Tag: Karl Marx

  • Ekonomi Tanpa Warna

    Ekonomi Tanpa Warna

    Jakarta

    Ternyata ekonomi itu punya warna. Bahkan warna warni. Dikutip dari tulisan Fanny Yolan Tamba (2024), paling tidak ekonomi itu memiliki 11 warna. Yaitu, ekonomi hitam, abu-abu, merah, perak, putih, ungu, emas, biru, hijau, kuning dan coklat. Namun, dari sebelas warn itu, ada tiga warna dominan. Yaitu, coklat, hijau dan biru. Atau bahasa kerennya: brown, green dan blue economy.

    Ketiga warna ini dilihat dari implikasi ekonomi atau perekonomian pada lingkungan. Dalam tulisan singkat ini, saya akan mencoba mengurai ketiganya, dan berusaha menemukan mana yang cocok untuk kita terapkan. Salah satunya atau bukan ketiganya.

    Ekonomi Coklat

    Entah siapa yang pertama kali mengemukakan istilah ekonomi coklat (brown economy). Namun, secara definisi, seperti dikutip dari tulisan Change Oracle (2022), ekonomi coklat merujuk pada sistem ekonomi yang bersifat destruktif terhadap lingkungan.

    Sistem ekonomi ini memacu dan memicu pertumbuhan ekonomi dengan mengandalkan energi fosil (minyak, batu bara dan gas), sumberdaya alam (hutan, laut, air dan tanah) dan mengabaikan kerusakan lingkungan dan depelesi sumberdaya alam sebagai dampaknya.

    Meminjam istilah Herman Daly, dalam karya magnum opusnya, Ecological Economic, hubungan antara perekonomian semacam ini dengan lingkungan bersifat linear. Ambil bahan baku dari alam, lalu diproses, ambil manfaatnya, buang sisanya pada lingkungan dan abaikan kerusakannya. Itulah sebabnya perekonomian ini bersifat destruktif alias tidak berkelanjutan.

    Timbul pertanyaan, sejak kapan ekonomi coklat ini dimulai dan siapa penggagasnya? Sejak adanya perubahan sistem produksi dan konsumsi, dari demand side ke supply side serta rekayasa keinginan menjadi seolah-olah kebutuhan. Dan itu dimulai sejak sistem ekonomi kapitalisme lahir lalu diterapkan, kemudian menguat dan mendominasi sistem perekonomian dunia.

    Sisetm ekonomi kapitalisme saat ini telah menjadi mindset kebanyakan orang. Mulai dari kaum berdasi yang menduduki gedung-gedung pencakar langit, ilmuwan bertoga yang menghuni kampus-kamus megah dan ternama, hingga lapisan masyarakat bawah yang menghuni rumah-rumah kumuh bantaran kali, atau masyarakat pedesaan terpencil.

    Lantas, siapa yang pertama kali memunculkan istilah ekonomi kapitalisme? Merujuk pada sejumlah referensi, istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Louis Blanc, pada tahun 1850 dan Pierre Joseph Proudon, pada tahun 1861. Kemudian dipopulerkan oleh Karl Marx, dalam karya besarnya, Das Kapital. Adam Smith sendiri yang dianggap bapak ekonomi kapitalisme klasik, tidak pernah menggunakan istilah tersebut, dalam bukunya The Wealth of Nations.

    Ia hanya meletakkan urgensi kebebasan pasar (invisible hand), minim campur tangan pemerintah (laissez faire), spesialisasi dan kepemilikan pribadi (property right) dalam menciptakan kesejahteraan bangsa-bangsa.

    Karl Marx menggunakan istilah kapitalisme dalam rangka mengkritisi sistem ekonomi gagasan Adam Smith sebagai perekonomian yang menciptakan ketimpangan (enequality) dan eksplotasi kaum buruh.

    Lantas, apa itu kapitalisme dan apa kaitannya dengan ekonomi coklat? Banyak definisi ynag dikembangkan oleh para ahli mengenai sistem ekonomi kapitalisme. Namun, salah satunya adalah definisi dari Andrew Zimbalist dalam bukunya Comparing Economic Systems: A Political Economy Approach, terbit tahun 1988.

    Menurut Andrew, sistem ekonomi kapitalisme adalah sistem ekonomi dimana faktor produksi berupa barang (mesin, lahan) dan uang (financial capital) dimiliki dan diusahakan secara pribadi (kaum kapitalis) dengan tujuan utamanya untuk mendapatkan laba dan mengakumulasi kapital dengan cara reinvestasi laba yang didapat.

    Sementara, mereka yang tidak memiliki modal, cukup menjadi pekerja para kapitalis untuk mendapatkan upah. Para pekerja, siapa pun ia, baik direksi maupun buruh kasar, sejatinya adalah buruh yang tidak punya saham atas perusahaan dan tidak berhak atas produk yang dihasilkan. Ia hanya pekerja kaum kapitalis dengan tugas untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.

    Apakah mengakumulasi kapital sebuah kesalahan? Tentu tidak. Kesalahannya terletak pada nafsu mengakumulasi kapital sebanyak-banyaknya dengan berusaha sekuat tenaga untuk menguasai kapital, termasuk menguras sumberdaya alam, dan mengabaikan dampaknya. Mengapa mereka mengabaikan dampak lingkungan? Karena mengurusi lingkungan, dalam pandangan bisnis mereka, akan meningkatkan biaya dan menurunkan keuntungan. Meskipun saat ini ada kebijakan Corporate Social Responsibility (CSR), aslinya tidak gratis.

    Seberapa pun uang yang dikeluarkan harus menguntungkan perusahaan. Paling tidak keuntungan intangible, berupa citra baik perusahaan yang sekan-akan peduli pada urusan sosial dan lingkungan.

    Jadi, penurunan kualitas lingkungan, baik lokal, regional maupun global seperti kelangkaan air, kenaikan suhu global, penurunan kualitas udara, air dan tanah, adalah akibat ulah para kapitalis. Oleh karena itu, ekonomi coklat tiada lain adalah wajah asli sistem ekonomi kapitalisme yang rakus, boros dan serakah. Ibarat serigala tanpa topeng. Kelihatan wajah aslinya.

    Ekonomi Hijau

    Setelah sekian ratus tahun sistem kapitalisme global menguras bumi dan mengotorinya, lalu mereka tersadar bahwa ada ancaman terhadap keberlanjutan bisnisnya bila model bisnis itu tetap dipertahankan. Namun di sisi lain, ia tetap tidak ingin mengubah tujuannya untuk memperoleh keuntungan dan mengakumulasi kapital. Ada konflik antara ekonomi dan lingkungan. Maka, dibuatlah konsep ekonomi hijau untuk keberlanjutan.

    Apa itu ekonomi hijau? Ekonomi hijau adalah sistem ekonomi kapitalisme yang dalam menjalankan perekonomiannya mencoba untuk mengurangi dampak lingkungan dan berusaha menghemat sumberdaya. Mengurangi dampak lingkungan dilakukan dengan cara meningkatkan efisiensi produksi dan mengolah sisa yang dihasilkan, baik sisa produksi maupun sisa konsumsi, menjadi produk lain yang bermanfaat.

