Tag: Josua Pardede

  • Ekonom: Pasar Terkejut BPS Rilis Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II/2025 5,12%

    Ekonom: Pasar Terkejut BPS Rilis Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II/2025 5,12%

    Bisnis.com, JAKARTA — Kalangan ekonom menyebut pasar cukup terkejut dengan pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS) terkait kinerja ekonomi kuartal II/2025 yang tumbuh mencapai 5,12%. Estimasi optimistik mereka sebelumnya, pertumbuhan ekonomi hanya di angka 5%.

    Berdasarkan pemberitaan Bisnis sebelumnya, proyeksi dari 30 ekonom maupun lembaga yang dihimpun Bloomberg menunjukkan, median atau nilai tengah pertumbuhan PDB kuartal II/2025 adalah adalah 4,8% yoy. Estimasi tertinggi yakni pertumbuhan hingga 5% sedangkan terendah 4,6% yoy.

    Proyeksi pertumbuhan tertinggi 5% diramalkan oleh Gareth Leather dari Capital Economics, Ltd. dan Enrico Tanuwidjaja dari PT Bank UOB Indonesia, sedangkan terendah oleh Moody’s Analytics Singapore, Jeemin Bang sebesar 4,6%. 

    Bank-bank BUMN seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) memproyeksikan pertumbuhan sebesar 4,79% atau setara dengan nilai rata-rata konsensus para ekonom tersebut. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) meramalkan pertumbuhan lebih tinggi 4,9%. 

    Salah satu ekonom yang proyeksinya dihimpun oleh Bloomberg, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede sebelumnya memperkirakan PDB kuartal II/2025 hanya tumbuh 4,76% yoy. Dia menyebut, data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis hari ini mengejutkan pasar. 

    “Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 sebesar 5,12% (yoy) yang diumumkan oleh BPS memang mengejutkan pasar, terutama karena seluruh estimasi konsensus Bloomberg berada di bawah angka tersebut—bahkan estimasi tertingginya hanya menyentuh 5,0%,” terang Josua kepada Bisnis, Selasa (5/8/2025). 

    Josua menuturkan data pertumbuhan yang dirilis BPS itu tidak hanya melampaui ekspektasi pasar, tetapi juga terjadi di tengah narasi yang kontras. Salah satunya adalah Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang masih berada di zona kontraksi selama kuartal tersebut, yakni berkisar 49.

    Tidak hanya itu, persepsi umum menunjukkan konsumsi rumah tangga belum sepenuhnya pulih. “Maka, muncul pertanyaan fundamental: dari mana sebenarnya sumber pertumbuhan yang mengejutkan ini?,” ungkap Josua. 

    Pada sisi konsumsi rumah tangga, yang berkontribusi terbesar kepada PDB, pertumbuhannya secara tahunan hanya naik tipis dari 4,95% ke 4,97%. Namun, Josua melihat karakteristik pemulihannya cukup berbeda dari kuartal sebelumnya yakni kuartal I/2025. 

    BPS, terangnya, bersama-sama Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sama-sama menyoroti pergeseran preferensi konsumsi dari belanja offline ke online. Data transaksi online dari e-commerce dan marketplace tumbuh sebesar 7,55% secara kuartalan, dan konsumsi elektronik (uang elektronik, kartu debit, kredit) tumbuh 6,26% secara tahunan, pada kuartal II/2025.

    Josua mengatakan, data-data itu menunjukkan bahwa meskipun indeks penjualan eceran secara riil masih lemah, masyarakat mulai kembali aktif berbelanja melalui kanal digital, terutama saat momentum Idulfitri maupun libur sekolah. 

    Dia menilai kenaikan konsumsi itu lebih banyak karena faktor musiman dan pola belanja digital ketimbang karena kenaikan pendapatan yang merata.

    “Namun, apakah ini berarti daya beli telah benar-benar pulih? Jawabannya masih relatif. Pertumbuhan konsumsi belum sepenuhnya solid di semua lapisan masyarakat, terlihat dari masih terbatasnya pertumbuhan konsumsi makanan pokok dan inflasi yang tetap rendah (1,87% yoy), yang bisa mencerminkan lemahnya pricing power produsen dan konsumen yang masih berhati-hati,” terangnya. 

    Kinerja Investasi

    Sementara itu, kontributor terbesar kedua terhadap pertumbuhan kuartal II/2025 yakni investasi atau Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), turut menjadi pemicu dengan lonjakan pertumbuhan 6,99% yoy. Pada kuartal sebelumnya, pertumbuhan PMTB hanya 2,12% yoy.

    Tidak hanya itu, BPS menyebut pertumbuhan PMTB adalah yang tertinggi sejak kuartal II/2021 yakni sebesar 7,54% yoy. 

    Josua menjelaskan bahwa lonjakan PMTB didorong oleh dua komponen utama. Salah satunya adalah belanja modal pemerintah melalui APBN yang melonjak 30,37% yoy. Kemudian, ledakan impor barang modal jenis mesin sebesar 31,9% yoy. 

    “Ini mencerminkan bahwa mesin pertumbuhan pada Q2 tidak hanya bertumpu pada konsumsi, tetapi juga pada dorongan permintaan investasi untuk proyek-proyek fisik dan ekspansi sektor swasta,” terang Josua. 

    Dengan demikian, Josua menyimpulkan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 yang melebihi ekspektasi ditopang oleh lonjakan investasi fisik dan akselerasi belanja pemerintah, sementara konsumsi rumah tangga memang membaik namun belum bisa dibilang pulih secara struktural. 

    “Pergeseran konsumsi ke kanal digital menjadi salah satu pilar baru pertumbuhan, namun belum cukup kuat menjadi engine utama ekonomi tanpa didukung perbaikan pendapatan riil masyarakat. Oleh karena itu, ke depan, konsistensi stimulus fiskal, kestabilan harga pangan, dan insentif konsumsi akan menjadi kunci untuk menjaga pertumbuhan tetap di atas 5% pada semester II 2025,” terangnya. 

