Tag: Kaesang Pangarep

  • Ahmad Ali Minta Kadernya Tidak Manja karena Jokowi Bukan Presiden, Herwin Sudikta: Ada Jokowi Saja PSI Sudah Tidak Istimewa

    Ahmad Ali Minta Kadernya Tidak Manja karena Jokowi Bukan Presiden, Herwin Sudikta: Ada Jokowi Saja PSI Sudah Tidak Istimewa

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial, Herwin Sudikta, menanggapi pernyataan Ketua Harian PSI, Ahmad Ali, yang sebelumnya meminta kader PSI untuk tidak manja karena Jokowi sudah tidak lagi berkuasa.

    Herwin mengatakan, pernyataan tersebut justru membuka kembali pertanyaan publik mengenai posisi PSI tanpa keberadaan Jokowi.

    Ia menyebut partai berlambang gajah itu selama ini terlalu bergantung pada figur mantan Presiden RI tersebut.

    “Ada Jokowi saja PSI sudah tidak istimewa. Apalagi sekarang, ketika bayangannya pun sudah tidak ada?,” ujar Herwin di X @bangherwin (24/11/2025).

    Herwin kemudian mempertanyakan alasan publik untuk memilih PSI saat ini. “Lalu apa alasan publik memilih PSI?,” timpalnya.

    Kata dia, partai tersebut tidak memiliki pijakan ideologis maupun rekam integritas yang dapat dijadikan alasan kuat oleh pemilih.

    “Ideologi? Nggak punya. Integritas? Jangan bercanda. Transparansi? Semakin jauh, bahkan urusan private jet Kaesang saja masih gelap,” imbuhnya.

    Herwin juga menyindir posisi PSI yang selama ini dinilai menikmati privilese politik.

    Ia menyebut wajar jika kini partai itu terlihat kehilangan pamor setelah tidak lagi mendapatkan keuntungan dari kedekatan dengan kekuasaan.

    “Jika selama ini hidup dari privilese, jangan kaget kalau tanpa privilese kalian terlihat bahkan jauh dari apa adanya,” tandasnya.

    Sebelumnya, Ketua Harian Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ahmad Ali, mengingatkan para kadernya agar mulai membuang kebiasaan bergantung pada kekuasaan.

    Ia menegaskan, masa-masa ketika partai bisa mengandalkan kedekatan dengan pemerintah sudah berlalu, dan kini PSI harus benar-benar belajar bergerak mandiri.

  • Tanggapi Keanehan Kunjungan Kaesang di Palu, Dimas Budi Prasetyo Beber Mengapa Prabowo Menang Pilpres dengan Joget-joget

    Tanggapi Keanehan Kunjungan Kaesang di Palu, Dimas Budi Prasetyo Beber Mengapa Prabowo Menang Pilpres dengan Joget-joget

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Penulis yang juga diaspora Indonesia yang kini bermukim di Belanda, Dimas Budi Prasetyo, blak-blakan menanggapi kejadian unik yang dialami Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep, saat menghadiri rangkaian acara Rakorwil PSI di Palu.

    Kaesang sempat disangka sebagai kakaknya, Wakil Presiden Gibran Rakabuming, bahkan diteriaki “Hidup Jokowi” oleh masyarakat.

    Dimas membawa kejadian itu ke dalam konteks satir soal kualitas publik dan perilaku politik di Indonesia.

    Dimas memulai dengan mengutip pernyataan Dokter Ryu Hasan, ahli bedah saraf dan pakar neurosains, dalam diskusinya bersama Gita Wirjawan.

    Dalam obrolan itu, Ryu menyebut bahwa rata-rata IQ Indonesia pada 1986 berada di kisaran 109,6, sementara saat ini hanya 78,4.

    Komentar itu memicu tawa, namun bagi Dimas justru menimbulkan keprihatinan.

    “Memang pembawaan Dokter Ryu kocak. Tapi setelah direnungi, ini menyedihkan sekali,” ujar Dimas dikutip pada Minggu (23/11/2025).

    Kata Dimas, Ryu bukan sosok yang asal bicara sehingga pernyataan tersebut perlu dipikirkan lebih dalam.

    Ia mempertanyakan apakah benar kualitas kecerdasan publik menurun, padahal kondisi gizi dan akses informasi saat ini jauh lebih baik dibandingkan beberapa dekade lalu.

    Dimas kemudian menghubungkan fenomena tersebut dengan gaya kampanye politik yang semakin menghibur ketimbang mendidik.

