kedua negara akan terus ‘menentang dengan tegas’ apa yang dia gambarkan sebagai ambisi Barat ‘untuk menghalangi pembentukan tatanan dunia multipolarisasi berdasarkan rasa saling menghormati keadilan’.

    Amerika Serikat mengatakan pihaknya prihatin dengan ‘mendalamnya hubungan antara kedua negara’. Kremlin sendiri menggambarkan kunjunga tersebut sebagai ‘kunjungan kenegaraan persahabatan’ dengan media Rusia melaporkan bahwa Putin dan Kim mungkin menandatangani perjanjian kemitraan, termasuk mengenai masalah keamanan, dan akan memberikan pernyataan bersama kepada media.

    Sebuah parade di alun-alun Kim Il Sung sudah disiapkan untuk menyambut Putin. Putin juga diperkirakan akan menonton konser dan mengunjungi Gereja Ortodoks Tritunggal Pemberi Kehidupan di Pyongyang, satu-satunya gereja ortodoks di Korea Utara.

    Putin diperkirakan akan tiba bersama Menteri Pertahanan baru, Andrei Belousov, sementara Menteri Luar Negeri Sergei Lavrov dan Wakil Perdana Menteri Alexander Novak juga akan menjadi bagian dari delegasi tersebut.

    Kim mengatakan pekan lalu bahwa hubungan dengan Rusia telah ‘berkembang menjadi hubungan kawan seperjuangan yang tidak dapat dipatahkan’.

    Dalam pertemuan mereka tahun lalu, Putin mengatakan dia melihat ‘kemungkinan’ untuk kerja sama militer dengan Korea Utara, sementara Kim berharap presiden Rusia ‘menang’ di Ukraina.

    Gedung Putih mengatakan AS prihatin dengan hubungan yang lebih erat antara Rusia dan Korea Utara.

    “Kami tidak khawatir dengan perjalanan yang dilakukan Putin,” kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby kepada wartawan pada hari Senin.

    “Yang kami khawatirkan adalah semakin dalamnya hubungan antara kedua negara,” sambungnya.

    John Nilsson-Wright, kepala program Jepang dan Korea di Pusat Geopolitik Universitas Cambridge, mengatakan Putin ‘memperkuat hubungan dengan mitra lamanya dalam Perang Dingin’ dalam upaya untuk ‘melawan anggapan bahwa AS dan sekutunya telah mampu melakukan hal tersebut untuk mengisolasi Moskow’.

    “Dia memperkuat hubungan antara rezim otoriter pada saat pemerintahan demokratis berada dalam posisi defensif, menghadapi tantangan keamanan global di Timur Tengah, Asia Timur dan Ukraina,” ujarnya.

    Pada tahun 2000, di awal karir kepresidenannya, Putin bertemu dengan ayah Kim, Kim Jong Il, yang masih menjadi pemimpin tertinggi Korut. Hubungan antara kedua negara ini meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama sejak invasi besar-besaran Rusia ke Ukraina.

    Korea Utara membutuhkan bantuan dalam bidang teknologi luar angkasa setelah kegagalannya baru-baru ini dalam menempatkan satelit mata-mata kedua ke orbit – serta makanan, bahan bakar, dan mata uang asing. Sementara, Rusia terus menghadapi kekurangan senjata dalam perangnya di Ukraina.

    Washington dan Seoul menuduh Pyongyang memasok artileri dan peralatan lainnya ke Moskow, kemungkinan besar dengan imbalan makanan, bantuan militer, dan teknologi. Baik Korea Utara maupun Rusia menyangkal adanya kesepakatan senjata.

    Setelah Korea Utara, Putin diperkirakan akan mengunjungi Vietnam, negara Komunis dan sekutu lamanya, di mana kedua negara diperkirakan akan membahas isu-isu seperti perdagangan.