    Di Luar Ekspektasi

    Tidak hanya itu, Chief Economist Bank Mandiri Andry Asmoro juga mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi 5,12% yang dirilis BPS itu melebihi ekspektasi pasar, yakni per data konsensus ekonom yang dihimpun Bloomberg diestimasi hanya 4,8% yoy secara rata-rata.

    Andry mengatakan bahwa  pertumbuhan itu melonjak dari kuartal I/2025 yang hanya 4,87% yoy. Artinya, perkiraan sebelumnya pertumbuhan kuartal II/2025 melambat dari kuartal I/2025.

    “[Pertumbuhan] didukung konsumsi rumah tangga yang lebih kuat dan kenaikan aktivitas investasi. Permintaan eksternal juga berkontribusi positif, dengan ekspor terakselerasi jelang penerapan tarif impor AS,” ujar Andry dalam keterangan tertulis, Selasa (5/8/2025).

    Sebelumnya, BPS melaporkan PDB Indonesia tercatat sebesar Rp5.947 triliun atas dasar harga berlaku. Lalu, PDB atas harga konstan mencapai Rp3.396,3 triliun.

    “Sehingga pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan 2/2025 bila dibandingkan dengan triwulan 2/2024 atrau secara YoY tumbuh sebesar 5,12%,” ujar Edy. 

    Kemudian, pertumbuhan secara kuartalan sebesar 4,04% apabila dibandingkan dengan kuartal I/2025.

  • IHSG menguat seiring optimisme ekonomi RI tetap solid

    IHSG menguat seiring optimisme ekonomi RI tetap solid

    Jakarta (ANTARA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa pagi bergerak menguat seiring optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap solid pada kuartal II-2025.

    IHSG dibuka menguat 38,04 poin atau 0,51 persen ke posisi 7.502,69. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 naik 4,26 poin atau 0,54 persen ke posisi 792,01.

    “IHSG diperkirakan masih volatile pada hari ini,” sebut Tim Riset Lotus Andalan Sekuritas dalam kajiannya di Jakarta, Selasa.

    Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2025, yang diperkirakan melambat dan berada di bawah 5 persen year on year (yoy), dipicu oleh menurunnya daya beli masyarakat.

    Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede mengatakan, ekonomi Indonesia masih akan relatif solid di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, terutama dampak Trade War 2.0 serta tensi geopolitik yang meningkat di berbagai kawasan dunia.

    Selama pekan ini, pelaku pasar juga mencermati data cadangan devisa periode Juli 2025 pada Kamis (07/08), serta Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK), retail sales, car sales dan motorbike sales pada Jumat (08/08).

    Dari mancanegara, pelaku pasar akan memperhatikan perkembangan negosiasi perdagangan antara Amerika Serikat (AS) dan China, setelah pejabat senior dari kedua negara bertemu di Stockholm, Swedia, pada pekan lalu.

    Di sisi lain, data tenaga kerja AS yang melemah telah meningkatkan ekspektasi terhadap penurunan suku bunga The Fed pada September 2025 mendatang.

    Pada perdagangan Senin (04/07), bursa saham Eropa ditutup menguat, di antaranya Euro Stoxx 50 menguat 1,50 persen, indeks FTSE 100 Inggris menguat 0,66 persen, indeks DAX Jerman turun 1,42 persen, serta indeks CAC Prancis naik 1,14 persen.

    Sementara itu, bursa saham AS di Wall Street juga ditutup menguat pada perdagangan Senin (04/07), diantaranya Indeks Dow Jones Industrial Average naik 585,06 poin,atau 1,34 persen ditutup di level 44.173,64, indeks S&P 500 menguat 1,47 persen ke level 6.329,91, indeks Nasdaq Composite naik 1,87 persen dan ditutup di level 23.188,02.

    Bursa saham regional Asia pagi ini, antara lain indeks Nikkei menguat 241,30 poin atau 0,60 persen ke 40.532,50, indeks Shanghai menguat 12,21 poin atau 0,33 persen ke 3.596,76, indeks Hang Seng melemah 72,45 poin atau 0,29 persen ke 24.680,00, indeks Straits Times naik 19,36 poin atau 0,46 persen ke 4.216,00.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Abdul Hakim Muhiddin
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Ekonom proyeksikan ekonomi RI tetap tumbuh solid di kuartal II-2025

    Ekonom proyeksikan ekonomi RI tetap tumbuh solid di kuartal II-2025

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Ekonom proyeksikan ekonomi RI tetap tumbuh solid di kuartal II-2025
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Senin, 04 Agustus 2025 – 22:57 WIB

    Elshinta.com – Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 masih akan relatif solid di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, terutama dampak Trade War 2.0 serta tensi geopolitik yang meningkat di berbagai kawasan dunia.

    Ia memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,76 persen year on year (yoy) pada kuartal II-2025, atau sedikit melambat dibandingkan pertumbuhan sebesar 4,87 persen (yoy) pada kuartal I-2025.

    “Walaupun demikian, angka ini masih mencerminkan kondisi perekonomian yang cukup stabil, meskipun berada sedikit di bawah tren rata-rata 10 tahun terakhir sekitar 5 persen,” ujar Josua saat dihubungi di Jakarta, Senin.

    Secara kuartalan, ia memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 3,68 persen quartal on quartal (qoq) pada kuartal II-2025, atau menunjukkan pola rebound yang didorong oleh pola musiman peningkatan konsumsi masyarakat selama liburan dan aktivitas produksi yang membaik setelah Hari Raya Idul Fitri.

    “Kondisi ini mencerminkan ketahanan ekonomi domestik yang cukup baik, meskipun tidak optimal,” ujar Josua.

    Ia memproyeksikan pertumbuhan akan ditopang beberapa sentimen utama; pertama, meningkatnya investasi (PMTB) yang tumbuh 3,71 persen (yoy) didorong oleh pemulihan sektor konstruksi dan real estate, tercermin dari kenaikan konsumsi semen dan impor barang modal, terutama mesin dari AS yang kini terbebas dari tarif impor.

    Kedua, pemulihan belanja pemerintah yang kembali tumbuh positif sebesar 1,78 persen (yoy) akibat percepatan realisasi anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya periode Juni 2025.

