Tag: Johanis Tanak

  • Johanis Tanak Ingatkan Pejabat Pemda Tak Kirim WA Porno: Kita Sadap, Ketahuan Semua Itu
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Juli 2025

    Johanis Tanak Ingatkan Pejabat Pemda Tak Kirim WA Porno: Kita Sadap, Ketahuan Semua Itu Nasional 10 Juli 2025

    Johanis Tanak Ingatkan Pejabat Pemda Tak Kirim WA Porno: Kita Sadap, Ketahuan Semua Itu
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    )
    Johanis Tanak
    mengingatkan para pejabat Pemerintah Daerah (Pemda) untuk tidak mudah mengirimkan pesan singkat bersifat pornografi melalui WhatsApp (WA).
    Sebab, kata dia, hal tersebut mudah diketahui KPK saat dilakukan penyadapan.
    “Bapak-bapak jangan coba-coba kirim-kirim WA dengan mohon maaf yang porno-porno, begitu bapak-bapak kita sadap, terangkut semua ini. Ini bapak porno rupanya. Itu ketahuan semua oleh teknologi IT yang kita miliki,” kata Johanis dalam Rapat Koordinasi KPK-Pemerintah Daerah di Kawasan Ancol, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
    Meski demikian, Johanis mengatakan, para
    pejabat pemda
    tak perlu khawatir terkait penyadapan tersebut.
    Dia mengatakan, penyidik hanya melakukan penyadapan kepada pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
    “Bapak-bapak tidak usah takut untuk menggunakan HP, sepanjang HP digunakan untuk yang benar maka KPK tidak akan melakukan tindakan apa pun,” ujarnya.
    Lebih lanjut, Johanis mengatakan, meski KPK berkantor di Jakarta, pengawasan terhadap tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia tetap bisa dilakukan.
    Dia mencontohkan “operasi senyap” KPK di Medan, Sumatera Utara, yang menjerat Kepala Dinas PUPR non-aktif Sumut, Topan Ginting.
    “Kalau tidak benar, tidak akan pernah itu di Medan ditangkap, tidak akan pernah di Papua itu ditangkap oleh KPK dalam OTT,” tuturnya.
    “Jangan mengatakan bahwa KPK itu hanya ada di Jakarta. KPK itu ada di mana-mana,” ucap dia.
    Rapat Koordinasi KPK-Pemerintah Daerah ini dihadiri oleh tujuh gubernur di antaranya, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung; Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi; Gubernur Banten Andra Soni; Gubernur Lampung Rahmat Mirzani; Gubernur Bangka Belitung Hidayat Arsani; dan Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru.
    Dalam acara tersebut KPK bersama tujuh gubernur menandatangani komitmen Anti-Korupsi.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Johanis Tanak Ingatkan Pejabat Pemda Tak Kirim WA Porno: Kita Sadap, Ketahuan Semua Itu
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        10 Juli 2025

    6 Johanis Tanak Marahi Pejabat Pemda yang Ngaku Gaji Tak Cukup: Berhenti Saja, Pak, Masih Banyak yang Mau Nasional

    Johanis Tanak Marahi Pejabat Pemda yang Ngaku Gaji Tak Cukup: Berhenti Saja, Pak, Masih Banyak yang Mau
    Tim Redaksi

