Survei Litbang Kompas: 70,3 Persen Responden Setuju Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
– Mayoritas publik setuju pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisah sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (
MK
) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025. Hal itu terekam dalam survei Litbang
Kompas
yang dilakukan pada 14-17 Juli 2025.
Dalam survei Litbang
Kompas
terbaru, 61,9 persen responden setuju pelaksanaan pemilu serentak nasional (DPR, DPD, Pilpres) dipisah dengan pemilu serentak lokal (DPRD provinsi, PDRD kabupaten/kota, pilkada).
Jumlah yang setuju bertambah menjadi 70,3 persen karena sebanyak 8,4 persen responden sangat setuju pemilu serentak nasional dan daerah dipisah.
“Atas
putusan MK
ini, sebanyak 70,3 persen responden menyatakan setuju jika pemilu ke depan, yakni dimulai pada 2029, dilakukan secara terpisah antara pemilu serentak nasional dan pemilu serentak lokal,” tulis peneliti Litbang
Kompas
, Yohan Wahyu, dikutip dari
Kompas.id
, Senin (4/8/2025).
Menurut Yohan, sikap responden yang setuju juga terekam dari tingkat pendidikan dan generasi.
Dia menjabarkan bahwa dari tingkat pendidikan, rata-rata sebanyak 59 persen dari tiap-tiap latar belakang pendidikan, baik tinggi, menengah, maupun dasar, setuju jika
pemilu dipisah
antara yang nasional dan daerah.
“Sementara itu, dari latar belakang generasi, rata-rata tingkat penerimaan responden terhadap putusan MK ini juga ditemukan pola yang sama. Rata-rata penerimaan atas putusan MK ini disampaikan oleh 62 persen responden dari tiap-tiap kelompok generasi,” tulis Yohan Wahyu.
Yohan lantas menjelaskan bahwa rata-rata itu didapat dari sebanyak 71 persen dari kelompok pemilih pemula yang setuju dan 61,2 persen dari kelompok yang sudah beberapa kali mencoblos juga setuju pemilu serentak dipisah pelaksanaannya.
“Artinya, persoalan pemilu tidak bisa dilepaskan oleh urusan teknis di lapangan yang hampir semua responden merasakan,” kata Yohan kepada
Kompas.com
, Senin.
Namun, dari hasil survei Litbang
Kompas
terekam bahwa sebanyak 21,7 persen tidak setuju dan 4,7 persen responden sangat tidak setuju pemilu serentak nasional dan daerah dilakukan terpisah. Sedangkan, 3,3 persen responden menjawab tidak tahu.
Kemudian, dalam survei yang sama terekam bahwa mayoritas responden menjadikan, memudahkan memilih jadi keuntungan dari pelaksanaan pemilu yang dipisah.
Sebanyak 41,7 persen responden mengatakan, tidak bingung memilih banyak calon sekaligus menjadi keuntungan jika pelaksanaan pemilu serentak dipisah antara nasional dan daerah.
Lalu, 36,9 persen responden menyebut pemilu yang dipisah membuat pengawasan jadi lebih mudah. Sebanyak 16,5 persen responden menilai penyelenggaraan pemilu akan lebih fokus dan tertib jika dipisah.
Sedangkan sebanyak 0,9 persen responden mengatakan bahwa tidak ada keuntungan dari pelaksanaan pemilu dipisah dan 4 persen responden menjawab tidak tahu.
Menariknya, hasil survei Litbang
Kompas
juga memotret bahwa responden menyadari jika pemilu serentak dipisah maka biasa penyelenggaraan pemilu akan menjadi lebih mahal.
Sebanyak 51,9 persen responden menjawab kerugian dari pelaksanaan pemilu serentak yang dipisah adalah biaya penyelenggaraan pemilu akan lebih mahal.
Kemudian, 32 persen responden menyebut, potensi konflik politik akan meningkat karena dua kali pelaksanaan pemilu serentak. Lalu, 10,6 persen responden khawatir tingkat partisipasi pemilih bisa menurun jika penyelenggaraan pemilu serentak dipisah.
Sementara itu, 0,7 persen responden menjawab tidak ada kerugian dari pelaksanaan pemilu serentak nasional dan daerah yang dipisah. Lalu, 4,8 persen responden menjawab tidak tahu.
