1 Tahun Pemerintahan Prabowo, Bagaimana Kiprah Gibran Setahun Terakhir?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka kini telah genap berusia satu tahun sejak pelantikan pada 20 Oktober 2024.
Meski kini menjabat Wakil Presiden, Gibran masih tetap mempertahankan gaya blusukan seperti pada saat dirinya menjadi Wali Kota Solo.
Jabatan tertinggi kedua di Indonesia tidak menyurutkan langkah Gibran untuk berjalan kaki menyusuri gang-gang dan pelosok daerah.
Blusukan masih sering dilakukan Gibran untuk mengecek program Presiden RI Prabowo Subianto agar terlaksana dengan baik di lapangan, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), Cek Kesehatan Gratis (CKG), Bantuan Subsidi Upah (BSU), hingga Sekolah Rakyat.
Kunjungan terkait program pemerintah dilakukan Gibran di berbagai daerah di seluruh Indonesia. Bahkan, dalam beberapa blusukan, Gibran kerap didampingi beberapa pejabat, seperti Ketua Komisi IV DPR RI Titiek Soeharto.
Dari catatan Kompas.com, mereka pernah melakukan kunjungan kerja (kunker) bersama sebanyak dua kali, yakni ke Sleman, Yogyakarta dan Batam, Kepulauan Riau.
Selain blusukan, Gibran pernah meluncurkan terobosan berupa program Lapor Mas Wapres. Program ini merupakan sarana pengaduan publik yang bisa diakses secara langsung dari Istana Wapres maupun lewat aplikasi WhatsApp.
Layanan ini dibuka dari hari Senin sampai dengan hari Jumat sejak pukul 08.00 hingga pukul 14.00 WIB di Istana Wapres. Sementara, aduan online bisa disampaikan warga melalui WhatsApp 08111 704 2207.
Tidak hanya itu, putra Presiden ke-7 RI Joko Widodo itu juga pernah melakukan kunjungan kenegaraan ke Papua Nugini pada 15 September 2025.
Dalam keterangan Sekretariat Wakil Presiden, Gibran bertemu dengan Perdana Menteri Papua Nugini (PNG) James Marape di Melanesian Haus, Kantor PM, Port Moresby.
Pertemuan tersebut sekaligus memperingati 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia dan Papua Nugini serta memperkuat kerja sama strategis di kawasan Pasifik.
Lewat pertemuan ini, sejumlah kesepakatan pun dicapai di antaranya peningkatan kerja sama pertahanan, pengembangan ekonomi perbatasan melalui implementasi SOP MoU on Cross Border Movement of Commercial Buses and Coaches.
Kemudian, kesepakatan kelanjutan program hibah pembangunan oleh Indonesia, serta penguatan kerja sama regional yang inklusif dalam kerangka Melanesian Spearhead Group dan Pacific Islands Forum.
Namun, di balik sederet aktivitas tersebut, sejumlah kalangan masih mempertanyakan efektivitas peran Gibran sebagai wapres.
Pengamat politik, Adi Prayitno menilai peran Gibran sebagai wapres belum signifikan karena cenderung seremonial dan belum menyentuh dalam aspek kebijakan strategis.
“Peran wapres belum kelihatan signifikan. Hanya terlihat di sejumlah acara seremonial dan beberapa kunjungan. Publik belum melihat peran wapres dalam pengambilan kebijakan strategis,” ujar Adi saat dihubungi
Kompas.com
, Jumat (17/10/2025).
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) ini bahkan merasa publik masih bingung dengan peran dan pekerjaan wapres saat ini. Adi lantas membandingkan dengan wapres sebelumnya, yakni Wapres ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla dan Wapres ke-13 RI Ma’ruf Amin.
“Berbeda dengan JK yang misalnya fokus urusan ekonomi. Kiai Ma’ruf Amin yang berkecimpung di ekonomi syariah. Pernah suatu waktu wapres Gibran bicara anak muda dan hilirisasi. Tapi konkretnya seperti apa belum terlihat,” papar Adi.