    JAKARTA, KOMPAS.com

    – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (
    KPK
    )
    Johanis Tanak
    marah di hadapan para pejabat Pemerintah Daerah (Pemda) karena mengetahui para pejabat merasa tak cukup dengan
    gaji
    yang diterimanya.
    Peristiwa tersebut terjadi saat Johanis berpidato dalam Rapat Koordinasi KPK-Pemerintah Daerah di Kawasan Ancol, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
    Awalnya, Johanis mengaku heran tersangka kasus korupsi banyak berasal dari
    pejabat Pemda
    .
    Kemudian, dia menanyakan terkait gaji yang diterima para pejabat tersebut.
    “Berapa anggota DPRD saya (KPK) tangkap, dan saya tahan. Itu karena apa? Permintaan-permintaan (suap) semua. Apa tidak cukup dengan gaji yang sudah diberikan?” tanya Johanis.
    “Tidak cukup,” jawab beberapa pejabat daerah.
    “Tidak cukup ya? Tidak cukup?” tanya Johanis lagi.
    “Kalau bapak-bapak merasa tidak cukup, berhenti saja jadi pegawai. Tidak usah jadi pegawai, masih ada yang lain yang suka,” kata Johanis dengan nada tinggi.
    Johanis merasa heran para pejabat Pemda yang merasa tidak cukup dengan gajinya.
    Padahal, kata dia, pejabat Pemda diberikan sejumlah fasilitas seperti mobil, rumah, dan anggaran.
    “Kalau bapak bilang tidak cukup, bapak sudah diberikan mobil, bapak sudah diberikan rumah, bapak sudah diberikan anggaran dan lain-lain, masih banyak rakyat kita yang jelata. Jangan bapak cuma melihat ke atas, tapi lihatlah ke bawah,” ujarnya.
    Johanis mengingatkan kehadiran para pejabat di daerah adalah sebagai pemimpin untuk membangun, bukan untuk memperkaya diri sendiri.
    “Kenapa bapak-bapak memaksakan diri untuk duduk juga di situ dengan gaji yang rendah? Kalau tidak mau mundur, nanti yang lain banyak yang mau yang suka, Pak,” tuturnya.
    Johanis menyoroti hasil penelitian KPK terkait serangan fajar yang marak terjadi di daerah.
    Dia menyindir pejabat yang menggunakan praktik serangan fajar untuk menduduki posisi di Pemda, namun saat ini mengeluhkan gaji kecil.
    “Makanya jangan pakai-pakai serangan fajar untuk menduduki jabatan itu. Pakai iman, integritas yang berkaitan dengan iman,” kata Tanak.
    Pernyataan Johanis tersebut langsung disambut tepuk tangan dari seluruh pegawai dan pejabat Pemda yang hadir.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Soroti Hukuman Bui Setya Novanto Disunat, Penasihat Hukum: Harusnya Bebas

    KPK Soroti Hukuman Bui Setya Novanto Disunat, Penasihat Hukum: Harusnya Bebas

    Bisnis.com, JAKARTA – Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyoroti dikabulkannya peninjauan kembali (PK) terpidana kasus proyek KTP elektronik atau e-KTP, Setya Novanto. Pada putusan PK tersebut, Mahkamah Agung (MA) mengurangi masa pidana penjara Setya Novanto menjadi 12,5 tahun. 

    Pria yang akrab disapa Setnov itu sebelumnya dijatuhkan pidana penjara selama 15 tahun. Mantan Ketua DPR itu telah menjalani pidana penjara di Lapas Sukamiskin, Bandung, sejak 2018 lalu. Artinya, MA menyunat masa hukuman Setnov selama 2,5 tahun. 

    KPK pun menghormati putusan PK yang dikeluarkan oleh MA, meski pada akhirnya masa pidana badan Setnov dikurangi. Wakil Ketua KPK Fitroh Rohcahyanto menyebut tidak ada upaya hukum lanjutan atas putusan MA tersebut. 

    “Karena memang tidak ada upaya hukum PK yang diberikan kepada KPK sebagai bentuk keberatan atas putusan PK dimaksud,” ujar Fitroh kepada wartawan, dikutip Minggu (6/7/2025). 

    Sementara itu, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak pun menyampaikan bahwa tidak seorang pun bisa mengintervensi hakim dalam melaksanakan tugasnya. Meski demikian, dia menilai perlunya menggugah perasaan hakim bahwa tindak pidana korupsi adalah kejahatan yang sangat luar biasa. 

    Menurut Johanis, yang berlatar belakang sebagai jaksa sebagaimana Fitroh, sudah selayaknya koruptor diganjar dengan hukuman setinggi-tingginya atau seberat-beratnya. 

    Dia mencontohkan Hakim Agung Artidjo Alkostar yang dulunya kerap memperberat hukuman bagi para koruptor yang mengajukan kasasi maupun PK. 

    “Hal seperti itu yg perlu dilakukan agar orang takut melakukan tindak pidana korupsi yang sangat meresahkan rakyat selaku pemilik uang yang dipungut oleh negara,” ujarnya kepada wartawan.