    Sedangkan penghematan sumberdaya dilakukan dengan cara mencari subtitusinya. Sebagai contoh untuk mengganti bahan bakar fosil sebagai sumber energi maka dicarilah sumber energi non fosil yang dapat diproduksi sehingga lahir konsep energi dan terbarukan (EBT).

    Tujuan di balik itu semua bukan untuk memikirkan keberlanjutan bumi demi generasi mendatang melainkan untuk mempertahankan keberlanjutan bisnis kaum kapitalis. Itulah sebabnya, ekonomi hijau dan keberlanjutan terus digaungkan, dikampanyekan, diperlombakan dan diajarkan. Sehingga membentuk mindset global.

    Kita merasakan hal itu saat ini di mana setiap merindukan ekonomi hijau dan berkelanjutan.

    Jadi, ekonomi hijau adalah sistem ekonomi kapitalisme yang rakus dengan tujuan utama tetap untuk meraup keuntungan dan mengakumulasi kapital namun berlindung dibalik warna hijau yang seakan menyejukkan. ekonomi hijau itu seperti serigala namun berbulu domba.

    Ekonomi biru

    Konsep ekonomi biru pertama kali dikemukakan oleh Gunter Pauli dalam bukunya yang berjudul ‘Blue Economy’. Awalnya, konsep ini bertujuan untuk memanfaatkan potensi sumberdaya perairan (darat dan laut) untuk kesejahteraan. Kata blue bisa jadi merujuk pada warna air laut yang nampak berwarna biru.

    Konsep ini terus berkembang, tidak terbatas hanya pada pemanfaatan potensi sumberdaya perairan, melainkan menjadi gambaran sebuah sistem ekonomi yang menyerupai ekosistem perairan. Dimana nutrisi dan energi terus mengalir tanpa menghasilkan limbah. Belakangan, ekonomi biru pun meliputi sistem produksi tradisional seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat.

    Itulah sebabnya, para pegiat ekonomi biru, merasa berada pada kasta lebih tinggi dari ekonomi hijau karena ia mengusung nilai-nilai tradisional dan ekonomi tanpa limbah. Secara konsep sih cocok banget. Terasa ada keluruhan budi. Namun, dalam pelaksanaannya apakah konsep ini dapat bertarung pada aras global? Setahu saya, blue ekonomi baru sampai pada wacana dari seminar ke seminar. Tidak memiliki instrument yang kuat untuk bisa menjelma dalam kehidupan.

    Ekonomi Tanpa Warna

    Mungkin ketika Adam Smith melahirkan bayi kapitalisme tidak membayangkan bayinya itu akan menjadi serigala yang rakus dan opportunistic. Ia hanya memimpikan sistem ekonomi berkeadilan dimana setiap individu memiliki kesempatan untuk berusaha; transaksi diatur secara natural dengan menggunakan mekanisme pasar (invisible hand); dan minim intervensi pemerintah.

    Mengapa hal ini menjadi spiritnya dalam upaya menciptakan kesejahteraan? Karena, kala itu, ketiga hal tadi merupakan barang mahal. Kita ketahui bahwa pada era Adam Smith, ekonomi dikuasai oleh tuan tanah yang berselingkuh dengan penguasa yang lalim. Rakyat kebanyakan hanya berperan sebagai buruh atau budak yang dibayar sangat murah. Menurut berbagai referensi, selama kurun 200 ratus tahun, upah buruh di Eropa tak pernah naik. Rakyat hidup dalam kemiskinan, penindasan dan kesengsaraan.

    Di mana letak kesalahan Adam Smith? Ia abai terhadap intervensi pemerintah. Ini yang dikritik habis oleh Thorten Veblen (1899), penggagas aliran ekonomi kelembagaan, dalam bukunya The Leisure Class, mewanti-wanti bahwa ketidakhadiran pemerintah dalam sistem ekonomi maka ekonomi akan dikuasai oleh segelintir orang yang rakus dan serakah. Yang sekarang menjadi kenyataan. Dan ini mengulang kembali sejarah era Adam Smith. Bisa jadi ia menyesal dalam keabadiannya.

    Atas dasar itu, maka saya berpandangan, pemerintah harus hadir dalam perekonomian yang mengatur sekaligus menjadi wasit demi terwujudnya pemerataan yang berkeadilan. Mengendalikan kerakusan yang besar sekaligus menguatkan yang kecil agar ekonomi tumbuh secara merata. Inilah ekonomi tanpa warna. Yang bening dan bersih dari noda ketidakadilan.

    Aceng Hidayat. Dekan Sekolah Vokasi IPB, dosen Departement ESL IPB.

    (rdp/imk)

  • Tidak Relevan, Polisi Kembalikan Buku yang Disita Terkait Demo Ricuh di Jatim

    Tidak Relevan, Polisi Kembalikan Buku yang Disita Terkait Demo Ricuh di Jatim

    Bisnis.com, JAKARTA — Polda Jawa Timur telah mengembalikan 39 buku terkait dengan aksi demonstrasi berujung ricuh di wilayah hukumannya pada akhir Agustus lalu.

    Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan alasan pihaknya mengembalikan puluhan buku tersebut lantaran tidak berkaitan dengan tindak pidana yang diusut.

    “Setelah dilakukan evaluasi mendalam oleh penyidik, disimpulkan bahwa buku-buku tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan tindak pidana yang disidik,” ujar Trunoyudo dalam keterangan tertulis, Selasa (30/9/2025).

    Dia menambahkan, pengembalian buku ini merupakan implementasi dari Pasal 46 ayat (1) huruf a KUHAP. Pasal tersebut mengatur bahwa barang sitaan yang tidak berkaitan dengan tindak pidana wajib dikembalikan kepada pemiliknya.

    “Ketika barang bukti tidak relevan dengan perkara, maka harus dikembalikan sebagai bentuk penghormatan terhadap hak pemilik,” imbuhnya.

    Dia menjelaskan bahwa penyitaan buku tersebut merupakan bagian dari proses hukum. Dengan demikian, apabila setelah dianalisis buku tersebut tidak relevan dengan perbuatan tindak pidana maka akan langsung dikembalikan.

    Adapun, pengembalian puluhan buku milik masing-masing tersangka ini sudah dilakukan sejak 29 September 2025.

    “Kami ingin masyarakat memahami bahwa setiap tindakan penyidik memiliki dasar hukum. Polri tidak akan menahan atau menyita barang yang tidak berhubungan dengan tindak pidana,” pungkasnya.

    Dalam catatan Bisnis, Polda Jawa Timur dan jajarannya telah menyita sejumlah buku yang diduga berkaitan erat dengan aksi kerusuhan pasca demonstrasi di wilayah Jatim akhir Agustus lalu.

    Sejumlah buku yang disita polisi tersebut di antaranya adalah “Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme” karya Franz Magnis-Suseno, “Anarkisme: Apa yang Sesungguhnya Diperjuangkan” karya Emma Goldman, “Kisah Para Diktator” karya Jules Archer, “Apa itu Anarkisme Komunis?” karya Alexander Berkman, hingga “Strategi Perang Gerilya Che Guevara”.

