Tag: Jimly Asshiddiqie

  • Jelang Pelantikan Komite Reformasi Polri, Yusril, Otto, dan Mahfud MD Tiba di Istana

    Jelang Pelantikan Komite Reformasi Polri, Yusril, Otto, dan Mahfud MD Tiba di Istana

    Bisnis.com, JAKARTA — Sejumlah tokoh hukum dan pejabat pemerintahan mulai berdatangan menjelang pelantikan Komite Reformasi Polri oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (7/11/2025)

    Menurut pantauan Bisnis, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra tiba di Istana sekitar pukul 14.33 WIB.

    Dengan mengenakan jas hitam dan dasi biru muda, Yusril mengatakan dirinya belum mendapat kepastian apakah akan dilantik sebagai anggota komite.

    “Saya belum tahu dilantik atau enggak. Tadi diberi tahu ada acara pelantikan dan diminta datang. Saya belum tahu akan dilantik atau hanya sebagai undangan, nanti kita tunggu saja lah,” kata Yusril saat tiba di Istana.

    Yusril menyebut pelantikan dijadwalkan berlangsung sekitar pukul 16.00 WIB. Namun, saat ditanya jumlah anggota komite, Yusril mengatakan belum mengetahui secara pasti.

    “Belum tahu saya, nanti bisa ditanyakan ke Mensesneg ya, karena yang menangani Keppres Mensesneg,” tambahnya.

    Sekitar 15 menit kemudian, Wakil Menko Kumham Imipas Otto Hasibuan juga tiba di Istana pukul 14.50 WIB. Dia mengonfirmasi bahwa kedatangannya berkaitan dengan pembentukan tim reformasi Polri.

    “Iya, kelihatannya begitu,” ujar Otto ketika ditanya apakah dirinya akan dilantik sebagai anggota komite.

    Meskipun belum mengetahui struktur dan posisi masing-masing anggota, tetapi Otto mengatakan dirinya mendapat informasi bahwa tim tersebut beranggotakan sekitar sembilan orang.

    “Saya dengar sembilan orang, tapi persisnya bagaimana, kita belum tahu,” ujarnya.

    Otto juga menyebut sejumlah nama yang kemungkinan tergabung dalam tim, antara lain Yusril Ihza Mahendra, Menteri Hukum Supratman, dan beberapa tokoh hukum lain. Dia menambahkan bahwa unsur tim akan diambil dari mantan Kapolri, tokoh hukum, dan masyarakat.

    “Waktu dulu Pak Presiden mengatakan akan bentuk tim reformasi ini jumlahnya lebih kurang sembilan orang. Unsurnya ada dari beberapa mantan Kapolri dan tokoh hukum,” ujar Otto.

    Tak lama berselang, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie juga tiba di Istana sekitar 15.09 WIB. Jimly enggan berkomentar banyak ketika ditanya apakah dirinya akan menjadi ketua tim reformasi Polri.

    Saat ditanya kapan dikabari soal penunjukan, Jimly menjawab telah dihubungi sejak lama.

    “Sudah dua bulan lalu. Tapi ya, tunggulah nanti diumumkan,” ucapnya

    Prabowo sebelumnya menyampaikan rencana pembentukan Komite Reformasi Polri sebagai bagian dari upaya memperkuat tata kelola kepolisian, meningkatkan profesionalisme, dan membangun kepercayaan publik terhadap institusi Polri.

    Pelantikan komite tersebut dijadwalkan berlangsung pada Jumat (7/11/2025) sore di Istana Negara pukul 16.00 WIB.

  • Sabar Menanti Kabar Tim Reformasi Polri dari Prabowo

    Sabar Menanti Kabar Tim Reformasi Polri dari Prabowo

    Sabar Menanti Kabar Tim Reformasi Polri dari Prabowo
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Tim reformasi Polri bentukan Presiden Prabowo Subianto belum juga diumumkan, publik diminta sabar menanti.
    Pembenahan institusi kepolisian mencuat usai demonstrasi nasional di pengujung Agustus 2025.
    Momentum itu turut diwarnai sorotan publik terhadap tindakan aparat kepolisian terhadap massa, terlebih usai pengemudi ojek online (ojol) Affan Kurniawan meninggal dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob pada 28 Agustus 2025.
    11 September 2025, para tokoh masyarakat dan pemuka agama yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB) mendatangi Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan, Jakarta.
    GNB menyampaikan soal perlunya reformasi kepolisian. Ternyata Prabowo sudah berniat membentuk tim reformasi polri.
    “Tadi juga disampaikan oleh Gerakan Nurani Bangsa perlunya evaluasi dan reformasi kepolisian, yang disambut juga oleh Pak Presiden, (yang) akan segera membentuk tim atau komisi reformasi kepolisian. Saya kira ini juga atas tuntutan dari masyarakat yang cukup banyak,” kata salah satu anggota GNB, Pendeta Gomar Gultom, dikutip dari
    Antaranews
    .
    Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan tim reformasi Polri nantinya akan diisi oleh sekitar sembilan orang.
    Tim reformasi Polri akan bekerja sebagai tim ad hoc dalam enam bulan.
    Isinya dikabarkan bakal ada mantan kapolri hingga nama-nama terkemuka seperti Mahfud Md hingga Jimly Asshiddiqie.
    5 Oktober 2025, Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan tim reformasi Polri akan diumumkan sepekan setelah momen upacara HUT ke-80 TNI di kawasan Monas itu.
    “Minggu depan. Iya. Akan diumumkan dan dilantik oleh Pak Presiden,” kata Prasetyo.
    Sepekan dari 5 Oktober berarti 12 Oktober. Namun hingga waktu yang dijanjikan Prasetyo, belum ada pelantikan tim reformasi Polri.
    Prasetyo mengatakan pengumuman tim reformasi Polri tinggal menunggu waktu saja.
    Namun hingga kini, tim reformasi bentukan Prabowo belum juga diumumkan.
    “Mohon sabar menunggunya,” kata Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, dalam siaran pers, Senin (20/10/2025) pekan lalu.
    Minggu (26/10/2025) kemarin, Yusril juga belum mendapatkan petunjuk soal momen pengumuman tim reformasi Polri itu.
    “Hanya sampai hari ini belum juga diumumkan Komite Reformasi Kepolisian itu. Wartawan tanya saya terus, saya bilang kapan diumumkan, kapan dibentuk itu bukan lagi ke saya nanya, itu tanya pada Mensesneg,” kata Yusril, dalam acara Ngopi Bareng Alumni di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/10/2025).
    Sama halnya dengan Yusril, Mahfud MD juga belum mendapat informasi.
    “Saya enggak tahu ya. Sampai sekarang, saya belum tahu perkembangannya,” ujar Mahfud MD di Yogyakarta, Minggu (26/10/2025).
    Tim reformasi bentukan Kapolri Jendral Listyo Sigit Prabowo lebih dulu diumumkan ke publik. Tim itu dibentuk pada 17 September 2025.
    Tim Transformasi Reformasi Polri beranggotakan 52 perwira tinggi kepolisian, mulai dari pelindung sampai anggota, diketuai oleh Komjen Chryshnanda Dwilaksana.
    Wamensesneg Bambang Eko Suhariyanto menyebut tim yang utama adalah tim reformasi bentukan Prabowo.
    “Yang penting, yang utama itu adalah yang dari tim bentukan Presiden,” ujar Bambang di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/9/2025).
     
