Tag: Johanis Tanak

  • Deretan Kode Rahasia dan Nyeleneh di Pusaran Kasus Korupsi

    Deretan Kode Rahasia dan Nyeleneh di Pusaran Kasus Korupsi

    Liputan6.com, Jakarta – Dalam kasus korupsi di Indonesia, para pelaku sering kali menggunakan kode atau sandi rahasia untuk menyamarkan transaksi suap atau kegiatan ilegal lainnya. Bentuk katanya beragam, mulai dari istilah sehari-hari, simbol-simbol aneh, hingga nama-nama yang terdengar nyeleneh.

    Penggunaan kode-kode tersebut kerap disisipkan dalam percakapan langsung, baik saat berdiskusi maupun melakukan transaksi terkait tindak korupsi. Tujuannya jelas adalah untuk memperoleh keuntungan sekaligus menghindari pengawasan aparat hukum.

    Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap ada dua kode korupsi dalam kasus proyek di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Pertanahan (PUPR PKPP). Dalam kasus ini, KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka.

    Salah satu kode yang terungkap adalah “jatah preman”. Kode ini muncul ketika Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, M. Arief Setiawan alias MAS, yang bertindak mewakili Abdul Wahid, meminta fee sebesar 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar kepada anak buah.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi persnya, Rabu (5/11/2025).

    Johanis Tanak awalnya menceritakan bahwa pada Mei 2025 terjadi pertemuan disalah satu kafe di Kota Pekanbaru antara Sekretaris PUPR PKPP Riau Ferry Yunanda (FRY) dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP, untuk membahas kesanggupan pemberiaan fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid.

    Besaran fee awalnya 2,5%. Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar (terjadi kenaikan Rp 106 miliar).

    Selanjutnya FRY menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada MAS. Namun MAS yang merepresentasikan AW meminta fee sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah itu, diancam dicopot atau dimutasi.

    Kode kedua adalah 7 batang. Kode ini terungkap ketika dilakukan pertemuan kembali di internal Dinas PUPR untuk menyepakati kenaikan fee menjadi Rp 7 miliar.

    “Selanjutnya, seluruh Kepala UPT Wilayah Dinas PUPR PKPP beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk saudara AW sebesar 5% (Rp 7 miliar). Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode “7 batang”,” lanjut Johanis Tanak.

    Selain dua kode tersebut, sebelumnya sudah banyak kode-kode rahasia yang digunakan oleh pelaku korupsi untuk menyamarkan aksinya. Berikut beberapa kode-kode rahasia yang pernah terungkap:

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar konferensi pers terkait penangkapan Gubernur Riau Abdul Wahid di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/11).

  • KPK: Gubernur Riau Minta ‘Japrem’ dan Peras Anak Buah saat APBD Defisit

    KPK: Gubernur Riau Minta ‘Japrem’ dan Peras Anak Buah saat APBD Defisit

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa pemerasan yang dilakukan Gubernur Riau Abdul Wahid terjadi saat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau sedang mengalami defisit.

    Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur mengatakan beberapa anak buah atau PNS terpaksa menjual sertifikat hingga meminjam ke bank untuk memenuhi keinginan sang Gubernur.

    “Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, jual sertifikat, dan lain-lain,” katanya dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2025) sore.

    Asep merasa prihatin terhadap perkara pemerasan ini. Sebab, dirinya menuturkan sekitar bulan Maret 2025, Abdul Wahid mengumumkan bahwa APBD Riau mengalami defisit Rp1,3 triliun dan terdapat penundaan pembayaran sebesar Rp2,2 triliun.

    “Seharusnya dengan tidak adanya uang, orang kan ini lagi susah nih, nggak ada uang. Jangan dong minta gitu lho. Jangan membebani pegawainya gitu, jangan membebani bawahannya. Tapi ini kan ironi,” ujar Asep.

    Alhasil, anggaran tidak cukup untuk memberikan uang kepada Abdul Wahid sehingga terpaksa melakukan hal tersebut.

    KPK telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus ini, yakni Gubernur Riau Abdul Wahid; Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau M. Arief Setiawan; dan Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur. 

    Mulanya, Ferry selaku Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau bertemu dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP untuk membahas fee bagi Abdul Wahid sebesar 2,5%.

    Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi 177,4 miliar (terjadi kenaikan Rp106 miliar).