  • Buku-buku Kiri dan Anarkisme Disita Polisi, Istana: Tak Ada Larangan Baca
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        19 September 2025

    Buku-buku Kiri dan Anarkisme Disita Polisi, Istana: Tak Ada Larangan Baca Nasional 19 September 2025

    Buku-buku Kiri dan Anarkisme Disita Polisi, Istana: Tak Ada Larangan Baca
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Merespons penyitaan buku-buku anarkisme dan pemikiran kiri oleh polisi, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menegaskan tidak ada larangan bagi masyarakat untuk membaca buku apapun.
    “Tapi kalau larangan membaca buku ya tentunya kan tidak ada,” kata Prasetyo di Kompleks Istana, Jakarta, Jumat (19/9/2025).
    Namun, ia enggan memberikan respons lebih jauh soal hal ini.
    “Aku belum monitor,” tuturnya singkat.
    Diketahui, Pos Lantas Waru Sidoarjo dirusak dan dibakar oleh kelompok tak dikenal saat ramai aksi demonstrasi yang berujung kericuhan di Surabaya pada Jumat (29/8/2025) malam hingga Sabtu (30/8/2025) dini hari.
    Sejumlah anggota yang berpatroli di lokasi tersebut mengalami pengeroyokan. Sebanyak 18 orang ditangkap atas pembakaran Pos Lantas Waru, termasuk 10 anak berhubungan dengan hukum atau ABH.
    Dari penangkapan tersebut, polisi menyita 11 buku dari satu pelaku berinisial GLM (24).
    Buku-buku ini dinilai polisi menganut paham-paham anarkisme.
    Sebagai informasi, 11 judul buku yang disita di antaranya adalah “Pemikiran Karl Marx” karya Franz Magnis-Suseno, “Anarkisme” karya Emma Goldman, “Kisah Para Diktator” karya Jules Archer, dan “Strategi Perang Gerilya” karya Che Guevara.
    Direktur Ditreskrimum Polda Jatim, Kombes Pol Widi Atmoko, menjelaskan bahwa penyitaan buku bertujuan untuk menyelidiki pengaruh pemahaman narasi buku terhadap tindakan tersangka.
    Sementara itu, Kapolda Jawa Timur (Jatim) Irjen Pol Nanang Avianto menegaskan bahwa ia tidak melarang pembacaan buku-buku tersebut oleh kalangan profesional sebagai bagian dari pendalaman pemahaman.
    “Tetapi kalau kemudian dipraktikkan, berarti kan proses pembelajarannya dari buku itu. Silakan baca buku, tetapi kalau tidak bagus jangan dipraktikkan,” ujar Nanang, Kamis (18/9/2025).
    Polda Jawa Barat memublikasikan sejumlah buku yang menjadi barang bukti kericuhan aksi demonstrasi di Bandung dalam konferensi pers di Mapolda Jabar, Selasa (16/9/2025).
    Beberapa buku tersebut disebut memuat teori anarkisme yang diduga menjadi referensi literasi kelompok pendemo anarkistis di Gedung DPRD Jawa Barat beberapa waktu lalu.
    Berdasarkan pantauan, buku-buku ini tersusun rapi di atas meja, disertai dengan barang bukti lainnya.
    “Bisa dilihat (buku) ajakan desersi juga ada, dan buku lainnya, tetapi ini semua narasinya setingkat anarkisme,” kata Kapolda Jabar Irjen Pol Rudi Setiawan.
    Beberapa judul buku yang dipublikasikan antara lain Menuju Estetika Anarkis, Why I Am Anarchist, dan Sastra dan Anarkisme. Buku-buku ini tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi ada juga yang dibeli secara online dari luar negeri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial

    Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial

    Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong, Jumat (1/8/2025), bebas dari proses hukum yang sedang ia jalani setelah mendapatkan abolisi dari Presiden Prabowo Subianto. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/bar/pri.

    Abolisi dan amnesti bagi Tom dan Hasto dari sisi yuridis-sosial
    Dalam Negeri   
    Editor: Calista Aziza   
    Minggu, 03 Agustus 2025 – 13:40 WIB

    Elshinta.com – Pada 30 Juli 2025, muncul sebuah berita yang cukup mengejutkan masyarakat Indonesia. Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan abolisi untuk mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong dan amnesti untuk Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menyambut Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025.

    Selanjutnya DPR telah memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Surat Presiden Nomor R-43/Pres/072025 tanggal 30 Juli 2025 tentang permintaan pertimbangan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap Tom Lembong.

    Keputusan DPR juga menyetujui pemberian amnesti terhadap 1.116 orang yang telah terpidana, termasuk Hasto Kristiyanto sebagaimana tertuang dalam Surat Presiden Nomor R-42/Pres/072725 tanggal 30 Juli 2025.

    Pendapat pro dan kontra juga mengemuka. Pemberlakuan hak prerogatif Presiden ini dinilai sarat dengan kepentingan politik dan menciderai sistem penegakan hukum. Ada juga pendapat yang justru menyanjung Presiden karena telah berjiwa besar dan mendengarkan aspirasi masyarakat luas.

    Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, Presiden memiliki sejumlah kewenangan konstitusional, salah satunya adalah hak prerogatif untuk memberikan amnesti dan abolisi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (2) UUD 1945.

    Dua bentuk pengampunan hukum ini seringkali menjadi perbincangan publik karena menyentuh ranah penegakan hukum dan keadilan. Namun, hak tersebut tidak bersifat mutlak, melainkan tunduk pada prinsip-prinsip hukum, syarat formil, dan kontrol konstitusional melalui pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

    Lalu seperti apa format hukum yang berlaku dalam peristiwa ini. Menarik tentunya untuk dapat kita kaji atau analisis tentang bagaimana framework yuridis terhadap penggunaan kewenangan atau hak tersebut.

     

    Abolisi dan Amnesti dalam UUD 1945

    Pasal 14 UUD 1945 menyebutkan bahwa Presiden berhak memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, serta amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR.

    Abolisi dan amnesti berbeda dari grasi. Amnesti dan abolisi bersifat kolektif dapat bernuansa politik, sehingga pertimbangan DPR bersifat wajib sebagai bentuk kontrol demokratis terhadap kekuasaan eksekutif.

    Amnesti dapat diartikan sebagai penghapusan akibat hukum pidana terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh sekelompok orang dalam kaitannya dengan kepentingan politik, yang biasanya diberikan untuk memulihkan hubungan negara dengan warga negara atau kelompok tertentu.

    Sedangkan abolisi adalah penghentian proses hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang atas perbuatan yang bersifat pidana, bahkan sebelum ada putusan pengadilan. Keduanya bersifat kolektif dan berimplikasi pada penghentian proses hukum atau penghapusan hukuman.

    Selain Konstitusi, UU No 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan KUHAP turut mengatur teknis pemasyarakatan, namun tidak secara eksplisit merinci mekanisme amnesti dan abolisi.

    Dalam Putusan MK No 7/PUU-IV/2006, MK menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi bukanlah tindakan administratif semata, melainkan tindakan hukum bersifat konstitusional yang wajib memperhatikan prinsip checks and balances.

    Secara yuridis, hak prerogatif Presiden atas amnesti dan abolisi adalah bentuk pengejawantahan fungsi Presiden sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan. Hak ini dapat menjadi alat korektif dalam sistem peradilan pidana, khususnya bila terdapat ketimpangan hukum atau pertimbangan kemanusiaan.