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Menko Yusril Sebut Kedudukan dan Wewenang Polisi Hanya Bisa Diubah Lewat UU

    Menko Yusril Sebut Kedudukan dan Wewenang Polisi Hanya Bisa Diubah Lewat UU

    Menko Yusril Sebut Kedudukan dan Wewenang Polisi Hanya Bisa Diubah Lewat UU
    Tim Redaksi
    DEPOK, KOMPAS.com
    – Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mempersilakan masyarakat mengkritik dan menyampaikan masukan terkait struktur, kedudukan, dan kewenangan kepolisian.
    Meski demikian, dia menekankan bahwa perubahan kedudukan polisi tak bisa dilakukan hanya lewat Presiden saja, melainkan harus melalui revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
    “Tidak ada yang bisa mengatur (kedudukan, kewenangan Polisi) kecuali Presiden dan DPR. Presiden sendiri pun enggak bisa. Jadi, undang-undangnya memang harus diubah,” kata Yusril, dalam acara Ngopi Bareng Alumni di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Minggu (26/10/2025).
    Yusril mengatakan, masyarakat nantinya dapat menyampaikan masukan terkait kewenangan kepolisian itu kepada Komite Reformasi Polri yang akan dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto.
    Dia mengatakan, masyarakat sebaiknya bersabar menunggu pengumuman komite dari Presiden Prabowo.
    “Silakan saja nanti disampaikan kepada Komite Reformasi yang kabarnya Pak Jimly (Prof Jimly Asshiddiqie) akan ada di situ, Pak Mahfud ada di situ, tapi siapa, saya sendiri belum tahu. Kita tunggu sajalah pengumuman dari Pak Presiden, tapi di tengah perjalanan ini yang mau berwacana, silakan saja,” ujar dia.
    Sebelumnya, Yusril mengatakan, Presiden RI Prabowo Subianto segera membentuk Komisi Reformasi Polri melalui Keputusan Presiden (Keppres).
    Dia mengatakan, komisi ini dibentuk untuk merumuskan reformasi Polri dengan melakukan pengkajian ulang kedudukan, ruang lingkup, tugas, dan kewenangan kepolisian.
    “Nah, ini tugas dari komisi reformasi inilah untuk merumuskan perubahan-perubahan itu dan syarat-syarat itu akan diserahkan kepada Presiden nantinya,” kata Yusril, di Kantor Kemenko Kumham Imipas, Jakarta, Selasa (16/9/2025).
    Komisi ini, kata dia, akan bertugas selama beberapa bulan dengan menyerahkan hasil rumusan kepada Presiden RI Prabowo Subianto.
    Selanjutnya, kata Yusril, hasil rumusan tersebut akan dituangkan dalam revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
    “Mungkin undang-undang yang sudah diberlakukan lebih dari 20 tahun itu sekarang sudah harus dievaluasi kembali dengan menyesuaikan keadaan sekarang dan tuntutan dari rakyat untuk melakukan reformasi Kepolisian kita,” ucap dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Komite Reformasi Diminta Singkirkan Praktik Militeristik dan Politik Praktis di Polri
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        8 Oktober 2025

    Komite Reformasi Diminta Singkirkan Praktik Militeristik dan Politik Praktis di Polri Nasional 8 Oktober 2025