Survei Litbang
Kompas
ini dilakukan melalui telepon terhadap 512 responden dari 64 kota di 38 provinsi selama 14-17 Juli 2025.
Sampel ditentukan secara acak dari responden panel Litbang
Kompas
sesuai proporsi jumlah penduduk setiap daerah.
Tingkat kepercayaan survei 95 persen dan
margin of error
penelitian lebih kurang 4,25 persen dalam kondisi penarikan sampel acak sederhana
Survei Litbang
Kompas
didanai sepenuhnya oleh Harian
Kompas
(PT Kompas Media Nusantara).
Sebelumnya, MK memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2,5 tahun.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada 26 Juni 2025.
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
”
Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Khoirunnisa Nur Agustyati
-
/data/photo/2024/02/13/65cb3824dc456.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Survei Litbang Kompas: 70,3 Persen Responden Setuju Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah Nasional 4 Agustus 2025
-

KPU siap laksanakan pemilu terpisah sesuai putusan MK
Jakarta (ANTARA) – Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Betty Epsilon Idroos mengatakan lembaganya siap melaksanakan pemilihan umum terpisah antara pemilu nasional dan daerah sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Betty mengatakan putusan MK itu tidak akan memengaruhi aspek penyelenggaraan pesta demokrasi tersebut
“Dari sisi penyelenggaraan, saya rasa enggak ada pengaruhnya,” kata Betty kepada wartawan di Jakarta, Rabu.
Komisioner KPU yang membidangi soal data dan informasi mengatakan KPU RI sudah berpengalaman melaksanakan pemilu secara bersamaan maupun terpisah dalam berbagai bentuk.
“Kami sudah pernah (melaksanakan pemilu) terpisah antara (pemilihan) presiden dengan pileg (pemilu legislatif), dengan pilkada (pemilihan kepala daerah). Lalu kemudian kami juga pernah pilkada sendiri, lalu kami juga pernah pileg dan (pemilihan) presiden bersamaan. Lalu kemudian terpisah dengan pilkada. Jadi, saya rasa kami punya pengalaman semuanya,” ujarnya.
Mengenai bagaimana pemilu tersebut akan dilaksanakan, Betty mengatakan saat ini KPU masih menunggu undang-undang terbaru soal pelaksanaan pemilu sebagai tindak lanjut dari putusan MK tersebut.
Undang-undang tersebut nantinya akan menjadi pedoman dari KPU dalam menyelenggarakan pemilu.
“Ya tergantung nanti pilihan yang diambil oleh pembuat undang-undang sebagai pengejawantahan (pelaksanaan) bunyi Mahkamah Konstitusi ya,” tuturnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Didik Kusbiantoro
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-

Perpanjangan masa jabatan DPRD-kada bisa jadi opsi pascaputusan MK
Sumber foto: Antara/elshinta.com.
Perpanjangan masa jabatan DPRD-kada bisa jadi opsi pascaputusan MK
Dalam Negeri
Editor: Sigit Kurniawan
Rabu, 09 Juli 2025 – 21:21 WIBElshinta.com – Perpanjangan masa jabatan anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (kada) hasil Pemilihan 2024 dinilai bisa menjadi opsi setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilu nasional dan lokal diterapkan pada 2029.
“Memang akan ada implikasinya dan ada transisinya, ya. Kalau pilihan logis memang diperpanjang untuk DPRD, termasuk kepala daerah,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati dalam webinar yang digelar Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional diikuti di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, perpanjangan masa jabatan ini konstitusional karena Mahkamah dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 telah memerintahkan pembentuk undang-undang melakukan rekayasa konstitusional guna mengatur masa transisi pemilu.
“Jadi, tidak kosong sebetulnya untuk masa jabatan kepala daerah, termasuk juga untuk DPRD,” kata Ninis, sapaan akrabnya.
Sejatinya perpanjangan maupun pemotongan masa jabatan anggota legislatif di Indonesia pernah dilakukan sebelumnya, yakni ketika masa transisi pemilu tahun 1971 ke 1977 dan tahun 1997 ke 1999 karena peristiwa reformasi.