    Kuasa Hukum: Seharusnya Bebas

    Meski demikian, penasihat hukum Setnov, Maqdir Ismail menilai putusan PK dari MA yang menyunat hukuman penjara kliennya 2,5 tahun tidaklah cukup. Advokat senior itu menilai Setnov seharusnya diputus bebas. 

    “Menurut hemat saya itu tidak cukup seharusnya bebas,” ujarnya kepada wartawan beberapa waktu lalu. 

    Maqdir menilai Setnov seharusnya tidak bisa dihukum dengan pasal kerugian negara atau pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). 

    Hal itu lantaran Setnov saat itu merupakan anggota Komisi 3 DPR, bukan Komisi 2 yang menjadi mitra pemerintah dalam pembahasan proyek pengadaan e-KTP. 

    Maqdir mengakui bahwa kliennya itu terbukti menerima uang berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap. Namun, itu berarti dia harusnya dijerat dengan pasal gratifikasi atau suap, bukan kerugian keuangan negara. 

    “Dia dianggap terbukti menerima uang, tapi karena tidak ada jabatan terkait pengadaan, maka seharusnya dia terima uang sebagai gratifikasi atau suap,” lanjutnya. 

    Adapun sebelumnya MA dalam putusannya mengabulkan PK Setnov dan memangkas hukuman pidana penjarannya menjadi 12,5 tahun, dari awalnya 15 tahun. Berdasarkan perhitungan Bisnis, Setnov sudah menjalani masa kurungan sekitar 7 tahun lamanya. 

    Merujuk pada salinan putusan perkara No.32 PK/Pid. Sus/2020, PK itu diputus oleh Majelis Hakim sejak 4 Juni 2025. Pada amar putusannya, Majelis Hakim menyatakan Setnov terbukti melanggar pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang (UU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Majelis Hakim juga memangkas hukuman kepada Setnov menjadi 12,5 tahun. 

    “Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara selama 12 tahun dan 6 (enam) bulan,” demikian bunyi amar putusan hakim. 

    Kemudian, Setnov dijatuhi pidana denda Rp500 juta subsidair 6 bulan kurungan serta uang pengganti US$7,3 juta yang telah dikompensasi sebesar Rp5 miliar. Kompensasi uang pengganti itu telah dititipkan Setnov ke penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk setoran pengganti kerugian keuangan negara. 

    Dengan demikian, uang pengganti kerugian keuangan negara yang masih harus dibayarkan yakni Rp49 miliar subsidair 2 tahun penjara. 

    Pria yang juga pernah menjabat Ketua Umum Partai Golkar itu juga dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk menduduki jabatan publik selama 2,5 tahun terhitung sejak selesainya pemidanaan. 

    Proses PK Setnov memakan waktu 1.984 hari, sedangkan diputus dalam 1.956 hari. Perkara itu diputus oleh Majelis Hakim yang terdiri dari Hakim Ketua Surya Jaya, serta dua Hakim Anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono. 

    Berdasarkan catatan Bisnis, Setnov sebelumnya dijatuhi hukuman pidana penjara selama 15 tahun dan denda Rp500 juta. Dia diketahui telah mendapatkan remisi pada Idulfitri 2023 dan 2024.

  • Komisi III DPR Bakal Gelar RDPU Revisi KUHAP Minggu Depan

    Komisi III DPR Bakal Gelar RDPU Revisi KUHAP Minggu Depan

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi III DPR RI dijadwalkan akan menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) ihwal revisi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana alias RKUHAP minggu depan.

    Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman memastikan RDPU tentang Revisi KUHAP yang akan dimulai pada 17 Juni 2025 siap menyerap aspirasi dari berbagai pihak.

    “Kami akan menerima aspirasi dari Mahasiswa UGM, Mahasiswa FH UI, Mahasiswa FH Unila, Mahasiswa FH UBL, Program Pasca Sarjana Hukum Universitas Borobudur, LPSK, Peradi hingga beberapa orang ahli pidana ternama,” tuturnya dalam keterangan tertulis, dikutip Selasa (10/6/2025).

    Dia melanjutkan pihaknya berjanji akan terus membuka diri atas masukan berbagai elemen masyarakat terkait revisi KUHAP.