    Komite Reformasi Diminta Singkirkan Praktik Militeristik dan Politik Praktis di Polri
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Anggota Komisi III DPR RI Sarifudin Sudding meminta Komite Reformasi Polri yang akan dibentuk Presiden Prabowo Subianto untuk menyingkirkan praktik militeristik dan politik praktis yang masih tersisa di tubuh kepolisian.
    Sudding menilai, sejatinya ada tiga hal penting yang perlu segera menjadi prioritas kerja Komite Reformasi Polri.
    Pertama, transparansi dan akuntabilitas internal agar publik memiliki akses terhadap data kinerja, pelanggaran anggota, dan mekanisme penindakan.
    “Kedua, demiliterisasi dan depolitisasi. Polri perlu menyingkirkan praktik militeristik dan keterlibatan politik praktis yang masih tersisa sejak era ABRI,” ujar Sudding dalam keterangannya, Rabu (8/10/2025).
    Selain itu, lanjut Sudding, perubahan budaya organisasi juga harus menjadi fokus dalam agenda reformasi Polri.
    Perubahan budaya tersebut mencakup pola pendidikan, etika pelayanan publik, dan sikap aparat terhadap masyarakat.
    “Reformasi harus menyasar pola pendidikan, etika pelayanan publik, serta sikap aparat terhadap masyarakat, terutama kelompok rentan,” terang Sudding.
    Politikus PAN itu mengingatkan, reformasi hanya bisa terwujud jika komite diberi kewenangan mengevaluasi kebijakan, budaya organisasi, dan praktik operasional Polri, bukan sekadar menjadi simbol formalitas.
    “Reformasi Polri harus lebih dari sekadar dokumen atau laporan administratif. Publik menuntut transparansi kinerja, akuntabilitas, dan pengawasan independen yang mampu mendorong perubahan nyata dalam budaya organisasi kepolisian,” kata Sudding.
    Menurut Sudding, keberhasilan reformasi Polri tidak boleh hanya diukur dari laporan administratif atau pencitraan politik, tetapi juga dampak nyata terhadap perlindungan hak warga dan kepastian hukum.
    “Komite Reformasi Polri harus menjadi instrumen kontrol yang efektif, menutup celah sejarah reformasi 1998 yang belum tuntas,” kata Sudding.
    “Dan tentunya harus memastikan Polri mampu menjalankan fungsi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat secara profesional,” pungkasnya.
    Diberitakan sebelumnya, Presiden RI Prabowo Subianto disebut akan meresmikan Komite Reformasi Polri dan melantik sembilan orang anggotanya pada pekan ini.
    Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan, pelantikan akan dilakukan langsung oleh Presiden.
    “Minggu depan. Iya. Akan diumumkan dan dilantik oleh Pak Presiden,” ujar Prasetyo, usai Upacara HUT ke-80 TNI di Monas, Jakarta Pusat, Minggu (5/10/2025).
    Sejumlah nama disebut akan bergabung dalam komite tersebut, di antaranya Menko Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, eks Menko Polhukam Mahfud MD, serta mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie.
    Prasetyo menegaskan, komite bentukan presiden berbeda dengan Tim Transformasi Reformasi yang telah dibentuk Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di internal kepolisian.
    Namun, keduanya akan bekerja dengan semangat yang sama untuk memperbaiki institusi Polri.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
                
                    
                        
                            Nasional
                        
                        26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti Nasional 26 Agustus 2025

    Noel dan Kegagalan Memaknai Amnesti
    Analis Hukum dan Politik dari Gajah Mada Analitika

    Constitution is a flexible and pragmatic charter, not a fixed and immutable artifact
    ” – Farah Peterson (2020).
    PETERSON
    tepat, perubahan konstitusi memang suatu keniscayaan sebab ia bukan artefak yang tetap.
    Sehubungan itu, publik kembali dikejutkan oleh operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjerat Immanuel “Noel” Ebenezer, Wakil Menteri Ketenagakerjaan.
    Tak lama setelah ditetapkan sebagai tersangka, ia menyampaikan permintaan maaf sekaligus harapan agar Presiden Prabowo Subianto memberinya amnesti.
    Seturutnya, dalam Seminar Konstitusi bertema Dialektika Konstitusi yang diselenggarakan MPR, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul selaku salah satu narasumber turut menyinggung ihwal abolisi dan amnesti sebagai ‘terobosan’ yang menyiratkan adanya peran “Korea” di baliknya.
    Ada relasi implisit yang terhubung antara harapan Amnesti Noel, “Korea”, dan amandemen konstitusi.
    Sebetulnya, harapan Noel bukan tanpa alasan. Publik tentu mengingat, beberapa waktu sebelumnya, Presiden Prabowo telah memberikan pengampunan berupa abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto. Dua figur politik yang bukan loyalis pemerintahan saat ini.
    Ucapan Noel jelas sarat makna. Baginya, jika pihak yang berada di luar lingkaran politik presiden saja bisa mendapat pengampunan, maka sebagai loyalis tentu tidak mustahil ia berharap mendapat perlakuan serupa.
    Namun, harapan itu justru memunculkan problem tidak sederhana: apakah kewenangan konstitusional presiden memberi abolisi dan amnesti memang sepenuhnya dapat digunakan atas dasar pertimbangan politik, nir-indikator hukum yang jelas?
    Hal demikian menjadi relevan di tengah wacana keinginan MPR untuk melakukan amandemen konstitusi seperti terefleksi dalam kegiatan Seminar Konstitusi yang diselenggarakan oleh MPR di Gedung Nusantara V belum lama ini (21/8/2025).
    Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”. Rumusannya sederhana, bahkan minim kriteria substantif.
    Di sinilah ruang tafsir menjadi terbuka. Padahal, dalam teori konstitusi, setiap teks konstitusi adalah janji yang harus ditafsirkan dalam bingkai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum (Alexander Bickel, 1986).
    Jimly Asshiddiqie (2005) menekankan, konstitusi tidak boleh dipahami semata sebagai teks normatif, melainkan sebagai
    living constitution
    yang senantiasa ditafsirkan sesuai semangat zaman.
    Maka, pemberian pengampunan oleh presiden semestinya ditafsirkan bukan hanya sebagai hak prerogatif politik, melainkan sebagai kewenangan konstitusional yang terikat pada prinsip keadilan publik.
    Dari perspektif teori penafsiran konstitusi, memang ada ruang elastis untuk memberikan makna baru atas pasal-pasal UUD 1945.
    Tidak heran bila Alexander Bickel dalam uraiannya yang lain menyebut: konstitusi selalu lebih besar daripada teksnya, sebab nilainya hidup dalam tafsir.
    Dalam episentrum itu, maka butuh tafsir yang sehat guna melahirkan praktik ketatanegaraan yang adil. Namun sebaliknya, tafsir yang politis berpotensi menggerus legitimasi demokrasi konstitusional.
    Di titik inilah pernyataan Bambang Pacul dalam forum Seminar Konstitusi menjadi relevan. Ia menyatakan bahwa kebijakan pengampunan Prabowo terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto tak lepas dari peran “Korea” di balik hak prerogatif presiden itu.
    Istilah “korea” merupakan metafora yang menggambarkan mereka yang selalu melompat lebih maju dibanding orang lain, berusaha keras menaikkan derajat sosial melalui kerja keras, bukan jalan pintas.
    Dalam tafsir simbolik ini, seorang “Korea” sebetulnya menyiratkan kita pada konsep negarawan: sosok yang menempatkan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi. Boleh jadi, ia justru menjadi salah satu ciri dari kenegarawanan itu sendiri.
    Dalam kaitan itu, kasus korupsi yang menjerat Noel sesungguhnya menunjukkan kebalikan dari semangat kenegarawanan dalam konstitusi. Sebagai pejabat negara, dengan segala fasilitas dan kepercayaan publik, korupsi sama sekali tidak bisa dibenarkan.
    Lompatan status sosial, sebagaimana menjadi ciri “Korea” yang acapkali digaungkan Bambang Pacul, yang mestinya dicapai melalui kerja keras dan integritas, malah ditempuh dengan jalan tikus bernama korupsi. Makna “korea” dalam kasus Noel pun mengalami degradasi.
    Jika konsep “Korea” hendak dijadikan pijakan, maka perubahan konstitusi yang kini didiskusikan semestinya mengarah pada perumusan syarat negarawan bagi jabatan-jabatan publik.
    Ini menjadi momen mengonstruksi makna “korea” sejati: seorang negarawan yang menjauhi korupsi.
    Selama ini, hanya hakim Mahkamah Konstitusi yang secara eksplisit dipersyaratkan sebagai negarawan (Pasal 24C ayat 5). Jabatan menteri dan wakil menteri pun luput dari syarat kenegarawanan.
    Di sisi lain, amat mungkin aspek kenegarawanan dijadikan sebagai salah satu indikator konstitusional bagi presiden dalam memberikan pengampunan melalui abolisi dan amnesti.
    Dengan begitu, jabatan publik akan diisi oleh orang-orang yang menghayati integritas, bukan sekadar mencari celah untuk memperkaya diri. Pun demikian, amnesti yang diberikan dapat benar-benar mengarah hanya kepada mereka yang memang pantas untuk mendapatkannya.
    Kasus pengampunan yang diberikan kepada Hasto Kristiyanto dan Tom Lembong telah menunjukkan pro dan kontra.
    Di satu sisi, ia dipuji sebagai langkah berani presiden untuk menutup polemik hukum yang berbau politik. Di sisi lain, publik khawatir amnesti dan abolisi bisa menjadi instrumen politisasi hukum.
    Pada titik inilah gagasan amandemen konstitusi relevan dilakukan: merumuskan kriteria obyektif agar pengampunan tidak semata-mata bergantung pada selera politik.
    Manakala mereka “para Korea” mengalami kriminalisasi berbau politik kuasa, maka jalan pengampunan melalui amnesti atau abolisi dengan indikator konstitusional yang jelas terbuka lebar.
    Amnesti dalam makna “Korea”—memang bisa saja dimaknai bahwa pengampunan itu sebagai terobosan politik. Namun, dalam optik kenegarawanan, “Korea” boleh dimaknai dalam konteks bahwa seorang negarawan adalah mereka yang menjauhi segala tindakan koruptif.
    Kerja keras, berfikir “out of the box”, dan konsistensi untuk melakukan lompatan bukan berarti harus melanggar konstitusi, termasuk korupsi.
    Seorang “Korea sejati” akan memaknainya sebagai instrumen keadilan restoratif yang mengembalikan marwah hukum.
    Jika syarat negarawan ini diperluas dalam konstitusi, maka pemberian pengampunan pun akan lebih legitimate dan terjaga dari manipulasi politik.
    Kasus Noel seharusnya menjadi pelajaran kolektif. Sebagai wakil menteri, ia sudah menapaki tangga sosial tertinggi yang mestinya tidak lagi memerlukan korupsi. Namun, jalan pintas tetap dipilih dan kini ia justru berharap presiden mau menurunkan “tali pengampunan.”
    Di sinilah publik melihat kontras tajam antara mereka yang “Korea sejati” dengan yang bukan. Tak ayal, ini momentum untuk memaknai kembali apa sebetulnya “korea” dalam optik ketatanegaraan dan kenegarawanan.
    Momentum Seminar Konstitusi oleh MPR baru-baru ini yang membicarakan amandemen UUD 1945 tidak boleh berhenti pada wacana.
    Ia mesti menjadi kesempatan berharga untuk menyempurnakan aturan tentang abolisi dan amnesti, memperluas syarat kenegarawanan, dan memperkuat integritas jabatan publik.
    Dengan begitu, konstitusi benar-benar hadir sebagai benteng yang melindungi rakyat dari politisasi hukum. Sekaligus, mencegah lahirnya pejabat “setengah Korea” yang mudah tergelincir dalam korupsi.
    Karena itu, pertanyaan paling menggugah hari ini bukanlah apakah Noel akan mendapat amnesti, melainkan: apakah bangsa ini berani memastikan hanya “Korea” sejati—negarawan yang berintegritas—yang layak duduk di kursi kekuasaan?
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Pimpinan MPR tegaskan fasilitasi dikusi menuju amendemen UUD

    Pimpinan MPR tegaskan fasilitasi dikusi menuju amendemen UUD

    Jakarta (ANTARA) – Wakil Ketua MPR RI Bambang Wuryanto menegaskan pihaknya berkomitmen memfasilitasi diskusi rutin yang membicarakan menuju perubahan atau amendemen UUD NRI Tahun 1945.

    “Sebagai pimpinan MPR, saya pastikan untuk menuju perubahan UUD NRI Tahun 1945, MPR akan memfasilitasi dengan menggelar diskusi rutin untuk amendemen UUD NRI Tahun 1945,” kata Bambang Pacul, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Jumat.

    Hal itu disampaikannya dalam Seminar Konstitusi dengan tema “Dialektika Konstitusi: Refleksi UUD NRI Tahun 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi” di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (21/8).

    Dia mengatakan diskusi itu nantinya diisi oleh mereka yang sudah memiliki pemahaman terhadap sejarah perubahan konstitusi sejak UUD 1945.

    “Menuju amandemen UUD NRI Tahun 1945 ini didukung tim yang terdiri dari para pakar,” ujarnya.

    Pacul mengatakan bahwa usulan amendemen terhadap UUD NRI Tahun 1945 sudah pasti ada karena perubahan sendiri adalah suatu keniscayaan.