Di sisi lain, Adi menilai program Lapor Mas Wapres yang diinisiasi Gibran sangat bagus. Hanya saja, implementasinya masih tidak terlihat dalam satu tahun ini.
“Implementasinya tak terlihat. Padahal ini janji politik dan ide yang sangat bagus, problemnya pada level kenyataan di lapangan,” tutur Adi.
Pandangan serupa disampaikan Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS) Agung Baskoro juga menilai peran Gibran sebatas simbolis saja. Gibran juga dinilai hanya menjadi pelengkap kerja Presiden Prabowo.
“Saya lihat memang peran Wapres di masa Mas Gibran masih sebatas prosedur ataupun simbolis ya. Belum tampak fungsi-fungsi substantifnya, fungsi-fungsi real dan konkretnya karena memang kita tahu posisi Wapres ini sebagai pelengkap dari kerja-kerja yang dilakukan oleh Presiden,” ucap Agung.
Namun, menurutnya, banyak publik berekspektasi Gibran akan mengikuti jejak sang ayah, Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi). Oleh karenanya, sebagai Wapres, seharusnya Gibran lebih maksimal dalam bekerja dan lebih banyak hadir ke masyarakat.
“Dan melepas bayang-bayang sang ayah untuk bisa berdiri sendiri atas nama pribadi itu tidak mudah. Jadi koreksinya ya kalau saya ke depan Mas Gibran lebih mengoptimalkan kinerjanya, lebih tampil, serba hadir,” kata Agung.
Blusukan yang dilakukan Gibran selama setahun terakhir dinilai masih identik dengan Jokowi, sehingga tidak ada gebrakan baru dari pria berusia 38 tahun ini.
Padahal sebagai wapres di usia yang masih muda, Gibran diharapkan memiliki kebaruan dan inovasi.
Agung menilai Gibran perlu membuat gebrakan yang menjawab tantangan generasi muda, seperti ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Ya karena memang kita tahu blusukan itu sudah
trademark-
nya Pak Jokowi. Jadi kalau misalkan dia melakukan hal yang sama, istilahnya tidak ada yang baru, yang beda sebagaimana napas beliau mewakili generasi Z dan milenial yang identik dengan kebaruan, inovasi gitu,” ucap Agung.
“Jadi selain blusukan, apa lagi yang bisa dilakukan oleh seorang Wapres? Itu kan yang ditunggu dan dinantikan oleh publik hari ini, dan saya kira itu yang harus dijawab oleh Mas Gibran,” lanjut dia.
Gibran dinilai perlu membuat gebrakan yang menyentuh hal konkret di masyarakat, khususnya anak muda.
Terlebih, kegiatan blusukan yang rutin dilakukan juga tidak selalu dapat menjangkau anak muda atau masyarakat dari kelas menengah ke atas.
“Blusukan itu kan mungkin menyapa masyarakat kelas menengah ke bawah ya, tapi masyarakat kelas menengah atas yang itu menjadi pusat populasi gen Z milenial, ini harus ditreatment juga oleh Mas Gibran, nggak bisa dengan blusukan,” terangnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.
Tag: Jusuf Kalla
-
/data/photo/2025/08/20/68a5a9eec8767.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
1 Tahun Pemerintahan Prabowo, Bagaimana Kiprah Gibran Setahun Terakhir? Nasional 20 Oktober 2025
-

Chusnul Chotimah Kembali Senggol Silfester Matutina: Terpidana, tapi Masih Terima Gaji dari BUMN
FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Pegiat media sosial, Chusnul Chotimah, kembali blak-blakan terkait penegakan hukum di Indonesia.
Kali ini, ia kembali menyinggung kasus Silfester Matutina, yang disebut sudah berstatus terpidana namun hingga kini belum juga menjalani hukuman penjara.
“Memfitnah mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Enam tahun bebas padahal status terpidana,” ujar Chusnul di X @ch_chotimah2 (16/10/2025).
