Tag: Johanis Tanak

  • Gubernur Riau Abdul Wahid Ancam Copot Jabatan jika Tak Diberi ‘Jatah Preman’ Rp7 Miliar

    Gubernur Riau Abdul Wahid Ancam Copot Jabatan jika Tak Diberi ‘Jatah Preman’ Rp7 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa Gubernur Riau Abdul Wahid mengancam mencopot jabatan pejabat di PUPR PKPP Riau jika tak memberikan fee sebesar Rp7 miliar.

    Pembagian komitmen fee itu atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Mulanya alokasi penambahan anggaran dari Rp71,6 miliar menjadi 177,4 miliar, kenaikan terjadi Rp106 miliar. 

    Fee mulanya diberikan 2,5% untuk penambahan anggaran tersebut setelah Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau, Ferry Yunanda bertemu dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP untuk membahas fee bagi Abdul Wahid.

    Ferry melaporkan hasil pertemuan ke Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, M. Arief Setiawan yang merupakan representasi Abdul Wahid untuk meminta kenaikan fee sebesar 5% atau 7 miliar.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Rabu (5/11/2025).

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. Dari uang tersebut, atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan, melalui Arief, agar Ferry untuk mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar.

    Atas perintah Arief, uang tersebut didistribusikan untuk driver pribadinya sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300 juta.

    Pada November 2025, pengepulan yang dilakukan oleh Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, yang diantaranya dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp450 juta serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid. Sehingga, total penyerahan pada Juni – November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar.

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudraa DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” ujar Johanis.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Selanjutnya, terhadap tiga tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Selasa, 4 November 2025 hingga 23 November 2025. 

    Abdul Wahid ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sedangkan Ferry dan Arief ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.

  • KPK Sebut Gubernur Riau Ancam Copot Kepala UPT jika Tak Setor “Jatah Preman”

    KPK Sebut Gubernur Riau Ancam Copot Kepala UPT jika Tak Setor “Jatah Preman”

    KPK Sebut Gubernur Riau Ancam Copot Kepala UPT jika Tak Setor “Jatah Preman”
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, Gubernur Riau Abdul Wahid yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
    fee
    sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
    KPK
    mengatakan,
    fee
    tersebut diberikan atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
    “Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
    fee
    sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” kata Wakil Ketua KPK
    Johanis Tanak
    , di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    “Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah “
    jatah preman
    ”,” sambung dia.
    Johanis mengatakan, pertemuan untuk menyepakati besaran
    fee
    untuk Abdul Wahid kemudian dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
    Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah
    fee
    untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
    Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
    Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sebesar Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
    Selanjutnya pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
    Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut, didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
    Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
    KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
    Johanis mengatakan, pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan berserta 5 Kepala UPT.
    “Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
    Sementara itu, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
    Johanis mengatakan, KPK menetapkan tiga tersangka dalam perkara pemerasan tersebut yaitu
    Gubernur Riau Abdul Wahid
    , Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur Riau Dani M Nursalam.
    Dia mengatakan, ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20

    hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025.
    “Terhadap saudara AW ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sementara terhadap DAN dan MAS ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK,” ucap dia.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Sebelumnya, KPK menangkap 10 orang dalam operasi senyap di Riau pada Senin (3/11/2025).
    Mereka di antaranya, Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Ferry Yunanda, dan Tata Maulana yang merupakan orang kepercayaan Abdul Wahid.
    Kemudian satu orang lain atas nama Dani M. Nursalam yang merupakan Tenaga Ahli Gubernur Riau Abdul Wahid menyerahkan diri pada Selasa (4/11/2025) petang.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Gubernur Riau Abdul Wahid Tersangka, Diduga Minta Jatah Preman Rp7 Miliar

    Gubernur Riau Abdul Wahid Tersangka, Diduga Minta Jatah Preman Rp7 Miliar

    GELORA.CO – – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus pemerasan. Abdul Wahid diduga mendapatkan ‘jatah preman’ senilai Rp7 miliar.