    (haf/imk)

  • Diawasi Kim Jong Un, Korut Uji Coba Roket Terbaru

    Diawasi Kim Jong Un, Korut Uji Coba Roket Terbaru

    Pyongyang

    Korea Utara (Korut) melakukan uji coba peluncuran roket multiple 240 mm yang diproduksi oleh unit industri pertahanan yang baru di negara tersebut. Peluncuran roket itu mendapatkan inspeksi langsung oleh pemimpin Korut Kim Jong Un.

    Seperti dilansir Reuters, Jumat (26/4/2024), aktivitas peluncuran terbaru Pyongyang yang digelar pada Kamis (25/4) waktu setempat itu diumumkan oleh kantor berita Korean Central News Agency (KCNA) dalam laporannya pada Jumat (26/4) waktu setempat.

    Laporan KCNA itu tidak menjelaskan lebih detail soal unit yang memproduksi artileri yang diuji coba.

    Namun Korut diyakini sedang meningkatkan produksi artilerinya di tengah tudingan yang dilontarkan Amerika Serikat (AS) dan Korea Selatan (Korsel) bahwa negara terisolasi itu memasok persenjataan ke Rusia yang berperang melawan Ukraina dua tahun terakhir.

    Tudingan itu telah dibantah keras oleh Pyongyang dan Moskow.

    KCNA dalam laporannya mengklaim uji coba peluncuran yang digelar menunjukkan roket 240 mm itu memenuhi standar yang diperlukan untuk karakteristik dan akurasi penerbangan.

    Dalam inspeksinya, menurut laporan KCNA, Kim Jong Un mengatakan bahwa sistem peluncuran roket multiple 240 mm, yang menggabungkan teknologi baru, akan “membawa perubahan strategis dalam memperkuat kemampuan artileri militer kita”.

    Dalam laporan terpisah, KCNA menyebut Kim Jong Un juga mengunjungi Universitas Militer Kim Il Sung, yang diberi nama sesuai nama kakek Kim Jong Un yang juga pendiri Korut, untuk memperingati ulang tahun berdirinya tentara revolusioner — cikal bakal militer negara tersebut.

    Uji peluncuran roket yang diawasi Kim Jong Un itu diumumkan setelah Kim Yo Jong, adik perempuan sang pemimpin Korut, sesumbar mengatakan negaranya akan terus membangun kekuatan militer yang luar biasa dan paling kuat untuk melindungi kedaulatan negara, juga menjaga perdamaian regional.

    “Kami akan terus membangun kekuatan militer yang luar biasa dan paling kuat untuk menjaga kedaulatan, keamanan, dan perdamaian regional kami,” cetus Kim Yo Jong seperti dikutip KCNA.

    Komentar itu disampaikan Kim Yo Jong setelah militer AS dan Korsel menggelar rentetan latihan militer gabungan dengan skala dan intensitas yang lebih besar dalam beberapa bulan terakhir, berdasarkan tekad pemimpin kedua negara untuk meningkatkan kesiapan militer terhadap ancaman militer Korut.

    Menurut militer Korsel, sekitar 100 pesawat militer terlibat dalam latihan udara bersama yang berlangsung selama dua pekan sepanjang bulan ini.

    Pyongyang selalu menyebut latihan militer gabungan Washington dan Seoul sebagai persiapan perang nuklir untuk melawan negaranya. Namun AS dan Korsel menegaskan latihan gabungan mereka bersifat defensif dan dilakukan secara rutin untuk menjaga kesiapan militer.

    Halaman 2 dari 2

    (nvc/ita)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Korut Bikin Lagu Khusus untuk Kim Jong Un, Liriknya Dipenuhi Pujian

    Korut Bikin Lagu Khusus untuk Kim Jong Un, Liriknya Dipenuhi Pujian

    Pyongyang

    Korea Utara (Korut) merilis lagu baru khusus untuk pemimpin mereka, Kim Jong Un. Lagu tersebut berisi pujian untuk Kim Jong Un yang disebut sebagai sosok “ayah yang ramah” dan “seorang pemimpin yang hebat”.