    Dia lantas melaporkan hasil pertemuan kepada Arief. Kemudian, Arief yang merupakan representasi Abdul Wahid untuk meminta kenaikan fee sebesar 5% atau 7 miliar. 

    Ferry mulai melakukan pemungutan terhadap Kepala UPT Dinas PUPR PKPP. Pertama pada Juni 2025, Ferry mengumpulkan total Rp1,6 miliar. Atas perintah Arief. Ferry memberikan ‘Japrem’ kepada Abdul Wahid sebesar Rp1 miliar melalui Dani. Sedangkan sisa Rp600 juta diberikan untuk kerabat Arief.

    Pengumpulan kedua dilakukan pada Agustus 2025, di mana Ferry mendapatkan total Rp1,2 miliar. Uang tersebut diberikan untuk sopir Arief sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan Ferry sendiri Rp 300 juta.

    Terakhir, pada November 2025, yang dilakukan oleh Kepala UPT 3 dengan total Rp1,25 miliar. Uang dialirkan ke Abdul Wahid sebesar Rp450 juta melalui Arief dan diduga uang sebesar Rp800 juta langsung diberikan kepada Abdul Wahid..

    “Sehingga total penyerahan pada Juni–November 2025, mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak. 

  • 5
                    
                        Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
                        Nasional

    5 Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid Nasional

    Jatah Preman “Tujuh Batang” Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Setelah rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) di Riau pada Senin (3/11/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid bersama dua orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus pemerasan, pada Rabu (5/11/2025).
    Dua tersangka lain adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
    Gubernur Riau
    Dani M Nursalam.
    Abdul Wahid
    dan dua tersangka ditampilkan di ruang konferensi pers Gedung Merah Putih, Jakarta.
    Abdul Wahid terlihat mengenakan rompi tahanan
    KPK
    dengan tangan diborgol.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    Dalam konferensi pers, KPK juga memamerkan uang senilai Rp 1,6 miliar dalam pecahan dollar AS, poundsterling, dan rupiah yang disita dalam operasi senyap tersebut.
    Johanis mengatakan, kasus ini berawal dari
    Gubernur Riau Abdul Wahid
    yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
    fee
    sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
    KPK mengatakan,
    fee
    tersebut diberikan atas adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
    “Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
    fee
    sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” ujar Johanis.
    “Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” sambung dia.
    Johanis mengatakan, pertemuan yang menyepakati besaran
    fee
    untuk Abdul Wahid dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
    Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah preman untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
    Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
    Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
    Selanjutnya, pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
    Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
    Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
    KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta, serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
    Pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan, berserta 5 Kepala UPT.
    “Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
    Kemudian, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, para Kepala UPT Dinas PUPR PKPP meminjam uang di bank demi memenuhi setoran jatah preman tersebut.
    “Jadi, informasi yang kami terima dari para Kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain,” kata Asep.
    Asep juga mengatakan, uang hasil
    pemerasan
    tersebut digunakan Abdul Wahid untuk melakukan lawatan ke sejumlah negara.
    “Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri. Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tutur dia.
    Adapun ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025 di Rutan KPK.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • 5
                    
                        Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
                        Nasional