“Jadi kita pernah punya situasi masa transisi dan situasi transisi untuk menuju keserentakan yang lebih ajek itu Mahkamah sudah mengatakan itu sesuatu hal yang konstitusional,” tuturnya.
Sementara itu, perpanjangan masa jabatan kepala daerah bisa dijadikan opsi karena durasi perpanjangan dinilai masih logis. Hal ini mengingat masa jeda yang diperintahkan Mahkamah antara pemilu nasional dan lokal ialah 2 atau 2,5 tahun sehingga pilkada setelah Pemilu 2029 kemungkinan digelar di 2031.
“Masih logis juga kalau diperpanjang karena sebenarnya enggak terlalu lama karena [kepala/wakil kepala daerah] yang kemarin di tahun 2024 itu ‘kan baru dilantik di Februari 2025 sehingga masa jabatannya sampai tahun 2030. Jadi, masa perpanjangan itu menurut saya salah satu pilihan,” ucap Ninis.
Di sisi lain, Ninis juga mengemukakan opsi untuk mengganti kepala/wakil kepala daerah dengan penjabat, seperti yang pernah diterapkan pada masa transisi keserentakan pilkada pada 2022 dan 2023 lalu.
Namun, dia menilai penunjukan penjabat ini tidak optimal dan selaras dengan semangat pemerintahan daerah karena cenderung sentralistis.
“Waktu itu, MK mengatakan pengisi penjabat-penjabat kepala daerah itu harus terangkan akuntabel dan sesuai dengan aspirasi masyarakat yang ada di daerah itu, tapi kemudian yang terjadi ‘kan ini seolah-olah jadinya sentralistis karena jadi kayak otoritasnya pemerintah pusat,” ucapnya.
“Berdasarkan dengan catatan itu, saya rasa memperpanjang [masa jabatan] bisa menjadi salah satu opsinya dan pun konstitusional juga karena MK mengatakan ini constitutional engineering-nya (rekayasa konstitusional) ada dan diserahkan kepada pembentuk undang-undang,” sambung Ninis.
Sebelumnya, Kamis (26/), MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK memutuskan bahwa pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden hasil pemilu nasional.
Sumber : Antara
-

Peneliti nilai pemisahan pemilu bisa tingkatkan partisipasi pemilih
Jakarta (ANTARA) – Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Devi Darmawan mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal bisa meningkatkan partisipasi pemilih.
“Pemisahan pemilihan di level daerah dan level nasional ini memang salah satunya juga untuk meningkatkan partisipasi yang bermakna dari masyarakat agar lebih rasional di dalam memberikan suaranya ketika dia memberikan suara di level daerah maupun untuk pemilu nasional,” kata Devi dalam webinar diikuti di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, sumbu dari Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 salah satunya adalah untuk menggerakkan partai politik agar lebih dekat kepada masyarakat sebagai konstituen.
Ia menilai pemisahan pemilu dapat memberikan kesempatan bagi partai politik untuk lebih aktif dan fokus di tengah masyarakat.
Selama ini, tutur Devi, pemilu di tingkat lokal seringkali “tenggelam” oleh ingar bingar pemilu legislatif dan presiden di tingkat nasional sehingga partai politik kurang optimal dalam membangun basis di daerah.
Dengan jadwal yang terpisah, Devi menilai partai politik dapat lebih serius melakukan pendidikan politik kepada konstituennya di daerah, menjaga eksistensi partai, dan menumbuhkan semangat berdemokrasi yang lebih substansial.
Selain itu, ia juga menilai partisipasi bermakna akan muncul dengan adanya pemisahan pemilu nasional dan lokal. Hal ini karena ada waktu sosialisasi yang lebih longgar antara isu nasional dan lokal.
“Jadi secara tidak langsung, ini mendorong partai untuk bisa lebih dekat dengan masyarakat,” katanya.
Namun begitu, Devi menyebut partisipasi pemilih tidak hanya tergantung pada sistem pemilu. Kinerja partai politik dinilai turut berpengaruh dalam meningkatkan angka partisipasi tersebut.