    Seperti dilansir Reuters, Sabtu (20/4/2024), dirilisnya lagu baru untuk pemimpin Korut itu tampaknya merupakan bagian dari upaya propaganda demi meningkatkan posisi Kim Jong Un di negara terisolasi tersebut.

    Lagu untuk Kim Jong Un itu dirilis lengkap dengan sebuah video musik yang ditayangkan oleh Korean Central Television yang dikuasai pemerintah Pyongyang pada Rabu (17/4) waktu setempat.

    Video musik itu menampilkan berbagai warga Korut dengan latar belakang berbeda-beda, mulai dari anak-anak hingga tentara dan staf medis yang tampak dengan penuh semangat menyanyikan lirik lagu untuk memuji Kim Jong Un tersebut.

    “Ayo bernyanyi, Kim Jong Un pemimpin besar,” demikian penggalan lirik lagu tersebut.

    “Mari kita pamer soal Kim Jong Un, seorang ayah yang ramah,” imbuh lirik lagu itu.

    Tidak hanya itu, lagu tersebut bahkan ditampilkan secara langsung dengan diiringi orkestra yang ditonton oleh Kim Jong Un, dan disiarkan oleh televisi pemerintah Korut sebagai bagian dari seremoni menandai selesainya pembangunan 10.000 rumah baru di negara tersebut.

    Dinasti keluarga Kim yang memerintah Korut sejak negara itu berdiri usai Perang Dunia II, berupaya memperkuat cengkeraman mereka pada kekuasaan dengan membangun kultus kepribadian di sekitar mereka.

    Dirilisnya lagu bertempo cepat dengan judul “Friendly Father” atau “Ayah yang Ramah” ini terjadi ketika media pemerintah Korut baru-baru ini mengganti nama yang digunakan untuk hari libur umum, yang memicu spekulasi bahwa langkah itu menjadi bagian dari upaya memperkuat posisi Kim Jong Un.

    Hari libur umum tahunan yang sebelumnya disebut sebagai “Hari Matahari” untuk memperingati kelahiran mendiang pendiri Korut Kim Il Sung, kini disebut sebagai “hari libur April” oleh media pemerintah. Sebutan baru itu dinilai lebih netral dibandingkan sebelumnya.

    Perubahan semacam itu, menurut pejabat Kementerian Unifikasi Korea Selatan (Korsel), dinilai sebagai upaya Kim Jong Un untuk berdiri sendiri tanpa bergantung pada pendahulunya.

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Apakah Kim Jong Un Sedang Persiapkan Putrinya Jadi Penerus Dinasti?

    Apakah Kim Jong Un Sedang Persiapkan Putrinya Jadi Penerus Dinasti?

    Pyongyang

    Kim Ju Ae pertama kali muncul di depan umum bersama ayahnya, Kim Jong Un, pada peluncuran rudal November 2022. Saat itu dia diyakini berusia sekitar 9 tahun. Kemunculannya secara publik langsung menarik perhatian para analis dan media. Pada Februari 2023, Kim Ju Ae menemani ayahnya menghadiri lima acara lain.

    Sistem nilai Konfusianisme di Korea Utara melarang perempuan untuk berkuasa. Selain itu, militer kelihatannya tidak terbiasa menerima perintah dari seorang perempuan. Namun, dalam beberapa bulan terakhir putri Kim Jong Un makin sering muncul ke publik.

    Awal Desember lalu, Menteri Unifikasi Korea Selatan Kim Yung-ho pada sebuah acara media menjelaskan, Kim Jong Un tampaknya “sedang buru-buru” menyiapkan peralihan kekuasaan ke tangan putrinya. Direktur Badan Intelijen Korea Selatan Cho Tae-yong mengatakan kepada stasiun televisi KBS, dia yakin Kim Ju Ae memang sedang dipersiapkan untuk suatu hari mengambil alih kekuasaan dari ayahnya.