    Ketiga, meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara yang turut mendukung ekspor jasa, khususnya sektor pariwisata, meskipun perdagangan barang masih tertekan oleh konflik perdagangan internasional.

    Ia melanjutkan, beberapa sektor yang akan menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025, di antaranya sektor konstruksi dan properti yang menunjukkan pemulihan signifikan, tercermin dari kenaikan Gross Fixed Capital Formation (GFCF) hingga 3,71 persen, didukung kuat oleh peningkatan konsumsi semen.

    Kemudian, sektor perdagangan ritel terpantau membaik dengan penjualan eceran pada Juni 2025 tumbuh sebesar 2,0 persen (yoy), serta sektor konsumsi barang tahan lama seperti otomotif dan elektronik yang cenderung meningkat.

    Di sisi lain, ia mengingatkan sektor industri manufaktur secara keseluruhan masih menghadapi tekanan, tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Juli 2025 yang masih di zona kontraksi di level 49,2, meski membaik dari bulan sebelumnya di level 46,9.

    Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia periode kuartal II-2025 pada Selasa, 5 Agustus 2025.

    Sumber : Antara

  • Ekonom memproyeksikan ekonomi RI tetap tumbuh solid di kuartal II-2025

    Ekonom memproyeksikan ekonomi RI tetap tumbuh solid di kuartal II-2025

    Kondisi ini mencerminkan ketahanan ekonomi domestik yang cukup baik, meskipun tidak optimal.

    Jakarta (ANTARA) – Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II-2025 masih akan relatif solid di tengah kondisi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, terutama dampak Trade War 2.0 serta tensi geopolitik yang meningkat di berbagai kawasan dunia.

    Ia memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,76 persen year on year (yoy) pada kuartal II-2025, atau sedikit melambat dibandingkan pertumbuhan sebesar 4,87 persen (yoy) pada kuartal I-2025.

    “Walaupun demikian, angka ini masih mencerminkan kondisi perekonomian yang cukup stabil, meskipun berada sedikit di bawah tren rata-rata 10 tahun terakhir sekitar 5 persen,” ujar Josua saat dihubungi di Jakarta, Senin.

    Secara kuartalan, ia memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 3,68 persen quartal on quartal (qoq) pada kuartal II-2025, atau menunjukkan pola rebound yang didorong oleh pola musiman peningkatan konsumsi masyarakat selama liburan dan aktivitas produksi yang membaik setelah Hari Raya Idul Fitri.

    “Kondisi ini mencerminkan ketahanan ekonomi domestik yang cukup baik, meskipun tidak optimal,” ujar Josua.

    Ia memproyeksikan pertumbuhan akan ditopang beberapa sentimen utama; pertama, meningkatnya investasi (PMTB) yang tumbuh 3,71 persen (yoy) didorong oleh pemulihan sektor konstruksi dan real estate, tercermin dari kenaikan konsumsi semen dan impor barang modal, terutama mesin dari AS yang kini terbebas dari tarif impor.

    Kedua, pemulihan belanja pemerintah yang kembali tumbuh positif sebesar 1,78 persen (yoy) akibat percepatan realisasi anggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), khususnya periode Juni 2025.

    Ketiga, meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara yang turut mendukung ekspor jasa, khususnya sektor pariwisata, meskipun perdagangan barang masih tertekan oleh konflik perdagangan internasional.

    Ia melanjutkan, beberapa sektor yang akan menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025, di antaranya sektor konstruksi dan properti yang menunjukkan pemulihan signifikan, tercermin dari kenaikan Gross Fixed Capital Formation (GFCF) hingga 3,71 persen, didukung kuat oleh peningkatan konsumsi semen.

    Kemudian, sektor perdagangan ritel terpantau membaik dengan penjualan eceran pada Juni 2025 tumbuh sebesar 2,0 persen (yoy), serta sektor konsumsi barang tahan lama seperti otomotif dan elektronik yang cenderung meningkat.

    Di sisi lain, ia mengingatkan sektor industri manufaktur secara keseluruhan masih menghadapi tekanan, tercermin dari Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Juli 2025 yang masih di zona kontraksi di level 49,2, meski membaik dari bulan sebelumnya di level 46,9.

    Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi Indonesia periode kuartal II-2025 pada Selasa, 5 Agustus 2025.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rapor Ekonomi 4 Tahun Terakhir, Bagaimana Nasib Kuartal II/2025?

    Rapor Ekonomi 4 Tahun Terakhir, Bagaimana Nasib Kuartal II/2025?

    Bisnis.com, JAKARTA – Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal 2/2025 pada Selasa (5/8/2025). Banyak ekonom memproyeksikan bahwa kinerja ekonomi kuartal II/2025 akan melambat baik year on year maupun q to q.

    Proyeksi perlambatan ekonomi tersebut terjadi sejumlah faktor mulai dari pelemahan daya beli, industri yang belum bergeliat, dan banyaknya pengangguran. Perlambatan ekonomi pada kuartal II/2025 dan realisasi kuartal I/2021 yang juga belum sesuai ekspektasi itu menjadi peringatan dini bagi pemerintah terkait dengan kinerja perekonomian Indonesia sampai akhir tahun mendatang.

    Dalam catatan Bisnis, sejak kuartal II/2021 – kuartal II/2024, ekonomi Indonesia selalu berada di atas 5%. Meski di atas 5%, ekonomi Indonesia terus mengalami penyusutan selama 4 tahun terakhir.

    Pada tahun 2021, misalnya, realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal mencapai 7,07%. Pertumbuhan tinggi pada kuartal 2021/2021 itu terjadi karena baseline tahun sebelumnya yang sangat rendah akibat pandemi Covid-19.

    Namun demikian, sejak tahun 2022, realisasi pertumbuhan ekonomi pada kuartal II berangsur menciut. Pada waktu itu, ekonomi hanya tumbuh di angka 5,44%. Angka itu terus menurun pada kuartal II/2023 menjadi 5,17%. Puncaknya, pada kuartal II/2024 pertumbuhan ekonomi tersisa di angka 5,02%.