    5 Jatah Preman "Tujuh Batang" Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid Nasional

    Jatah Preman “Tujuh Batang” Menjerat Gubernur Riau Abdul Wahid
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Setelah rangkaian operasi tangkap tangan (OTT) di Riau pada Senin (3/11/2025), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid bersama dua orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus pemerasan, pada Rabu (5/11/2025).
    Dua tersangka lain adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
    Gubernur Riau
    Dani M Nursalam.
    Abdul Wahid
    dan dua tersangka ditampilkan di ruang konferensi pers Gedung Merah Putih, Jakarta.
    Abdul Wahid terlihat mengenakan rompi tahanan
    KPK
    dengan tangan diborgol.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    Dalam konferensi pers, KPK juga memamerkan uang senilai Rp 1,6 miliar dalam pecahan dollar AS, poundsterling, dan rupiah yang disita dalam operasi senyap tersebut.
    Johanis mengatakan, kasus ini berawal dari
    Gubernur Riau Abdul Wahid
    yang diwakili Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan mengancam akan mencopot para Kepala UPT, Dinas PUPR PKPP, jika tidak memberikan “jatah preman” atau
    fee
    sebesar 5 persen atau setara Rp 7 miliar.
    KPK mengatakan,
    fee
    tersebut diberikan atas adanya penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.
    “Saudara MAS (M Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid), meminta
    fee
    sebesar 5 persen (Rp 7 miliar). Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya,” ujar Johanis.
    “Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” sambung dia.
    Johanis mengatakan, pertemuan yang menyepakati besaran
    fee
    untuk Abdul Wahid dilaporkan oleh Sekretaris Dinas PUPR PKPP Ferry Yunanda kepada Muhammad Arief Setiawan dengan kode “7 batang”.
    Selanjutnya, KPK menemukan tiga kali setoran jatah preman untuk Abdul Wahid yang terjadi pertama kali pada Juni 2025.
    Ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
    Dari uang tersebut, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp 1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
    Selanjutnya, pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
    Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut didistribusikan untuk drivernya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
    Pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar.
    KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta, serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
    Pada pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan, berserta 5 Kepala UPT.
    “Selain itu, Tim KPK juga mengamankan barang bukti berupa uang tunai sejumlah Rp 800 juta,” tutur dia.
    Kemudian, Abdul Wahid bersama orang kepercayaannya Tata Maulana ditangkap di salah satu kafe di Riau.
    Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, para Kepala UPT Dinas PUPR PKPP meminjam uang di bank demi memenuhi setoran jatah preman tersebut.
    “Jadi, informasi yang kami terima dari para Kepala UPT bahwa mereka uangnya itu pinjam. Ada yang pakai uang sendiri, pinjam ke bank, dan lain-lain,” kata Asep.
    Asep juga mengatakan, uang hasil
    pemerasan
    tersebut digunakan Abdul Wahid untuk melakukan lawatan ke sejumlah negara.
    “Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri. Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tutur dia.
    Adapun ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025 di Rutan KPK.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Abdul Wahid Ditangkap KPK, Wagub SF Hariyanto Ditunjuk Jadi Plt Gubernur Riau

    Abdul Wahid Ditangkap KPK, Wagub SF Hariyanto Ditunjuk Jadi Plt Gubernur Riau

    Bisnis.com, PEKANBARU — Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menindaklanjuti situasi di Pemerintah Provinsi Riau pasca penetapan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam operasi tangkap tangan (OTT).

    Hanya dalam hitungan jam setelah pengumuman resmi KPK pada Rabu (5/11/2025), Kemendagri langsung menerbitkan radiogram bernomor 100.2.1.3/8861/SJ yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi Riau. 

    Dalam surat tersebut, Wakil Gubernur Riau SF Hariyanto secara resmi ditugaskan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau untuk mengambil alih seluruh kewenangan gubernur hingga adanya kebijakan lebih lanjut.

    Penunjukan tersebut ditegaskan dalam radiogram yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal Kemendagri, Tomsi Tohir, atas nama Menteri Dalam Negeri. 

    “Penunjukan Plt Gubernur ini dilakukan untuk memastikan roda pemerintahan dan pelayanan publik di Provinsi Riau tetap berjalan dengan baik,” demikian isi poin penting dalam surat tersebut.

    Langkah cepat ini diambil Kemendagri sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah pusat dalam menjaga stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah, sekaligus memberikan kepastian hukum dan administratif pasca penetapan tersangka terhadap kepala daerah aktif.

    Dengan penugasan tersebut, SF Hariyanto kini resmi memimpin jalannya pemerintahan di Riau sebagai Plt Gubernur, termasuk mengoordinasikan seluruh kegiatan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik di tingkat provinsi.

    Sementara itu, Kemendagri juga menegaskan akan terus memantau perkembangan situasi di Riau serta berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk memastikan proses hukum terhadap Gubernur nonaktif Abdul Wahid berjalan sesuai ketentuan tanpa mengganggu stabilitas pemerintahan daerah.

    Sebelumnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menahan tiga orang termasuk Gubernur Riau Abdul Wahid (AW) karena diduga memeras dan atau melakukan korupsi terkait penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. 

     “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudara DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat konferensi pers, Rabu (5/11/2025). 

    Johanis menjalankan bahwa, mulanya disepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 2,5%, sehingga penambahan anggaran yang semulanya Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar, naik Rp106 miliar.

  • Kemendagri tunjuk Wagub Riau gantikan Gubernur yang ditahan KPK

    Kemendagri tunjuk Wagub Riau gantikan Gubernur yang ditahan KPK

    “Ya kita telah menerima radiogram dari Mendagri,”

    Pekanbaru, (ANTARA) – Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia menunjuk Wakil Gubernur Riau SF Hariyanto menggantikan Gubernur Abdul Wahid yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi RI.

