Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat laju inflasi pada November 2025 mengalami perlambatan. Padahal, secara historis, inflasi kerap meningkat pada akhir tahun akibat permintaan yang meningkat.
BPS mencatat inflasi November 2025 melambat ke level 0,17% secara bulanan (month to month/MtM), lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 0,28% MtM.
Pola ini berbanding terbalik dengan kondisi pada 2019 sampai dengan 2024. Selama itu, grafik inflasi bulanan konsisten menanjak dalam tiga bulan terakhir setiap tahunnya.
Misalnya pada tahun lalu, inflasi bergerak dari 0,08% MtM pada Oktober 2024 menjadi 0,30% MtM pada November 2024, dan terus mendaki ke 0,44% MtM pada Desember 2024.
Terakhir kali, perlambatan inflasi pada November terjadi pada 2018. Kala itu, BPS mencatat inflasi sebesar 0,27% atau lebih rendah sedikit dari 0,28% pada bulan sebelumnya atau Oktober 2018.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menilai anomali perlambatan inflasi pada November 2025 bukan merupakan sinyal permintaan ekonomi yang tajam, melainkan indikasi normalisasi harga pangan dan energi yang justru menguntungkan daya beli masyarakat.
“Penurunan inflasi November 2025 menurut saya lebih mencerminkan kombinasi normalisasi harga pangan dan energi serta permintaan domestik yang masih terkendali, bukan sinyal bahwa ekonomi tiba-tiba melemah tajam,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (1/12/2025).
Josua memaparkan, faktor utama yang membuat inflasi November tampak anomali dibanding pola historis adalah penurunan harga pada sejumlah komoditas pangan yang biasanya justru menjadi pendorong kenaikan harga jelang libur akhir tahun.
Secara bulanan, terjadi penurunan harga pada daging ayam ras, beras, cabai merah, telur ayam ras, hingga kentang. Perinciannya, daging ayam ras menjadi penahan utama dengan memberikan andil deflasi sebesar 0,03%.
Selanjutnya, komoditas beras dan cabai merah masing-masing menyumbang andil deflasi 0,02%. Adapun, telur ayam ras dan kentang turut berkontribusi menahan laju inflasi dengan andil deflasi masing-masing sebesar 0,01%.
Menurut Josua, penurunan harga itu mengindikasikan pasokan pangan pokok relatif memadai berkat panen raya dan operasi pasar yang agresif.
“Di sisi lain, tidak ada penyesuaian besar pada harga yang diatur pemerintah seperti BBM dan tarif listrik, sehingga komponen energi hanya mencatat inflasi tahunan sekitar 0,34%,” tambahnya.
Dampak ke Pertumbuhan Ekonomi
Lantas, apakah inflasi yang melambat ini akan menahan laju pertumbuhan ekonomi kuartal IV/2025? Josua justru memproyeksikan dampak yang positif.
Dia menjelaskan bahwa inflasi yang landai akan menjaga pendapatan riil masyarakat sehingga ruang konsumsi menjadi lebih longgar, terutama bagi kelompok berpendapatan rendah.
“Dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi triwulan IV/2025 kemungkinan justru cenderung positif bagi daya beli. Inflasi yang lebih rendah membuat kenaikan pendapatan nominal rumah tangga lebih banyak tercermin sebagai kenaikan pendapatan riil,” jelas Josua.
Dia juga menyoroti adanya dukungan stimulus fiskal di akhir tahun, termasuk bantuan sosial (bansos) tunai skala besar yang diproyeksikan mencapai Rp30 triliun pada kuartal terakhir tahun ini. Bansos, sambungnya, akan menyuntikkan tambahan permintaan ke sektor perdagangan dan jasa di akar rumput.
Dari sisi perilaku konsumen, Josua mencatat adanya sikap kehati-hatian (precautionary motive). Data Survei Konsumen Oktober 2025 menunjukkan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) naik ke level 121,2, namun porsi pendapatan yang ditabung juga meningkat dari 13,7% menjadi 14,3%.
“Artinya, konsumen merasa lebih optimis ke depan tetapi masih berhati-hati dalam belanja saat ini, cenderung memperkuat tabungan,” tuturnya.
Meskipun demikian, indikator sisi produksi menunjukkan penguatan. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia naik ke level 53,3 pada November, tertinggi sejak Februari, yang mencerminkan peningkatan pesanan domestik.
Dengan kombinasi faktor tersebut, Josua optimistis pertumbuhan ekonomi pada akhir tahun akan tetap terjaga. “Yang lebih mungkin terjadi, inflasi yang rendah akan membantu menahan perlambatan konsumsi rumah tangga di tengah ketidakpastian global, sehingga pertumbuhan triwulan IV tetap bertahan di kisaran sekitar 5%,” tutupnya.