    “Tujuan kami bukan sekedar memenuhi asas partisipasi bermakna, tetapi juga kami ingin memperkaya RUU KUHAP agar benar- benar berkualitas,” tegasnya.

    Sebagaimana diketahui, saat ini revisi KUHAP ditunda pembahasannya oleh DPR hingga ke masa sidang berikutnya. Pada April lalu, Habiburokhman juga berjanji ada transparansi dan partisipasi publik.

    Dia membantah tudingan proses penyusunan RKUHAP dilakukan secara tertutup. Dia mengaku dan berjanji bahwa pembahasan revisi itu selalu dilakukan secara transparan dengan menerima masukan-masukan publik.

    “Justru ini undang-undang yang paling partisipatif dan transparan. Kita lakukan rapat-rapat terbuka, bahkan live streaming,” ujarnya dalam keterangan resmi, Jumat (18/4/2025).

    Masukan KPK

    Teranyar, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak ikut memaparkan lima aspek yang harus masuk ke dalam revisi. Pertama, syarat pendidikan minimal penyelidik dan penyidik. 

    “Sehingga seluruh aparat penegak hukum, berlatar belakang pendidikan S1 Ilmu Hukum. Saat ini Penyelidik dan Penyidik tidak disarankan berpendidikan S1 Ilmu Hukum, sedangkan Advokat, Jaksa dan Hakim sudah disyaratkan harus S1 Ilmu Hukum,” tuturnya.

    Kedua, menghilangkan penyidik pembantu. Ketiga,pengaturan yang jelas ihwal tenggang waktu penyidikan supaya ada kepastian hukum. 

    Keempat, pengaturan jelas dan tegas atas tenggan waktu penanganan perkara saat tahap penuntutan. Kelima, pengaturan mengenai perlindungan terhadap pelapor dugaan tindak pidana ke penegak hukum.

  • Pro Kontra Revisi KUHAP, Soal Penyidik hingga Isu Larangan Meliput Sidang

    Pro Kontra Revisi KUHAP, Soal Penyidik hingga Isu Larangan Meliput Sidang

    Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah dan DPR sedang membahas amandemen Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. Perubahan KUHAP akan mengubah lanskap tata cara beracara termasuk proses pemidanaan dalam suatu perkara.

    Ketua DPR Puan Maharani menyebut parlemen tidak akan tergesa-gesa dalam membahas revisi KUHAP. Dia menjanjikan agar semua masukan dari seluruh elemen masyarakat turut didengar. 

    Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, legislator nantinya juga akan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset setelah revisi KUHAP dituntaskan. 

    “Setelah itu baru kita akan masuk ke perampasan aset. Bagaimana selanjutnya, ya itu juga kita akan minta masukkan pandangan dari seluruhnya,” ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (7/5/2025).

    Sementara itu, pada Maret 2025 sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengungkap pihaknya menargetkan bakal menuntaskan revisi KUHAP tidak melebihi waktu dua kali masa sidang.

    Komisi III DPR menargetkan pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP tidak memakan waktu hingga melebihi dua masa sidang. 

    Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menyebut, komisi hukum DPR optimistis pembahasan revisi KUHAP bisa dibahas tanpa waktu yang lama. Apalagi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru bakal mulai berlaku pada 2 Januari 2026.

    “Kalau bisa ya jangan lebih dari dua kali masa sidang. Jadi kalau dua kali masa sidang Insyaallah sih siap ya teman-teman ya,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/3/2025).

    Masukan KPK

    Adapun Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menyampaikan sejumlah masukan untuk Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. 

    Lembaga antirasuah itu tetap berpedoman dengan KUHAP, meski juga berpegang kepada Undang-Undang (UU) No 19/2019 tentang KPK dengan azas lex specialis dalam melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. 

    Menurut Johanis, terdapat banyak hal yang perlu diperhatikan pada revisi KUHAP. Dia menyebut pedoman menyelenggarakan hukum acara pidana itu saat ini merupakan produk Orde Lama yang masih digunakan pada era pascareformasi. 

    “Sekarang ini dalam era reformasi perkembangan dari berbagai aspek kehidupan semakin meningkat, seiring dengan hal tersebut. Sudah saatnya kita mengubah UU KUHAP untuk mengikuti perkembangan zaman saat ini dan ke depan,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Minggu (1/6/2025). 