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yakni saudara AW sebagai Gubernur Riau,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Rabu (4/11/2025).

    Selain Wahid, KPK juga menetapkan Kadis PUPR Riau M Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam sebagai tersangka.

    Kasus ini bermula dari adanya pertemuan antara Sekretaris Dinas PUPR Riau Ferry 

    Mereka membahas pemberian fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5 persen. Fee tersebut terkait penambahan anggaran pada UPT Jalan dan Jembatan wilayah I-VI Dinas PUPR Riau dari Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.

    Ferry lalu melaporkan hasil pertemuan tersebut kepada Kadis PUPR Riau Arief. Arief sebagai representasi Abdul Wahid meminta fee 5 persen atau sekitar Rp7 miliar.

    Para pejabat di PUPR Riau kemudian menjalankan permintaan tersebut. KPK meyakini sudah ada uang Rp4 miliar yang diserahkan dari total permintaan Rp7 miliar tersebut.

    Menurut KPK, ada ancaman pencopotan bagi para pejabat yang tidak mematuhi permintaan itu

  • Korupsi Dinas PUPR Riau, KPK Tetapkan 3 Tersangka

    Korupsi Dinas PUPR Riau, KPK Tetapkan 3 Tersangka

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan tiga orang termasuk Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) karena diduga memeras dan atau melakukan korupsi terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. 

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudara DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Johanis menjalankan bahwa, mulanya disepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 2,5%, sehingga penambahan anggaran yang semulanya Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar, naik Rp106 miliar.

    Kesepakatan awal itu terjadi pada Mei 2025 di salah satu kafe di Kota Pekanbaru antara Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang,

    Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dengan 6 (enam) Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP.

    Hasil pertemuan disampaikan kepada M. Arief Setiawan (MAS) selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau. Arief sebagai representasi Abdul Wahid menaikan fee menjadi 5% atau Rp7 miliar.

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. Dari uang tersebut, atas perintah MAS

    sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan, melalui Arief, Ferry untuk mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar yang akan. Arief kemudian mendistribusikan Rp300 juta untuk driver pribadinya, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh FRY senilai Rp300 juta.

    Pada November 2025, pengepulan yang dilakukan oleh Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, yang diantaranya dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp450 juta serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid. Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah

    dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Selanjutnya, terhadap tiga tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Selasa, 4 November 2025- 23 November 2025. 

    Abdul Wahid ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sedangkan Ferry dan Arief ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.

  • Gubernur Riau Sempat Sembunyi dari Kejaran KPK, Akhirnya Ditangkap di Kafe

    Gubernur Riau Sempat Sembunyi dari Kejaran KPK, Akhirnya Ditangkap di Kafe

    Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengungkap Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) sempat sembunyi dari kejaran penyidik yang hendak menangkapnya. Abdul Wahid akhirnya ditangkap di sebuah kafe di Riau.

    “Tim KPK selanjutnya bergerak mencari saudara AW, yang diduga bersembunyi. Bahwa kemudian, Tim KPK berhasil mengamankan saudara AW di salah satu kafedi Riau,” kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Penyidik KPK juga mengamankan orang kepercayaan Gubernur Riau Abdul Wahid, Tata Maulana alias TM di lokasi yang sama.

    “Tim KPK juga mengamankan saudara TM selaku orang kepercayaan Gubernur Riau di sekitar lokasi,” lanjutnya.

    Sesaat setelah mengamankan Abdul Wahid dan Tata Maulana, secara paralel, tim KPKjuga bergerak melakukan penggeledahan dan menyegel rumah Abdul Wahid di wilayah Jakarta Selatan.

    “Dari hasil penggeledahan tersebut, tim mengamankan sejumlah uang dalam bentuk pecahan asing, yakni 9.000 pound sterling dan USD 3.000 atau jika dikonversi dalam rupiah senilai Rp 800 juta. Sehingga total yang diamankan dari rangkaian kegiatan tangkap tangan ini senilai Rp 1,6 miliar,” pungkasnya.