    “Pantas saja waktu pilpres kemarin, Prabowo yang tegas tiba-tiba jadi lucu. Joget-joget, menye-menye, jualan cerita sedih,” katanya.

    “Setelah dilantik, apa masih joget? Atau saya yang kurang update?,” sambung dia.

  • PSI Siapkan Kaesang Jadi Presiden Seperti Jokowi

    PSI Siapkan Kaesang Jadi Presiden Seperti Jokowi

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua Harian Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Ahmad Ali, kembali melontarkan pernyataan optimistis mengenai masa depan politik Ketua Umum PSI, Kaesang Pangarep.

    Dikatakan Ali, bukan hal mustahil jika putra bungsu Presiden Jokowi itu suatu hari kelak duduk di kursi RI 1.

    Dalam Rakorwil PSI se-Sultra yang digelar di Kendari, Jumat (21/11/2025) kemarin, Ali menyampaikan ajakan kepada seluruh kader untuk lebih masif memperkenalkan Kaesang kepada publik.

    Termasuk, kata Ali, melalui pemasangan foto Ketua Umum PSI di berbagai kegiatan.

    “Nanti kalau saya lihat ketum keliling, begitu masuk perbatasan, bandara, semua gambar ketum,” ujar Ali.

    “Siapa tahu ketum kita (PSI) ini 10 tahun yang akan datang jadi presiden kita. Siapa tahu,” tambahnya.

    Ali mengakui bahwa saat ini Kaesang mungkin belum menunjukkan ketertarikan untuk maju sebagai calon presiden.

    Namun, ia mengingatkan bahwa perjalanan politik seseorang bisa berubah kapan saja.

    “Manusia boleh berencana, Allah yang menentukan. Hari ini belum tentu mau, dipaksa juga dia tidak mau. Namun, kalau takdir Allah yang menentukan, siapa yang mau tolak?,” imbuhnya.

    Karena itu, menurut Ali, PSI harus sejak dini membangun pengenalan publik terhadap figur Kaesang.

    Ia menegaskan pentingnya kesiapan partai untuk melahirkan pemimpin, bukan sekadar mengikuti arus politik partai besar.

    “Jadi, sebelum itu kita (PSI) sudah harus memperkenalkan kepada masyarakat,” terangnya.

    Ali bilang, PSI tidak ingin selamanya berada di posisi sebagai pengikut dalam konstelasi politik nasional.

  • Ahmad Ali PSI: Siapa Tahu 10 Tahun yang akan Datang Kaesang Jadi Presiden

    Ahmad Ali PSI: Siapa Tahu 10 Tahun yang akan Datang Kaesang Jadi Presiden

    FAJAR.CO.ID, KENDARI — Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep terbang ke Kendari, Sulawesi Tenggara guna menghadiri langsung Rapat Koordinasi Wilayah (Rakorwil) PSI se-Sultra, Jumat (21/11/2025).

    Pada kesempatan itu, Ketua Harian DPP PSI Ahmad Ali memerintahkan kepada seluruh kader PSI memperkenalkan sosok Kaesang kepada masyarakat.

    Oleh karena itu ia meminta kader-kader PSI untuk memajang foto wajah Kaesang dalam baliho-baliho yang dipasang pada setiap kegiatan PSI yang diselenggarakan di seluruh wilayah tanah air.

    “Nanti kalau saya lihat ketum keliling, begitu masuk perbatasan, bandara, semua gambar ketum. Siapa tahu ketum kita (PSI) ini 10 tahun yang akan datang jadi presiden kita. Siapa tahu,” kata Ahmad Ali.

    Menurutnya, saat ini Kaesang boleh saja belum tertarik untuk menjadi seorang presiden. Bahkan dalam beberapa kesempatan muncul dorongan dari kader, tetapi Kaesang mengaku belum bersedia.

    Namun, kata dia manusia boleh berencana, tetapi Tuhan yang akan menentukan.

    “Manusia boleh berencana, Allah yang menentukan. Hari ini belum tentu mau, dipaksa juga dia tidak mau. Namun, kalau takdir Allah yang menentukan, siapa yang mau tolak? Jadi, sebelum itu kita (PSI) sudah harus memperkenalkan kepada masyarakat,” ujar Ali.

    Mantan petinggi Partai Nasdem itu optimis bahwa PSI ke depan akan menjadi partai besar yang mampu melahirkan pemimpin-pemimpin besar di negeri.