    Tren perlambatan ekonomi kuartal II selama 4 tahun terakhir itu dipicu oleh sejumlah faktor. Kalau menilik data BPS, stagnasi kinerja manufaktur menjadi salah satu pemicu. Sebagai contoh pada kuartal II/2024, misalnya, kontribusi manufaktur ke PDB masih di bawah angka 20%. Angkanya sebesar 18,52%. Selain itu penurunan harga komoditas juga memicu penurunan kontribusi sektor pertambangan dari angka 10,49% pada kuartal II/2023 menjadi 8,78%.

    Selain kontribusi manufaktur, dari sisi pengeluaran, pada waktu itu ada penurunan kontribusi investasi yang direpresentasikan dari pembentukan modal tetap bruto yang tercatat dari 27,92% menjadi 27,89%. Belanja pemerintah juga demikian dari 7,43% menjadi 7,31%. Semua data itu terjadi pada kuartal II/2023 dan kuartal II/2024.

    Lalu Bagaimana dengan Kuartal II/2025?

    Berdasarkan proyeksi dari 30 ekonom maupun lembaga yang dihimpun Bloomberg, median atau nilai tengah pertumbuhan PDB pada tiga bulan kedua 2025 adalah 4,8% (YoY). Estimasi tertinggi yakni pertumbuhan hingga 5% sedangkan terendah 4,6%.

    Proyeksi pertumbuhan tertinggi yakni 5% diramalkan oleh Gareth Leather dari Capital Economics, Ltd. dan Enrico Tanuwidjaja dari PT Bank UOB Indonesia.

    Sementara itu, terendah diramalkan oleh Moody’s Analytics Singapore, Jeemin Bang, serta Fakhrul Fulvian dari Trimegah Securites juga memproyeksikan pertumbuhan hanya 4,65%.

    Bank-bank BUMN seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) memproyeksikan pertumbuhan sebesar 4,79% atau setara dengan nilai rata-rata konsensus para ekonom tersebut. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) meramalkan pertumbuhan lebih tinggi 4,9%.

    Adapun Office of Chief of Economist Bank Mandiri, Andry Asmoro memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 4,79% YoY atau sedikit lebih rendah dari kuartal sebelumnya yaitu 4,87% YoY.

    Sementara itu, pertumbuhan diperkirakan sebesar 3,71% secara kuartalan atau quarter-on-quarter (QoQ) pada kuartal II/2025 sehingga bangkit dari kontraksi -0,98% QoQ pada kuartal I/2025.

    Andry menyebut pertumbuhan yang lebih rendah secara tahunan pada kuartal II/2025 dipicu oleh di antaranya konsumsi rumah tangga karena faktor musiman dan perilaku belanja yang selektif. Kendati demikian, bantuan sosial (bansos) pemerintah yang ditingkatkan bisa membantu perlambatan konsumsi masyarakat.

    Sementara itu, aktivitas investasi atau PMTB diperkirakan tumbuh sederhana. Itu terlihat dari penjualan semen dan turunnya penyaluran dana pinjaman yang produktif.

    “Hal ini menunjukkan laju pembentukan modal yang lebih terukur karena pendekatan wait and see dari sektor usaha,” ungkap Andry melalui keterangan tertulis, Senin (4/8/2025).

    Sementara itu, belanja pemerintah diperkirakan pulih pada tiga bulan kedua 2025 dari kontraksi pada kuartal sebelumnya. Kendati total belanja masih lamban, namun belanja pemerintah untuk pegawia dan bansos diramal naik.

    Adapun ekspor diperkirakan meningkat pada kuartal II/2025 yang dipicu oleh strategi frontloading penerapan tarif impor 19% oleh Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, frontloading merujuk pada kegiatan belanja yang dimajukan awal tahun.

    Strategi belanja itu diperkirakan membantu kinerja net ekspor di tengah perdagangan global yang masih lemah.

    Pelambatan Konsumsi

    Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede memproyeksikan pertumbuhan PDB kuartal II/2025 yang lebih rendah yakni hanya 4,76% YoY. Pertumbuhan itu lebih rendah dari capaian kuartal I/2025 yaitu 4,87%. Konsumsi yang melambat lagi-lagi diperkirakan menjadi momoknya.

    Menurut Josua, ada empat faktor kunci yang memengaruhi perlambatan konsumsi. Pertama, konsumsi rumah tangga yang diproyeksikan menurun menjadi 4,77% dari sebelumnya 4,89% karena berkurangnya efek musiman dari periode Ramadan dan Idulfitri.

    Momentum tersebut sebagian besar sudah terserap pada kuartal I/2025 sehingga memiliki efek terbatas pada kuartal setelahnya. Indikator yang memperkuat kondisi tersebut antara lain penurunan penjualan eceran.

    Kedua, survei konsumen Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa meski Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juni 2025 berada pada level optimis sebesar 117,8, ekspektasi penghasilan konsumen ke depan sedikit menurun, tercatat dari 135,4 menjadi 133,2.

    “Penurunan ekspektasi penghasilan ini juga menandakan bahwa konsumen mulai waspada dan memperketat pengeluaran, serta memilih menabung lebih sedikit dan mengalokasikan lebih banyak proporsi pendapatan mereka untuk konsumsi harian (rasio konsumsi terhadap pendapatan naik dari 74,3% menjadi 75,1%),” terangnya kepada Bisnis, Senin (4/8/2025).

    Ketiga, efisiensi belanja pemerintah juga diakui memengaruhi konsumsi rumah tangga. Josua menyoroti bahwa efisiensi belanja pemerintah dapat mengurangi stimulasi terhadap perekonomian domestik, terutama dari sisi permintaan.

    “Ketika pemerintah mengurangi belanja, khususnya di sektor-sektor yang langsung berhubungan dengan konsumsi masyarakat, seperti bantuan sosial, subsidi energi, atau insentif lainnya, maka daya beli masyarakat berpotensi terdampak secara negatif,” terangnya.