  • 8
                    
                        Deretan Kontroversi Johannis Tanak, dari OTT “Keliru” hingga Minta Maaf Tangkap Prajurit TNI
                        Nasional

    8 Deretan Kontroversi Johannis Tanak, dari OTT “Keliru” hingga Minta Maaf Tangkap Prajurit TNI Nasional

    Deretan Kontroversi Johannis Tanak, dari OTT “Keliru” hingga Minta Maaf Tangkap Prajurit TNI
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com –
    Nama Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak kembali menjadi sorotan publik setelah berada dalam satu acara dengan saksi kasus dugaan korupsi di bank BUMN.
    Bila ditilik ke belakang, sejak menjabat sebagai pimpinan KPK pada Oktober 2022, Johanis Tanak memang tak sepi dari kontroversi.
    Kompas.com
    mencatat ada sejumlah tindakan eks jaksa senior Kejaksaan Agung itu yang mencuri perhatian, mulai dari ingin meniadakan operasi tangkap tangan (OTT) hingga minta maaf karena KPK menangkap prajurit TNI.
    Kontroversi pertama mencuat ketika Johanis menjalani uji kelayakan dan kepatutan atau
    fit and proper test
    calon pimpinan KPK di DPR RI pada Agustus 2022.
    Dalam forum itu, Johanis menyebut operasi tangkap tangan (OTT) sebagai tindakan yang “keliru” dilakukan lembaga antirasuah.
    Ketika itu, Johannis sempat ditanya oleh salah satu panelis, Meutia Gani, tentang cara pencegahan terhadap korupsi yang besar dan sistemik.
    “Meikarta itu investasi besar. Tapi terhalang oleh satu tindakan, yakni OTT. Yang namanya OTT, operasi adalah kegiatan terencana. Secara hukum, arti tangkap tangan adalah tindak pidana yang terjadi dan ditangkap saat itu juga,” kata dia.
    Oleh karena itu, menurutnya, idealnya KPK memanggil para terduga pelaku tersebut terlebih dahulu.
    Apalagi, kata dia, dibandingkan dengan sekarang yang menangkap, menyidik, dan menahan yang bersangkutan akan menghamburkan uang negara yang begitu banyak.
    “Dalam konteks korupsi, kita ingin jangan sampai uang negara dihambur-hamburkan,” kata dia.
    Setelah selesai wawancara, Tanak pun melayani pertanyaan beberapa awak media yang kembali menyinggung soal OTT yang dimaksudnya tadi.
    Ia menjelaskan, kata OTT yang selama ini digunakan artinya bertentangan.
    Operasi berarti suatu kegiatan yang telah direncanakan, sedangkan tangkap tangan, menurut ilmu hukum, bukan direncanakan, melainkan seketika itu terjadi tindak pidana dilakukan sehingga seketika itu ditangkap.
    “Jadi bukan direncanakan ditangkap sehingga menurut saya secara ilmu hukum itu keliru (penerapan OTT). Idealnya, kita harusnya pahami,” kata dia.
    Kontroversi berikutnya terjadi pada 2023, ketika Dewan Pengawas (Dewas) KPK menjatuhkan sanksi etik kepada Johannis setelah berkomunikasi dengan Kepala Biro (Kabiro) Hukum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Idris Froyoto Sihite.
    Idris Sihite merupakan pihak yang berperkara karena tengah menjadi saksi dugaan korupsi tunjangan kinerja (Tukin) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
    Terkait hal ini, Johannis Tanak mengaku tidak mengetahui bahwa Idris Sihite telah menjadi Plh Dirjen Minerba.
    Sepengetahuannya, Idris Sihite merupakan Kabiro Hukum di Kementerian ESDM.
    “Terus terang, saya berani bersumpah, saya tidak tahu kalau beliau itu sudah jadi Plh Dirjen,” ujar Tanak saat dihubungi