    “Perubahan atau amandemen UUD merupakan kewenangan MPR RI sesuai Pasal 3 UUD NRI Tahun 1945,” ucapnya.

    Sementara itu, pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa UUD adalah buatan manusia, apalagi dibuat melalui kesepakatan bersama, sehingga dalam UUD pasti memiliki ruang ketidaksempurnaan.

    “Sehebat apapun perumus konstitusi akan tetap tidak sempurna,” ujar Jimly yang hadir sebagai narasumber dalam seminar.

    Jimly mengatakan Bung Karno sudah menegaskan bahwa UUD 1945 adalah UUD kilat atau sementara yang akan disempurnakan, lalu pada tahun 1950 diupayakan penyempurnaan melalui UUD Sementara.

    “Jadi jangan membayangkan UUD 1945 sempurna,” katanya.

    Lebih lanjut, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu mengatakan perubahan UUD 1945 empat tahap tahun 1999-2002 juga tidak lah sempurna.

    Dia menambahkan UUD NRI Tahun 1945 hasil dari perubahan empat tahap UUD tahun 1999-2002 itu harus dievaluasi secara menyeluruh.

    “Konstitusi kita tidak sempurna, Dari waktu ke waktu, konstitusi harus menampung nilai-nilai dan norma baru. Caranya melalui amandemen UUD, tetapi tidak mungkin konstitusi selalu diubah, maka diperlukan adanya konvensi ketatanegaraan,” tuturnya.

    Meski demikian, dia mengatakan apabila dilakukan kembali amendemen UUD maka jangan hanya dilakukan untuk memasukkan ketentuan tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN).

    Dia memandang evaluasi menyeluruh terhadap konstitusi itu perlu dilakukan menjelang 25 tahun reformasi, misalnya penataan lembaga DPD dan kewenangan Komisi Yudisial (KY).

    “Momentum kepemimpinan MPR periode 2024-2029 di bawah Ketua MPR Ahmad Muzani sesudah terbentuknya pemerintahan baru Prabowo Subianto adalah saat tepat untuk memperbaiki sistem konstitusi kita,” ujarnya.

    Sependapat dengan Jimly, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra menambahkan sesempurna apapun konstitusi dirumuskan maka tidak akan selalu menjawab perkembangan ketatanegaraan kita.

    “Kalau konstitusi diubah terus menerus maka tidak ada bedanya dengan UU maka biasanya dibangun tradisi positif yang dikenal dengan konvensi ketatanegaraan,” ujarnya.

    Dia lantas berkata, “Perubahan UUD memang hasil kompromistis, tetapi kalau tidak disepakati maka akan ada kelompok yang tidak terwakili dalam perubahan konstitusi.”

    Seminar Konstitusi yang dibuka oleh Ketua MPR RI Ahmad Muzani itu dihadiri pula oleh Wakil Ketua MPR RI lainnya yakni Rusdi Kirana dan Hidayat Nur Wahid.

    Pewarta: Melalusa Susthira Khalida
    Editor: Tasrief Tarmizi
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • MPR tak tutup rapat sekaligus buka lebar amendemen UUD

    MPR tak tutup rapat sekaligus buka lebar amendemen UUD

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Muzani: MPR tak tutup rapat sekaligus buka lebar amendemen UUD
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 21 Agustus 2025 – 23:23 WIB

    Elshinta.com – Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Ahmad Muzani mengatakan MPR tidak menutup rapat-rapat terhadap amendemen Undang-Undang Dasar (UUD), sekaligus membuka selebar-lebarnya terhadap perubahan konstitusi.

    Sebab, kata dia, UUD tidak boleh terlalu sering dilakukan perubahan, tetapi juga UUD tidak boleh ditutup rapat untuk perubahan agar bisa mengikuti perubahan dan perkembangan zaman.

    “Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD, kami tidak menutup diri dan menutup rapat-rapat atas perubahan itu. Meskipun di sisi lain, kami juga tidak membuka lebar-lebar atas keinginan terhadap perubahan UUD,” kata Muzani dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.

    Hal itu disampaikannya ketika membuka Seminar Konstitusi dengan tema “Dialektika Konstitusi: Refleksi UUD NRI Tahun 1945 Menjelang 25 Tahun Reformasi Konstitusi” di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta.

    Dia pun menegaskan MPR merupakan lembaga negara yang diberikan kewenangan penuh oleh UUD NRI Tahun 1945 untuk melakukan perubahan atau amandemen UUD.

    Dia mengatakan MPR perlu terus menerus mendengar dan merefleksi diri tentang makna konstitusi ini supaya MPR mengambil keputusan yang benar tentang perlu tidaknya dilakukan amandemen UUD.

    Untuk itu, lanjut dia, MPR mendengarkan pemikiran-pemikiran yang berkembang di masyarakat terhadap perlu tidaknya dilakukan amendemen UUD.

    “Banyak akademisi, tokoh-tokoh, dan kalangan lain yang menyuarakan perubahan UUD. Pemikiran-pemikiran itu kita harus dengarkan,” ucapnya.

    Termasuk, sambung dia, lewat Seminar Konstitusi hari ini sebagai upaya untuk terus mendengar dan mencari tahu apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat.

    Muzani menerangkan bahwa acara seminar ini merupakan rangkaian peringatan Hari Konstitusi yang diperingati setiap tanggal 18 Agustus ketika para pendiri bangsa menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia yang baru saja diproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.

    “Keberanian para pendiri bangsa menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi yang sampai sekarang dipakai adalah keberanian yang luar biasa karena itu sebagai generasi penerus setelah 80 tahun kita merdeka, kita juga harus mempunyai keberanian untuk merefleksi dan merenung tentang konstitusi kita,” tuturnya.

    Lebih lanjut, Muzani juga menyebut tiga lembaga negara yakni MPR, DPR, dan Mahkamah Konstitusi (MK) harus melakukan komunikasi untuk merefleksikan dan mengaktualisasikan UUD NRI Tahun 1945 agar sejalan dengan perkembangan zaman.