    Sekretaris Daerah Pemerintah Provinsi Riau, Syahrial Abdi membenarkan adanya penunjukan tersebut. Dia mengaku juga telah menerima penunjukan melalui radiogram dengan keterangan amat segera nomor 100.2.1.3/8861/SJ.

    “Ya kita telah menerima radiogram dari Mendagri,” katanya ketika dikonfirmasi di Pekanbaru, Rabu.

    Dalam radiogram itu disampaikan bahwa berkenaan dengan penangkapan dan penahanan terhadap Abdul Wahid (masa jabatan 2925-2030) oleh KPK pada 3 November maka disampaikan ada empat poin oleh Mendagri.

    Pertama berdasarkan Pasal 65 ayat 3 Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah ditegaskan bahwa kepala daerah yang sedang menjalani masa tahanan dilarang melaksanakan tugas dan wewenang.

    Kedua berdasarkan Pasal 66 ayat 1 UU no. 23 tentang pemerintah daerah menegaskan bahwa wakil kepala daerah melaksanakan tugas dan wewenang kepala daerah apabila kepala daerah menjalani masa tahanan atau berhalangan sementara.

    Poin ketika untuk itu dalam rangka menjamin kesinambungan penyelenggara pemerintahan dan pelayanan publik di Provinsi Riau diminta kepada Wagub Riau untuk melaksanakan tugas dan wewenang Gubernur Riau sampai dengan adanya kebijakan pemerintah lebih lanjut.

    “Demikian untuk dimaklumi dan mendapat perhatian dalam pelaksanaannya,” tulis poin terakhir radiogram tersebut.

    Sebelumnya KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2025. Abdul Wahid secara resmi ditampilkan sebagai tersangka dalam konferensi pers yang dihadiri Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu, serta Juru Bicara KPK Budi Prasetyo di Jakarta, Rabu.

    Pewarta: Bayu Agustari Adha
    Editor: Agus Setiawan
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Parah, Gubernur Riau Korupsi Demi Liburan ke Inggris-Brasil

    Parah, Gubernur Riau Korupsi Demi Liburan ke Inggris-Brasil

    Bisnis.com, JAKARTA – Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan untuk pergi ke luar negeri mulai dari ke Inggris hingga Brasil. 

    Hal itu terungkap usai Abdul Wahid ditangkap dalam operasi tangkap tangan hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik lembaga antirasuah. 

    Adapun uang tersebut diperoleh dari fee 5% atau Rp7 miliar atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Fee tersebut naik satu kali lipat dari kesepakatan awal sebesar 2,5%.

    Namun, total uang penyerahan pada Juni – November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal.

    “Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang Poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri, ke Inggris, ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” kata Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Asep mengatakan uang yang diminta Abdul Wahid dikumpulkan melalui tenaga ahli yang bernama Dani M Nursalam. 

    Di sisi lain, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menjelaskan bahwa pemberian fee telah direncanakan sejak bulan Mei 2025. Fee 2,5% saat Ferry Yunanda selaku Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau bertemu dengan 6 kepala UPT wilayah I-VI. 

    Hasil pertemuan disampaikan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan, di mana kemudian Arief sebagai representasi Abdul Wahid menaikan fee sebesar 5%.

    Johanis menuturkan bahwa Abdul Wahid memberikan ancaman pencopotan jabatan bagi pejabat yang tidak memberikan fee tersebut.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” ujarnya.

    Setelah mengumpulkan barang bukti, KPK menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid, Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan, dan Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau Dani M Nursalam.

    Diketahui, Dani berperan menginstruksikan Ferry untuk mengumpulkan uang dari para Kepala UPT. Kendati demikian, KPK masih melakukan pendalaman terhadap Ferry untuk menemukan barang bukti yang cukup.

    KPK juga telah mengamankan uang senilai Rp800 juta. Kemudian melakukan penggeledahan di rumah Abdul Wahid di Jakarta Selatan dan mengamankan 9.000 poundsterling serta US$3.000 atau jika dirupiahkan sebesar Rp800 juta. Sehingga hasil penyitaan dari hasil tangkap tangan, KPK mengamankan Rp1,6 miliar.