    Kompas.com
    pada 13 April 2023.
    Tanak juga menyebut, saat ia berbalas pesan dengan Idris Sihite pada Februari 2023, surat perintah penyelidikan kasus dugaan korupsi tukin di Kementerian ESDM belum terbit.
    Pada tahun yang sama, nama Johanis kembali mencuat setelah beredar kabar bahwa ia menemui tahanan di Rutan KPK, yakni Dadan Tri Yudianto, mantan Komisaris PT Wika Beton yang merupakan tersangka perantara suap hakim agung.
    Namun, kabar tersebut segera dibantah.
    “Saya tidak lakukan seperti yang diberitakan,” kata Tanak, Kamis (14/9/2023).
    Kontroversi lainnya terjadi ketika KPK menangkap seorang prajurit TNI aktif dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) dugaan suap di lingkungan Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas).
    Prajurit TNI yang ditangkap tersebut adalah Letkol (Adm) Afri Budi Cahyanto yang menjabat sebagai Koordinator Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas (Kabasarnas).
    Saat itu, kata Johanis Tanak, pihaknya menyadari semestinya jika terdapat prajurit TNI yang melakukan korupsi diserahkan ke pihak TNI.
    “Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, ada kelupaan bahwasannya manakala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI,” kata Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jumat (28/7/2023).
    Lebih lanjut, Tanak menyampaikan permintaan maaf kepada Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dan jajarannya karena telah menangkap dan menetapkan prajurit TNI sebagai tersangka.
    Pernyataan maaf itu telah disampaikan dalam audiensi yang digelar KPK dengan sejumlah petinggi Mabes TNI, termasuk Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Marsekal Muda Agung Handoko.
    “Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI atas kekhilafan ini kami mohon dapat dimaafkan,” kata Tanak.
    Belum lama ini, Johannis kembali menuai sorotan setelah hadir dalam sebuah acara bersama saksi kasus dugaan korupsi pengadaan mesin EDC di PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) (Persero).
    Tanak berada dalam satu acara dengan saksi yang sudah diperiksa penyidik, yakni Direktur Utama Dana Pensiun PT BR (Persero), Ngatari.
    Acara itu berlangsung di Jakarta, pada Selasa (7/10/2025).
    Sementara, Ngatari sudah diperiksa KPK terkait kasus pengadaan mesin EDC pada Senin (6/10/2025).
    Juru Bicara KPK Budi Prasetyo memberikan penjelasan terkait peristiwa tersebut.
    Dia mengatakan, posisi Johanis Tanak saat itu sebagai tamu undangan dan narasumber dalam forum terbuka.
    “Pada kegiatan ini, pimpinan diundang sebagai narasumber dalam forum terbuka, baik bersama narasumber lain ataupun peserta,” kata Budi, melalui pesan singkat kepada
    Kompas.com
    , Sabtu (11/10/2025).
    Dia mengatakan, kegiatan yang dihadiri Johanis Tanak adalah edukasi antikorupsi, khususnya kepada pelaku dunia usaha di sektor keuangan.
    “Untuk mengingatkan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip usaha yang berintegritas, dalam rangka mewujudkan iklim bisnis yang bersih dan antikorupsi,” imbuh dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Disorot Bertemu Saksi Dugaan Korupsi, Johanis Tanak: Apanya yang Melanggar