  • Konsensus Ekonom Ramal Ekonomi RI Kuartal II/2025 Tumbuh 4,8%, Ini Alasannya

    Konsensus Ekonom Ramal Ekonomi RI Kuartal II/2025 Tumbuh 4,8%, Ini Alasannya

    Bisnis.com, JAKARTA — Ekonomi Indonesia sepanjang April-Juni 2025 atau kuartal II/2025 diproyeksikan tumbuh hanya 4,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Konsumsi rumah tangga hingga efisiensi pemerintah diperkirakan menjadi faktor pemicu pertumbuhan tersebut. 

    Berdasarkan proyeksi dari 30 ekonom maupun lembaga yang dihimpun Bloomberg, median atau nilai tengah pertumbuhan PDB pada tiga bulan kedua 2025 adalah 4,8% (YoY). Estimasi tertinggi yakni pertumbuhan hingga 5% sedangkan terendah 4,6%.

    Proyeksi pertumbuhan tertinggi yakni 5% diramalkan oleh Gareth Leather dari Capital Economics, Ltd. dan Enrico Tanuwidjaja dari PT Bank UOB Indonesia. 

    Sementara itu, terendah diramalkan oleh Moody’s Analytics Singapore, Jeemin Bang, serta Fakhrul Fulvian dari Trimegah Securites juga memproyeksikan pertumbuhan hanya 4,65%. 

    Bank-bank BUMN seperti PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) memproyeksikan pertumbuhan sebesar 4,79% atau setara dengan nilai rata-rata konsensus para ekonom tersebut. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. (BBNI) meramalkan pertumbuhan lebih tinggi 4,9%. 

    Adapun Office of Chief of Economist Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II/2025 sebesar 4,79% YoY atau sedikit lebih rendah dari kuartal sebelumnya yaitu 4,87% YoY. 

    Sementara itu, pertumbuhan diperkirakan sebesar 3,71% secara kuartalan atau quarter-on-quarter (QoQ) pada kuartal II/2025 sehingga bangkit dari kontraksi -0,98% QoQ pada kuartal I/2025. 

    Andry menyebut pertumbuhan yang lebih rendah secara tahunan pada kuartal II/2025 dipicu oleh di antaranya konsumsi rumah tangga karena faktor musiman dan perilaku belanja yang selektif. Kendati demikian, bantuan sosial (bansos) pemerintah yang ditingkatkan bisa membantu perlambatan konsumsi masyarakat. 

    Sementara itu, aktivitas investasi atau PMTB diperkirakan tumbuh sederhana. Itu terlihat dari penjualan semen dan turunnya penyaluran dana pinjaman yang produktif.

    “Hal ini menunjukkan laju pembentukan modal yang lebih terukur karena pendekatan wait and see dari sektor usaha,” ungkap Andry melalui keterangan tertulis, Senin (4/8/2025). 

    Sementara itu, belanja pemerintah diperkirakan pulih pada tiga bulan kedua 2025 dari kontraksi pada kuartal sebelumnya. Kendati total belanja masih lamban, tetapi belanja pemerintah untuk pegawai dan bansos diramal naik.

    Adapun ekspor diperkirakan meningkat pada kuartal II/2025 yang dipicu oleh strategi frontloading penerapan tarif impor 19% oleh Amerika Serikat (AS). Seperti diketahui, frontloading merujuk pada kegiatan belanja yang dimajukan awal tahun. Strategi belanja itu diperkirakan membantu kinerja net ekspor di tengah perdagangan global yang masih lemah.

    Sementara itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede memproyeksikan pertumbuhan PDB kuartal II/2025 yang lebih rendah yakni hanya 4,76% YoY. Pertumbuhan itu lebih rendah dari capaian kuartal I/2025 yaitu 4,87%. Konsumsi yang melambat lagi-lagi diperkirakan menjadi momoknya. 

    Menurut Josua, ada empat faktor kunci yang memengaruhi perlambatan konsumsi. Pertama, konsumsi rumah tangga yang diproyeksikan menurun menjadi 4,77% dari sebelumnya 4,89% karena berkurangnya efek musiman dari periode Ramadan dan Idulfitri. 

    Momentum tersebut sebagian besar sudah terserap pada kuartal I/2025 sehingga memiliki efek terbatas pada kuartal setelahnya. Indikator yang memperkuat kondisi tersebut antara lain penurunan penjualan eceran. 

    Kedua, survei konsumen Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa meski Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Juni 2025 berada pada level optimis sebesar 117,8, ekspektasi penghasilan konsumen ke depan sedikit menurun, tercatat dari 135,4 menjadi 133,2. 

    “Penurunan ekspektasi penghasilan ini juga menandakan bahwa konsumen mulai waspada dan memperketat pengeluaran, serta memilih menabung lebih sedikit dan mengalokasikan lebih banyak proporsi pendapatan mereka untuk konsumsi harian [rasio konsumsi terhadap pendapatan naik dari 74,3% menjadi 75,1%],” terangnya kepada Bisnis, Senin (4/8/2025). 

    Ketiga, efisiensi belanja pemerintah juga diakui memengaruhi konsumsi rumah tangga. Josua menyoroti bahwa efisiensi belanja pemerintah dapat mengurangi stimulasi terhadap perekonomian domestik, terutama dari sisi permintaan. 

    “Ketika pemerintah mengurangi belanja, khususnya di sektor-sektor yang langsung berhubungan dengan konsumsi masyarakat, seperti bantuan sosial, subsidi energi, atau insentif lainnya, maka daya beli masyarakat berpotensi terdampak secara negatif,” terangnya. 

    Adapun pada sisi ketenagakerjaan, serapan dari PMTB atau investasi meningkat pada kuartal II/2025 yakni 665.764 orang dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 594.104 orang. Meski demikian, peningkatan investasi khususnya penanaman modal asing (PMA) yang mencapai Rp477,7 triliun pada kuartal II/2025 tidak serta-merta memberikan dampak signifikan terhadap konsumsi domestik secara cepat. 