Chusnul menyebut ada kejanggalan serius dalam penanganan hukum terhadap Silfester.
Terutama karena statusnya sebagai pegawai BUMN yang masih menerima gaji meski sudah divonis bersalah.
“Status terpidana tapi masih terima gaji dari BUMN,” sebutnya.
Ia juga menyebut kelompok pendukung Jokowi yang pasang badan untuk Silfester justru memosisikan terpidana tersebut sebagai korban.
“Tapi bagi termul, Silfester itu adalah korban,” Chusnul menuturkan.
Lebih lanjut, Chusnul menilai fenomena ini mencerminkan rusaknya sistem berpikir sebagian masyarakat, terutama yang disebutnya sebagai pendukung garis keras pemerintahan Jokowi.
“Rusaknya cara berpikir ternak Jokowi. Dan Kejaksaan RI juga ikut rusak,” tandasnya.
Seperti diketahui, Silfester Matutina merupakan sosok yang pernah terseret kasus dugaan fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla beberapa tahun lalu.
Meski telah divonis bersalah oleh pengadilan, publik kini menyoroti mengapa putusan tersebut belum dieksekusi.
(Muhsin/fajar)
-

Roy Suryo Cs Sarankan Kejagung Tetapkan Silfester Matutina Masuk DPO
GELORA.CO – Pengacara Roy Suryo Cs, Ahmad Khozinudin menyarankan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menetapkan Ketua Umum Solidaritas Merah Putih, Silfester Matutina masuk ke daftar pencarian orang (DPO). Upaya ini menurutnya bisa menjadi jalan keluar untuk mengeksekusi Silfester.
Khozinudin awalnya menyinggung Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum), Anang Supriatna yang meminta Silfester untuk menyerahkan diri ketimbang melakukan upaya paksa. Padahal, Kejagung diberikan kewenangan untuk mengeksekusi.
“Selemah itukah institusi Kejaksaan Agung? Lalu sebenarnya kan bisa dilakukan upaya, yakni tetapkan DPO. Kalau rakyat dilibatkan dalam persoalan ini diminta dengan penetapan DPO, cepat selesai ini. Hari ini DPO, besok langsung ketemu. Cuma kenapa itu tidak dilakukan?” ujar Khozinudin dalam program Rakyat Bersuara di iNews TV, Selasa (14/10/2025).
Kejagung menurutnya bahkan bisa menghubungi Kuasa Hukum Silfester agar kliennya bisa dihadirkan. Sebab, kuasa hukum Silfester kerap menyebutkan Silfester berada di Jakarta.
“Oke lah, kita tidak perlu heboh dengan menetapkan DPO. Tadi Pak Boy juga sudah sampaikan (Silfester) ada di Jakarta. Ya sudah Jaksa Agung hubungi kuasa hukumnya, minta kliennya untuk dihadirkan,” ujar dia.
Nantinya, apabila kuasa hukum menolak atau bahkan tidak bisa menghadirkan Silfester, maka menurutnya kuasa hukum bisa dijerat dengan pasal obstruction of justice.
“Kalau tidak, ini adalah obstruction of justice. Bisa dikenakan pasal 221 KUHP atau di undang-undang yang baru pasal 282 KUHP tentang menyembunyikan pelaku kejahatan,” ucap dia.
“Sederhana, tanyakan pada kuasa hukumnya. Kalau dia (kuasa hukum) tetap tidak mau menunjukkan lokasinya padahal sebelumnya dia katakan ada di Jakarta, berarti dia telah menyembunyikan pelaku kejahatan,” sambungnya.
Khozinudin lantas menyinggung sosok Fredrich Yunadi yang saat itu berusaha menyembunyikan kliennya, yakni Setya Novanto. Menurutnya, kuasa hukum yang melakukan obstruction of justice juga tetap bisa dipidana.
“Yang menjadi rahasia klien itu adalah rahasia berkaitan dengan perkaranya. Bukan rahasia berkaitan dengan keberadaannya,” ungkap Khozinudin.