    Mesin propaganda Korut berfungsi baik

    Cho Tae-yong mengatakan, mesin propaganda Korea Utara telah berkembang pesat dan sibuk membangun kultus di sekitar gadis tersebut, dengan media domestik sekarang menyebutnya sebagai “Bintang Kejora Korea”, sebuah gelar yang sebelumnya hanya diberikan kepada kakek buyurnya Kim Il Sung, tokoh pendiri Korea Utara.

    Bahkan mereka yang sempat ragu setahun lalu kini berpendapat, Kim Jong Un sedang meletakkan dasar untuk akhirnya menyerahkan tongkat estafet kepada putrinya.

    “Sebelumnya, saya skeptis bahwa Korea Utara akan memiliki pemimpin perempuan, tetapi lambat laun hal itu berubah karena Kim Ju Ae semakin sering muncul di acara militer – dan hal ini sangat berarti,” kata Kim Sung Kyung, pakar masyarakat dan budaya Korea Utara di Universitas Studi Korea Utara di Seoul.

    “Awalnya, para analis berasumsi ada maksud politik di balik penampilan putri Kim bersamanya, tetapi hanya sedikit yang mempertimbangkan kemungkinan bahwa masyarakat sosialis patriarki ini akan memiliki pemimpin perempuan.”

    Pandangan yang berkembang sekarang adalah bahwa Kim sedang meletakkan dasar bagi transisi kekuasaan.

    “Tindakan ini mirip dengan preseden bersejarah dalam keluarga Kim,” tambah Kim Sung Kyung.

    Kim Il Sung menyerahkan kekuasaan militer kepada putranya, Kim Jong Il. Penguasa turun-temurun kedua Korea Utara ini kemudian berkomitmen pada negaranya untuk mengembangkan senjata nuklir, yang diwarisi Kim Jong Un, ketika ayahnya meninggal pada Desember 2011.

    Menyiapkan generasi ke-4 dinasti Kim

    Kim Jong Un telah berinvestasi besar-besaran dalam mengembangkan persenjataan nuklir dan serangkaian rudal balistik, yang diyakini memiliki kemampuan untuk menyerang daratan AS. Dan inilah kekuatan militer yang secara nyata bakal ia serahkan kepada putrinya.

    “Banyak analis yang menyebut gender Kim Ju Ae sebagai faktor yang menghalanginya memimpin Korea Utara, tapi saya tidak percaya itu adalah isu yang penting,” kata Kim Sung Kyung.

    Media pemerintah punya waktu menciptakan citra Kim Ju Ae sebagai pemimpin yang kuat, dekat dengan laki-laki, dan juga sosok ibu yang peduli terhadap bangsa, jelasnya.

    “Saya sekarang percaya bahwa pemimpin Korea Utara berikutnya mungkin adalah perempuan, tetapi usia Kim Ju Ae yang masih terlalu muda, jadi masih terlalu dini untuk mengatakannya secara pasti,” kata pakar Korea itu.

    Lim Eul-chul, profesor ekonomi dan politik di Institute of Far Eastern Studies di Universitas Kyungnam di Seoul, juga menyuarakan pandangan serupa.

    “Jika menyangkut peran masa depannya, kita harus memandang semua kemungkinan,” katanya.

    “Kim Ju Ae baru berusia 10 tahun. Meskipun dia sering terlihat bersama ayahnya di acara-acara yang berhubungan dengan militer, masih ada sedikit bukti untuk menentukan peran spesifik apa yang akan dia dia pegang atau mainkan di masa depan.”

    Lim mengatakan, kemungkinan besar Kim Jong Un setidaknya menggunakan putrinya “untuk menunjukkan citra pemimpin yang bertanggung jawab” dan memperkuat kendalinya atas negara. “Ada juga aspek memamerkan generasi keempat” penerus dinasti Kim untuk menggarisbawahi kekuatan dan legitimasi garis keturunan tersebut, tambahnya.

    Namun, para analis juga menekankan bahwa ada banyak skenario lain yang sama masuk akalnya.

    (hp/as)

    (nvc/nvc)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini