Tag: Johanis Tanak

  • Daftar Gubernur Riau yang Terjerat Kasus Korupsi, Terbaru Abdul Wahid

    Daftar Gubernur Riau yang Terjerat Kasus Korupsi, Terbaru Abdul Wahid

    Bisnis.com, JAKARTA — Abdul Wahid kini resmi menjadi Gubernur Riau yang keempat tersandung kasus korupsi. Hal ini menambah daftar kasus rasuah yang dilakukan Kepala Daerah Provinsi Riau.

    Abdul Wahid bersama Kepala Dinas PUPR PKPP M. Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Dani M.Nursalam ditetapkan sebagai tersangka pada Rabu (5/11/2025) terkait kasus pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

    “Kami menyampaikan rasa keprihatinan kita bersama. Sebab, upaya penindakan atas dugaan tindak pidana korupsi ini merupakan kali keempat yang terjadi di wilayah Provinsi Riau, ” kata Wakil Ketua Johanis Tanak dalam konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Sebelum Abdul Wahid, KPK juga mencatat tiga Gubernur Riau yang melakukan tindak pidana korupsi, berikut rinciannya:

    1. Saleh Djasit 

    Saleh merupakan Gubernur Riau periode 1998-2003 yang perdana melakukan tindak pidana korupsi terkait mark-up pengadaan 20 mobil pemadam kebakaran menjadi Rp15,2 miliar. Uang tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun anggaran 2003.

    Proses hukum berlangsung pada tahun 2007 sampai 2008. Politikus Golkar itu terbukti merugikan negara sebesar Rp5,6 miliar. Dia divonis 4 tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider 6 bulan.

    Dia merupakan purnawirawan perwira TNI AD dengan pangkat akhir Letnan Jenderal. Dia juga pernah menjadi Danrem dan Pangkostrad.

    2. Rusli Zainal

    Rusli Zainal menjabat dua kali periode sejak 2003 hingga 2013. Kader Partai Golkar ini melakukan korupsi terkait gratifikasi untuk menerbitkan izin pemanfaatan hutan tanaman industri kepada 12 perusahaan.

    Kasus kedua adalah suap proyek pembangunan infrastruktur untuk penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII di Riau. Dia divonis 14 tahun penjara dan denda Rp1 miliar, adapun atas kedua perkara tersebut negara rugi Rp265 miliar.

    Sebelum menjadi gubernur, Rusli pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Indragiri Hilir (1991-2001) dan setelahnya menjadi Bupati hingga 2003.

    3. Annas Maamun

    Gubernur Riau periode 2014-2019 melakukan korupsi suap dan gratifikasi terkait alih fungsi lahan hutan di Provinsi Riau. Dia menerima suap dari pengusaha agar merubah kebijakan status lahan perusahaan yang tercantum dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Riau.

    Kasus yang terjadi pada 2014 tak lama dari dirinya dilantik sebagai Kepala Provinsi Riau. Pada tahun 2015, Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp200 juta (subsider 6 bulan kurungan). Lalu, Mahkamah Agung memperberat hukuman menjadi 7 tahun penjara setelah jaksa mengajukan kasasi.

    Namun Annas memperoleh Grasi dari Presiden ke-7 Jokowi pada tahun 2019. Meski begitu, pada 2022, Annas kembali terjerat ditangkap KPK karena kasus suap anggota DPRD Riau terkait pengesahan APBD 2014-2015. Dia divonis 1 tahun penjara. 

    Annas pernah menjabat sebagai Wakil Bupati Rokan Hilir periode 1999-2004 kemudian menjadi Bupati Rokan Hilir sampai 2014.

  • PKB Minta KPK Usut Tuntas Perkara Dugaan Pemerasan yang Jerat Gubernur Riau

    PKB Minta KPK Usut Tuntas Perkara Dugaan Pemerasan yang Jerat Gubernur Riau

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Cucun Ahmad Syamsurijal meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusut tuntas perkara yang membuat Gubernur Riau Abdul Wahid menjadi tersangka.

    Dia mendesak agar KPK mencari pihak-pihak lainnya yang terjerat di kasus ini sehingga perkara terbuka secara terang benderang.

    “Nanti tolong dibuka seterang-terangnya siapa saja, misalkan ini kan jangan sampai karena kader kami misalkan sekarang tidak punya kekuatan apa-apa, sehingga bisa terjadi seperti ini, itu siapa yang di balik itu atau di belakang itu,” katanya kepada jurnalis, dikutip Kamis (6/11/2025).

    Sebagai informasi, Abdul Wahid merupakan kader PKB di Provinsi Riau. Lebih lanjut, Cucun mengatakan internal PKB akan melakukan komunikasi untuk memutuskan nasib Abdul Wahid di partai tersebut, termasuk bantuan hukum yang diberikan.

    “Saya juga nanti di pimpinan-pimpinan para wakil ketua umum kita akan bicarakan seperti apa langkah-langkah yang diambil,” ucap Cucun.

    Namun, dia tetap menghormati putusan yang diberikan lembaga antirasuah. Meskipun dirinya heran karena kader partainya tersandung kasus korupsi. 

    Wakil Ketua DPR itu juga mengimbau kepada seluruh pihak mulai dari legislatif hingga eksekutif agar tidak melakukan korupsi karena telah diberikan kepercayaan oleh rakyat mengemban jabatan. 

    “Mengingatkan kepada seluruh kader yang menjadi kepala daerah atau juga yang sekarang menjadi baik eksekutif maupun legislatif di bawah, diberikan kepercayaan semua untuk melihat satu gambaran seperti ini menjadi catatan jangan sampai terjadi lagi,” tutur Cucun.

    Pada Rabu (5/11/2025), KPK menetapkan tiga tersangka karena diduga melakukan pemerasan di lingkungan Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau.

    “KPK menetapkan tiga orang sebagai tersangka, saudara AW selaku Gubernur Riau; saudara MAS (M. Arief Setiawan) selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau; dan saudara DAN (Dani M. Nursalam) selaku Tenaga Ahli Gubernur Provinsi Riau,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak saat konferensi pers, Rabu (5/11/2025).

    Ketiganya meminta para kepala UPT Dinas PUPR PKPP membagikan fee kepada Abdul Wahid sebesar 2,5% atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar atau terjadi kenaikan Rp106 miliar.

    Namun, fee naik menjadi 5% atau Rp7 miliar dari total penambahan anggaran. Meski begitu, uang yang baru diserahkan mencapai Rp4,05 miliar.

    Para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

  • KPK Ungkap Gubernur Riau Gunakan Uang Hasil Pemerasan untuk Plesiran ke Malaysia, Brasil, hingga Inggris

    KPK Ungkap Gubernur Riau Gunakan Uang Hasil Pemerasan untuk Plesiran ke Malaysia, Brasil, hingga Inggris

    GELORA.CO  – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan fakta kasus dugaan pemerasan yang menjerat Gubernur Riau, Abdul Wahid. Lembaga antirasuah menyebut, uang hasil pungutan atau pemerasan yang dikumpulkan dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI Dinas PUPR PKPP Riau digunakan untuk kepentingan pribadi sang gubernur, termasuk membiayai perjalanan ke luar negeri.

    Pelaksana tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, menjelaskan uang tersebut bersumber dari pungutan terhadap para pejabat di lingkungan Dinas PUPR PKPP Riau. 

    “Sejak awal yang bersangkutan sudah meminta. Untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya, Dani M. Nursalam,” kata Asep di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).

    Asep mengungkap, dana yang terkumpul dari pemerasan tersebut tidak hanya digunakan untuk kebutuhan operasional di dalam negeri, tetapi juga membiayai perjalanan Abdul Wahid ke sejumlah negara. 

    “Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris,” ujarnya.

    Selain perjalanan ke Inggris, Abdul Wahid disebut juga menggunakan sebagian uang hasil pemerasan itu untuk kunjungan ke Brasil. Menurutnya, perjalanan tersebut bukan bagian dari kegiatan resmi pemerintahan, melainkan agenda pribadi sang gubernur.

    “Selain ke Inggris, ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” tegasnya.

    Sebelumnya, KPK resmi menetapkan Gubernur Riau Abdul Wahid sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan/penerimaan hadiah atau janji di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau Tahun Anggaran 2025. Penetapan tersangka ini terhadap Abdul Wahid setelah dirinya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, pada Senin (3/11).

    Selain Abdul Wahid, KPK juga menjerat Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) M. Arief Setiawan; serta Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M. Nursalam yang merupakan kader PKB sebagai tersangka.

    Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menjelaskan, kasus ini berawal dari laporan masyarakat yang kemudian ditindaklanjuti melalui kegiatan penyelidikan hingga berujung pada operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Abdul Wahid dan sejumlah pejabat di lingkungan Pemprov Riau.

    Tanak memaparkan, praktik suap itu bermula pada Mei 2025 ketika Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau, Ferry Yunanda, menggelar pertemuan dengan enam Kepala UPT Wilayah I–VI di salah satu kafe di Pekanbaru. 

    Dalam pertemuan tersebut, para peserta membahas kesanggupan memberikan fee yang akan disetorkan kepada Abdul Wahid sebagai imbalan atas penambahan anggaran tahun 2025. 

    “Fee tersebut atas penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I–VI Dinas PUPR PKPP,” ucap Johanis Tanak dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/11).

    Dari hasil penyelidikan, KPK menemukan bahwa anggaran program pembangunan jalan dan jembatan itu mengalami lonjakan signifikan sebesar 147 persen, dari Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar. Setelah pertemuan awal, Ferry kemudian melapor kepada Kepala Dinas PUPR-PKPP Riau, Muhammad Arief Setiawan, mengenai kesanggupan memberikan fee sebesar 2,5 persen dari nilai proyek

    Namun, Arief yang diduga mewakili Abdul Wahid menolak besaran tersebut dan meminta peningkatan menjadi 5 persen atau sekitar Rp 7 miliar.

    “MAS (Muhammad Arief Setiawan) yang merepresentasikan AW (Abdul Wahid) meminta fee sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar,” ungkap Tanak. 

    Menurutnya, Abdul Wahid juga menggunakan tekanan jabatan untuk memastikan permintaan tersebut dipenuhi. Melalui Arief, Abdul Wahid mengancam akan mencopot atau memutasi pejabat Dinas PUPR-PKPP yang tidak bersedia menyetujui permintaan tersebut. 

    “Di kalangan Dinas PUPR-PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,

  • Peras Bawahan, Gubernur Riau Abdul Wahid Minta Semua Patuh pada Satu Matahari

    Peras Bawahan, Gubernur Riau Abdul Wahid Minta Semua Patuh pada Satu Matahari

    GELORA.CO  – Gubernur Riau Abdul Wahid disebut pernah mengumpulkan para Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Jalan untuk meminta mereka patuh dengan apa yang dia perintahkan. Dia menyebut semua harus patuh pada ‘satu matahari’ yakni dirinya sebagai pimpinan. 

    “Saat dikumpulkan itulah yang bersangkutan itu menyampaikan bahwa, mataharinya adalah satu, semua harus tegak lurus pada mataharinya,” kata Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, Rabu (5/11/2025). 

    Abdul Wahid juga menyampaikan, jika ada permintaan dari kepala dinas maka itu juga merupakan perintah darinya. Bagi yang tidak menurut maka akan dievaluasi. 

    “Kata-kata dievaluasi itu diartikan oleh para Kepala UPT dan yang lainnya itu, ya kalau tidak nurut nanti akan diganti dan lain-lain, jadi mutasi dan lain-lain, seperti itu,” ujarnya. 

    Sebelumnya, KPK mengungkapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid meminta ‘jatah preman’ senilai Rp7 miliar dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP.

    Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak menyatakan, kenaikan anggaran tersebut sebesar Rp106 miliar yang dari awalnya Rp71,6 miliar menjadi Rp177,4 miliar.

    Awalnya, Sekretaris Dinas PUPR-PKPP Riau Ferry Yunanda bertemu dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI Riau di salah satu kafe pada Mei 2025. Dari pertemuan itu, disepakati fee yang akan diberikan ke Abdul Wahid 2,5 persen. 

    Hasil kesepakatan ini kemudian disampaikan kepada M Arief Setiawan selaku Kepala Dinas PUPR PKPP Riau sekaligus pihak yang merepresentasikan Abdul Wahid dan meminta fee sebesar 5 persen atau Rp7 miliar. 

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” kata Tanak saat di Gedung Merah Putih KPK, Rabu (5/11/2025).

    KPK telah menetapkan Gubernur Riau, Abdul Wahid dan dua orang lainnya sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan di lingkungan Pemerintah Provinsi Riau. 

    Dua orang lainnya yang ditetapkan tersangka adalah, M Arief Setiawan selaku Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR PKPP) Provinsi Riau dan Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau

  • KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau

    KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau

    KPK Geledah Rumah Dinas Gubernur Riau
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggeledah rumah dinas Gubernur Riau nonaktif Abdul Wahid dan beberapa lokasi lainnya di Riau, pada Kamis (6/11/2025).
    “Dalam lanjutan
    penyidikan
    perkara dugaan tindak pidana korupsi di wilayah Pemprov Riau, hari ini penyidik melakukan penggeledahan di rumah dinas gubernur dan beberapa lokasi lainnya,” kata Juru Bicara
    KPK
    Budi Prasetyo, dalam keterangannya, Kamis.
    Budi mengatakan, KPK mengimbau agar para pihak mendukung proses penyidikan agar dapat berjalan efektif.
    Dia juga memastikan akan menyampaikan perkembangan proses penggeledahan secara berkala sebagai bentuk transparansi dalam proses hukum ini.
    “KPK juga menyampaikan apresiasi dan terima kasih kepada seluruh masyarakat, khususnya di wilayah Riau, yang terus mendukung penuh pengungkapan perkara ini. Karena korupsi secara nyata menghambat pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” ujar dia.
    Sebelumnya, KPK menetapkan
    Gubernur Riau Abdul Wahid
    sebagai tersangka terkait kasus dugaan pemerasan atau penerimaan hadiah atau janji di Pemprov Riau Tahun Anggaran 2025, pada Rabu (5/11/2025).
    Diketahui, Abdul Wahid terjaring dalam operasi tangkap tangan (OTT) di Riau, pada Senin (3/11/2025).
    KPK juga menetapkan dua tersangka lainnya, yaitu Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Dani M Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau.
    “Setelah ditemukan kecukupan alat bukti, KPK menetapkan 3 orang sebagai tersangka, yakni AW (Abdul Wahid), MAS (Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan), dan DAN (Dani M. Nursalam selaku Tenaga Ahli Gubernur Riau),” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak, di Gedung Merah Putih, Jakarta, Rabu (5/11/2025).
    Johanis mengatakan, total uang hasil pemerasan dengan modus jatah preman yang disetor untuk Gubernur Riau Abdul Wahid dari Kepala UPT Dinas PUPR PKPP sebesar Rp 4,05 miliar.
    Dia mengatakan, setoran itu dilakukan setelah ada kesepakatan untuk memberikan fee sebesar 5 persen atau Rp 7 miliar untuk Gubernur Riau Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp 7 miliar,” ujar dia.
    Johanis mengatakan, ketiga tersangka selanjutnya dilakukan penahanan untuk 20 hari pertama yang terhitung sejak 4-23 November 2025.
    “Terhadap saudara AW ditahan di Rutan Gedung ACLC KPK. Sementara terhadap DAN dan MAS ditahan di Rutan Gedung Merah Putih KPK,” ucap dia.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam Pasal 12e dan/atau Pasal 12f dan/atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Tegaskan Penyelidikan Kasus Whoosh Jalan Terus, Meski Prabowo Siap Tanggung Utang

    KPK Tegaskan Penyelidikan Kasus Whoosh Jalan Terus, Meski Prabowo Siap Tanggung Utang

    Liputan6.com, Jakarta- Wakil Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak menegaskan, penyelidikan dugaan rasuah proyek ketera cepat Whoosh akan terus berlanjut. Meskipun, Presiden Prabowo Subianto sudah menyatakan siap menanggung beban utang proyek tersebut.

    Tanak menjelaskan, sifat dari penyelidikan hanya untuk mengetahui ada tidaknya suatu perbuatan tindak pidana. Jika memang tidak ada, artinya case closed.

    “Kalau ada kita bisa sampaikan kepada Presiden, ini ada perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana korupsi. Ketika ada tentunya Presiden juga akan menerima,” kata Tanak saat menjawab pertanyaan awak media di Jakarta, seperti dikutip Kamis (6/11/2025).

    Tanak percaya, Prabowo adalah seorang pro pemberantasan korupsi. Hal itu terlihat dari amanatnya dalam Asta Cita ketujuh tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

    “Jadi kalau memang hasil penyelidikan memang terindikasi cukup bukti ada perbuatan tindak pidana korupsi, kita akan sampaikan,” tegas dia.

    Tanak memastikan, sebagai aparat penegak hukum, KPK tidak dilarang menyelidiki hal apapun yang diduga memiliki perkara pidana. Tujuannya, demi memastikan benar tidaknya dugaan tersebut.

    “Alangkah bagusnya memang kalau ada penyelidikan, sehingga ada kepastian hukum dan ketika hasil penyelidikan, oh memang tidak ada, jadi ada kepastian hukum bahwa itu tidak ada suatu indikasi tindak pidana korupsi,” jelas dia.

    Tanak menyatakan, sejauh ini ada beberapa pihak yang sudah dipanggil untuk dimintai keterangan perihal tersebut. Namun dia enggan mendetilkan siapa saja sosok tersebut.

  • KPK Yakin Presiden Prabowo Dukung Penuh Jika Ditemukan Korupsi di Proyek Whoosh

    KPK Yakin Presiden Prabowo Dukung Penuh Jika Ditemukan Korupsi di Proyek Whoosh

    GELORA.CO -Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus melanjutkan penyelidikan dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh. Pimpinan KPK menyatakan keyakinannya bahwa Presiden Prabowo Subianto akan menerima temuan apa pun, termasuk jika benar-benar ditemukan adanya tindak pidana korupsi.

    Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak, menegaskan bahwa tujuan penyelidikan ini adalah mencari kepastian: ada atau tidaknya perbuatan korupsi.

    “Kalau tidak ada, ya selesai. Kalau ada, kita juga bisa sampaikan kepada Presiden. Ketika ada, tentunya Presiden juga akan menerima,” ujar Tanak dalam pernyataannya yang dikutip redaksi di Jakarta, Kamis 6 November 2025. 

    Tanak percaya penuh pada komitmen Presiden Prabowo, yang telah mencantumkan pemberantasan korupsi dalam salah satu poin pentingnya, yaitu Asta Cita ketujuh. Hal ini menguatkan keyakinan KPK bahwa Istana tidak akan menghalangi proses hukum.

    Ia pun menjamin tidak ada larangan atau intervensi dalam proses ini. Ia menilai penyelidikan justru harus dilakukan agar tercipta kepastian hukum.

    “Tidak ada satu larangan untuk melakukan penyelidikan. Alangkah bagusnya memang kalau ada penyelidikan, sehingga ada kepastian hukum,” terangnya.

    Saat ini, tim penyelidik KPK masih fokus pada tahap awal, yaitu pengumpulan data dan informasi. Langkah ini dilakukan secara hati-hati agar KPK tidak salah dalam mengambil keputusan, termasuk menetapkan apakah perbuatan yang ditemukan benar-benar merupakan tindak pidana korupsi.

    “Kita memberikan kesempatan penuh kepada penyelidik untuk mengumpulkan data dan informasi,” pungkas Tanak.

    KPK diketahui telah memulai penyelidikan kasus dugaan korupsi Whoosh sejak awal tahun 2025. Hingga November ini, lembaga antirasuah tersebut mengakui telah meminta keterangan dari sejumlah pihak, namun identitas mereka masih dirahasiakan ke publik. 

  • Terungkap Jatah Preman dalam Kasus Korupsi Pemprov Riau, Gubernur Ancam Copot Pejabat yang Tak Ikuti Perintah

    Terungkap Jatah Preman dalam Kasus Korupsi Pemprov Riau, Gubernur Ancam Copot Pejabat yang Tak Ikuti Perintah

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Mantan penyidik KPK, Yudi Purnomo Harahap menyorot tajam Gubernur Riau.