  • Kadis PUPR Riau Pernah Ancam Copot Jabatan Kepala UPT jika Tidak Setor

    Kadis PUPR Riau Pernah Ancam Copot Jabatan Kepala UPT jika Tidak Setor

    GELORA.CO -Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau, M Arief Setiawan ternyata pernah mengancam akan mencopot atau mutasi Kepala UPT jika tidak memberikan fee 5 persen atas penambahan anggaran untuk Gubernur Riau Abdul Wahid.

    Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak yang menjelaskan soal kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) pada Senin, 3 November 2025. 

    Ia menjelaskan, KPK mendapatkan informasi bahwa pada Mei 2025 terjadi pertemuan di salah satu kafe di Kota Pekanbaru antara Ferry Yunanda (FRY) selaku Sekretaris Dinas PUPR PKP Pemprov Riau dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP untuk membahas kesanggupan pemberiaan fee yang akan diberikan kepada Abdul Wahid, yakni sebesar 2,5 persen.

    “Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar, terjadi kenaikan Rp106 miliar,” terang Tanak kepada wartawan di Gedung KPK, Jakarta, Rabu, 5 November 2025.

    Ia menyebut Ferry telah menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Arief. Namun, Arief yang merepresentasikan Abdul Wahid meminta fee 5 persen atau sebesar Rp7 miliar.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” jelasnya.

    Lanjut Tanak, seluruh Kepala UPT beserta Sekretaris Dinas PUPR PKPP Riau melakukan pertemuan kembali dan menyepakati besaran fee untuk Abdul Wahid sebesar 5 persen atau sebesar Rp7 miliar.

    “Hasil pertemuan tersebut kemudian dilaporkan kepada Kepala Dinas PUPR PKPP Riau dengan menggunakan bahasa kode ‘7 batang’,” ungkapnya.

    Dari kesepakatan tersebut, setidaknya terjadi 3 kali setoran fee jatah Abdul Wahid. Pada Juni 2025 terjadi setoran pertama, Ferry sebagai pengepul uang dari Kepala UPT mengumpulkan total Rp1,6 miliar. 

    Dari uang tersebut, atas perintah Arief sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry mengalirkan dana sejumlah Rp1 miliar kepada Abdul Wahid melalui perantara, yakni Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau. Kemudian, Ferry juga memberikan uang Rp600 juta kepada kerabat Arief.

    Selanjutnya pada Agustus 2025, atas perintah Dani sebagai representasi Abdul Wahid melalui Arief, Ferry kembali mengepul uang dari para Kepala UPT dengan uang terkumpul Rp1,2 miliar. Atas perintah Arief, uang tersebut di antaranya didistribusikan untuk driver Arief sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan Ferry senilai Rp300 juta.

    Kemudian pada November 2025, tugas pengepul dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, di antaranya dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp450 juta, serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.

    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar,” kata Tanak.

    Dari hasil OTT, KPK resmi menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni Abdul Wahid, M Arief Setiawan, dan Dani M Nursalam. Ketiganya langsung ditahan sejak Selasa, 4 November 2025 di Rutan KPK. 

  • Ini Modus Gubernur Riau Minta Jatah Preman Hingga Rp7 Miliar

    Ini Modus Gubernur Riau Minta Jatah Preman Hingga Rp7 Miliar

    Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa Gubernur Riau Abdul Wahid mengancam mencopot jabatan pejabat di PUPR PKPP Riau jika tak memberikan fee sebesar Rp7 miliar.

    Pembagian komitmen fee itu atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP. Mulanya alokasi penambahan anggaran dari Rp71,6 miliar menjadi 177,4 miliar, kenaikan terjadi Rp106 miliar. 

    Fee mulanya diberikan 2,5% untuk penambahan anggaran tersebut setelah Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau, Ferry Yunanda bertemu dengan 6 Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP untuk membahas fee bagi Abdul Wahid.

    Ferry melaporkan hasil pertemuan ke Kepala Dinas PUPR PKPP Riau, M. Arief Setiawan yang merupakan representasi Abdul Wahid untuk meminta kenaikan fee sebesar 5% atau 7 miliar.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah jatah preman,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, Rabu (5/11/2025).

    Uang diberikan secara berangsur, pada Juni 2025, Ferry mengumpulkan uang dari kepala UPT dengan total Rp1,6 miliar. Dari uang tersebut, atas perintah Arief

    sebagai representasi Abdul Wahid, Ferry menyalurkan uang Rp1 miliar melalui Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau untuk diserahkan kepada Abdul Wahid.