    Disorot Bertemu Saksi Dugaan Korupsi, Johanis Tanak: Apanya yang Melanggar

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak menjadi sorotan karena diduga melakukan pertemuan dengan saksi terkait dugaan korupsi yang ditangani KPK.

    Tudingan yang menyasar dirinya diduga melakukan pertemuan dengan salah satu saksi kasus dugaan korupsi pengadaan mesin electronic data capture (EDC) bank BUMN periode 2020-2024.

    Pertemuan itu terjadi saat Johanis menghadiri acara di Jakarta, Selasa (7/10).

    “Apanya yang melanggar, saya dan tim datang untuk melaksanakan tugas sesuai persetujuan rekan Pimpinan KPK,” kata Johanis Tanak dikonfirmasi, Jumat (10/10).

    Sebab, Pasal 36 Undang-Undang KPK menyatakan bahwa Pimpinan KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani KPK.

    Dalam acara tersebut, Johanis membahas soal membangun ekosistem bisnis bersih. Ia memastikan, kedatangannya ke acara tersebut tidak seorang diri, melainkan bersama pegawai KPK lainnya.

    Pimpinan KPK berlatar belakang Jaksa itu menegaskan, dugaan pelanggaran terjadi bila tidak ada persetujuan dari pimpinan lainnya.

    “Melanggar bila datang tanpa ada kepentingan dinas dan tanpa persetujuan pimpinan. Saya dan tim datang untuk urusan dinas, dan berdasarkan persetujuan pimpinan,” pungkasnya. (fajar)

  • 8
                    
                        Deretan Kontroversi Johannis Tanak, dari OTT “Keliru” hingga Minta Maaf Tangkap Prajurit TNI
                        Nasional

    Wakil Ketua KPK Johanis Tanak Satu Acara dengan Saksi Kasus Mesin EDC Nasional 10 Oktober 2025

    Wakil Ketua KPK Johanis Tanak Satu Acara dengan Saksi Kasus Mesin EDC
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak berada dalam satu acara dengan saksi yang sudah diperiksa penyidik, yakni Direktur Utama Dana Pensiun PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) (Persero), Ngatari.
    Adapun acara itu berlangsung di Jakarta pada Selasa (7/10/2025) dengan tema ‘Leadership with Integrity for Excellent Leader’.
    Ngatari sudah diperiksa KPK terkait kasus pengadaan mesin EDC pada Senin (6/10/2025).
    Pasal 36 UU KPK mengatur larangan pimpinan KPK bertemu secara langsung atau tidak langsung dengan pihak berperkara atau yang terkait. Berikut bunyi pasalnya:
    Pasal 36

    Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi dilarang:

    a. mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun;
    Menanggapi hal tersebut, Juru Bicara KPK Budi Prasetyo mengatakan, Johanis Tanak dalam acara tersebut sebagai narasumber dalam forum terbuka, baik bersama narasumber lain maupun peserta.
    “Pada kegiatan ini Pimpinan diundang sebagai narasumber dalam forum terbuka, baik bersama narasumber lain maupun peserta,” kata Budi dalam keterangannya, Jumat (10/10/2025).
    Budi mengatakan, kegiatan tersebut dilakukan dalam rangka memberikan edukasi antikorupsi, khususnya kepada para pelaku dunia usaha sektor keuangan.
    Dia mengatakan, KPK mengingatkan pentingnya menerapkan prinsip-prinsip usaha yang berintegritas, dalam rangka mewujudkan iklim bisnis yang bersih dan antikorupsi.
    “Mengingat jika kita bicara pemberantasan korupsi, maka selain penindakan, KPK juga terus gencar melakukan upaya-upaya pencegahan, pendidikan, dan koordinasi supervisi. Upaya pemberantasan korupsi ini sekaligus juga mendukung kinerja dunia usaha yang lebih efektif dan efisien,” ujarnya.
    Sebelumnya, KPK menetapkan lima tersangka dalam kasus ini, yakni eks Direktur IT BRI Indra Utoyo, eks Wakil Direktur Utama BRI Catur Budi Harto, eks SEVP Manajemen Aktiva dan Pengadaan BRI Dedi Sunardi, Direktur PT Pasific Cipta Solusi Elvizar, dan petinggi PT Bringin Inti Teknologi Rudi Suprayudi Kartadidjadja.
    “Telah ditemukan bukti permulaan yang cukup terkait adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan EDC Android yang dilakukan secara melawan hukum,” kata Plt Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur Rahayu, di Gedung Merah Putih, Jakarta, (9/7/2025).
    Kasus ini bermula pada tahun 2019 ketika Elvizar beberapa kali bertemu Indra Utoyo dan Catur Budi Harto yang menyepakati agar perusahaan Elvizar akan menjadi vendor pengadaan EDC bekerja sama dengan PT Bringin Inti Teknologi.
    Asep menyebutkan, hal tersebut melanggar aturan karena proses pengadaan barang seharusnya melalui vendor dilakukan dengan cara lelang. “Untuk pengujian ini pun juga tidak dilakukan secara luas, tidak diinformasikan secara luas. Sehingga vendor-vendor lain, merek-merek lain itu tidak bisa mengikutinya,” tutur Asep.
    KPK mengungkapkan, atas kesepakatan itu, Catur Budi menerima Rp 525 juta, sepeda, dan dua ekor kuda dari Elvizar.
    Dedi Sunardi menerima sepeda Cannondale senilai Rp 60 juta dari Elvizar.
    Sementara, Rudi menerima uang sebesar Rp 19,772 miliar sepanjang 2020-2024.
    KPK juga menaksir kerugian negara akibat kasus korupsi tersebut mencapai Rp 744 miliar. “Kerugian keuangan negara yang dihitung dengan metode real cost, sekurang-kurangnya sebesar Rp 744.540.374.314,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Setnov Bebas Bersyarat, Pimpinan KPK: Kami Tak Ikut Campur
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        18 Agustus 2025