    Johanis menyebut setidaknya ada lima aspek yang harus masuk ke dalam revisi. Pertama, syarat pendidikan minimal penyelidik dan penyidik. Pimpinan KPK berlatar belakang jaksa itu mengatakan ada ketimpangan syarat minimal pendidikan antara penyelidik dan penyidik dengan advokat, jaksa serta hakim. Penyelidik dan penyidik, yang biasanya berlatar belakang dari Kepolisian, tidak disarankan berpendidikan S1 Ilmu Hukum. 

    Oleh sebab itu, dia menilai penyelidik dan penyidik di berbagai lembaga penegak hukum harus berpendidikan serendah-rendahnya S1 Ilmu Hukum.

    “Sehingga seluruh aparat penegak hukum, berlatar belakang pendidikan S1 Ilmu Hukum. Saat ini Penyelidik dan Penyidik tidak disarankan berpendidikan S1 Ilmu Hukum, sedangkan Advokat, Jaksa dan Hakim sudah disyaratkan harus S1 Ilmu Hukum,” tuturnya.

    Kedua, menghilangkan penyidik pembantu. Ketiga, pengaturan yang jelas ihwal tenggang waktu penyidikan supaya ada kepastian hukum. 

    “Begitu juga halnya tenggang waktu proses pemeriksaan persidangan, harus diatur dengan jelas dan tegas agar ada kepastian hukum bagi pencari keadilan,” pesannya. 

    Keempat, pengaturan jelas dan tegas atas tenggan waktu penanganan perkara saat tahap penuntutan. Kelima, pengaturan mengenai perlindungan terhadap pelapor dugaan tindak pidana ke penegak hukum.

    “Dan lain-lain masih banyak lagi yang perlu diatur,” jelasnya.

    Sorotan AJI 

    Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Nany Afrida menyoroti ada usulan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang pihaknya anggap dapat menganggu kebebasan pers.

    Dia menyebut, pasal yang dimaksudnya adalah aturan yang membuat sidang pengadilan tertutup alias tidak ada liputan langsung atau jika ditayangkan harus ada izin dari ketua pengadilan terlebih dahulu.

    “Kita merasa itu mengganggu kerja-kerja pers yang harusnya transparan, kita harus tahu apa yang terjadi di dalam [persidangan],” katanya seusai menghadiri pertemuan dengan Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (8/4/2025).

    Sebab itu, Nany bersama anggota-anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendesak DPR untuk mencopot bahkan kalau bisa menghapuskan usulan tersebut.

    Menurut dia, sidang pengadilan seperti korupsi hingga pembunuhan berencana merupakan sebuah kepentingan umum, sehingga masyarakat berhak tahu proses persidangannya seperti apa.

    “Kecuali kalau seandainya pengadilan tentang kekerasan seksual itu mungkin tertutup dan kita kan punya etika soal itu. Aku rasa wartawan-wartawan pasti paham dan mereka pasti nggak akan meliput. Tapi yang berhubungan dengan kepentingan umum, ya pasti kita harus liput,” urainya.

    Sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia Sura Advokat Indonesia (Peradi SAI), Juniver Girsang mengusulkan agar revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimasukkan pasal soal tidak ada liputan langsung dalam proses persidangan..

    Juniver mengusulkan dalam Pasal 253 ayat 3 supaya ada penegasan dari makna publikasi proses persidangan. Menurut dia, harus ada pelarangan liputan langsung dalam persidangan dan ini perlu disetujui.

    “Kenapa ini harus kita setuju? Karena orang dalam persidangan pidana kalau di liputannya langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling mempengaruhi, bisa nyontek, itu kita setuju itu,” ujarnya, di Gedung DPR RI pada Senin (23/3/2025).

  • Revisi KUHAP Usulan KPK: Penyidik Minimal S1 Hukum, Ada Perlindungan Pelapor

    Revisi KUHAP Usulan KPK: Penyidik Minimal S1 Hukum, Ada Perlindungan Pelapor

    Bisnis.com, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menyampaikan sejumlah masukan untuk Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP. 

    Lembaga antirasuah itu tetap berpedoman dengan KUHAP, meski juga berpegang kepada Undang-Undang (UU) No 19/2019 tentang KPK dengan azas lex specialis dalam melakukan penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan. 