    Namun, dalam praktiknya, pemberian amnesti dan abolisi tidak boleh disalahgunakan untuk melindungi kepentingan politik tertentu. Oleh karena itu, pertimbangan dari DPR menjadi instrumen penting dalam menjaga akuntabilitas Presiden.

    Pemberian amnesti dan abolisi bukan hal baru di Indonesia. Pada 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan amnesti umum untuk 1.200 orang dan abolisi untuk kelompok yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka sebagai bagian dari kesepakatan damai Helsinki antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka. Langkah ini diapresiasi sebagai wujud politik hukum restoratif dan transisional.

    Pada 2019, Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril, seorang korban pelecehan yang justru dijatuhi hukuman berdasarkan UU ITE. Ini merupakan preseden penting yang menunjukkan bahwa amnesti dapat diberikan pada kasus individual yang sarat kepentingan keadilan substantif.

    Abolisi untuk Thomas Lembong

    Dalam hukum pidana, abolisi adalah penghapusan hak negara untuk menuntut seseorang secara pidana, meskipun ada dugaan tindak pidana. Berbeda dari grasi (pasca-putusan), abolisi dapat diberikan sebelum proses peradilan dimulai atau saat masih berjalan. Abolisi bersifat prospektif dan menghentikan proses penegakan hukum, sehingga secara praktis dapat diartikan sebagai intervensi politik terhadap penuntutan pidana.

    Tom Lembong sebelumnya terseret kasus impor gula dengan kerugian Rp578 miliar. Jaksa mengungkap keterlibatan Tom telah terjadi sejak 12 Agustus 2015. Saat itu, Tom masih menjadi Menteri Perdagangan dan menyetujui impor gula kristal mentah yang akan diolah jadi kristal putih. Ia menyetujui tanpa melakukan rapat koordinasi dengan kementerian terkait.

    Jaksa menyalahkan Tom karena tidak menunjuk BUMN untuk menstabilkan harga gula di Indonesia. Ia malah menunjuk Induk Koperasi Kartika (INKOPKAR), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (INKOPPOL), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (PUSKOPOL), dan Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI Polri. Tom didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada 18 Juli 2025, Tom divonis 4,5 tahun penjara.

    Selanjutnya dalam pertimbangan Presiden untuk memberikan abolisi, Menteri Hukum menjelaskan bahwa pertimbangan pemberian abolisi itu didasari pula oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif, salah satunya kontribusi Tom Lembong terhadap negara.

    Walaupun begitu tidak sedikit pihak yang menyarankan kepada Tom Lembong untuk menolak abolisi dan terus berjuang hingga putusan. Bahkan terdapat informasi bahwa Kejaksaan juga masih dalam proses mempelajari putusan hakim untuk pengajuan banding.

    Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 31/PUU-VIII/2010, MK menyatakan bahwa penggunaan kewenangan prerogatif presiden tidak boleh melanggar prinsip due process of law dan non-diskriminatif. Artinya pemberian abolisi kepada individu tertentu tanpa kriteria obyektif dan tidak berlaku umum berpotensi melanggar asas kepastian hukum dan keadilan.

    Abolisi harus proporsional dan tidak dapat digunakan sebagai alat perlindungan terhadap elit politik.

    Amnesti untuk Hasto Kristiyanto

    Amnesti adalah penghapusan akibat hukum pidana terhadap sekelompok orang atau individu yang melakukan tindak pidana tertentu.

    Dalam doktrin klasik, amnesti berlaku untuk delik politik, seperti pemberontakan, penghasutan terhadap negara, atau pelanggaran terhadap ketertiban umum yang bermotif ideologis. Selain itu amnesti juga diberikan dalam rangka rekonsiliasi nasional pasca-konflik, pemberontakan, atau peralihan rezim.

    Adapun dalam kasus Hasto, ia sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti bersalah memberikan suap kepada mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku.

    Dalam Putusan Hakim, Hasto dinilai telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

    Menkumham menyebut bahwa pada mulanya pemerintah menargetkan pemberian amnesti terhadap 44 ribu narapidana. Hasto bersama 1116 terpidana lainnya akhirnya diberikan amnesti.

    Hal ini menjadi jawaban atas perjuangan Hasto dan seluruh pendukungnya yang selama ini menyerukan ketidakadilan dan kriminalisasi berdasar politik. Dengan amnesti tersebut maka seluruh akibat hukum pidana yang telah dijatuhkan kepada penerima amnesti dihapuskan. Dengan demikian status hukum mereka dipulihkan sepenuhnya.

    Dalam kasus pemberian abolisi dan amnesti terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, maka semua proses hukum terhadap keduanya dihentikan, serta keduanya harus dilepaskan atau dibebaskan.

    Banyak pihak kemudian mulai mencoba untuk mengkaji apakah abolisi dan amnesti tersebut memang dapat atau layak diberikan. Apakah pemberian tersebut berafiliasi dengan kepentingan politis.

    Untuk mengkaji hal ini, pertama kita harus mendalami dahulu makna dari amnesti dan abolisi.

    Amnesti dan abolisi memang dapat bernuansa politik, namun untuk memberikan keseimbangan dan obyektivitasnya, keputusan ini harus mendapat pertimbangan DPR. Oleh sebab itu, Presiden harus dapat menjelaskan alasan dari pemberian amnesti dan abolisi.

    Melihat dari alasan yuridisnya, maka Presiden memiliki hak prerogatif yang dijamin dalam Konstitusi untuk mengajukan amnesti dan abolisi kepada DPR demi kepentingan negara, termasuk dalam menciptakan stabilitas politik.

    Kita ketahui bersama bahwa gelombang protes terhadap proses hukum Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto sangat besar dan cukup menurunkan citra penegakan hukum.

    Hal kedua adalah pentingnya kita memahami bahwa hukum sangat berhubungan dengan politik. Roscoe Pound misalnya mengemukakan bahwa hukum adalah hasil dari kehendak politik yang saling bersaing dan berinteraksi. Karl Marx menyatakan perspektif hukum yang dipandang sebagai alat kekuasaan dan tujuan politik.

    Niklas Luhmann mengemukakan terkait dengan teori interdependesi hukum yang menyatakan bahwa hukum dan politik sangat berinteraksi dan saling mempengaruhi. Aliran Realisme seperti Jerome Frank dan Karl Llewellyn juga melihat bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan kekuasaan politik.

    Seluruh teori tersebut menegaskan bahwa politik, pemerintahan, dan hukum saling berinteraksi. Amnesti dan Abolisi menjadi salah satu hal yang konkrit yang menjelaskan interaksi antara politik dan kekuasaan dengan hukum.

    Hal ketiga adalah apakah pemberian tersebut kemudian menegasikan penegakan hukum?

    Sejumlah akademisi hukum berpendapat bahwa Amnesti dan abolisi harus digunakan secara selektif dan proporsional demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Pertimbangan HAM dan keadilan restoratif menjadi landasan moral dalam penggunaannya.

    Dalam negara hukum, tidak ada kekuasaan yang absolut, termasuk hak prerogatif Presiden. Oleh karena itu, mekanisme kontrol oleh DPR bukan hanya formalitas, tetapi bagian dari prinsip konstitusionalisme.