    Setnov Bebas Bersyarat, Pimpinan KPK: Kami Tak Ikut Campur Nasional 18 Agustus 2025

    Setnov Bebas Bersyarat, Pimpinan KPK: Kami Tak Ikut Campur
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak mengatakan, proses pemberian bebas bersyarat terhadap terpidana kasus korupsi E-KTP Setya Novanto adalah ranah Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan.
    Dia mengatakan, KPK tak ikut campur dalam proses tersebut.
    “Urusan yang terkait dengan adanya pemberian bebas bersyarat dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan kepada terpidana, termasuk terpidana Setya Novanto, hal tersebut menjadi ranah tugas dan kewenangan dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. KPK tidak ikut campur dengan hal tersebut,” kata Johanis saat dihubungi
    Kompas.com
    , Senin (18/7/2025).
    Johanis mengatakan, sesuai dengan ketentuan UU KPK, tugas dan kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi hanya sebatas melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
    “Setelah semua tugas tersebut dilaksanakan, selesai sudah tugas KPK,” ujarnya.
    Sebelumnya, terpidana kasus korupsi E-KTP Setya Novanto bebas dari Lapas Sukamiskin, Bandung usai mendapatkan program Pembebasan Bersyarat (PB) dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Kementerian Imigrasi).
    “Iya betul, sejak 16 Agustus,” kata Kabag Humas dan Protokol di Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Rika Aprianti saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (17/8/2025).
    Rika mengatakan, pengusulan Program Pembebasan Bersyarat Setya Novanto disetujui oleh Sidang TPP Ditjenpas pada 10 Agustus 2025 untuk direkomendasikan mendapatkan persetujuan lanjutan dari pimpinan.
    Dia mengatakan, persetujuan rekomendasi diberikan bersama 1.000 usulan program integrasi warga binaan seluruh Indonesia lainnya.
    “Dengan pertimbangan telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif, berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 telah memenuhi persyaratan, berkelakuan baik, aktif mengikuti pembinaan, dan telah menunjukkan penurunan risiko,” ujarnya.
    Rika juga mengatakan, berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Setya Novanto telah memenuhi ketentuan telah menjalani 2/3 masa pidana.
    Selain itu, Setya Novanto telah membayar denda sebesar Rp 500.000.000 uang pengganti, dibuktikan dengan surat keterangan LUNAS dari KPK No.B/5238/Eks.01.08/26/08 2025 tanggal 14 Agustus 2025, juga sudah membayar Rp 43.738.291.585 pidana uang pengganti, sisa Rp 5.313.998.118 (subsider 2 bulan 15 hari).
    “Ini sudah diselesaikan berdasarkan ketetapan dari KPK,” ujarnya.
    Berdasarkan hal tersebut, pada 16 Agustus 2025, Setya Novanto dikeluarkan dari Lapas Sukamiskin dengan Program Bersyarat, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Imigrasi dan Pemasyarakatan tanggal 15 Agustus 2025 Nomor PAS-1423 PK.05.03 Tahun 2025.
    “Sejak tanggal 16 Agustus 2025 maka status Setya Novanto berubah dari narapidana menjadi klien pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (Bapas) Bandung, mendapatkan bimbingan dari Pembimbing Kemasyarakatan Bapas Bandung sampai tanggal 1 April 2029,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Sebut Bebasnya Setnov Konsekuensi Hidup Berbangsa, Senang atau tidak Harus Diterima