    Menurut Johanis, terdapat banyak hal yang perlu diperhatikan pada revisi KUHAP. Dia menyebut pedoman menyelenggarakan hukum acara pidana itu saat ini merupakan produk Orde Lama yang masih digunakan pada era pascareformasi. 

    “Sekarang ini dalam era reformasi perkembangan dari berbagai aspek kehidupan semakin meningkat, seiring dengan hal tersebut. Sudah saatnya kita mengubah UU KUHAP untuk mengikuti perkembangan zaman saat ini dan ke depan,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Minggu (1/6/2025). 

    Johanis menyebut setidaknya ada lima aspek yang harus masuk ke dalam revisi. Pertama, syarat pendidikan minimal penyelidik dan penyidik. Pimpinan KPK berlatar belakang jaksa itu mengatakan ada ketimpangan syarat minimal pendidikan antara penyelidik dan penyidik dengan advokat, jaksa serta hakim. Penyelidik dan penyidik, yang biasanya berlatar belakang dari Kepolisian, tidak disarankan berpendidikan S1 Ilmu Hukum. 

    Oleh sebab itu, dia menilai penyelidik dan penyidik di berbagai lembaga penegak hukum harus berpendidikan serendah-rendahnya S1 Ilmu Hukum.

    “Sehingga seluruh aparat penegak hukum, berlatar belakang pendidikan S1 Ilmu Hukum. Saat ini Penyelidik dan Penyidik tidak disarankan berpendidikan S1 Ilmu Hukum, sedangkan Advokat, Jaksa dan Hakim sudah disyaratkan harus S1 Ilmu Hukum,” tuturnya.

    Kedua, menghilangkan penyidik pembantu. Ketiga, pengaturan yang jelas ihwal tenggang waktu penyidikan supaya ada kepastian hukum. 

    “Begitu juga halnya tenggang waktu proses pemeriksaan persidangan, harus diatur dengan jelas dan tegas agar ada kepastian hukum bagi pencari keadilan,” pesannya. 

    Keempat, pengaturan jelas dan tegas atas tenggan waktu penanganan perkara saat tahap penuntutan. Kelima, pengaturan mengenai perlindungan terhadap pelapor dugaan tindak pidana ke penegak hukum.

    “Dan lain-lain masih banyak lagi yang perlu diatur,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani menyebut parlemen tidak akan tergesa-gesa dalam membahas revisi KUHAP. Dia menjanjikan agar semua masukan dari seluruh elemen masyarakat turut didengar. 

    Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, legislator nantinya juga akan membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset setelah revisi KUHAP dituntaskan. 

    “Setelah itu baru kita akan masuk ke perampasan aset. Bagaimana selanjutnya, ya itu juga kita akan minta masukkan pandangan dari seluruhnya,” ungkapnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (7/5/2025).

    Sementara itu, pada Maret 2025 sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengungkap pihaknya menargetkan bakal menuntaskan revisi KUHAP tidak melebihi waktu dua kali masa sidang.

    Komisi III DPR menargetkan pembahasan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau KUHAP tidak memakan waktu hingga melebihi dua masa sidang. 

    Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu menyebut, komisi hukum DPR optimistis pembahasan revisi KUHAP bisa dibahas tanpa waktu yang lama. Apalagi, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP yang baru bakal mulai berlaku pada 2 Januari 2026.

    “Kalau bisa ya jangan lebih dari dua kali masa sidang. Jadi kalau dua kali masa sidang Insyaallah sih siap ya teman-teman ya,” ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (20/3/2025). 

  • Isu Politik-Hukum Terkini: Bursa Balon Ketum PP hingga Suap Kemenaker

    Isu Politik-Hukum Terkini: Bursa Balon Ketum PP hingga Suap Kemenaker

    Jakarta, Beritasatu.com – Bursa bakal calon (balon) ketua umum PPP hingga kasus suap pemerasan tenaga kerja asing (TKA) di Kemenaker menjadi dua di antaranya lima isu politik-hukum terkini.