    KPK menahan Gubernur Riau Abdul Wahid. Dia ditahan setelah terjaring operasi tangkap tangan (OTT).

    Diketahui, para pihak yang terjaring OTT dibawa dalam dua kloter ke KPK pada Selasa kemarin. Salah satunya adalah Gubernur Riau Abdul Wahid. Total ada 10 orang yang diperiksa KPK terkait OTT ini.

    Lewat unggahan di akun media sosial Threads pribadinya, ia menyebut Gubernur Riau akhirnya sah yang dinyatakan terlibat.

    “Sah, Akhirnya Gubernur Riau ke-4 yang kena kasus korupsi di KPK,” tulisnya dikutip Kamis (6/11/2025).

    Gubernur Riau itu dinyatakan terlibat karena terungkap memiliki jatah preman dari nilai proyek anggaran.

    “Terungkap jatah preman dari nilai proyek anggaran,” tuturnya.

    Sementara itu, Abdul Wahid disebut mengancam bawahannya jika tak memberikan uang yang disebut ‘jatah preman’.

    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘jatah preman’,” kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers di gedung KPK

    Dua tersangka lainnya ialah Kadis PUPR Riau M Arief Setiawan dan Tenaga Ahli Gubernur Riau, Dani M Nursalam.

    Tanak mengatakan kasus ini berawal dari pertemuan antara Sekdis PUPR Riau Ferry Yunanda dan enam kepala UPT wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP pada Mei 2025.

    (Erfyansyah/fajar)

  • Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil

    Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil

    Gubernur Riau Pakai “Jatah Preman” dari Bawahan untuk ke Inggris dan Brasil
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Gubernur Riau Abdul Wahid menggunakan uang hasil pemerasan atau disebut jatah preman dari penambahan anggaran 2025 untuk pergi ke luar negeri.
    Uang yang seharusnya dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang, Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (PUPR-PKPP) justru digunakan untuk pergi ke Inggris hingga Brasil.
    Hal tersebut diungkap oleh Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi
    KPK
    Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers pada Rabu (5/11/2025).
    “Sejak awal yang bersangkutan sudah meminta. Nah, untuk kegiatannya apa saja, ini macam-macam kegiatannya. Jadi, untuk keperluan yang bersangkutan. Makanya dikumpulinnya di tenaga ahlinya (Dani M. Nursalam). Ada beberapa ini keperluan ke luar negeri, ke Inggris, ini mengapa ada uang Poundsterling karena salah satu kegiatannya itu adalah pergi atau lawatan ke luar negeri,” ujar Asep di Gedung Merah Putih, Jakarta.
    “Ada juga ke Brasil. Yang terakhir itu mau ke Malaysia,” sambungnya.
    Abdul Wahid menjadi satu dari tiga tersangka dalam kasus pemerasan di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Dua nama lainnya adalah Kepala Dinas PUPR-PKPP Muhammad Arief Setiawan dan Tenaga Ahli
    Gubernur Riau
    Dani M Nursalam.
    Kasus ini berawal dari pertemuan Sekretaris Dinas PUPR PKPP Provinsi Riau Ferry Yunanda dengan enam Kepala UPT Wilayah I-VI, Dinas PUPR PKPP untuk membahas kesanggupan memberikan
    fee
    kepada Abdul Wahid.
    Fee
    tersebut sebesar 2,5 persen berasal dari penambahan anggaran 2025 yang dialokasikan pada UPT Jalan dan Jembatan Wilayah I-VI Dinas PUPR PKPP yang semula Rp 71,6 miliar menjadi Rp 177,4 miliar.
    Kemudian Ferry Yunanda menyampaikan hasil pertemuan tersebut kepada Arief Setiawan. Namun, Arief meminta fee 5 persen atau setara Rp 7 miliar untuk Abdul Wahid.
    “Bagi yang tidak menuruti perintah tersebut, diancam dengan pencopotan ataupun mutasi dari jabatannya. Di kalangan Dinas PUPR PKPP Riau, permintaan ini dikenal dengan istilah ‘
    jatah preman
    ‘,” ujar Wakil Ketua KPK Johanis Tanak.
    Dari kesepakatan tersebut, KPK menemukan tiga kali setoran jatah fee untuk Abdul Wahid. Pertama pada Juni 2025, ketika itu, Ferry Yunanda mengumpulkan uang Rp 1,6 miliar dari para Kepala UPT.
    Dana sejumlah Rp 1 miliar kemudian mengalir kepada Abdul Wahid melalui perantara Tenaga Ahlinya Dani M Nursalam.
    Setoran kedua pada Agustus 2025, KPK menemukan bahwa Ferry kembali mengepul uang dari para kepala UPT sejumlah Rp 1,2 miliar.
    Atas perintah M Arief Setiawan, uang tersebut, didistribusikan untuk supirnya sebesar Rp 300 juta, proposal kegiatan perangkat daerah Rp 375 juta, dan disimpan oleh Ferry senilai Rp 300 juta.
    Kemudian pada November 2025, pengepulan dilakukan Kepala UPT 3 dengan total mencapai Rp 1,25 miliar. KPK menemukan uang tersebut mengalir kepada Abdul Wahid melalui M Arief senilai Rp 450 juta serta diduga mengalir Rp 800 juta yang diberikan langsung kepada Abdul Wahid.
    “Sehingga, total penyerahan pada Juni-November 2025 mencapai Rp 4,05 miliar dari kesepakatan awal sebesar Rp7 miliar,” ujar Johanis.
    Dalam pertemuan ketiga pada Senin (3/11/2025), KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) dengan menangkap Ferry Yunanda, M Arief Setiawan berserta lima Kepala UPT.
    Akibat perbuatannya, para tersangka disangkakan telah melanggar ketentuan dalam pasal 12e dan/atau pasal 12f dan/atau pasal 12B UU Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • KPK Lanjutkan Penyelidikan Whoosh, Meski Prabowo Bakal Tanggung Utang KCIC