    Prof Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa hak prerogatif presiden tidak dapat dilepaskan dari prinsip checks and balances, dan harus ditujukan untuk kepentingan keadilan dan kemanusiaan. Abolisi dan Amnesti dalam hal ini tidak dapat dihubungkan dengan ketidakpercayaan pada sistem hukum atau absolutisme.

    Menakar Amnesti dan Abolisi

    Amnesti dan abolisi mencerminkan wajah manusiawi dari hukum. Dalam negara hukum yang demokratis, keduanya bukanlah bentuk impunitas, tetapi saluran korektif atas sistem peradilan yang bisa saja tidak sempurna.

    Oleh karenanya, penggunaan hak prerogatif Presiden ini harus dijaga agar tetap dalam koridor konstitusi dan etika publik. Politik kekuasaan dan hukum saling berinteraksi, namun kedewasaan dan pemikiran yang realis dan logis perlu untuk dikedepankan.

     

    Dalam hal ini, kita boleh berpendapat pula bahwa Presiden, walaupun memiliki hak prerogatif yang diatur dalam konstitusi, tidak serta merta memiliki kewenangan secara mutlak untuk melakukan semacam intervensi terhadap sistem peradilan dan penegak hukum.

    Prinsip check and balances dan saling menghormati antar-lembaga tetap ada dan diatur secara jelas. Presiden tetap membutuhkan pertimbangan DPR atau bahkan MA dalam hal pemberian Grasi dan Rehabilitasi.

    Dengan begitu, aturan yang ada tentang pemberian abolisi dan amnesti ini telah menegasikan kesewenangan atau intervensi penuh dari Pemerintah terhadap sistem penegakan hukum.

    Dengan adanya mekanisme pertimbangan tersebut, Presiden justru menghormati proses hukum dan mendukung penuh program penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi. Presiden dan DPR kemudian hanya menjadi jalan untuk mewujudkan kepentingan nasional dan keadilan sosial yang hidup dalam masyarakat.

    Pemberian abolisi dan amnesti ini dapat pula dibaca sebagai jalan untuk memberi koreksi terhadap hasil sistem penegakan hukum.

    Ketika terjadi sebuah kekeliruan atau kekosongan hukum dan di mana sistem peradilan dan penegakan hukum tidak mampu untuk mengimplementasi sebuah keadilan sosial-politik, amnesti dan abolisi menjadi jalan untuk meluruskan jalan untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, stabilitas politik dan hukum, serta mengedepankan prinsip HAM dan kemanusiaan.

    Hal ini memperlihatkan semangat bahwa sistem hukum harus dapat menyeimbangkan tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Selain itu semangat dalam merestorasi atau mewujudkan keadilan yang restoratif, restitutif, rehabilitatif, dan substantif dapat diwujudkan dalam mekanisme  atau tindakan hukum yang luar biasa.

    Kita boleh saja melihat bahwa dunia hukum dan demokrasi kita belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan sempurna. Namun kini kita setidaknya telah teruji dengan kedewasaan politik dan kekuasaan, responsivitas terhadap keinginan masyarakat, dan instrumen hukum yang demokratis dan restoratif.

    Sehingga ini menjadi pilar fundamental bangsa Indonesia yang memiliki semangat persatuan dan kesatuan, saling menghormati dan bergotong royong, berkeadilan sosial, dan mampu untuk menjadi dewasa secara politik yang mengakui segala kelemahan dan kekurangan untuk maju bersama.

    Semoga Indonesia makin jaya dan berdikari. Merdeka!

     

    *) Dr I Wayan Sudirta, Anggota Komisi III DPR RI

    Sumber : Antara

  • Rusia Klaim Kuasai Desa Baru di Donetsk Ukraina

    Rusia Klaim Kuasai Desa Baru di Donetsk Ukraina

    Moscow

    Rusia mengklaim telah merebut desa baru di wilayah Donetsk, Ukraina bagian barat. Pasukan Rusia pun terus bergerak melakukan penyerangan menuju wilayah Dnipropetrovsk.

    Dilansir AFP, Minggu (13/7/2025), serangan Moskow terhadap Ukraina telah berlangsung selama lebih dari tiga tahun. Pada musim panas ini, serangan semakin intensif dan negosiasi yang dipimpin Amerika Serikat (AS) sejauh ini belum membuahkan hasil untuk mengakhiri pertempuran.

    Kementerian Pertahanan Rusia mengatakan pasukan Rusia telah merebut Desa Myrne, dan menyebut desa itu dengan nama Sovietnya ‘Karl Marx’. Desa itu terletak dekat dengan perbatasan administratif antara wilayah Donetsk dan Dnipropetrovsk.

    Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim pasukannya telah bergerak ‘jauh ke dalam pertahanan musuh’ untuk merebut desa tersebut. Myrne adalah salah satu dari dua desa yang diklaim Moskow pada hari Minggu ini.

    Rusia telah berbulan-bulan menolak gencatan senjata yang diusulkan oleh Amerika Serikat dan Kyiv. Moskow mulai melancarkan serangan skala penuh terhadap Ukraina pada Februari 2022.

    (fas/dek)

    Hoegeng Awards 2025

    Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

  • Biar Dunia Tahu Nabi Baru Lahir dari Indonesia

    Biar Dunia Tahu Nabi Baru Lahir dari Indonesia

    GELORA.CO –  Kader PSI yang viral karena membuat cuitan soal Jokowi penuhi syarat menjadi nabi menyatakan dirinya tidak akan menghapus cuitan tersebut. 

    Adapun pernyataan ini diungkapkannya saat ada pengguna X lainnya yang mengomentari cuitannya. 

    Pemilik akun X Bernama Lelaki Biasa @BiasaAgung menulis: “SS dulu ah sebelum dihapus”. 

    Dia pun turut menyetarakan hasil screenshot berisikan tweet dari kader PSI dengan nama akun Dedy Nur @DedynurPalakka. 

    tvonenews

    Dedy Nur pun membalas komentar Lelaki Biasa dengan kalimat berikut ini: “Enggak bakalan saya hapus. Saya malah berharap ini disebarkan secara luas agar dunia tahu bahwa ada nabi baru yang lahir dari Indonesia”. 

    Adapun cuitan dari Dedy Nur yang viral itu, yakni: “Jadi nabi pun sebenarnya beliau ini sudah memenuhi syarat cuma sepertinya beliau menikmati menjadi manusia biasa dengan senyum selalu lebar ketika bertemu dengan rakyat.

    Sementara di dunia lain masih ada saja yang tidak siap dengan realitas bahwa tugas kenegaraan beliau sudah selesai dengan paripurna”. Cuitan tersebut diunggahnya pada 9 Juni 2025 lalu. 

    Selain menyatakan tidak akan menghapus cuitannya, kader PSI itu juga memberikan pendapatnya tentang penggunakan kata nabi tersebut.

    Salah satu poin yang dia tulis, yakni: 

    Tidak semua penyebutan “nabi” berarti secara literal menerima wahyu dari Tuhan seperti yang dipahami dalam Islam atau Kristen.  

    Dalam KBBI, definisi nabi adalah: “Orang yang menerima wahyu dari Tuhan untuk disampaikan kepada umat manusia”. 

    Namun, dalam perbincangan filsafat, sastra dan tafsir sosial, kata nabi juga sering digunakan secara kiasan atau simbolik.  