    Ia pun menggarisbawahi bahwa PSI bukan sekedar partai pengikut.

    “Kami tentu juga mau melahirkan pemimpin, sampai kapan mau hanya menjadi pengikut. Kalau hanya sekeder jadi follower dan bagi-bagi kekuasaan, ya ngapain,” pungkas Ahmad Ali. (Pram/fajar)

  • Gerindra dan PSI Tutup Pintu untuk Budi Arie, Pengamat Singgung Sosok Kutu Loncat

    Gerindra dan PSI Tutup Pintu untuk Budi Arie, Pengamat Singgung Sosok Kutu Loncat

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA – Penolakan Partai Gerindra dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) terhadap Ketua Umum Projo, Budi Arie Setiadi, memunculkan banyak dugaan di publik.

    Namun, bagi sebagian kalangan, sikap dua partai itu dianggap sebagai hal wajar dalam dinamika politik, terutama ketika menyangkut proses rekrutmen kader.

    Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiluddin Ritonga, mengatakan setiap partai memiliki hitungan matang sebelum menerima seseorang bergabung.

    Mulai dari rekam jejak, loyalitas, hingga potensi mendongkrak dukungan publik selalu menjadi pertimbangan utama.

    “Gerindra, kadernya menilai lebih banyak negatifnya bila menerima Budi Arie. Sebagian kader Gerindra setidaknya menilai Budi Arie hanya sosok kutu loncat yang tak banyak manfaatnya bagi partainya,” kata Jamiluddin dalam pernyatannya, dikutip Sabtu (22/11/2025).

    Menurutnya, penolakan itu bukan sekadar penilaian personal, tapi sudah menjadi suara yang berkembang di internal Gerindra.

    Bahkan, kata dia, ada kekhawatiran bahwa kehadiran Budi Arie justru dapat membawa masalah baru.

    “Budi Arie bisa saja dinilai layaknya virus yang dapat menebar penyakit di Gerindra. Karena itu, kader Gerindra merasa lebih baik menghindar dan bahkan menjauh dari virus,” ujarnya.

    Tidak hanya Gerindra, PSI juga disebut punya alasan tersendiri. Partai yang dipimpin Kaesang Pangarep itu menilai Budi Arie tidak memiliki nilai jual secara elektoral.

    “Karena itu, PSI merasa tidak perlu menawarkan ke Budi Arie untuk bergabung untuk menjadi kadernya,” ujar Jamiluddin.

  • Ahmad Ali: PSI Bukan untuk Kepentingan Keluarga Jokowi, Kebetulan Kaesang Jadi Ketum

    Ahmad Ali: PSI Bukan untuk Kepentingan Keluarga Jokowi, Kebetulan Kaesang Jadi Ketum

    Ahmad Ali: PSI Bukan untuk Kepentingan Keluarga Jokowi, Kebetulan Kaesang Jadi Ketum
    Tim Redaksi
    KENDARI, KOMPAS.com
    – Ketua Harian Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Ahmad Ali menekankan bahwa PSI tidak didedikasikan untuk keluarga Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
    Ali memastikan bahwa
    Kaesang Pangarep
    menjadi Ketua Umum
    PSI
    hanyalah kebetulan.
    Dia mengeklaim, PSI tidak akan dilestarikan untuk
    keluarga Jokowi
    .
    Hal tersebut disampaikan Ali saat memberi arahan dalam Rakorwil PSI Se-Sultra di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), Jumat (21/11/2025).
    “Partai ini, kami, atau Pak
    Jokowi
    tidak akan dedikasikan untuk kepentingan keluarga, hanya karena kebetulan Kongres mengamanati Kaesang sebagai Ketua Umum, yang kebetulan adalah putra beliau. Tapi, selamanya ke depan tidak akan dilestarikan untuk keluarga beliau,” ujar Ali.
    Ali mengatakan, untuk memutus mata rantai tersebut, PSI ke depan harus dimiliki oleh anggotanya sendiri.
    Maka dari itulah PSI kemudian dijadikan sebagai Partai Super Tbk.
    “Bisa jadi Pak Raji’un (Ketua DPW PSI Sultra) menjadi Ketua Umum, tapi kayaknya umurnya sudah lewat,” ucap dia, disambut tawa kader.
    Ali menyampaikan bahwa ke depan, setelah PSI mapan, partai tersebut akan menjadi harapan anak-anak muda Indonesia.
    Ali kembali menegaskan perihal alasan Jokowi dijadikan patron bagi PSI.
    “Tidak semata-mata karena dia adalah presiden. Kalau presiden itu anaknya mantan presiden, biasa saja. Kalau gubernur itu atau bupati itu anaknya mantan gubernur, biasa saja. Tapi, Pak Jokowi ini harus menjadi patron bagi PSI, bagi anak-anak Indonesia. Karena kenapa? Beliau dari kampung, dari desa sama dengan kita yang ada di sini,” papar Ali.
    “Bukan anaknya siapa-siapa, ayahnya, neneknya Kaesang, kakeknya Kaesang, bukan darah biru di dunia politik. Bukan orang kaya, tukang kayu, tapi dia bisa membuktikan, beliau bisa membuktikan bahwa ketika rakyat memberi kepercayaan,” sambung dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • PSI Siapkan Kaesang Jadi Presiden Seperti Jokowi