    KPK Sebut Bebasnya Setnov Konsekuensi Hidup Berbangsa, Senang atau tidak Harus Diterima

    GELORA.CO – Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak menanggapi bebas bersyarat yang diperoleh mantan Ketua DPR RI, Setya Novanto (Setnov), dalam kasus korupsi e-KTP.

    Tanak menegaskan, pemberian bebas bersyarat terhadap Setnov bukan kewenangan KPK. Ia menjelaskan, tugas KPK hanya sebatas melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga mengeksekusi putusan hakim terhadap Setnov.

    “Melakukan penindakan hanya sebatas melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan eksekusi putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Setelah semua tugas tersebut dilaksanakan, selesai sudah tugas KPK,” kata Tanak ketika dihubungi Inilah.com, Minggu (17/8/2025).

    Menurut Tanak, pemberian bebas bersyarat menjadi kewenangan Direktorat Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan (Imipas). Ia menegaskan KPK tidak mencampuri urusan tersebut.

    “Untuk urusan yang terkait dengan adanya pemberian bebas bersyarat kepada terpidana, termasuk terpidana Setya Novanto, hal tersebut menjadi ranah tugas dan kewenangan dari Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. KPK tidak ikut campur dengan hal tersebut,” ujarnya.

    Tanak menambahkan, bebas bersyarat Setnov yang bertepatan dengan momentum HUT ke-80 RI, meski menimbulkan polemik karena dinilai hukuman tidak memberikan efek jera, tetap harus diterima.

    “Ya itu konsekuensi dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada yang senang dengan kebijakan yang dibuat dan ada juga yang tidak senang. Senang atau tidak senang, kita harus tetap menerima, itulah konsekuensi hidup berbangsa dan bernegara,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Setnov dikabarkan sudah bebas bersyarat dari Lapas Sukamiskin, Jawa Barat, pada Sabtu (16/8/2025). Kabar ini dibenarkan oleh Kepala Kanwil Ditjen Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali.

    “Betul. Pak Setnov bebas bersyarat,” kata Kusnali di Jakarta, Minggu (17/8/2025).

    Ia menjelaskan, pembebasan bersyarat itu diberikan setelah adanya putusan peninjauan kembali (PK). Meski bebas, Setnov tetap dikenakan wajib lapor ke Balai Pemasyarakatan (Bapas).

    “Karena beliau setelah dikabulkan peninjauan kembali, 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Dihitung dua pertiganya itu dapat pembebasan bersyarat pada 16 Agustus 2025,” ujarnya.

    Sebagai catatan, Setnov merupakan terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun. Pada 2018, ia divonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider 3 bulan kurungan. Selain itu, ia diwajibkan membayar uang pengganti USD 7,3 juta dikurangi Rp5 miliar yang telah dititipkan ke KPK, subsider 2 tahun penjara. Novanto juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak politik selama 5 tahun setelah menjalani masa pidana.

    Namun, pada Juli 2025, Mahkamah Agung mengabulkan PK Novanto. Hukuman penjara dipotong dari 15 tahun menjadi 12 tahun 6 bulan. Hakim PK juga mengurangi pidana tambahan, yakni pencabutan hak menduduki jabatan publik dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun setelah masa pidana berakhir. Putusan PK itu diketok majelis hakim yang diketuai Hakim Agung Surya Jaya dengan anggota Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono pada 4 Juni 2025.