    Tiga berita lainnya yang mendapat banyak perhatian adalah soal usulan KPK agar penyelidik dan penyidik minimal lulusan S-1 hukum,  jenis minuman yang dikonsumsi Presiden Prabowo Subianto saat bersulang dengan Presiden Emmanuel Macron, dan  mengenai gratifikasi nikahan anak pejabat di Kementerian PU.

    Berikut lima isu politik terkini 

    1. Anies hingga Gus Ipul Tak Berminat, Amran Berpeluang Jadi Ketum PPP?

    Satu per satu tokoh eksternal yang sempat muncul dalam bursa bakal calon ketua umum PPP menyatakan tidak berminat untuk mencalonkan diri pada Muktamar PPP 2025. Salah satunya mantan Kasad Dudung Abdurachman.

    “Saya tidak berminat, saya belum mau berpolitik,” kata Dudung kepada wartawan di Jakarta, Kamis (29/5/2025).

    Nama Dudung muncul dalam bursa bakal calon ketua umum PPP bersama Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul. Mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan juga sempat dijagokan. Tetapi, ketiga tokoh itu tidak berminat.

    2. Revisi KUHAP, KPK Usul Penyelidik-Penyidik Minimal Lulusan S-1 Hukum

    Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memuat syarat ketentuan pendidikan bagi penyelidik dan penyidik minimal sarjana ilmu hukum. 

    “Penyelidik dan penyidik harus berpendidikan serendah-rendahnya strata satu (S-1) ilmu hukum, sehingga seluruh aparat penegak hukum, berlatar belakang pendidikan S-1 ilmu hukum,” kata Wakil KPK Johanis Tanak kepada wartawan, Jumat (30/5/2025).

    Menurutnya, saat ini penyelidik dan penyidik tidak disarankan berpendidikan S-1 ilmu hukum. Sedangkan advokat, jaksa, dan hakim sudah disyaratkan harus S-1 ilmu hukum.

  • KPK Lindungi Kerahasiaan Pelapor Kasus Korupsi – Page 3

    KPK Lindungi Kerahasiaan Pelapor Kasus Korupsi – Page 3

    Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengatur penyelidik dan penyidik minimal harus berpendidikan sarjana ilmu hukum.

    “Penyelidik dan penyidik harus berpendidikan serendah-rendahnya strata satu atau S-1 ilmu hukum sehingga seluruh aparat penegak hukum berlatar belakang pendidikan S-1 ilmu hukum,” ujar Tanak seperti dilansir Antara.

    Ia menjelaskan bahwa hal tersebut perlu diatur karena saat ini baik penyelidik maupun penyidik tidak disarankan berpendidikan S-1 ilmu hukum, sedangkan advokat, jaksa, dan hakim sudah disyaratkan demikian.

    Selain itu, Tanak mengusulkan agar RUU KUHAP menghilangkan peran penyidik pembantu karena dinilai sudah tidak diperlukan lagi.

    “Tenggang waktu penyidikan juga harus diatur dengan jelas dan tegas supaya ada kepastian hukum. Begitu juga halnya tenggang waktu proses pemeriksaan persidangan harus diatur dengan jelas dan tegas agar ada kepastian hukum bagi pencari keadilan,” katanya.

    Ia juga mengusulkan agar pada tahap penuntutan sudah diatur dengan jelas dan tegas mengenai tenggang waktu penanganan perkara.

    Terakhir, Tanak mengusulkan perlu adanya pengaturan mengenai perlindungan terhadap pelapor.

    Menurut ia, hal-hal tersebut diusulkan agar diatur dalam RUU KUHAP karena aturan yang berlaku saat ini merupakan produk era orde lama.

    “Sekarang ini pada era reformasi, perkembangan dari berbagai aspek kehidupan semakin meningkat. Seiring dengan hal tersebut, sudah saatnya kita mengubah UU KUHAP untuk mengikuti perkembangan zaman saat ini dan ke depan,” jelasnya.

    Saat ini RUU KUHAP sedang dibahas oleh Komisi III DPR RI.

     

  • KPK Dorong RUU KUHAP Atur Penyidik Minimal Sarjana Hukum – Page 3

    KPK Dorong RUU KUHAP Atur Penyidik Minimal Sarjana Hukum – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengusulkan agar Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mengatur penyelidik dan penyidik minimal harus berpendidikan sarjana ilmu hukum.