    Sebab, sifat investasi yang cenderung membutuhkan waktu untuk terealisasi secara penuh ke dalam daya beli masyarakat. Selanjutnya, inflasi Juli 2025 yang mencapai 2,37% YoY juga dinilai memengaruhi konsumsi masyarakat. 

    Secara keseluruhan, perlambatan konsumsi rumah tangga pada kuartal II-2025 lebih disebabkan oleh kombinasi efek musiman yang berkurang, peningkatan kehati-hatian konsumen, dampak dari efisiensi belanja pemerintah yang menahan stimulus fiskal, serta tekanan inflasi pada kelompok barang tertentu. 

    “Sehingga, perlambatan konsumsi rumah tangga tersebut menjadi tantangan utama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada periode tersebut,” pungkas Josua. 

  • Inflasi Inti Tumbuh Lambat, Inflasi Umum Melesat: Sinyal Daya Beli Belum Pulih

    Inflasi Inti Tumbuh Lambat, Inflasi Umum Melesat: Sinyal Daya Beli Belum Pulih

    Bisnis.com, JAKARTA — Tren melambatnya inflasi komponen inti secara tahunan sejak Mei 2025 di tengah inflasi umum yang justru melesat, menjadi sinyal dan bukti bahwa daya beli masyarakat saat ini belum sepenuhnya pulih. 

    Sekalipun pemerintah klaim bahwa daya beli mulai membaik, tetapi data berkata lain. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi inti pada Juli 2025 sebesar 2,32% year on year (YoY). Angka tersebut lebih rendah dari periode Juni yang sebesar 2,37% maupun Mei yang sebesar 2,40%, bahkan dari April yang mencapai 2,50%. 

    Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) M. Rizal Taufikurahman menilai pelemahan inflasi inti secara tahunan dalam tiga bulan terakhir menunjukkan indikasi mulai melemahnya tekanan permintaan domestik struktural. 

    Padahal di awal tahun, inflasi inti sempat tinggi karena dorongan konsumsi pascaLebaran, kenaikan harga jasa, serta ekspektasi pasar terhadap insentif fiskal dan kebijakan upah. 

    “Namun ketika inflasi inti justru turun di saat yang sama inflasi umum merangkak naik, ini menandakan bahwa tekanan harga yang terjadi bukan bersumber dari penguatan permintaan, tapi dari sisi suplai yang menegang terutama pangan dan energi,” ujarnya, Minggu (3/8/2025). 

    Menurutnya, kondisi ini mencerminkan terjadinya divergensi daya beli masyarakat bawah tertekan oleh kenaikan harga kebutuhan pokok, sementara kelompok menengah ke atas justru cenderung menahan konsumsi barang dan jasa non-esensial. Artinya, konsumsi masyarakat berjalan, tapi tidak mengarah pada perbaikan kualitas permintaan. 

    Rizal mengkhawatirkan apabila tren ini berlanjut, maka dalam jangka pendek kita justru menghadapi risiko dual pressure alias tekanan ganda. Di mana harga pangan tetap tinggi, tetapi daya dorong konsumsi domestik mulai melemah.

    Pasalnya, BPS menunjukkan bahwa inflasi secara umum yang sebesar 2,37%, naik dari 1,87% pada bulan sebelumnya, lebih diakibatkan meningkatnya harga pangan, bukan pulihnya daya beli yang tercermin dalam komponen inti. 

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menuturkan bahwa secara keseluruhan, tren pelemahan inflasi inti menunjukkan bahwa daya beli masyarakat dan aktivitas ekonomi domestik masih berada di bawah potensinya.

    “[Ini] mencerminkan moderasi pada daya beli masyarakat serta pelemahan aktivitas konsumsi rumah tangga secara umum, yang dapat disebabkan oleh perlambatan ekonomi domestik atau sentimen konsumen yang menurun,” jelasnya. 

    Menurutnya, kondisi ini menciptakan dinamika yang menarik, sementara inflasi umum naik karena faktor jangka pendek yang cenderung bergejolak dan bersifat sementara, inflasi inti justru turun karena melambatnya permintaan yang lebih struktural.

    Kebijakan Moneter jadi Kompleks 

    Baik Rizal maupun Josua sepakat bahwa situasi ini menjadi sinyal kompleks bagi kebijakan moneter. Di satu sisi, inflasi umum yang naik menahan ruang pelonggaran suku bunga. Namun, di sisi lain, inflasi inti yang turun bisa terbaca sebagai tanda bahwa fundamental permintaan belum sepenuhnya pulih. 

    Maklum, tugas Bank Indonesia selain menjaga stabilitas rupiah, ikut serta dalam menjaga inflasi sesuai dalam sasaran 1,5%—3,5%.

    Rizal dari Indef melihat skenario “suku bunga tinggi dalam waktu lebih lama” (higher for longer) berpeluang dipertahankan, sambil menanti kestabilan harga dari sisi pasokan khususnya pangan dan energi sebelum otoritas mengambil langkah akomodatif.

    Sementara Josua menyampaikan bahwa situasi ini menandakan ruang pelonggaran kebijakan moneter masih terbuka, terutama jika tekanan harga yang berasal dari komponen volatile dapat dikendalikan secara efektif. 

    Oleh karena itu, kebijakan makroekonomi harus fokus pada peningkatan konsumsi domestik melalui stimulus fiskal maupun pelonggaran moneter secara selektif. 

    “Sekaligus memastikan bahwa tekanan harga dari sisi suplai, terutama bahan pangan, tetap terkendali guna menghindari tekanan inflasi umum yang berlebihan,” tuturnya. 

  • Rupiah Terpuruk Lagi Hari Ini 1 Agustus 2025, Tembus Level Segini – Page 3

    Rupiah Terpuruk Lagi Hari Ini 1 Agustus 2025, Tembus Level Segini – Page 3

    Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) turun 23 poin atau 0,14% menjadi 16.428 pada perdagangan Kamis (31/7/2025). Rupiah sempat di posisi 16.405 per dolar AS.

    Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menuturkan, pelemahan rupiah dipengaruhi sikap pasar yang mencerna keputusan kebijakan terbaru Federal Reserve (The Fed) dalam Federal Open Market Committee (FOMC) Juli 2025.