    Dia menuturkan MPR adalah lembaga yang memiliki kewenangan melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945, sedangkan DPR adalah lembaga yang memiliki kewenangan membuat UU sebagai penterjemahan dari UUD.

    Lalu, MK adalah lembaga yang diberi kewenangan menafsir semua produk UU apakah memiliki kesesuaian atau tidak dengan UUD.

    “Ketiga lembaga negara ini memiliki kewenangan yang sangat jelas dalam UUD NRI Tahun 1945 karena itu hubungan dan komunikasi ketiga lembaga negara ini harus terus dipikirkan untuk merefleksikan dan mengaktualisasi UUD sepanjang zaman,” kata dia.

    Dalam seminar konstitusi tersebut, turut hadir pula sejumlah Wakil Ketua DPR RI yakni Bambang Wuryanto, Rusdi Kirana, dan Hidayat Nur Wahid.

    Adapun pembicara dalam seminar tersebut ialah pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, Wakil Ketua MK Saldi Isra, dan mantan Panitia Adhoc (PAH I) MPR RI Jacob Tobing (mantan PAH I ).

    Sumber : Antara

  • Track record politik Jokowi dan Gibran menuju RI-1, 12 Orang Terlapor, Anwar Usman serta Omon-Omon

    Track record politik Jokowi dan Gibran menuju RI-1, 12 Orang Terlapor, Anwar Usman serta Omon-Omon

    Oleh: Damai Hari Lubis

    Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik) 

    Ambisi Jokowi dan Gibran yang tunduk kepada ambisi Bapaknya (Jokowi) nampak transparansi sejak usia Gibran yang belum 40 tahun menggugurkan UU. Tentang Pemilu dan PKPU melalui Sang Paman Anwar Usman selaku Ketua MK. Ini historis hukum dan politik, lalu terbukti melalui putusan “ecek-ecek alias sengaja menggantung” dari Jimly Asshiddiqie melalui vonis MKMK (7/11/2023), salah satu faktor prinsip dalam pertimbangan putusan MK menyatakan bahwa, “Anwar Usman terbukti melanggar kode etik hakim MK karena memiliki hubungan semenda dengan Gibran maka dikenakan sanksi berat Anwar diberhentikan dari jabatannya selaku Ketua MK.

    Walau putusan MKMK mengikat namun ada upaya Anwar menggugurkannya melalui PTUN. Namun vonis MA inkracht  menolak gugatan Anwar versi PTUN Jakarta. 

    Namun fakta hukumnya, putusan MKMK tidak berkepastian hukum, karena tidak menyentuh objek materil pelanggaran yang substantif Gibran lakukan bersama Anwar, seharusnya inti ‘putusan MKMK’ adalah tidak hanya memberhentikan Anwar sebagai Ketua MK namun tegas menyatakan ketidakabsahan Usia Gibran sebagai peserta Cawapres 2024 karena ‘terbukti proses Uji Materil di MK dalam Pertimbangan Putusan MKMK ‘terkait pengkarbitan batas usia’ Gibran untuk dapat menjadi peserta pemilu capres/cawapres 2024 dan praktik persidangannya menggunakan pola nepotisme.

    Dari aspek hukum pidana tentunya Anwar Usman dan siapapun (ekualitas) para pelaku yang deelneming (terlibat atau turut serta) terkait nepotisme putusan MKMK (vide putusan MA Jo. PTUN Jakarta), tentu ada ancaman hukuman sesuai UU. No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bebas Bersih dari KKN.

    Sesuai data empirik perilaku Anwar sudah dilaporkan oleh TPUA dan KORLABI (Gabungan Kelompok Para Aktivis Muslim), pada hari Kamis, 2/11/2023 ke Bagian Umum (Dumas) Reskrimum Polda Metro Jaya, namun faktanya laporan (TPUA dan KORLABI) yang diperkuat dengan bukti putusan MKMK (7/11/2024) sampai saat ini sudah hampir 2 tahun belum diproses, kontradiktif dengan laporan Jokowi di Polda Metro Jaya yang baru dilaporkan 30 April 2025 terkait klarifikasi dan konfirmasi atau dugaan publik “Jokowi Ijazah Palsu” justru saat ini sudah memasuki proses penyidikan terhadap 12 orang terlapor. 

    Adapun kasus Anwar Usman Jo. Putusan MKMK secara logika hukum teori kausalitas (Plato, Aristoteles dan Imanuel Kant), maka klasifikasi sosok Gibran patut merupakan salah seorang terduga pelaku yang bersama sama (deelneming) dengan Usman telah melakukan delik nepotisme (pleger atau doen pleger). Dan karena delik nepotisme ini merupakan delik biasa (umum), sehingga patut tentunya dikembangkan secara equal dan tidak limitatif, oleh pihak Penyelidik-Penyidik Reskrimum Polda Metro Jaya dengan pola due process of law (sesuai rules).

    Sehingga prediktif terhadap benang merah dan putih track record Jokowi-Gibran dan dihubungkan dengan narasi dan judul artikel ini, bukan sekedar diksi atau isapan jempol belaka, perihal Wapres Gibran memang sengaja dipersiapkan oleh Jokowi Cs bakal menuju Capres 2029.

    Terkait politik Gibran menuju arah bakal Capres 2029 atau kapan pun waktunya adalah wujud HAM asal dengan pra syarat dan syarat sesuai konstitusi. Dan formal persyaratan sesuai sistim hukum dimaksud, realitas sudah dimiliki oleh Gibran, terlepas dari faktor sejarah hukum nepotisme jo. Putusan MKMK dan perilaku negatif (buruk) Gibran lainnya yang pernah ada.

    Andai ada suara dan upaya penolakan, protes dan kritisi terhadap suksesi kepemimpinan nasional yang mengarah ke figur Gibran (identik Jokowi) bisa diyakini akan ‘dihancurkan berkeping- keping’ oleh kekuatan Politik Jokowi, karena Jokowi sudah banyak ‘mengantongi kapital’ termasuk kapita tokoh tokoh petinggi partai PENGPENG (Penguasa dan Pengusaha) yang mendominasi niaga juga para petinggi partai eks anasir koalisinya pada era kepemimpinannya dulu, bahkan sebagian para petinggi partai kroninya, saat ini sengaja sudah Ia tanam di Pemerintahan KMP dan selebihnya ‘sudah berada di saku baju Jokowi’.