“Dan sudah ada lho, kasus bakpao dulu pengacara dieksekusi gara-gara menyembunyikan orang yang harusnya ditindak,” sambungnya.
Sebagai informasi, Silfester terjerat kasus fitnah dan pencemaran nama baik atas pernyataan dalam sebuah demo. Pernyataan Silfester saat itu mengarah ke Jusuf Kalla.
Dalam proses hukum, Silfester akhirnya divonis penjara satu tahun pada Pengadilan Negeri tingkat pertama pada 29 Oktober 2018.
Silfester sempat mengajukan upaya hukum, namun pada tingkat kasasi hukuman Ketua Umum Solidaritas Merah Putih itu diperberat menjadi satu tahun enam bulan.
Hingga tahun 2025 ini, putusan pidana penjara itu belum juga dieksekusi. Dorongan untuk mengeksekusi putusan itu pun kembali menguak belakangan ini
-

Bukannya Tetapkan Status Buron, Kejagung Malah Memohon ke Pengacara Silfester
GELORA.CO – Kejaksaan Agung (Kejagung) seperti tak bertaji untuk menangkap Ketua Umum Solidaritas Merah Putih Silfester Matutina yang tak kunjung memenuhi panggilan eksekusi kasus pencemaran nama baik terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla.
Herannya, Korps Adhiyaksa juga enggan menetapkan status buron ke relawan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi).
“Belum (dijadikan buron), ini kita belum, ini dulu (dicari),” kata Kapuspenkum Kejagung Anang Supriatna di Jakarta, dikutip Sabtu (11/10/2025).
Lucunya lagi, Anang malah meminta kuasa hukum Silfester untuk menghadirkan kliennya ke hadapan jaksa eksekutor.
“Sebagai penegak hukum yang baik, ya sesama kita (jaksa dan pengacara) menegakkan yang baik, tolonglah kalau bisa bantulah dihadirkan. Katanya kan ada di Jakarta. Ya, bantulah penegak hukum, bawalah ke kita,” ujar Anang.
Sebelumnya, pengacara Silfester, Lechumanan menyebut kliennya ada di Jakarta. “Pak Silfester yang intinya ada di Jakarta. Itu dulu saya jelaskan ya,” kata Lechumanan, di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Ia kemudian menyinggung gugatan Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan (ARRUKI) pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang dianggap menghentikan perkara Silfester.
Gugatan tersebut lalu ditolak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Atas dasar itu, Lechumanan memandang kliennya tidak perlu dijebloskan ke penjara.
“Artinya apa? Eksekusi tidak perlu dilaksanakan lagi. Itu yang perlu saya sampaikan. Terkait dengan referensi hukum yang bisa saya sampaikan terhadap perkara Silfester Matutina,” ujar dia.
Menurut Lechumanan, pasal yang digunakan untuk menjerat Silfester sudah kedaluwarsa sehingga tak perlu dilaksanakan eksekusi.
“Bahwa jelas pasal yang menjerat Pak Silfester telah kedaluwarsa. Menjalankan putusan terkait dengan undang-undang hukum pidana yaitu Pasal 84, 85. Bahwa peristiwa tersebut telah kedaluwarsa dan tidak patut untuk dieksekusi lagi,” tuturnya.
Tidak hanya itu, pihaknya juga telah meminta Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan untuk menunda eksekusi karena Silfester akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) untuk kedua kalinya.
-

Silfester Ada di Jakarta, Kejagung Minta Pengacara Bantu Serahkan
Bisnis.com, JAKARTA — Kejaksaan Agung (Kejagung) merespons terkait informasi keberadaan Silfester Matutina yang diduga masih di Jakarta.
Silfester Matutina merupakan terpidana kasus pencemaran nama baik presiden ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla (JK). Dia divonis 1,5 tahun dalam perkara tersebut. Namun, eksekusi penahanan belum dilakukan hingga saat ini.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung RI Anang Supriatna merespons informasi keberadaan Silfester yang diungkapkan kuasa hukumnya.