    “Seperti yang diantisipasi, Fed mempertahankan suku bunga kebijakan tidak berubah pada 4,25-4,50 persen,” kata dia seperti dikutip dari Antara di Jakarta, Kamis.

    The Fed merevisi prospek ekonomi AS dengan mencatat data terbaru menunjukkan moderasi dalam aktivitas ekonomi selama paruh pertama tahun ini, bergeser dari karakterisasi pertumbuhan sebelumnya sebagai “solid”.

    Dalam FOMC, Christopher Waller dan Michelle Bowman selaku dua pejabat The Fed mendukung penurunan suku bunga pada Juli 2025 yang sempat meningkatkan ekspektasi pasar atas potensi penurunan suku bunga pada September 2025.

    Namun, rilis data ekonomi AS baru-baru ini mendominasi sentimen pasar. Perekonomian AS tumbuh 3,0 persen quartal to quartal (QtQ) pada kuartal kedua 2025, melampaui perkiraan konsensus sebesar 2,4 persen QtQ.

    “Kekuatan pasar tenaga kerja juga berlanjut, dengan laporan Automatic Data Processing (ADP) menunjukkan peningkatan lapangan kerja yang lebih besar dari perkiraan, yaitu 104 ribu pada Juli 2025,” kata Josua.

     

  • Konsensus Ekonom Ramal Inflasi Juli 2025 Naik, Surplus Neraca Dagang Menyusut

    Konsensus Ekonom Ramal Inflasi Juli 2025 Naik, Surplus Neraca Dagang Menyusut

    Bisnis.com, JAKARTA — Konsensus ekonom Bloomberg menunjukkan estimasi kinerja indeks harga konsumen/IHK akan melanjutkan kenaikan Inflasi pada Juni 2025. Sementara itu, surplus neraca perdagangan barang diramal semakin susut.

    Berdasarkan proyeksi dari 29 ekonom yang Bloomberg himpun, median atau nilai tengah IHK Juli 2025 sebesar 2,26% year-on-year (YoY). Estimasi tertinggi di level 2,44% dan terendah di posisi 1,97%. 

    Secara bulanan atau month-to-month (MtM), median dari konsensus 18 ekonom meramalkan inflasi sebesar 0,23%. Melihat ramalan tersebut, seluruhnya menunjukkan bahwa inflasi akan semakin tinggi pada awal semester II/2025 ini. 

    Sebelumnya, inflasi pada Juni 2025 tercatat senilai 1,87% YoY dan 0,19% MtM. Dengan tingkat inflasi sepanjang tahun berjalan atau year-to-date (YtD) sebesar 1,38%, lebih rendah dari target pemerintah dan Bank Indonesia 2,5% ±1%. 

    Kepala Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Andry Asmoro, termasuk dalam ekonom yang disurvei Bloomberg, memperkirakan IHK tahunan akan naik menjadi 2,44% YoY, yang mencerminkan kontribusi lebih tinggi dari komponen musiman dan terkait pangan.

    Pada basis bulanan, inflasi diperkirakan akan meningkat sebesar 0,38% MtM, lebih tinggi dari 0,19% MtM yang tercatat pada bulan sebelumnya.

    “Peningkatan inflasi pada Juli terutama didorong oleh harga pangan yang lebih tinggi, dengan kenaikan signifikan pada beras, cabai rawit, bawang merah, dan daging ayam,” ujarnya, Kamis (31/7/2025). 

    Di samping itu, ada dorongan inflasi akibat efek musiman dari pengeluaran pendidikan karena pembayaran uang sekolah biasanya dilakukan pada bulan Juli.

    Komponen pendidikan diperkirakan akan naik sedikit di atas kenaikan musiman tahun lalu, berkontribusi pada kenaikan inflasi umum. 

    Sementara harga bahan bakar nonsubsidi juga mengalami penyesuaian naik pada awal Juli 2025, sejalan dengan peningkatan mobilitas selama periode sekolah. 

    Sementara itu, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede memproyeksikan inflasi umum akan naik ke level 2,35% YoY yang dipengaruhi oleh efek basis rendah dari tahun sebelumnya. 

    Inflasi inti secara tahunan diproyeksi sedikit menurun menjadi 2,35% YoY, didukung oleh membaiknya kondisi global serta penguatan rupiah, namun secara bulanan meningkat akibat kenaikan musiman biaya pendidikan. 

    “Dengan meredanya ketegangan geopolitik dan risiko perang dagang, serta stabilnya nilai tukar rupiah, inflasi diprediksi tetap terkendali dalam target Bank Indonesia 1,5–3,5% hingga akhir tahun,” ungkapnya. 

    Sementara secara bulanan, Josua memandang IHK masih akan terjadi inflasi sebesar 0,29% MtM, lebih tinggi dari Juni 2025 yang sebesar 0,19%. Utamanya didorong oleh lonjakan harga komoditas pangan seperti beras, cabai rawit, dan bawang merah akibat gangguan produksi. 

    Surplus Neraca Dagang Bakal Susut

    Mengacu konsensus Bloomberg, nilai tengah dari 24 ekonom menunjukkan surplus neraca dagang akan mencapai US$3,45 miliar pada Juni 2025, lebih rendah dari Mei 2025 yang senilai US$4,30 miliar.  

    Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk. (BDMN) Hosianna Evalita Situmorang melihat dari sisi eksternal, neraca perdagangan Juni 2025 diperkirakan masih melanjutkan surplus sebesar US$4,20 miliar, memperpanjang tren surplus selama 62 bulan berturut-turut sejak Mei 2020. 

    Ekspor diperkirakan masih tumbuh kuat sebesar 10% YoY, ditopang oleh peningkatan pengiriman produk kelapa sawit, logam dasar, dan komponen elektronik ke AS dan China.

    Sebaliknya, impor hanya tumbuh 5% YoY, mencerminkan pelemahan permintaan domestik serta berlanjutnya kontraksi PMI manufaktur yang masih berada di bawah level 50.

    Adapun, Andry Asmoro memprediksi surplus neraca perdagangan Juni 2025 lebih rendah, yakni akan mencapai US$3,32 miliar. 