    Kaesang: PSI Harus Lebih Baik dari Partainya Ahmad Ali Sebelumnya

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep memerintahkan kader PSI di Sulawesi Tengah (Sulteng) untuk serius mempersiapkan struktur dn mesin partai guna memenangkan Pemilu 2029 mendatang.

    Kaesang mengingatkan kader PSI memperkuat struktur akar rumput mulai dari tingkat DPW hingga DPC. Putra bungsu Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) itu bahkan sesumbar mampu mengalahkan partai besar seperti Nasdem di Pemilu mendatang.

    “Sebelum kita menuju 2029, kita akan menghadapi yang namanya verifikasi. Jadi saya minta tolong kepada seluruh jajaran pengurus di tingkat DPW, DPD, DPC, maupun nanti kalau sudah ada DPRT-nya, saya minta tolong strukturnya dibuat sebaik mungkin. Harus lebih baik dari partainya punyanya Pak Ahmad Ali sebelumnya (Nasdem),” kata Kaesang dalam Rakorwil PSI se-Sulteng di Hotel Grand Sya, Palu, Sulawesi Tengah, Rabu (19/11/2025).

    Ahmad Ali diketahui merupakan bekas kader Nasdem sebelum akhirnya berlabuh ke PSI dan langsung menduduki jabatan strategis sebagai ketua harian DPP PSI.

    Kaesang lantas menyinggung target tinggi yang dipatok Ahmad Ali bersama PSI.

    “Ya pasti Pak Ketua Harian kan pasti juga punya target. Enggak mungkin targetnya mau di bawahnya kan, targetnya ya harus menang di Sulawesi tengah,” tegas Kaesang.

    Lebih jauh Kaesang menegaskan dirinya jauh-jauh terbang ke Palu, Sulteng bukan untuk main-main. Ia menyampaikan, Sulawesi Tengah akan menjadi pionir dari PSI di 2029.

    “Saya juga ingin menegaskan, saya hadir di sini, kita bukan untuk main-main. Kita hadir di sini, DPP hadir di sini untuk mempersiapkan kita bisa menang di 2029,” tekannya.

  • Apakah “Isi Tas” Lebih Penting dari Kapasitas?

    Apakah “Isi Tas” Lebih Penting dari Kapasitas?

    Apakah “Isi Tas” Lebih Penting dari Kapasitas?
    Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