“Selama ini kan belum dilaksanakan eksekusi. Ya, kalau penasihat hukum itu silakan berpendapat,” ujarnya di Kejagung, Jumat (10/10/2025).
Dalam hal ini, Anang justru meminta agar pengacara Silfester bisa membantu korps Adhyaksa untuk melakukan eksekusi dengan menyerahkan kliennya.
“Ya sesama kita menegakkan yang baik, tolonglah kalau bisa bantulah dihadirkan, katanya kan ada di Jakarta. Ya, bantulah penegak hukum, bawalah ke kita. Itu sajalah,” tutur Anang.
Di samping itu, Anang mengaku bahwa pihaknya sejauh ini sudah berusaha untuk menghadirkan Silfester. Sejumlah upaya hukum pun sudah dilakukan oleh Kejaksaan RI.
Oleh karena itu, dia meminta agar seluruh pihak bisa menunggu terkait dengan proses eksekusi dari Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
“Kita tunggu saja. Kami mencari juga. Itu langkah-langkah, nanti yang jelas Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah melakukan langkah-langkah hukum sesuai dengan ketentuan,” pungkasnya.
Sebelumnya, perkara Silfester ini sudah mendapatkan atensi dari Jaksa Agung (JA) ST Burhanuddin. Dia mengatakan saat ini pihaknya melalui Kejari Jaksel tengah memburu keberadaan Silfester.
“Sudah, sudah, kami sudah minta sebenarnya. Dan kita sedang dicari. Dari Kejari kan sedang mencari kan. kita mencari terus,” ujar Burhanuddin di Kejagung, Selasa (2/9/2025).
-
/data/photo/2025/08/27/68ae964561b39.jpeg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
9 Dicari Tak Ketemu, Kejagung Minta Tolong ke Pengacara Bantu Hadirkan Silfester Matutina Nasional
Dicari Tak Ketemu, Kejagung Minta Tolong ke Pengacara Bantu Hadirkan Silfester Matutina
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com
– Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta pihak kuasa hukum untuk membantu menghadirkan terpidana fitnah terhadap Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla, Silfester Matutina, di Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan.
Hal ini disampaikan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Anang Supriatna merespons pernyataan pengacara Silfester, Lechumanan, yang menyatakan bahwa kliennya berada di Jakarta.
“Sebagai penegak hukum yang baik, ya sesama kita (jaksa dan pengacara) menegakkan yang baik, tolonglah kalau bisa bantulah dihadirkan. Katanya kan ada di Jakarta. Ya, bantulah penegak hukum, bawalah ke kita,” ujar Anang, saat ditemui di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (10/10/2025).
Anang menyebut, hingga saat ini, Kejaksaan masih berupaya mencari keberadaan Silfester.
Namun, ia memastikan langkah-langkah hukum untuk pelaksanaan eksekusi terhadap Silfester telah dilakukan oleh jaksa eksekutor.
“Kami mencari. Yang jelas, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan sudah melakukan langkah-langkah hukum sesuai dengan ketentuan,” kata Anang.
“Yang jelas, jaksa eksekutor sedang berusaha untuk menghadirkan yang bersangkutan,” sambung dia.
Saat ditanya apakah Silfester sudah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), Anang menegaskan bahwa status tersebut belum ditetapkan.
“Belum, ini kita belum (menetapkan). Nanti punya strategi sendiri,” ujar dia.
Anang juga menepis dugaan adanya pihak yang sengaja membantu pelarian Silfester.
Namun, ia kembali mengimbau agar pihak-pihak terkait, termasuk kuasa hukum, dapat beritikad baik membantu proses hukum.
“Tolong bantu saja kalau memang betul (yang bersangkutan) ada di Jakarta, dihadirkan,” kata Anang.
Silfester Matutina divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2019 karena menyebarkan fitnah terhadap Jusuf Kalla.