    Misalnya: 

    “Socrates adalah nabi akal budi” 

    “Karl Marx adalah nabi revolusi kelas”

    “Buddha adalah nabi kesadaran batin”

    Apakah semua itu berarti mereka mendengar suara Tuhan literal? Tentu tidak. Tapi mereka menyuarakan nilai-nilai agung, membawa pesan moral dan membimbing umat manusia dari kegelapan menuju pencerahan.

    Jadi jika ada orang menyebut “Jokowi punya sifat kenabian”, itu belum tentu berarti “Jokowi adalah nabi literal yang menerima wahyu”.

    Bisa saja itu cara mengapresiasi konsistensi, keberanian atau nilai kepemimpinan visionernya. 

    “Jika seseorang merasa tersinggung hanya karena kata “nabi” digunakan dalam cara yang tidak mereka pahami secara literal, maka problemnya bukan pada kata nabi, tapi pada ketidakmampuan membedakan makna literal dan makna simbolik,” tulisnya. 

  • Jokjowi Dikatain Fir’aun saja Bebas

    Jokjowi Dikatain Fir’aun saja Bebas

    GELORA.CO –  Politikus PSI, Dedy Nur Palakka membuat heboh dengan menyatakan Jokowi memenuhi syarat menjadi Nabi. 

    Pernyataan ini dia sampaikan melalui akun X @DedynurPalakka.

    “Jadi nabi pun sebenarnya beliau ini sudah memenuhi syarat, cuman sepertinya beliau menikmati menjadi manusia biasa,” katanya, saat membalas @HalomoanHa91790, dikutip Selasa (10/6/2025). 

    Menurutnya, bebas saja menilai seseorang apa, termasuk Jokowi.

    “Jokowi dikatain Fir’aun saja bebas, saya mau bilang kalau beliau Nabi Politik juga harusnya tidak perlu ada yang kebakaran nalar,” jelasnya. 

    Lebih lanjut, dia menjawab serangan @jhonsitorus_19, Nabi yang dimaksud dalam pengertian filsafat, sastra, dan tafsir sosial. 

    “Kata nabi juga sering digunakan secara kiasan atau simbolik. Misalnya: Socrates adalah nabi akal budi, Karl Marx adalah nabi revolusi kelas, dan Buddha adalah nabi kesadaran batin,” terangnya. 

    Menurutnya, nabi dalam konteks ini adalah mereka yang telah berani menyuarakan nilai-nilai agung, membawa pesan moral, dan membimbing umat manusia dari kegelapan menuju pencerahan.

    “Jadi jika ada orang yang menyebut Jokowi punya sifat kenabian, itu belum tentu Jokowi adalah nabi literal penerima wahyu,” jelasnya. 

    Sementara itu, kecaman terhadap Dedy pun pun meluas. Pernyataan Jokowi memenuhi syarat menjadi nabi, telah ditangkap dan disebar. 

  • Esensi Kondangan Malem 10 Akhir Ramadan di Pantura Jawa Tengah

    Esensi Kondangan Malem 10 Akhir Ramadan di Pantura Jawa Tengah

    Tulisan ini mengangkat fenomena sosial keagamaan tradisi kondangan maleman yang dilakukan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadan di kawasan Pantura Jawa Tengah, dan menganalisisnya menggunakan pendekatan fenomenologi agama dari Mircea Eliade (1907-1986). 

    Tradisi ini menjadi contoh bagaimana agama tidak hanya berfungsi sebagai fenomena sosial, tetapi juga mencakup aspek yang lebih dalam, yaitu penghayatan terhadap yang sakral. Eliade, sebagai sarjana yang mengkritik pandangan reduksionis terhadap agama, memberikan pendekatan yang lebih holistik dalam melihat fenomena keagamaan, yang tidak hanya mengandalkan analisis sosial, ekonomi, atau psikologis, tetapi juga memperhatikan esensi agama itu sendiri.

    Pandangan Reduksionis terhadap Agama

    Sejumlah sarjana klasik, seperti Karl Marx (1883), Émile Durkheim (1917), dan Sigmund Freud (1939), memiliki pendekatan reduksionis terhadap agama. Marx melihat agama sebagai akibat dari ketidakadilan ekonomi-politik, sedangkan Durkheim dan Freud melihat agama sebagai hasil dari kebutuhan sosial dan psikologis manusia. 

    Meskipun pandangan ini memberikan kontribusi dalam memahami fungsi agama, mereka memandang agama hanya sebagai fenomena sosial yang dapat dijelaskan melalui struktur dan dinamika sosial tertentu. Eliade mengkritik pandangan ini dan menawarkan pemahaman yang lebih mendalam tentang agama, yakni sebagai sesuatu yang sui generis (unik) dan memiliki aspek sakral yang tidak dapat direduksi.

    Eliade dan Pendekatan Fenomenologi Agama

    Menurut Mircea Eliade, agama bukanlah sekadar akibat dari struktur sosial atau faktor psikologis, melainkan fenomena yang berdiri sendiri dan memiliki dimensi sakral yang khas. Eliade berpendapat bahwa untuk memahami agama, kita harus melihatnya dari perspektif yang lebih ranscende dan fenomenologis. 

    Agama tidak hanya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sosial, tetapi juga berhubungan dengan pengalaman spiritual yang lebih tinggi, yakni pengalaman tentang yang sakral. Eliade memandang bahwa dalam agama terdapat dua dimensi utama: yang sakral dan yang profan. Yang sakral adalah segala sesuatu yang dianggap memiliki makna lebih tinggi dan ranscendental, sedangkan yang profan adalah hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang biasa-biasa saja.

    Eliade juga menekankan pentingnya pendekatan fenomenologi dalam studi agama, yaitu pendekatan yang berfokus pada pengalaman keagamaan itu sendiri. Pendekatan ini tidak hanya mencoba menjelaskan agama dari perspektif luar, seperti sosiologi atau psikologi, tetapi berusaha memahami esensi agama berdasarkan pengalaman subjektif mereka yang menjalankan agama tersebut. Dalam hal ini, Eliade menolak reduksionisme yang cenderung melihat agama hanya sebagai hasil dari faktor sosial atau psikologis.

    Konsep Hierophany dan Transformasi yang Sakral

    Salah satu konsep penting yang diajukan oleh Eliade adalah hierophany, yaitu manifestasi dari yang sakral dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pandangannya, segala sesuatu yang tampak profan atau biasa dalam kehidupan manusia bisa menjadi manifestasi dari yang sakral jika diberi makna yang lebih tinggi, terutama dalam konteks ritual keagamaan. 

    Hierophany ini dapat ditemukan dalam berbagai objek atau peristiwa, seperti batu, pohon, atau bahkan makanan. Bagi masyarakat tradisional, dunia ini selalu terbuka untuk pengalaman yang sakral, di mana setiap objek bisa menjadi tempat berdiamnya kekuatan ilahi atau roh leluhur.

    Namun, masyarakat modern seringkali melakukan desakralisasi, di mana mereka memisahkan yang sakral dari yang profan. Hal ini berbeda dengan pandangan masyarakat tradisional yang melihat bahwa kehidupan mereka selalu terhubung dengan dimensi yang lebih tinggi dan sakral. 