    Percuma juga punya elektabilitas tinggi, tapi enggak punya isi tas. Loh iya dong, masa isi tas enggak punya? Kalau saya kan enggak bawa tas. Yang bawa Bendum semua
    ” – Kaesang Pangarep.
    PERNYATAAN
    “mengagetkan” ini datang dari anak muda yang pada 31 Desember 2025 nanti, berusia 31 tahun. Ketua umum termuda dari semua ketua umum partai politik yang ada.
    Putra bungsu Presiden RI ke-7 Joko Widodo itu memang dikenal suka “ceplas-ceplos” dan menjadi tipe anak muda seusianya.
    Terlahir dari ayah yang menjadi pejabat, sejak Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta bahkan menjabat presiden hingga dua periode tentu meninggalkan privilege yang “luar biasa” untuk sanak keluarga. Kaeasang tumbuh dengan segala fasilitas yang melimpah.
    Justru pernyataan Kaesang – pemilik usaha Sang Pisang, Mangkokku dan Yang Ayam yang kini sebagian telah meredup – menjadi pemantik kesadaran politik akan pentingnya “isi tas” atau elektabilitas semata.
    Jelang Pemilu Legeslatif 2029 mendatang, semua partai politik sibuk menggelar konsolidasi untuk memperkuat jaringan dan pijakan di semua daerah.
    Sementara (calon) partai politik baru sibuk mencari kader baru agar bisa memenuhi kuota minimal kepengurusan di daerah-daerah.
    Pernyataan “isi tas” menjadi pengingat akan “mahalnya” biaya politik saat ini. Bayangkan berapa biaya yang dikeluarkan seorang calon anggota legeslatif yang berlaga di tingkat kabupaten atau kota?
    Berapa besar dana yang dihabiskan calon anggota legeslatif agar bisa “terpilih” di DPRD Provinsi? Berapa pula biaya yang diludeskan Caleg untuk bisa melenggang ke Senayan – kawasan Kantor Parlemen di Jakarta?
    Tidak ada rata-rata suara yang pasti karena jumlah suara yang dibutuhkan untuk menjadi anggota DPRD kabupaten sangat bervariasi, tergantung pada jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan atau Dapil tersebut, jumlah suara sah di Dapil, dan perolehan suara partai politik.
    Anggota DPRD kabupaten terpilih adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak di dapilnya, tapi ada faktor-faktor lain yang memengaruhi.
    Semakin banyak kursi yang tersedia, semakin sedikit suara yang dibutuhkan. Total suara sah di setiap dapil akan menentukan alokasi kursi partai.
    Belum lagi, setiap partai harus memenuhi ambang batas perolehan suara atau ambang batas parlemen agar berhak mengkonversi suara menjadi kursi. Saat ini, ambang batas tersebut 4 persen suara sah secara nasional untuk bisa masuk DPR RI.
    Untuk DPRD kabupaten, sistem pembagian kursi dan perolehan suara dapat berbeda-beda. Kerap terjadi, ada partai politik yang tidak memiliki wakil di Senayan, tetapi memiliki anggota Dewan di daerah kabupaten atau provinsi.
    Partai Persatuan Pembangunan (PPP) walau absen di Senayan, misalnya, tetapi memiliki enam wakil di DPRD Jawa Barat serta dua wakil di DPRD Kota Depok, Jawa Barat.
    Pun demikian dengan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), walau tidak lolos ke Senayan, tetapi memiliki 180 anggota Dewan di sejumlah DPRD. Jumlah ini meningkat dibandingan hasil Pemilu 2019 yang berjumlah 72 anggota Dewan.
    Wakil Ketua DPR RI periode 2009-2014 yang kini menjabat Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung pernah menghitung kalau rata-rata biaya kampanye Caleg DPR – RI naik 1,5 kali lipat. Dari Rp 3,3 miliar pada Pemilu 2009 menjadi Rp 4,5 miliar pada Pemilu 2014.
    Untuk paham dengan biaya terkiwari yang dikeluarkan Caleg DPR-RI, ada baiknya mengutip pengalaman Caleg DPR – RI yang gagal melaju ke Senayan.
    Masinton Pasaribu mengaku menghabiskan Rp 10 miliar untuk bertarung di Dapil “neraka” Jakarta II meliputi Jakarta Pusat, Jakarta Selatan, dan Luar Negeri.
    Uang sebanyak itu dihabiskan Masinton untuk pembiayaan baliho, merchandise kampanye, stiker serta mobilisasi personel. Masinton hanya meraup 50.992 suara.
    Sementara Caleg yang melenggang ke Senayan di kisaran 60.623 suara (Once Mekel dari PDIP) hingga Hidayat Nurwahid dari PKS dengan 227.974 suara.
    Masih menurut Bupati Tapanuli Tenggah di Sumatera Utara tersebut, ada pesaingnya dari kalangan pesohor di Dapil lain yang sampai menghabiskan Rp 30 miliar untuk bisa merebut suara sebanyak-banyaknya agar lolos ke Senayan di Pemilu 2019.
    Bayangkan jika itu terjadi di Pemilu 2024 lalu atau bahkan di Pemilu 2029 mendatang (
    Rri.co.id
    , 03 September 2023).