Putusan tersebut dikuatkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Meski sudah inkrah, eksekusi terhadap Silfester hingga kini belum dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Sementara, saat ditemui di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (9/10/2025), pengacara Silfester, Lechumanan, mengatakan, kliennya berada di Jakarta.
“Pak Silfester yang intinya ada di Jakarta. Itu dulu saya jelaskan ya,” kata Lechumanan.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/08/04/6890813e0a322.jpg?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
7 Keberadaan Silfester Matutina Diketahui, tetapi Kapan Dieksekusi? Nasional
Keberadaan Silfester Matutina Diketahui, tetapi Kapan Dieksekusi?
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com –
Teka-teki keberadaan Komisaris ID Food sekaligus terpidana kasus pencemaran nama baik, Silfester Matutina, sudah terpecahkan.
Pengacara Silfester, Lechumanan, mengatakan bahwa kliennya berada di Jakarta.
“Pak Silfester yang intinya ada di Jakarta. Itu dulu saya jelaskan ya,” kata Lechumanan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Silfester Matutina sudah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2019 karena menyebarkan fitnah terhadap Jusuf Kalla.
Putusan tersebut dikuatkan hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Meski sudah inkrah, eksekusi terhadap Silfester hingga kini belum dilaksanakan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan.
Lechumanan juga menilai pasal yang dijerat kepada Silfester dalam perkara tersebut sudah kedaluwarsa sehingga tidak perlu dilakukan eksekusi.
“Bahwa jelas pasal yang menjerat Pak Silfester telah kedaluwarsa. Menjalankan putusan terkait dengan undang-undang hukum pidana yaitu Pasal 84, 85. Bahwa peristiwa tersebut telah kedaluwarsa dan tidak patut untuk dieksekusi lagi,” tuturnya.
Meski demikian, dia mengaku sudah mengajukan permohonan kepada Kejari Jaksel terkait penundaan eksekusi karena akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) kedua.
“Jadi kita sudah berkomunikasi, yang artinya komunikasi kami itu mengajukan permohonan tidak dilaksanakan eksekusi. Karena perkara ini sudah kedaluwarsa. Jadi jangan dipaksakan. Kalau dipaksakan, kami akan ajukan upaya hukum terhadap Kejari Jakarta Selatan,” ucap dia.
Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan sebelumnya terus mencari keberadaan Silfester Matutina untuk segera dieksekusi.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Anang Supriatna, mengatakan, Kejari Jaksel sudah memanggil Silfester.
“Seingat saya sudah melakukan pemanggilan. Tinggal langkah hukum apa lagi, tinggal tanyakan saja ke Kejari Jakarta Selatan selaku jaksa eksekutor,” kata Anang saat ditemui di Kejaksaan Agung, Jakarta, Kamis (18/9/2025).
Anang menuturkan, Silfester sempat tidak hadir dalam sidang Peninjauan Kembali (PK) karena alasan sakit.
Pihak pengadilan menerima surat keterangan sakit dari rumah sakit di Jakarta.
Namun, Anang mengaku tidak mengingat detail nama rumah sakit tersebut.
“Waktu sidang PK yang pertama, yang bersangkutan sakit, tidak bisa hadir. Ada surat keterangan dari rumah sakit seperti itu. Saya lupa rumah sakitnya mana, nanti saya tanya lagi ke Kejari Jakarta Selatan,” ujarnya.
Saat ditanya soal kemungkinan penjemputan paksa, Anang menegaskan bahwa keberadaan Silfester hingga kini belum diketahui secara pasti.
“Ya ini belum dapat, sedang dilakukan pencarian. Namanya dicari, kan kalau sudah tahu tinggal ini (dijemput) saja kan,” ucapnya.
Namun demikian, Anang tidak menutup kemungkinan upaya paksa tetap bisa dilakukan meski Silfester dalam kondisi sakit.
Menurutnya, jika hal itu terjadi, penahanan dapat dibantarkan di rumah sakit.
“Ya bisa saja. Sementara waktu itu, karena di PK kan yang bersangkutan enggak hadir. Hanya ada surat keterangan sakitnya,” kata Anang.