    KPK Lanjutkan Penyelidikan Whoosh, Meski Prabowo Bakal Tanggung Utang KCIC

    Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyampaikan bahwa tetap menggelar penyelidikan dugaan korupsi Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB), meski Presiden Prabowo Subianto mengatakan siap bertanggung jawab terhadap polemik utang Whoosh.

    Tanak menegaskan bahwa hal itu tidak mengganggu penyelidikan yang telah berlangsung sejak awal tahun 2025 itu. Menurutnya, Presiden justru mendukung upaya pemberantasan korupsi sebagaimana menjadi salah satu program asta cita.

    Dia menuturkan jika memang nantinya terbukti terdapat indikasi korupsi dalam proyek Whoosh, KPK juga akan melaporkan kepada Prabowo.

    “Jadi kalau memang hasil penyelidikan memang terindikasi cukup bukti ada perbuatan tindak pidana korupsi, kita akan sampaikan [ke Presiden],” kata Tanak kepada jurnalis di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/11/2025).

    Tanak mengatakan sampai saat ini penyelidik masih melakukan penyelidikan untuk mengumpulkan informasi yang mengarah pada tindak pidana korupsi.

    “Masih mengumpulkan data dan informasi. Begitu supaya tidak salah dalam menetapkan,” ujarnya.

    Setelah menemukan bukti yang cukup, kata Tanak, tim penyidik melakukan ekspos di hadapan para pimpinan KPK untuk tindak lanjut penelusuran informasi lainnya.

    Sebelumnya, kasus utang Whoosh kembali mencuat setelah Mahfud MD mengatakan adanya dugaan mark-up dalam proyek tersebut kereta cepat tersebut.

    Mahfud MD menyampaikan Indonesia memperhitungkan pembangunan kereta cepat USD52 juta per kilometer, sedangkan berdasarkan perhitungan China biaya per kilometer USD17-18 juta.

    “Dugaan mark up gini. Menurut pihak Indonesia, biaya per 1 KM kereta Whoosh itu US$52 juta, namun di China sendiri hitungannya hanya US$17 juta sampai US$18 juta. Naik tiga kali lipatkan?” ungkapnya dalam akun YouTube Mahfud MD Official, Rabu (15/10/2025).