    Pernyataan Kaesang tentang pentingnya “isi tas” tidak saja membuka perdebatan klasik tentang
    political cost,
    tetapi juga menggugat masih adakah fatsun demokrasi dipahami dengan benar oleh kalangan politisi muda seperti Kaesang?
    Bukankah Generasi Emas mendatang akan berlimpah dengan bonus demografi, yakni mayoritas kalangan muda di populasi penduduk?
    Jika “sekelas” ketua umum partai berlogo gajah saja sudah “gagal paham”, maka prospek perbaikan kualitas demokrasi ke depannya menjadi tanda tanya besar.
    Fatsun demokrasi adalah tata krama atau etika yang harus dipatuhi dalam sistem demokrasi, meskipun tidak tertulis.
    Hal ini mencakup perilaku dan aturan tidak formal yang menunjang jalannya demokrasi, seperti kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab, menghormati kedaulatan rakyat, serta berpartisipasi dalam politik secara konstruktif.
    Dalam etika berpolitik, ada aturan tidak tertulis tentang bagaimana seharusnya tokoh politik dan masyarakat berperilaku dalam ranah politik agar tidak merusak tatanan demokrasi.
    Praktik menghalalkan segala cara agar “menang” dengan menumpahkan “isi tas” sebanyak-banyaknya, tidak saja membawa kualitas demokrasi semakin terpuruk, tetapi juga membiasakan era “jahiliyah” di peradaban modern.
    Partai politik memiliki elektabilitas jika memiliki daya pilih yang sesuai dengan kriteria keterampilan dan popularitas.
    Dalam negara demokrasi, partai politik harus berupaya meningkatkan elektabilitas untuk dapat memenangkan pemilihan umum. Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan yang disesuaikan dengan kriteria pilihan.
    Agar suatu partai politik atau calon anggota legislatif bisa memiliki elektabilitas tinggi, maka harus melakukan kerja nyata di lapangan agar dikenal baik oleh masyarakat.
    Kinerja baik, yang tidak hanya turun ke daerah saat kampanye, begitu diingat warga. Belum lagi, partai atau caleg dikenal publik karena aktif memperjuangkan aspirasi rakyat.
    Tidak cukup hanya membagi-bagikan kaos dan senyum manis yang dipaksakan. Jejak-jejak positif dari partai dan Caleg selalu masuk dalam memori warga.
    Elektabilitas partai politik memiliki makna tentang tingkat keterpilihan partai politik di publik. Saat elektabilitas partai tinggi, berarti partai tersebut memiliki daya pilih yang tinggi.
    Untuk meningkatkan elektabilitas, maka objek elektabilitas harus memenuhi kriteria keterpilihan dan juga populer.
    Partai politik memiliki elektabilitas jika memiliki daya pilih yang sesuai dengan kriteria keterampilan dan popularitas. Di negara yang menganut paham demokrasi, setiap partai politik harus berupaya meningkatkan elektabilitas untuk dapat memenangkan pemilihan umum.
    “Isi tas” tidak seharusnya menjadi penentu kemenangan. Jika “isi tas” dipakai untuk praktik politik uang atau
    money politic,
    maka dapat merusak kualitas demokrasi. Tidak selalu “isi tas” bisa menjadi faktor penentu.
    Harus diingat, politik uang adalah upaya untuk memengaruhi pemilih dengan imbalan uang, barang, atau janji, dan merupakan pelanggaran hukum yang bisa dikenai sanksi pidana penjara serta denda.
    Kemenangan yang sah harus didasarkan pada visi, misi, dan program yang jelas, bukan karena iming-iming “isi tas”.
    Politik uang atau “membeli suara” adalah tindakan yang melanggar hukum dan jelas dilarang oleh undang-undang, seperti Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.
    Pemilih yang terpengaruh politik uang cenderung tidak memilih berdasarkan pertimbangan rasional seperti integritas dan program kandidat, melainkan karena imbalan yang didapat.
    Cara-cara seperti ini hanya menghasilkan pemimpin yang tidak berorientasi pada kepentingan rakyat. Calon yang terpilih pasti akan berupaya mengembalikan biaya yang telah dikeluarkannya.
    Jika “isi tas” dianggap satu-satunya menjadi penentu kemenangan di kontestasi politik – dengan mengenyampingkan kerja-kerja politik yang terencana dan terukur untuk mendongkrak faktor elektabilitas – maka bisa jadi kandidat yang memiliki modal finansial lebih besar akan lebih mungkin menang.
    Pendidikan politik terbaik adalah saat kita menolak uang suap untuk memilih pemimpin yang tidak jujur, penuh pencitraan yang palsu, dan membiarkan keluarga, kerabat serta kroni-kroninya berbuat korup.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kaesang Target PSI Menang Besar di 2029: Siapkan “Isi Tas” dan Serbuan Baliho Berwajah Jokowi