Secara terpisah, Komisi Kejaksaan (Komjak) mendorong Kejari Jakarta Selatan agar eksekusi segera dilaksanakan.
Komisioner Komjak Nurokhman mengatakan Kejari Jaksel sudah menunjuk jaksa eksekutor, tetapi belum menentukan tanggal pasti pelaksanaan.
“Untuk tanggalnya sejauh ini on progress. Kita sama-sama menunggu,” ujar dia pada Kamis (14/8/2025).
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved. -
/data/photo/2025/02/24/67bc0f4f8997a.png?w=1200&resize=1200,0&ssl=1)
2 Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi Nasional
Presiden Harus “Orang Indonesia Asli”, Aturan Lama yang Hilang di Era Reformasi
Tim Redaksi
JAKARTA, KOMPAS.com —
Indonesia pernah mempunyai sebuah aturan yang kontroversial mengenai syarat untuk menjadi seorang presiden, yakni harus merupakan orang Indonesia asli.
Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli”.
Namun, aturan ini berubah di era Reformasi ketika Majelis Permusawaratan Rakyat (MPR) menggulirkan amendemen.
Aturan tersebut pun resmi dihapus dan diubah lewat amendemen kedua UUD 1945 yang diketok pada tahun 2000.
Setelah diamandemen, Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 berbunyi, “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”
Perubahan narasi dalam amendemen kedua UUD 1945 dinilai sudah relevan dengan masa kini.
Menurut dosen hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini, kata “asli” dalam versi awal sebelum amendemen saat itu disusun berdasarkan refleksi konteks sejarah di awal kemerdekaan.
Saat itu, bangsa Indonesia baru merdeka sehingga masih ada kekhawatiran tentang kemungkinan campur tangan pihak asing atau bekas penjajah.
“Jadi istilah orang Indonesia asli dimaksudkan sebagai bentuk proteksi terhadap kedaulatan politik bangsa yang masih sangat rentan dan belum stabil,” kata Titi saat dihubungi, Senin (9/10/2025).
Seiring berjalannya waktu, frasa itu dihapus lewat amendemen UUD 1945 karena dianggap sudah tidak relevan.
Menurut Titi, amendemen UUD 1945 itu menegaskan, semua warga negara Indonesia (WNI) memiliki kedudukan yang sama di depan hukum dan pemerintahan, tanpa ada diskriminasi atas dasar keturunan, ras, atau asal-usul.
Oleh karenanya, syarat dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD NRI 1945 versi amendemen yang menyebut “warga negara Indonesia sejak kelahiran dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain” dianggap sudah memadai dan relevan dengan masa ini.
“(Versi lama) tidak relevan dengan perkembangan zaman dan prinsip-prinsip hak kewarganegaraan yang lebih egaliter,” kata Titi.
Jika istilah orang Indonesia asli tetap dipertahankan, hal ini dinilai akan membuka ruang diskriminasi terhadap warga negara yang sah namun memiliki latar belakang keturunan tertentu seperti WNI keturunan Tionghoa, Arab, atau lainnya.
Hal itu dinilai bertentangan dengan semangat demokrasi konstitusional dan hak asasi manusia yang dijunjung tinggi setelah reformasi.
“Perubahan tersebut penting dan krusial karena memperkuat prinsip civic nationalism, bahwa keindonesiaan ditentukan oleh ikatan kewarganegaraan, bukan asal-usul darah atau etnis,” terangnya.
Bagi Titi, penghapusan kata “asli” tersebut justru mempertegas bahwa syarat menjadi presiden di Indonesia tidak boleh didasarkan pada ras atau etnis, melainkan pada status kewarganegaraan dan loyalitas kepada negara.
“Dalam konteks masa kini, menghidupkan kembali narasi “presiden harus WNI asli” tidak hanya ahistoris, tetapi juga berpotensi menghidupkan politik identitas yang sempit dan diskriminatif,” ujar dia.