    Ferry juga memberikan Rp600 juta kepada kerabat Arief. Pada Agustus 2025, Dani menginstruksikan, melalui Arief, agar Ferry untuk mengumpulkan uang dengan total Rp1,2 miliar.

    Atas perintah Arief, uang tersebut didistribusikan untuk driver pribadinya sebesar Rp300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp300 juta.

    Pada November 2025, pengepulan yang dilakukan oleh Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp1,25 miliar, yang diantaranya dialirkan untuk Abdul Wahid melalui Arief senilai Rp450 juta serta diduga mengalir Rp800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid. Sehingga, total penyerahan pada Juni – November 2025 mencapai Rp4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar.

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudraa DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” ujar Johanis.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah

    dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

    Selanjutnya, terhadap tiga tersangka tersebut, dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak hari Selasa, 4 November 2025 hingga 23 November 2025. 

    Abdul Wahid ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sedangkan Ferry dan Arief ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK.

  • KPK Ungkap Modus “Jatah Preman” Gubernur Riau, Padahal APBD Defisit

    KPK Ungkap Modus “Jatah Preman” Gubernur Riau, Padahal APBD Defisit

    Jakarta, CNBC Indonesia – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap fakta operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Gubernur Riau Abdul Wahid. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyoroti praktik yang disebut sebagai “jatah preman”.

    Maksudnya adalah para kepala unit pelaksana teknis (UPT) Dinas PUPR-PKPP Riau sampai ada yang terpaksa meminjam uang ke bank demi menyetorkan dana kepada sang gubernur. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu menjelaskan mengenai dana dan alirannya dalam pemerasan ini.

    “Informasi yang kami terima, ada kepala UPT yang pakai uang sendiri, bahkan ada yang sampai gadai sertifikat dan pinjam ke bank untuk memenuhi permintaan itu,” kata Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).

    KPK menilai, kasus ini sangat ironis karena terjadi saat keuangan daerah sedang krisis. Berdasarkan data, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau mengalami defisit Rp3,5 triliun. Angka itu terdiri dari defisit kas Rp1,3 triliun dan penundaan pembayaran sebesar Rp2,2 triliun.

    “APBD-nya defisit, uang daerah sedang seret. Tapi di saat seperti itu, justru masih ada permintaan uang dari bawahan. Ini benar-benar ironi,” ujar Asep.

    Kondisi defisit tersebut, lanjutnya, membuat sejumlah kepala UPT kesulitan mencari sumber dana. Sebagian akhirnya memotong dari rekanan proyek hingga meminjam dari pihak swasta agar bisa memenuhi setoran yang diminta.

    Modus “Jatah Preman” 5 Persen
    Dalam konstruksi perkara yang disampaikan KPK, Abdul Wahid diduga meminta setoran 5 persen atau sekitar Rp7 miliar dari tambahan anggaran proyek jalan dan jembatan senilai Rp177,4 miliar pada 2025. Permintaan itu awalnya disebut 2,5 persen, namun dinaikkan oleh Kepala Dinas PUPR-PKPP menjadi 5 persen. Di internal dinas, praktik ini kerap dinamakan dengan istilah jatah preman.

    Setoran dilakukan tiga kali antara Juni hingga November 2025, dengan total mencapai Rp4,05 miliar. Dana itu dihimpun oleh para kepala UPT dan mengalir ke Abdul Wahid melalui Kepala Dinas PUPR-PKPP serta tenaga ahli gubernur.

    Sementara itu Johanis Tanak menegaskan, perbuatan ini dikategorikan sebagai pemerasan, bukan suap. Sebab, inisiatif permintaan datang dari pejabat berwenang, bukan dari bawahan.

    “Kalau suap itu datang dari pihak bawah yang ingin sesuatu dari pejabat. Tapi dalam kasus ini justru pejabatnya yang meminta. Jadi ini pemerasan,” ujarnya. Tanak menyebut fenomena seperti ini bukan hal baru. “Mungkin istilah ‘jatah preman’ itu karena praktik seperti ini sudah lama terjadi di lingkungan mereka,” tambahnya.

    Selain Abdul Wahid, KPK juga menahan Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau dan tenaga ahli gubernur. Ketiganya dijerat pasal 12 huruf e, 12 huruf f, dan 12 huruf b Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

    KPK menyebut kasus ini sebagai peringatan serius bagi kepala daerah lain agar memperkuat integritas dan tidak menjadikan jabatan sebagai alat pemerasan.

    (miq/miq)

    [Gambas:Video CNBC]