“Ada beberapa faktor yang mempengaruhi partisipasi pemilih di dalam memberikan suaranya dalam pemilu. Itu ada tentang figur, kemudian juga ada tentang kesesuaian dengan konteks yang dibawa, kemudian dengan engagement-nya (pelibatan) dia (pemilih) dengan partai politik, kemudian juga dengan kesadaran berpolitiknya dia,” ucapnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati mengatakan kedekatan orang Indonesia dengan partai politik terbilang rendah sehingga pemilih bisa berganti-ganti pilihan dalam setiap pemilu.
“Ideologi partai itu enggak dekat dengan masyarakat karena kita publik enggak kenal dengan partai politiknya, apalagi dengan bangunan pemilu yang sekali saja dalam lima tahun ‘kan semakin menjauhkan itu atau misalnya pemilu kita yang ternyata kecenderungannya personal politik,” kata Ninis, sapaan akrabnya.
Ninis menduga ketidakdekatan pemilih dan partai politik bisa terjadi karena lemahnya pelembagaan partai politik selama ini.
Selain itu, dia menyebut partisipasi pemilih dalam pemilu juga dipengaruhi oleh ketersediaan akses informasi. Dalam hal ini, penyelenggara pemilu bertanggung jawab menyediakan informasi terkait peserta pemilu, baik calon anggota legislatif, presiden/wakil presiden, maupun kepala/wakil kepala daerah, kepada pemilih.
“Akses informasi itu juga digunakan untuk bisa meningkatkan kesadaran publik,” ucap Ninis dalam webinar yang sama.
Sebelumnya, Kamis (26/), MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Mahkamah memutuskan bahwa pemilu lokal untuk memilih anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, atau presiden/wakil presiden hasil pemilu nasional.
Dalam pertimbangan hukum, MK salah satunya menyinggung masalah pelemahan pelembagaan partai jika pemilu nasional terus digelar berdekatan dengan pemilu lokal. Partai politik menjadi tidak memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kadernya sehingga mudah terjebak dalam pragmatisme.
Pewarta: Fath Putra Mulya
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2025Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/4593582/original/022195200_1696058294-IMG_1147.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
PDIP Masih Kaji Putusan MK Soal Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah – Page 3
Liputan6.com, Jakarta Ketua DPP PDIP Puan Maharani mengatakan partainya masih mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutus penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
“Kita masih kaji hal tersebut, apakah kemudian ada hal yang dilanggar sesuai dengan Undang-Undang Dasar. Karena pemilu sesuai dengan Undang-Undang Dasar sudah lima tahun sekali,” kata Puan Maharani kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (3/7/2025).
“Semua partai kami juga pimpinan terdiri dari partai-partai politik masih mengkaji. Dan tentu saja karena keputusan ini memberikan efek kepada semua partai,” sambungnya.
Partai pimpinan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri itu akan lebih dulu melakukan rapat koordinasi untuk menyikapi putusan MK tersebut.
“Sebagai partai politik, kami nanti akan melakukan rapat koordinasi. Apakah itu secara formal ataupun secara informal untuk sama-sama berbicara, bersama untuk menyatakan pendapat kami. Bersama-sama terkait dengan putusan MK ini,” kata politikus PDIP itu.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.
Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih rinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”
Mahkamah Konstitusi RI memutuskan untuk memisahkan pelaksanaan pemilihan umum nasional dan daerah mulai 2029. MK menilai pemilu serentak membuat masyarakat jenuh dan tidak fokus.
-
/data/photo/2025/01/13/6784ea212e2e7.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR
Utak-atik MK Koreksi Produk Politik DPR
Penulis
JAKARTA, KOMPAS.com
–
Mahkamah Konstitusi
(
MK
) kembali disorot
DPR
setelah memutuskan untuk memisah pemilihan umum (
pemilu
) nasional dan daerah mulai 2029.
Dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK memutuskan pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan pemilihan anggota DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan
Pilkada
.
Putusan ini disorot DPR karena MK terkesan melampaui kewenangannya sebagai penjaga konstitusi atau
guardian of constitution
.
Pasalnya, pemisahan pemilu nasional dan daerah akan berdampak terhadap sejumlah undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilu
, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Namun sebelum putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK sudah beberapa kali melakukan koreksi terhadap undang-undang yang dibentuk dan disahkan oleh DPR.