Senada dengan Titi, pakar hukum tata negara dari Themis Indonesia Feri Amsari juga menilai penghilangan kata “asli” dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 sudah ideal.
Jika kata “orang Indonesia asli” masih ada dalam beleid tersebut, tentu dapat menimbulkan beragam masalah.
Sebab, perlu dijelaskan lebih lanjut definisi dan kriteria dari “orang Indonesia asli” yang dimaksud.
Lebih jauh, kata “asli” juga berpotensi jadi masalah ketika membahas konteks Indonesia di masa depan yang mana banyak WNI melakukan kawin campuran antar negara.
Lewat penghapusan kata “asli” dalam amendemen UUD 1945, diharapkan putra-putri Indonesia yang berasal dari pernikahan campuran tidak tertolak menjadi seorang presiden di masa depan.
“Sepanjang mereka adalah warga negara Indonesia sejak lahir dan tidak pernah meminta status kewarganegaraan lain, sebenarnya itu sudah memperkuat nilai-nilai ke-Indonesiaan dari seorang calon presiden,” kata Feri.
Meski sudah lama diubah, narasi soal “orang Indonesia asli” sebagai syarat calon presiden dan wakil presiden juga sempat menjadi kontroversi.
Pada 2016, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ingin kembali memasukkan kata “orang Indonesia asli” dalam Pasal 6 Ayat (1) UUD 1945 yang sudah diamandemen.
PPP saat itu ingin butir pasal tersebut menjadi: “Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden.”
Usulan tersebut menjadi salah satu poin rekomendasi resmi dalam Musyawarah Kerja Nasional I PPP pada masa itu, tetapi disambut oleh pro dan kontra.
Wakil presiden ketika itu, Jusuf Kalla, menilai belum tentu seluruh partai akan menyetujui usulan PPP terkait syarat calon presiden dan wakil presiden harus Indonesia asli.
“Namanya dalam demokrasi tentu boleh mengusulkan sesuai keyakinannya. Itu bukan mengamandemen sebenarnya, (tapi) kembali ke asal bunyi UUD 1945 yang asli itu begitu,” kata Kalla di Kantor Wapres, Jakarta, 7 Oktober 2016.
“Tetapi ini kan tentu tidak satu partai ini tidak, belum tentu yang lainnya juga setuju. Kita bicara dalam konteks demokrasi saja,” lanjut JK.
Sejumlah politisi juga ada yang menilai bahwa usulan tersebut cenderung diskriminatif, bahkan perlu dikaji mendalam oleh semua fraksi yang ada di DPR RI.
Misalnya, politikus PDI-P Hendrawan Supratikno menganggap semangat UUD 1945 harus melindungi, jangan sampai justru mendiskriminasi.
“Kalau ada usulan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan Presiden dan Wakil Presiden harus orang Indonesia asli yang maknanya pribumi itu malah tidak sesuai spirit UUD yang justru melindungi bukan mendiskriminasi. Itu tidak relevan namanya,” ujar Hendrawan pada Oktober 2016.
Merespons isu yang sama, politikus Partai Kebangkitan Bangsa Daniel Johan menyatakan Indonesia telah memiliki Undang-Undang Kewarganegaraan yang telah mengatur pengertian orang Indonesia asli.
Dalam aturan soal kewarganegaraan, tak disebutkan bila orang Indonesia asli berarti pribumi.
“Kalau Presiden dan Wakil Presiden Indonesia harus pribumi, itu kemunduran. Kita sudah selesai dengan hal semacam itu di era reformasi, ini kok malah balik lagi ke masa lalu,” kata Daniel saat dihubungi, 4 Oktober 2016.
Menurut Daniel, akan sulit untuk mengartikan orang Indonesia asli karena nenek moyang orang Indonesia sendiri tidak berasal dari dataran Indonesia, melainkan dari Indocina.
“Kalau definisinya seperti itu berarti enggak ada yang orang Indonesia yang asli dong karena nenek moyangnya saja bukan dari dataran Indonesia, tapi dari Indocina,” ucapnya.
Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