    Dalam masyarakat modern, ada kecenderungan untuk melihat hal-hal sakral sebagai tak relevan atau bahkan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, Eliade berpendapat bahwa untuk memahami agama dengan lebih baik, kita harus masuk ke dalam perspektif orang yang menjalani agama tersebut dan melihat dunia dengan mata mereka.

    Tradisi Kondangan Maleman dan Fenomenologi Agama Eliade

    Tradisi kondangan maleman yang dilakukan pada sepuluh malam terakhir Ramadan di kawasan Pantura Jawa Tengah memberikan gambaran yang jelas mengenai pemahaman Eliade tentang transformasi yang sakral. Tradisi ini melibatkan prosesi doa bersama yang dihadiri oleh tetangga terdekat, di mana makanan berupa berkat dibagikan sebagai simbol berkah dan doa kepada arwah leluhur. Dalam hal ini, makanan dan objek sehari-hari, seperti tumpeng, ayam ingkung, dan jajanan pasar, memiliki makna sakral yang lebih dalam.

    Eliade menekankan bahwa objek-objek ini tidak hanya sekadar benda biasa. Tumpeng, misalnya, melambangkan harapan agar doa terkabul, sementara ingkung (ayam utuh) melambangkan kesucian dan ketulusan, serundeng sebagai perantara doa, dan jajanan pasar melambangkan berkat yang diberikan oleh Tuhan. 

    Dalam konteks ini, makanan yang tadinya bersifat profan bisa diubah menjadi sesuatu yang sakral berkat pemberian makna dan konteks dalam prosesi ritual. Dengan kata lain, objek-objek profan ini mengalami transfigurasi menjadi yang sakral melalui upacara dan doa-doa yang dipanjatkan dalam tradisi kondangan maleman.

    Menurut Eliade, dialektika antara yang sakral dan yang profan adalah inti dari pengalaman keagamaan. Dalam tradisi kondangan maleman, hal-hal yang tampak sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari, seperti makanan dan doa, dapat menjadi sarana untuk menghubungkan dunia profan dengan yang sakral. 

    Makanan yang dibagikan dalam tradisi ini tidak hanya berfungsi sebagai konsumsi fisik, tetapi juga sebagai simbol doa dan harapan agar diberikan keselamatan dunia dan akhirat. Proses ini menunjukkan bagaimana masyarakat tradisional memahami bahwa yang sakral dapat hadir dalam dunia yang profan melalui ritual dan simbolisme yang dihidupkan dalam prosesi keagamaan.

    Kesimpulan

    Pendekatan fenomenologi agama Mircea Eliade memberikan wawasan yang mendalam dalam memahami tradisi kondangan maleman di Pantura Jawa Tengah. Melalui konsep-konsep seperti hierophany, dialektika sakral-profan, dan pengalaman keagamaan yang tidak dapat direduksi, Eliade menawarkan perspektif yang lebih luas untuk memahami fenomena keagamaan.

    Tradisi ini menunjukkan bagaimana objek-objek yang tampaknya biasa dan profan dapat menjadi sarana untuk mengalami yang sakral, serta bagaimana ritual dan simbolisme dalam agama menjadi jembatan untuk menghubungkan dunia manusia dengan yang transendental. Dalam hal ini, fenomenologi agama Eliade memberikan landasan yang kuat untuk memahami esensi agama dalam konteks budaya dan pengalaman umat beragama.

    Penulis adalah mahasiswa Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal (PKUMI).
     

  • Demoralisasi Polisi dan Tentara

    Demoralisasi Polisi dan Tentara

    Demoralisasi Polisi dan Tentara
    Dr. Mukhijab, MA, dosen pada Program Studi Ilmu Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Widya Mataram Yogyakarta.
    CITRA
    alat keamanan masyarakat (
    polisi
    ) dan pertahanan negara (
    tentara
    ) di mata publik sangat positif.
    Merujuk hasil survei Lembaga Penelitian dan Pengembangan
    Kompas
    pada Januari 2025, citra polisi (65,7 persen) dan tentara (94,2 persen) positif. Beberapa variabel yang relevan dengan survei tersebut seperti relasi sosial dengan masyarakat dan politik.
    Mengapa citranya positif, tetapi perilakunya anomali? Ini problem yang menyita perhatian masyarakat belakangan ini.
    Ada preseden-preseden perilaku menyimpang dari mereka dalam kurun waktu dekat. Sebut saja beberapa kasus yang mengharu-biru dan membuat miris bagi publik.
    Ada polisi melakukan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur dan menjual video perilaku bejat itu ke situs porno. Ada polisi mencekik anak kandung di dalam mobil saat ibu kandungnya belanja dan banyak perilaku negatif lainnya.
    Kemudian ada tentara menembak pemilik mobil rental hingga tewas, tentara menembak polisi yang menggerebek judi sabung ayam, dan banyak kisah pilu lainnya.
    Apakah kasus perilaku kriminal itu berakar dari problem kesejahteraan polisi dan tentara rendah?
    Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2024 tentang Perubahan Gaji Ketiga Belas Atas PP Nomor 28 tahun 2001 Tentang Peraturan Gaji Anggota
    Tentara
    Nasional Indonesia gaji pokok anggota TNI dari Prajurit Dua/Kelasi Dua dengan Masa Kerja Golongan (MKG) 0 sebesar Rp 1.775.000, sedangkan tertinggi adalah Jenderal/Laksamana/Marsekal MKG 32 sebesar Rp 6.405.500.
    Sementara Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Belas atas PP Nomor 29 Tahun 2001 tentang Peraturan Gaji Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, gaji pokok terendah, Bhayangkara Dua MKG 0 sebesar Rp 1.775.000, dan tertinggi Jenderal
    Polisi
    MKG 32 sebesar Rp 6.405.500.
    Gaji pokok tersebut ditambah dengan tunjangan lain. Contoh biaya operasional prajurit TNI/Polri menjadi Rp 97.000/hari.
    Dalam sebulan gaji prajurit terendah mencapai Rp 4,7 juta. Itu belum masuk tunjangan anggota keluarga dan jabatan serta lama kerja. Pendapatan tersebut cukup untuk membiayai hidup di manapun di Indonesia.
    Mengapa tingkat kesejahteraan secara kuantitatif relatif memadai, perilakunya menabrak rambu-rambu nilai-nilai sosial maupun hukum?
    Pada motif ekonomi, sangat logis. Ketika produk video pornografi didistribusikan ke situs pornografi, pelaku bisa saja ingin mendapatkan keuntungan ekonomi dari aksinya.
    Polisi perwira menengah yang memiliki jabatan sebagai pimpinan polisi di tingkat kabupaten, jabatannya setingkat dengan komandan distrik militer, bupati dan wakil bupati, dengan kesejahteraan memadai, memiliki kualifikasi menangani kejahatan, dikategorikan iseng merekam dan menjual video pornografi, itu sangat memalukan. Dia mengetahui kemana video itu bisa dikomersialkan.
    Tentara dengan pangkat menengah dan memiliki pengalaman kerja lebih dari lima tahun, bermaksud memiliki mobil bagus dengan harga murah/rendah (Rp 40 juta).
    Agar niatnya tidak dihalangi, tentara itu menembak pemilik mobil. Prajurit demikian ingin berpenampilan keren, dengan koleksi mobil yang diperoleh secara ilegal.
    Kasus tentara penjaga dan backing judi sabung ayam, berpangkat kopral kepala dan pembantu letnan satu, memiliki masa kerja lima tahun ke atas.
    Akses mereka leluasa ke berbagai sektor ekonomi dan arena yang memiliki kepentingan pengamanan. Maka mereka ingin berpeluang memperoleh pendapatan tambahan atau motif ekonomi dengan menjaga lokasi bisnis judi seperti itu.
    Terdapat irisan perilaku mereka yang berhubungan dengan keinginan untuk mendapatkan kekayaan material, mendapatkan kemewahan, kesenangan, dan kenikmatan materi dalam kehidupan sehari-hari, dalam waktu jangka pendek, yang diperoleh dengan cara mengabaikan konsekuensi norma susila dan hukum. Mereka terjebak pada kepuasan sesaat, pola kehidupan hedonis.
    Meminjam pemikiran Karl Marx, mereka menerapkan strategi “demoralisasi” untuk mencapai level hedonis.
    Meskipun gaji prajurit relatif sejahtera, mereka merasa belum mendapat keadilan karena pendapatannya belum menjadikannya kaya-raya, yang bisa memenuhi kebutuhan skunder dan mewah.
    Karena terperangkap dalam sistem kapitalis dan budaya hedonis, maka cara kaya mendadak dengan monetisasi status keprajuritannya, seperti menjual jabatan untuk backing perjudian, mengokomdifikasi pengalaman dan jejaring untuk membisniskan video porno, agar memperoleh uang lebih di luar pendapatan rutin dari institusi tempatnya bekerja.
    Ketika tenggat waktu menjadi kaya terlalu lama, maka senjata api yang mereka pinjam dari negara, diberdayakan untuk menaklukkan pemodal seperti bos rental mobil.
    Para polisi maupun tentara yang melakukan tindak kejahatan di depan majelis hakim selalu menawarkan agar mereka tidak dipecat, dengan alasan masih ingin mengabdi.
    Alasan idealis dengan diksi “mengabdi” merupakan reproduksi jawaban mereka pada masa proses seleksi masuk akademi pendidikan ikatan dinas tersebut.
    Membaca perkembangan perilaku mereka semasa bekerja, maka alasan utama menjadi polisi atau tentara untuk mengabdi pada negara atau panggilan jiwa, perlu dikritisi.
    Ketika motif mulia itu benar-benar sebagai alasan, mengapa mereka cenderung menggunakan status keprajuritan sebagai alat komodifikasi secara amoral?
    Prajurit yang mengkomodifikasi status dan pangkatnya untuk mencapai kehidupan hedonis, mereka masuk kedinasan bukan dilandasi panggilan hati, melainkan sekadar mendapat kerja yang instan.
    Karena sekolah dalam sistem ikatan dinas, mereka dijamin menjadi prajurit tetap, menjadi pegawai regular dengan pendapatan dan tunjangan rutin setiap bulan.
    Ketika pendapatannya tidak membuat mereka kaya, maka mereka lupa diri sebagai prajurit, yang terikat oleh sumpah dan janji prajurit.
    Mereka tidak malu menggunakan status keprajuritan dan pangkat secara ilegal, agar mendapatkan kekayaan, kesenangan, dan kenikmatan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
    Dengan gejala pragmatis dalam perilaku keseharian polisi dan tentara, apakah alasan idealisme menjadi prajurit masih relevan?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Melihat Dunia Hari Ini dalam Versi Modern Sampul Album “Sgt. Pepper’s”