    Kaesang Target PSI Menang Besar di 2029: Siapkan “Isi Tas” dan Serbuan Baliho Berwajah Jokowi

    Kaesang Target PSI Menang Besar di 2029: Siapkan “Isi Tas” dan Serbuan Baliho Berwajah Jokowi
    Tim Redaksi
    PALU, KOMPAS.com –
    Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bertekad untuk menang besar pada Pemilu 2029, khususnya di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng).
    Ketua Umum (Ketum) PSI
    Kaesang Pangarep
    pun memerintahkan PSI untuk menjadi pionir di Sulteng pada 2029 mendatang.
    “Saya ingin menyampaikan, di acara rakorwil perdana dari Partai Solidaritas Indonesia ini, saya ingin
    Sulawesi Tengah
    menjadi pionir dari PSI di 2029,” ujar Kaesang dalam Rakorwil PSI Se-Sulteng di Palu, Sulteng, Rabu (19/11/2025).
    “Dan saya juga ingin menegaskan, saya hadir di sini, kita bukan untuk main-main. Kita hadir di sini, DPP hadir di sini untuk mempersiapkan kita bisa menang di 2029,” sambungnya.
    Kaesang pun mengingatkan agar para kader PSI memperkuat struktur akar rumput sebelum 2029.
    Sebab, kata dia, mereka harus lolos verifikasi terlebih dahulu sebelum menjadi peserta pemilu.
    “Sebelum kita menuju 2029, kita akan menghadapi yang namanya verifikasi. Jadi saya minta tolong kepada seluruh jajaran pengurus di tingkat DPW, DPD, DPC, maupun nanti kalau sudah ada DPRT-nya, saya minta tolong strukturnya dibuat sebaik mungkin. Harus lebih baik dari partainya punyanya Pak
    Ahmad Ali
    sebelumnya (Nasdem),” kata Kaesang.
    Dalam kesempatan ini, Kaesang turut mengungkapkan harapannya, di mana pada 2029 nanti, PSI sudah bisa mengusung gubernur sendiri.
    Selain itu, dia juga meyakini PSI bakal mendapatkan jatah anggota DPR dari Sulteng.
    Lantas, apa saja strategi Kaesang untuk memenangkan PSI di 2029?
    Kaesang mengatakan, tanpa ‘isi tas’, maka elektabilitas tinggi menjadi sia-sia dalam kontestasi pemilu.
    Kaesang pun meminta agar PSI Sulteng bekerja keras agar bisa menjadi penyumbang suara dalam Pemilu 2029 mendatang.
    Lalu, terkhusus Sulteng, jika ada masalah dengan ‘isi tas’, Kaesang menyerahkan persoalan itu kepada Ketua Harian PSI Ahmad Ali.
    “Teman-teman, saya pingin Sulawesi Tengah ini menjadi salah satu penyumbang suara terbesar nanti di pemilu. Jadi saya minta tolong kerja kerasnya, jangan lupa ini juga, turun ke masyarakat,” ujar Kaesang.
    “Percuma juga punya elektabilitas tinggi, tapi enggak punya isi tas. Loh iya dong, masa isi tas enggak punya? Kalau saya kan enggak bawa tas. Yang bawa Bendum semua. Kalau ada apa-apa terkhusus Sulawesi Tengah, masalah isi tas kita ke Ayahanda kita (Ahmad Ali) ya,” sambungnya disambut tepuk tangan hadirin.
    Kemudian, Kaesang mengingatkan agar kader PSI tidak melakukan gerakan tambahan.
    Menurutnya, arahannya kerap berubah ketika sudah sampai di kader tingkat bawah.
    “Saya ingatkan sekali lagi, enggak usah ada gerakan-gerakan tambahan. Biasanya kan gitu. Saya ketika perintah ke Ketua Harian, A, ketika Ketua Harian menyampaikan ke sini, A, ketika mulai turun lagi A plus plus. Turun lagi A plus plus plus plus. Ada selalu kegiatan tambahan yang enggak begitu berguna,” ucap Kaesang.
    Kaesang pun meminta kader PSI untuk menyempurnakan struktur partai di masing-masing daerah.
    Dia mengeklaim tidak akan meminta apa-apa lagi sampai tahun 2027.
    Sementara itu, Ketua Harian PSI Ahmad Ali meminta agar baliho PSI sudah terpasang di semua kecamatan di Sulteng.
    Ali menegaskan PSI sudah membeli dua mesin cetak untuk memproduksi baliho tersebut.
    Dia memerintahkan agar baliho-baliho mulai dimasukkan ke desa-desa.
    “Semua kecamatan sudah harus terpasang baliho Partai Solidaritas Indonesia. Mesin cetak kita sudah punya dua. Saya minta bendahara untuk mengoperasikan mesin percetakan baliho, dan semua DPC paling tidak setiap kecamatan ada lima baliho ukuran 3×4 yang sudah harus terpasang, dan pelan-pelan masuk ke tiap-tiap desa,” ujar Ali.
    Ali menyampaikan bahwa format baliho harus terpampang wajah Kaesang Pangarep, Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi), dan dirinya selaku Ketua Harian PSI.
    Khusus di Sulteng ini, Ali menyatakan dirinya terkenal, sehingga wajahnya juga perlu dipampang.
    “Foto standarnya Ketua Umum, Ketua Harian, dan Pak Jokowi. Minta maaf, pengurus lain, karena yang dikenal di Sulawesi Tengah ini, Ketua Umum dan Ketua Harian, Pak Jokowi. Karena ini kampung saya,” jelasnya.
    Lalu, Ali membeberkan bahwa sosok Jokowi sangat penting bagi PSI.
    Dia kembali mengungkit bahwa Jokowi kini merupakan patron PSI.
    “Kenapa kita ingin memasang Pak Jokowi? Pak Jokowi adalah contoh hidup bagi rakyat jelata. Pak Jokowi adalah harapan bagi para politisi yang tidak berasal dari keturunan pemilik partai,” kata Ali.
    “Pak Jokowi adalah contoh hidup bukan dari yang berasal dari keluarga kaya raya, yang kemudian meniti karirnya dari bawah sampai di pucuk pemerintahan. Pak Jokowi bukan dari keluarga ningrat, tapi dia bisa meniti karier dan sampai dengan Presiden Republik Indonesia,” sambungnya.
    Ali berharap, dengan Jokowi dijadikan patron PSI, anak-anak muda ke depannya bisa melihat politik sebagai harapan.
    Dia ingin anak-anak muda berpikir bahwa menjadi pejabat tidak harus jadi orang kaya atau anak ketua partai terlebih dahulu.
    “Cukup punya konsistensi dan menanamkan nilai-nilai baik pada diri dan masyarakat, Insya Allah masyarakat akan mendorong dan partai-partai politik akan mengejar kamu,” imbuh Ali.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Kaesang Target PSI Menang Besar di 2029: Siapkan “Isi Tas” dan Serbuan Baliho Berwajah Jokowi