    “Penyelidik dan penyidik harus berpendidikan serendah-rendahnya strata satu atau S-1 ilmu hukum sehingga seluruh aparat penegak hukum berlatar belakang pendidikan S-1 ilmu hukum,” ujar Tanak seperti dilansir Antara.

    Ia menjelaskan bahwa hal tersebut perlu diatur karena saat ini baik penyelidik maupun penyidik tidak disarankan berpendidikan S-1 ilmu hukum, sedangkan advokat, jaksa, dan hakim sudah disyaratkan demikian.

    Selain itu, Tanak mengusulkan agar RUU KUHAP menghilangkan peran penyidik pembantu karena dinilai sudah tidak diperlukan lagi.

    “Tenggang waktu penyidikan juga harus diatur dengan jelas dan tegas supaya ada kepastian hukum. Begitu juga halnya tenggang waktu proses pemeriksaan persidangan harus diatur dengan jelas dan tegas agar ada kepastian hukum bagi pencari keadilan,” katanya.

     

  • Prabowo Dukung RUU Perampasan Aset, KPK: Pemulihan Kerugian Negara Bisa Maksimal – Halaman all

    Prabowo Dukung RUU Perampasan Aset, KPK: Pemulihan Kerugian Negara Bisa Maksimal – Halaman all

     

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mendukung sikap politik Presiden Prabowo Subianto terkait Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset.

    Menurut Tanak, apabila pengesahan RUU Perampasan Aset bisa segera dilaksanakan, maka bisa memperkuat kerja KPK sebagai lembaga negara yang diberi tugas dan kewenangan untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia.

    Termasuk mengembalikan kerugian keuangan negara yang ditimbulkan dari perbuatan para koruptor.

    “Menurut saya, bila RUU tentang Perampasan Aset telah disahkan, maka pemulihan kerugian keuangan negara (Asset Recovery) yang timbul sebagai akibat dari perbuatan pelaku korupsi bisa dilakukan dengan maksimal,” kata Tanak dalam keterangannya, Senin (5/5/2025).

    “Sehingga kerugian keuangan negara dapat pulih kembali dan dapat dipergunakan untuk kepentingan pembangunan negara,” sambung pimpinan berlatar belakang jaksa ini.

    Berdasarkan pengalamannya sebagai jaksa, kata Tanak, pengembalian kerugian keuangan negara melalui UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), masih belum maksimal dan masih banyak yang belum dapat dikembalikan. 

    “Sampai dengan saat ini, kerugian keuangan negara yang dituntut berdasarkan UU No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, masih banyak yang belum dapat dikembalikan, termasuk saat berlakunya UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,” kata dia.

    Sebelumnya, dalam peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day 2025, Presiden Prabowo Subianto mengungkap komitmennya dalam memberantas korupsi. Yakni dengan mendukung penuh pengesahan RUU Perampasan Aset.

    Hal ini disampaikan Prabowo dalam pidatonya di hadapan ribuan buruh di lapangan Monas, Kamis (1/5/2025).

    “Saudara-saudara, dalam rangka juga pemberantasan korupsi, saya mendukung Undang-Undang Perampasan Aset. Saya mendukung!” ujar Prabowo di atas panggung.

    Kemudian, Prabowo mengajak para buruh untuk meneruskan perlawanan terhadap kasus korupsi di Indonesia.

    “Bagaimana? Kita teruskan perlawanan terhadap koruptor?” tanya Prabowo yang selanjutnya dijawab setuju oleh para buruh yang memadati Lapangan Monas.

    Prabowo juga tegas akan menyikat maling negara dan tidak boleh ada kompromi terhadap para koruptor yang tidak mau mengembalikan uang hasil kejahatannya.

    “Enak aja, udah nyolong, enggak mau kembalikan aset. Gue tarik aja deh itu,” kata Prabowo, yang langsung disambut teriakan antusias dari massa buruh, “Setuju!”

    Untuk diketahui, RUU Perampasan Aset sempat masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) DPR RI tahun 2023 dan 2024. Namun hingga masa sidang DPR berakhir, RUU ini tidak juga dibahas. 

    Di tahun 2025, RUU Perampasan Aset ini terpental dan tidak masuk dalam Prolegnas 2025.