    Namun saat ini, apapun sikon daripada gejala EKOPOLHUKAM yang ada di tanah air, sebagai wujud geografis politik, tetap saja kunci atau tumpuan daripada bangsa dan negara ini berada di pusat kekuasaan yang konstitusional, maka kesemua kebijakan di bidang EKOPOLHUKAM & BUDAYA “milik” atau berada ditangan Presden RI. Prabowo Subianto.

    Untuk itu apakah Presiden RI saat ini siap mencegah laju politik estafet ‘kekuasan’ Jokowi? Karena pencegahan memiliki makna yang sangat dalam dan deskriptif sikap rasa sayang terhadap generasi bangsa saat ini dan kedepan. 

    Jika sebaliknya Prabowo malah seperti ‘tidak acuh’, karena tidak berupaya mengantisipasi estafet kekuasan Jokowi kepada Gibran, yang pada 2024 Jokowi memang sengaja Gibran “ditangguhkan” sementara, dengan pola disinggahkan lebih dulu RI-1 kepada Prabowo Subianto, hanya untuk 1 kali (satu periode) 2024-2029. Karena situasional untuk memajukan Gibran saat itu kondisinya belum memungkinkan. Artinya andai Prabowo mendiamkan lajunya Gibran 2029 ke Kursi RI-1, identik mendukung kelompok Peng- Peng yang orientasi politiknya demi menghidupkan dan melanjutkan amanah cita cita 3 periode yang sebelumnya gagal ‘diganjal’ oleh negarawati Ibu Megawati Soekarno Putri, namun berikutnya dari sisi ego (psikologis) bisa tercapai melalui Gibran ?

    Terlebih obstruksi terhadap politik ambisi 3 periode itu sulit diharapkan kepada mayoritas anak negeri, hal ini sesuai narasi Prabowo pada saat kampanye Capres 2024 yang tercetus melalui kalimat “hanya omon-omon.”

    Sehingga satu satunya obstruktif yang kualitatif adalah dari sosok Presiden Prabowo, Prabowo adalah aset yang amat berharga melebihi tumpukan batu bara, nikel, emas intan dan berlian dan barang hasil tambang lainnya, karena presiden adalah mandataris kunci penentu yang memiliki cita cita sesuai teori berdirinya Negara RI sesua kandungan butir butir (klausul) yang terdapat pada alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, mensejahterakan serta mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sehingga hakekatnya Presiden memiliki tanggung jawab penuh melindungi dan menjaga harkat dan martabat bangsa ini dan bertanggung jawab menjaga dan mengelola seluruh kekayaannya, bersatu menuju bangsa dan negara yang kuat, adil dan sejahtera.

    Apakah Presiden akan menyia-nyiakan kesempatan pada sisa 17 Agustus 2025 menjelang BULAN SEPTEMBER 2025 kemudian terus apatis sampai habis satu periode masa jabatan? 

    Andai perilaku (apatisme) ini benarl terjadi maka, “geo politik tanah air”  sesuai peta kekuasaan Jokowi, dan seluruh penghuni istana nyata konsisten dengan pengakuan mereka, “bahwa Jokowi adalah raja dan tak bisa dikalahkan, Jokowi adalah Guru.” Dan kualitatif dan kuantatif KMP full cerminan isinya pure anasir PENGPENG Cs !

    Namun, publik tetap ragu dan berharap kata kata Prabowo yang mengaku sebagai murid dan bakal mengikuti pola kepemimpinan dari bekas Presiden ke 7 sekedar lip service (fragmatis), hanya demi menggapai bulan dan mentari. Nah saat ini bulan dan mentari sudah ada diatas kedua pundaknya maka, MR. PRESIDEN PLEASE DONT BE LATE. berbuat lah sesuatu yang sederhana oleh sebab kekuasaan yang relatif absolut berada ditangan anda, dan publik mayoritas nalar sehat saat ini, yang patuh konstitusi diantaranya komponen 12 Orang yang dilaporkan Jokowi atas tuduhan hasut dan fitnah terkait dugaan Jokowi Ijazah Palsu, nyata telah sungguh-sungguh memberi support kepemimpinan Presiden Prabowo dan paham tentang majas medis, “mencegah lebih daripada mengobati”.

  • Membaca Arah Tafsir Putusan 135

    Membaca Arah Tafsir Putusan 135

    Jakarta

    Kontestasi politik nasional kembali mengalami konfigurasi pasca diterbitkannya Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 (Putusan 135) pada 26 Juni 2025 silam oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan 135 cukup mengguncang ruang politik nasional karena melegitimasi pemisahan jadwal pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) nasional dan lokal.

    Putusan ini mengakhiri anomali pelaksanaan pemilu serentak yang secara praktik menimbulkan pelbagai krisis, mulai dari pelemahan pelembagaan partai politik, pelemahan upaya penyederhanaan sistem kepartaian, hingga penurunan kualitas kedaulatan rakyat.

    Adanya kegagalan sistematis dalam desain sistem pemilu sangat beririsan dengan kualitas pemimpin rakyat yang muncul sebagai pemenang. Keserentakan pemilu tidak bisa lagi dipandang sebagai pengaturan jadwal pemilu saja, apalagi disederhanakan soal teknis dan implementasi undang-undang.

    Pengaturan jadwal pemilu akan berdampak serius terhadap pemenuhan seluruh asas penyelenggaraan pemilu, serta kemandirian dan profesionalitas penyelenggaraan pemilu yang telah digarikan oleh konstitusi.

    Kesampingkan terlebih dahulu tendensi politis, mari lihat pendekatan penafsiran pada Putusan 135.

    Kegagalan Sistematis Pemilu

    Allen Hicken (2020) dalam studinya “When Does Electoral System Reform Occur?” memberikan 3 (tiga) pendekatan untuk melihat latar belakang adanya perubahan desain pemilu, yaitu kegagalan sistematis (systematic failure), krisis katalis (catalyst crisis), dan preferensi petahana (incumbent preference).