    “Hal ini sejalan dengan peningkatan impor dari China, sementara ekspor melambat akibat melemahnya permintaan dari India dan China,” tuturnya, Kamis (31/7/2025). 

    Asmo melihat hal tersebut tecermin dari data Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan dan Kpler (aplikasi pelacakan kargo komoditas global) yang menunjukkan bahwa ekspor batu bara Indonesia ke China turun sekitar 30% year on year (YoY), sementara ekspor batu bara ke India turun 14%. 

    Surplus yang susut tersebut juga sejalan dengan ekspor yang meski diperkirakan tumbuh 9,7% YoY, tetapi turun 7,1% month to month (MtM). Penurunan ekspor bulanan mencerminkan aktivitas bisnis yang melemah, seperti terlihat dari penurunan lebih lanjut dalam PMI manufaktur Indonesia. 

    Bisnis mencatat bahwa Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia mengalami kontraksi hingga ke level 46,9 pada Juni 2025, atau menurun sejak 3 bulan terakhir.

    Lebih lanjut, Asmo menyampaikan bahwa penurunan harga baja dan nikel juga diperkirakan akan membebani kinerja ekspor.

    Sementara itu, pertumbuhan ekspor tahunan didukung oleh efek dasar yang rendah dari tahun sebelumnya, serta upaya percepatan impor sebagai respons terhadap kebijakan tarif Trump. 

    Sama halnya dengan impor yang juga diperkirakan tumbuh 5,9% YoY atau kontraksi 3,8% MtM. Pertumbuhan impor tahunan didorong oleh impor mesin dan kendaraan dari China. 

    Menurut Biro Statistik Nasional China, total ekspor China ke Indonesia naik sekitar 8% YoY pada Juni-25. Secara bulanan, impor Indonesia mengalami kontraksi, sejalan dengan penurunan sekitar 30% dalam impor terkait minyak dari Singapura.

    Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan perkembangan IHK periode Juli 2025 dan kinerja ekspor, impor, serta neraca perdagangan Juni 2025 pada Jumat (1/8/2025), mulai pukul 09.00 WIB. 

  • Penjelasan Rosan Soal Investasi Asing Melemah: Persaingan Modal di Global Ketat

    Penjelasan Rosan Soal Investasi Asing Melemah: Persaingan Modal di Global Ketat

    Bisnis.com, JAKARTA — Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala BKPM Rosan P. Roeslani menjelaskan penanaman modal asing yang mengalami kontraksi pada kuartal II/2025, secara tahunan maupun kuartalan, sebagai akibat dari persaingan penanaman modal yang ketat di level global. 

    Di samping tensi geopolitik, kebijakan-kebijakan yang penuh kejutan dari Presiden AS Donald Trump turut memberikan efek terhadap realisasi penanaman modal asing (PMA) di Indonesia. 

    “Memang persaingan untuk menarik investasi ini semakin meningkat semakin tinggi, saat bersamaan banyak kebijakan-kebijakan, termasuk AS yang ingin menarik investasinya kembali ke AS,” ungkapnya kepada wartawan di kantornya, Selasa (29/7/2025). 

    Rosan menuturkan bahwa kepastian aturan dan kebijakan dari pemerintah masih menjadi salah satu tantangan dalam merealisasikan investasi asing. Sekalipun Indonesia kaya dengan mineral, perkebunan, pertanian, dan laut, tetapi investor kerap mempermasalahkan aturan yang tidak pasti.

    Sejumlah strategi Rosan lakukan, mulai dari perbaikan aturan hingga sosialisasi kepada para investor. Termasuk memperbaiki kepastian hukum yang menjadi keluhan investor. 

    Sementara dalam rangka meningkatkan kepercayaan dan keyakinan untuk investasi di Indonesia, pemerintah menggunakan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) untuk ikut serta investasi.

    “Saya akui memang enggak mudah meyakinkan mereka [investor asing] untuk menjaga agar investasi masuk. Dengan berbagai macam usaha yang kami lakukan, baik dari peningkatan kebijakan, manusia, dan potensinya, prosesnya, ya, Alhamdulillah ini bisa [tetap masuk],” tutur Bos Danantara tersebut.

    Indonesia Masih Jadi Pilihan Investasi

    Data BKPM menunjukkan bahwa PMA kuartal II/2025 yang mencapai Rp202,2 triliun ini kontraksi sebesar 6,95% secara tahunan atau (year on year/YoY) dan 12,24% secara kuartalan atau (quarter to quarter/QtQ).

    Pada kuartal sebelumnya, PMA tercatat melesat ke posisi Rp230,4 triliun. Sementara pada kuartal II/2024 lalu, investasi langsung dari asing yang masuk ke Tanah Air senilai Rp217,3 triliun.

    Meski demikian, investor domestik justru mencatat pertumbuhan yang signifikan sehingga target tahun ini masih dalam jalurnya. Pada kuartal II/2025, penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai Rp275,5 triliun atau tumbuh 30,5% (YoY) dan 17,3% (QtQ).

    Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai meski terjadi kontraksi, investasi secara umum tumbuh sebesar 11% YoY mencapai Rp942,9 triliun pada kuartal II/2025 di tengah situasi ketidakpastian global dapat dianggap sebagai kinerja yang baik. 

    “Meskipun terjadi penurunan FDI, capaian ini menunjukkan bahwa Indonesia masih dianggap menarik, terutama oleh investor domestik yang mampu mengompensasi penurunan investasi asing,” ujarnya, Selasa (29/7/2025). 

    Kinerja realisasi investasi ini justru menegaskan bahwa ekonomi domestik memiliki resiliensi yang cukup kuat di tengah dinamika eksternal yang kurang kondusif. 

    Meskipun demikian, Josua tetap mengingatkan bahwa pemerintah harus mewaspadai bahwa ketidakpastian global yang berkelanjutan dapat berdampak negatif jika tidak ada langkah-langkah mitigasi kebijakan dari pemerintah untuk mempertahankan daya tarik investasi asing.