    Melihat Dunia Hari Ini dalam Versi Modern Sampul Album “Sgt. Pepper’s”

    JAKARTA – Sampul album “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” adalah sebuah karya paling ikonik dalam sejarah industri musik. The Beatles menampilkan puluhan selebritas dan tokoh dunia abad 19 dalam sampul album tersebut. Kini, versi modern album itu diperbarui untuk abad ke-21.

    Pembaruan itu dibuat oleh seniman Jerman, TrippieSteff. Dalam versi baru ilustrasi “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, TrippieSteff menempatkan Taylor Swift, Kanye West, Drake, serta Lil Nax X untuk menggantikan posisi John Lennon, Paul McCartney, George Harrison, dan Ringo Starr.

    Selain keempatnya, TrippieSteff juga memberi tempat bagi selebritas, tokoh dunia, serta ikon kultur pop modern lainnya. Sebut saja aktivis lingkungan Swedia Greta Thunberg, bos Space X Elon Musk, mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama, hingga sosok No Face, hantu ikonik dari film Spirited Away.

    Dalam sampul album asli “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, The Beatles menghadirkan 71 pemikir dunia. Mereka terdiri dari selebritas, tokoh dunia, hingga ikon pop kultur abad ke-19. Di antara sosok-sosok tersebut, kita dapat melihat musisi folk yang juga sahabat The Beatles, Bob Dylan.

    Selain itu, ada juga Richard Lindner, Oliver Hardy, Marilyn Monroe, bintang The Godfather Marlon Brando, penulis Oscar Wilde, hingga pembetot bass untuk The Beatles sebelum Paul, Stuart Sutcliffe. Tokoh lainnya, sang genius Albert Einstein hingga tokoh komunis Karl Marx juga terlihat dalam sampul.

    “Sampul asli (album) adalah bergabungnya tokoh-tokoh besar yang menggambarkan pola pikir dominan di akhir 60-an,” tutur TrippieSteff dikutip NME, Minggu 17 November.

    “Itu (tokoh dalam sampul) juga sekelompok tokoh berpengaruh yang merupakan ‘pahlawan’ bagi The Beatles. Dengan keinginan untuk mempertahankan tema yang sama, saya memilih untuk menampilkan tokoh paling ikonik dan berpengaruh dalam dekade terakhir,” tambah TrippieSteff.

    Versi orisinil Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (thebeatles.com)

    Pembaruan versi album “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band” ini adalah bagian dari proyek pembuatan ulang sampul album klasik yang tengah dilakukan TrippieSteff. Selain “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”, TrippieSteff juga membuat ulang sampul album Blondie, “Parallel Lines” dan Nirvana, “Nevermind”.

    Berikut daftar lengkap selebritas, tokoh dunia, dan ikon pop kultur dalam versi modern “Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band”:

    1. Kanye West

    2. Drake

    3. Taylor Swift

    4. Lil Nas X

    5. Greta Thunberg

    6. Kylie Jenner

    7. Ghost from Chihiro

    8. Jamie Oliver

    9. Slavoj Zizek

    10. Björk

    11. Jannis Varoufakis

    12. Marina Abramovic

    13. Avicii

    14. Miley Cyrus

    15. AOC

    16. Kendrick Lamar

    17. Donna Haraway

    18 XXXTentacion

    19. Lil Peep

    20. Ru Paul

    21. Judith Butler

    22. Millie Bobby Brown

    23. Martha Nussbaum

    24. Bernie Sanders

    25. M.I.A.

    26. Bell Hooks

    27. Ai Weiwei

    28. Elon Musk

    29. Margaret Atwood

    30. Bojack Horseman

    31. Beyonce Knowles

    32. Barack Obama

    Ilustrasi modern Sgt. Pepper’s Lonely Hearts Club Band (Instagram/@trippiesteff)