    Pemilu di Indonesia melihat preferensi petahana sebagai pendekatan yang paling ideal. Justru pendekatan tersebut cenderung pragmatis, karena merupakan upaya dari petahana untuk memperoleh keuntungan elektoral agar dapat menang kembali di pemilu.

    Melalui pendekatan tersebut, kondisi objektif dari desain sistem pemilu dikesampingkan, karena sesungguhnya pertimbangan keunggulan politik hampir selalu menjadi faktor utama bahkan satu-satunya.

    Kondisi objektif tersebut dapat diutamakan jika menjatuhkan pilihan pada pendekatan kegagalan sistematis. Kegagalan sistematis melihat perubahan desain sistem pemilu dari perspektif dampak, adanya kegagalan atau ketidakmampuan dari sistem pemilu dan justru melahirkan permasalahan.

    Sebagai contoh, Italia pernah menerapkan sistem pemilu proporsional dalam rangka menyeimbangkan perwakilan di parlemen dengan perolehan suara.

    Namun, sistem tersebut pada akhirnya melahirkan fragmentasi politik, faksionalisasi, serta nirakuntabilitas. Melihat kondisi demikian, Italia melakukan perubahan sistem pemilu dari proporsional ke sistem pemilu campuran melalui mekanisme referendum.

    Arah Penafsiran Mahkamah Konstitusi

    Putusan 135 menjadi benchmarking bagi MK yang menerapkan pendekatan kegagalan sistematis dalam memaknai keserentakan pemilu. Kepekaan terhadap kegagalan sistematis berkorelasi erat dengan metode penafsiran yang dipakai oleh MK. MK selama ini terbelenggu dengan penafsiran originalis (original-intent) yang mencoba menghadirkan semangat awal terbentuknya suatu norma dalam konstitusi.

    Jika sepakat bahwa makna keserentakan tidak hanya persoalan teknis saja, kita harusnya sepakat karena melalui Putusan 135 MK mencoba keluar dari belenggu tersebut. Dengan menggunakan metode penafsiran non originalis (ethical), MK lebih mempertimbangkan aspek kemudahan bagi pemilih menentukan pilihan, kerumitan partai politik dalam proses pencalonan, dan beratnya beban penyelenggaraan pemilu.

    Konsekuensi dari adanya pergeseran metode tafsir tersebut, Pasal 22E ayat (2) UU UUD NRI 1945 tidak lagi bermakna sebagai norma keserentakan pemilu, melainkan hanya norma yang mengatur jenis pemilu. Pilkada merupakan bagian dari pemilu, di mana sistem dan modelnya menjadi bagian dari sistem pengisian pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah.

    Asas keberkalaan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945 pun akan mengalami transisi, khususnya untuk pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota yang tidak akan dilaksanakan pada Pemilu tahun 2029. Kondisi tersebut tunduk pada teori transisi hukum dalam pembentukan kebijakan hukum, sehingga Putusan 135 tidak dapat dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945.

    Menyikapi Putusan 135

    Mempergunakan metode penafsiran non originalis secara teori sejalan dengan pandangan living constitution. Living constitution beranggapan bila terjadi perubahan yang mendasar sebagai kebutuhan dari masyarakat, MK tidak dilarang atau bahkan wajib untuk bertindak aktif dan meninggalkan pendiriannya sebagai negative legislator.

    Living constitution membenarkan penafsiran terjadi dalam bentuk yang akan berdampak pada perubahan makna teks konstitusi secara informal. Jimly Asshiddiqie pernah berkomentar bahwa salah satu ciri konstitusi yang fleksibel adalah apabila UUD nya mensyaratkan tata cara perubahan yang tidak terlalu rumit dengan pertimbangan untuk tidak mempersulit perubahan, sehingga UUD dapat disesuaikan dengan tuntutan perubahan zaman.

    Sepakat atau tidak sepakat, secara teori dan hukum konstitusi, tidak terbuka opsi untuk menolak Putusan 135, sehingga apa yang ditafsirkan oleh MK harus dipatuhi dan dilaksanakan. Res judicata pro verotate habetur, setiap putusan hakim harus dianggap benar sehingga harus dihormati dan dilaksanakan.

    Bagi partai politik pun, Putusan 135 ini tidaklah merugikan. Justru momentum ini membuka ruang untuk menata ulang model keserentakan yang lebih proporsional bagi kepentingan partai politik.

    Muhammad Daffa Alfandy. Junior Associate of DSLC Law Firm.

    (rdp/rdp)

  • Bareskrim Polri Hentikan Kasus Ijazah Jokowi, Jimly Asshiddiqie: Sudah Seharusnya

    Bareskrim Polri Hentikan Kasus Ijazah Jokowi, Jimly Asshiddiqie: Sudah Seharusnya

    FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri resmi menghentikan penyelidikan dugaan pemalsuan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo. Keputusan ini mendapat respons positif dari mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshiddiqie.

    “Ini memang sudah seharusnya demikian. Selamat untuk Kepolisian yang mengutamakan solusi yg bersifat restoratif & relonsiliatif, sejalan dg keputusan pemberian abolisi dan amnesti umum oleh Presiden, menjelang perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2025,” ucap Jimly melalui akun X pribadinya, Selasa (5/8/2025).

    Penghentian penyelidikan ini tercantum dalam Surat Pemberitahuan Perkembangan Penanganan Dumas (SP3D) yang ditandatangani oleh Kepala Biro Pengawas Penyidikan Bareskrim Polri, Brigjen Pol Sumarto. Surat tersebut telah dikirimkan ke Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) selaku pihak pelapor.

    “Penghentian penyelidikan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku,” bunyi keterangan resmi dalam SP3D yang dibagikan oleh Wakil Ketua TPUA, Rizal Fadillah, Kamis (31/7/2025).

    Bareskrim menjelaskan bahwa bukti yang diserahkan TPUA hanya berupa data sekunder dan tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti dalam proses penyelidikan. Karena itu, laporan yang dimaksud tidak dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.