Banyak dari produk politik DPR yang berkaitan dengan sistem kepemiluan di Indonesia “direvisi” oleh MK. Apa saja koreksi MK terhadap produk politik buatan DPR terkait kepemiluan? Berikut daftarnya
Pada Senin (16/10/2023), MK mengabulkan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam
UU Pemilu
.
Pemohon gugatan adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) bernama Almas Tsaqibbirru.
Dalam putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023, Mahkamah membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai capres atau cawapres selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sedianya berbunyi, “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah: berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun.”
Atas putusan MK ini, seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat negara lainnya yang dipilih melalui pemilu bisa mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meski berusia di bawah 40 tahun.
“Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) yang menyatakan, “berusia paling rendah 40 tahun” bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah,” ujar Hakim Konstitusi Anwar Usman saat itu.
Diketahui, putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi gerbang masuk Gibran Rakabuming Raka untuk mendaftar sebagai cawapres dari Prabowo subianto pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
MK kemudian mengabulkan sebagian gugatan ambang batas parlemen atau
parliamentary threshold
(PT) sebesar 4 persen yang dimuat Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
Perkara yang terdaftar dengan Nomor 116/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Ketua Pengurus Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Dalam putusannya, MK menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu atau ambang batas parlemen 4 persen tetap konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk pemilihan anggota DPR pada 2024.
Selanjutnya,, MK menyatakan aturan itu konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada pemilihan DPR pada 2029 dan pemilu berikutnya sepanjang telah dilakukan perubahan dengan berpedoman pada beberapa syarat yang sudah ditentukan.
Dengan kata lain, MK menyebut ambang batas 4 persen harus diubah sebelum Pemilu serentak tahun 2029.
“Dalam pokok permohonan; satu, mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2023).
Setelah itu, mengatur ulang besaran ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada).
MK lewat putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 menyatakan inkonstitusional Pasal 40 ayat (3) UU 10/2016 yang mengatur hanya partai politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang bisa mencalonkan kepala daerah.
Dengan adanya putusan itu, partai politik atau gabungan parpol peserta pemilu yang memiliki suara sah bisa mengajukan calon kepala daerah tanpa harus mendapatkan kursi di DPRD.
Kemudian, ambang batas pencalonan kepala daerah oleh parpol atau gabungan parpol tidak lagi sebesar 25 persen perolehan suara hasil pemilihan anggota DPRD atau 20 persen kursi di DPRD.
Setelah mengubah parliamentary threshold sebesar 4 persen, MK juga menghapus ambang batas pencalonan presiden atau
presidential threshold
sebesar 20 persen.
Penghapusan presidential threshold ini diputuskan dalam sidang perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang digelar pada Kamis (2/1/2025).
Diketahui, UU Pemilu mengatur ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol adalah paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau 25 persen dari suara sah nasional.
MK menilai,
presidential threshold
sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Pemilu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, serta hak politik dan kedaulatan rakyat.
“Rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Dalam batas penalaran yang wajar, MK memandang
presidential threshold
dalam Pasal 222 UU Pemilu menutup dan menghilangkan hak konstitusional parpol untuk mengusulkan capres-cawapres.
Terutama, partai politik yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya.
MK berpandangan, penerapan angka ambang batas minimal persentase tersebut terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.
Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.
Terbaru, MK memutuskan memisah antara pemilihan umum (Pemilu) nasional dan daerah mulai 2029 dalam putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Artinya, pemilu nasional hanya ditujukan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden. Sedangkan Pileg DPRD provinsi hingga kabupaten/kota akan dilaksanakan bersamaan dengan Pilkada.
Pakar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera, Bivitri Susanti, menilai reaksi partai politik yang resisten dengan putusan MK soal pemisahan pemilu nasional dan lokal disebabkan oleh kenyamanan yang terganggu.
Menurut Bivitri, pengurus partai politik sudah terlanjur nyaman dengan sistem pemilu yang berlaku selama ini sehingga putusan MK tersebut membuat mereka protes.
“Tentu saja Nasdem mungkin, maupun partai-partai lain menolak karena kan merasa apa yang sudah nyaman buat mereka diacak-acak oleh MK,” ucap Bivitri di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (1/7/2025).
Bivitri juga menepis anggapan yang dikemukakan Partai Nasdem bahwa putusan MK tersebut inkonstitusional.