    Sebut Elektabilitas Tinggi Percuma Tanpa Isi Tas, Kaesang: Kalau Ada Apa-apa, ke Ayahanda Kita

    Sebut Elektabilitas Tinggi Percuma Tanpa Isi Tas, Kaesang: Kalau Ada Apa-apa, ke Ayahanda Kita
    Tim Redaksi
    PALU, KOMPAS.com
    – Ketua Umum (Ketum) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep mengatakan, jika PSI Sulawesi Tengah (Sulteng) mengalami masalah terkait ‘isi tas’, maka tinggal datang ke ‘ayahanda’.
    Ayahanda yang dimaksud ialah Ketua Harian PSI
    Ahmad Ali
    .
    Hal tersebut disampaikan Kaesang dalam
    Rakorwil PSI
    Se-Sulteng di Palu, Sulawesi Tengah (Sulteng), Rabu (19/11/2025).
    “Kalau ada apa-apa terkhusus ini ya, terkhusus Sulawesi Tengah, masalah
    isi tas
    , kita ke ayahanda kita ya,” kata Kaesang.
    Kaesang menegaskan, percuma jika memiliki elektabilitas tinggi, tetapi tidak memiliki ‘isi tas’.
    Khusus PSI pusat, Kaesang menyebut tas tersebut selalu dibawa oleh Bendahara Umum (Bendum) PSI.
    “Percuma juga punya elektabilitas tinggi, tapi enggak punya isi tas. Loh iya dong, masa isi tas enggak punya? Kalau saya kan enggak bawa tas. Yang bawa Bendum semua,” tutur dia.
    Sementara itu, Kaesang meminta kepada para kader PSI untuk fokus pada struktur masing-masing daerah.
    Dia menekankan tidak akan meminta hal lain kepada kader PSI sampai tahun 2027.
    “Dan teman-teman, saya pingin Sulawesi Tengah ini menjadi salah satu penyumbang suara terbesar nanti di pemilu. Jadi saya minta tolong kerja kerasnya, jangan lupa ini juga, turun ke masyarakat,” imbuh Kaesang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.