Menurut dia, apa yang diputuskan Mahkamah Konstitusi sudah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi sebagai penjaga konstitusi negara.
Ia mengatakan, bukti bahwa putusan MK masih dalam koridor tugas mereka adalah adanya permintaan rekayasa konstitusional kepada pembentuk undang-undang.
MK disebut masih menyerahkan kewenangan pemerintah dan DPR untuk membentuk aturan yang sesuai dengan penafsiran konstitusi.
“Karena lihat saja, mereka (MK) minta tolong pembentuk undang-undang kan. Bikin dong rekayasa konstitusionalnya. Karena mereka memang tidak ada intensi untuk bikin undang-undang, mereka benar-benar hanya menafsirkan pasal yang diminta,” kata Bivitri.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5268950/original/014644200_1751296324-IMG-20250630-WA0082.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
NasDem Tolak Putusan Pemisahan Pemilu, Sebut MK Curi Kedaulatan Rakyat – Page 3
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.
Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih rinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”
-
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/2837308/original/024471100_1561462449-20190625-Jelang-Sidang-Pembacaan-Putusan_-Penjagaan-Gedung-MK-Diperketat9.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
PKB Kritik Putusan MK yang Dinilai Batasi Pilihan Model Keserentakan Pemilu – Page 3
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (26/6/2025), dikutip dari Antara.
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”
Pada diktum lainnya, MK menyatakan Pasal 347 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden diselenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota.”
-

Kemendagri pelajari putusan MK soal jeda pemilu nasional-daerah
Direktur Jenderal (Dirjen) Polpum Kemendagri Bahtiar (tengah). ANTARA/HO-Puspen Kemendagri
Kemendagri pelajari putusan MK soal jeda pemilu nasional-daerah
Dalam Negeri
Editor: Calista Aziza
Sabtu, 28 Juni 2025 – 09:30 WIBElshinta.com – Direktur Jenderal (Dirjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan bahwa Kemendagri tengah mendalami putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal jeda penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah
Kemendagri juga akan segera meminta masukan dari para pakar dan ahli untuk memperoleh perspektif yang komprehensif terkait denga ndampak dari putusan ini. Kemendagri juga akan membahas di internal pemerintah dampak putusan tersebut, termasuk skema pembiayaan pemilu nasional dan lokal.
“Kami di Kemendagri terlebih dahulu mendalami substansi putusan MK ini secara menyeluruh,” ujar Bahtiar di Jakarta yang disiarkan Sabtu pagi.
Selain itu, Kemendagri juga akan membahas dampak putusan tersebut terhadap berbagai regulasi yang ada, khususnya Undang-Undang tentang Pemilu, UU tentang Pilkada, dan UU tentang Pemerintahan Daerah.
Kemendagri juga akan menjalin komunikasi dengan penyelenggara pemilu. Kemendagri bersama kementerian dan lembaga terkait juga akan berkomunikasi dengan DPR.
Perubahan jadwal penyelenggaraan pemilu, kata dia, tentu akan memengaruhi banyak aspek, termasuk regulasi yang menjadi dasar pelaksanaannya.
“Oleh karena itu, komunikasi intensif akan dilakukan baik di internal pemerintah maupun dengan DPR sebagai pembentuk undang-undang,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Kemendagri bersama kementerian/lembaga terkait akan menyusun skema penyelenggaraan pemilu nasional dan lokal yang efektif agar tujuan dari pemisahan waktu pelaksanaan tersebut tercapai. Skema tersebut akan disusun dengan tetap mengacu pada efisiensi, termasuk dalam hal pembiayaan.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan.
Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sedangkan pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis.
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 tahun atau paling lama 2 tahun 6 bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”
Sumber : Antara
-

MK Putuskan Pemilu Nasional dan Daerah Dipisah, Begini Ketentuannya
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) nasional dan daerah dipisahkan. Itu sesuai Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024.
Di putusan tersebut menyebutkan, Pemilu bisa dihelat dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan putusan, dikutip Antara, Kamis (26/6/2025).
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.
Dalam hal ini, MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Ketua Pengurus Yayasan Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati dan Bendahara Pengurus Yayasan Perludem Irmalidarti.
Secara lebih perinci, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai menjadi:
“Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan presiden/wakil presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.”