Tag: Jimly Asshiddiqie

  • PBHI Minta Prabowo Bubarkan Komisi Reformasi Polri: Kembali ke Jalur Legislasi

    PBHI Minta Prabowo Bubarkan Komisi Reformasi Polri: Kembali ke Jalur Legislasi

    Jakarta

    Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) meminta agar Presiden Prabowo Subianto membubarkan Komisi Reformasi Polri. PBHI mempertanyakan kontribusi Komisi Reformasi Polri terhadap perbaikan sistemik dan struktural Polri.

    “Sejak awal, PBHI telah menegaskan adanya potensi politisasi, gimmick belaka, bahkan hanya menciptakan keributan lewat konten viral di media sosial. Bagaimana perdebatan soal nama (delegasi) anggota Komisi Reformasi Polri justru lebih ramai dan mendahului gagasan dan fungsi komisi,” kata Ketua Badan Pengurus Nasional PBHI, Julius Ibrani, dalam keterangan yang diterima, Jumat (19/12/2025).

    “Sehingga PBHI menegaskan agar forum reformasi Polri yang begitu fundamental tetap berada pada jalur konstitusional, yakni proses legislasi antara Presiden dan DPR RI, tentu berkonsultasi dengan MPR RI selaku pembentuk UUD Negara RI Tahun 1945 yang memandatkan fungsi dan tugas Kemanan dan Ketertiban pada institusi Polri melalui Pasal 30,” imbuhnya.

    Julius mengatakan Komisi Reformasi Polri diharapkan dapat menjawab persoalan sistemik dan struktural di tubuh Polri, tentu dengan basis dan linimasa yang jelas dan on target, mengingat Polri menjalankan fungsi yang berkelindan dengan kebutuhan harian masyarakat.

    “Faktanya, Komisi Reformasi Polri justru bergerak sangat lambat, minus kontribusi, bahkan justru memproduksi komentar sesat soal Putusan MK No. 114 terkait penempatan Anggota Polri pada institusi di luar Kepolisian. Perlu dipahami secara benar, bahwa Putusan MK No. 114 menyatakan frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri’ pada Bagian Penjelasan Pasal 28 ayat (3) UU No. 2/2002 tentang Polri dinyatakan inkonstitusional. Lebih lanjut, pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi juga merujuk pada Pasal 13 dan Pasal 18 UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN terkait jabatan. Apa makna dan dampak Putusan MK No. 114?” kata dia.

    PBHI meminta agar Presiden Prabowo memerintahkan Komisi Reformasi Polri berpegang teguh pada UUD Negara RI Tahun 1945, khususnya Pasal 30 ayat (2), (4), dan (5), di mana ada kebutuhan pengaturan lebih konkret dan detil mengenai fungsi Keamanan dan Ketertiban yang diemban Polri itu ada sangkut pautnya dengan institusi negara apa saja (Kementerian/Lembaga/Badan/Komisi Negara). Tentu, kata dia, dengan pertimbangan kapasitas dan kompetensi Anggota Polri dalam menjalankan mandat fungsional tersebut.

    “Putusan MK No. 114 memang tidak menafsirkan secara konstitusional institusi dan jabatan apa yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, melainkan hanya merujuk pada lingkup jabatan di Pasal 13 dan Pasal 18 UU ASN, dan basis serta mekanisme teknisnya yang telah diatur oleh Pasal 19 ayat (3) UU ASN, dan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS (PP 11/2017),” ucapnya.

    “Pasal 19 Ayat (2) UU ASN menyatakan bahwa jabatan ASN tertentu dapat diisi dari TNI dan Polri, dengan ketentuan lebih lanjut mengenai jabatan dan tata cara pengisian akan diatur dalam Peraturan Pemerintah. Lalu, Pasal 19 Ayat (3) mengatur pengisian jabatan ASN tertentu oleh prajurit TNI dan anggota Polri pada instansi pusat sesuai dengan ketentuan undang-undang masing-masing,” kata dia.

    Julius kemudian menyinggung Pasal 147 PP nomor 11 tahun 2017 yang menyatakan bahwa Jabatan ASN tertentu di lingkungan Instansi Pusat dapat diisi dari prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan kompetensi, tugas pokok, dan fungsi, serta persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

    Kemudian, Pasal 148 mengatakan bahwa Jabatan ASN tertentu dapat diisi dari Prajurit TNI dan Anggota Polri yang berada pada Instansi Pusat dan sesuai dengan undang-undang mengenai TNI dan undang-undang mengenai Polri. Dan terakhir, menurutnya, Pasal 149 menjelaskan Pangkat Prajurit TNI dan pangkat Anggota Polri untuk menduduki Jabatan ASN pada Instansi Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ditetapkan oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia atau Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan persetujuan Menteri, yang dimaksudkan adalah persetujuan tentang Penetapan pangkat dari Menteri PANRB.

    “Singkatnya, Anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian, yakni pada institusi yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri tanpa perlu mengundurkan diri atau pensiun dari Polri, dengan persetujuan dari Menteri PANRB terkait kepangkatan. Tanpa ada tafsir dan penyebutan konkret serta detil mengenai institusi apa saja yang dimaksud sebagai ‘di luar Kepolisian’,” tutur dia.

    Julius kemudian menyinggung pertanyaan pimpinan Komisi Reformasi Kepolisian yang disampaikan oleh Jimly Asshiddiqie dan Mahfud Md. Kedunya memberikan komentar terkait putusan MK soal jabatan anggota Polri di luar institusi.

    “Pernyataan Prof Jimly dan Prof Mahfud Md yang menyatakan bahwa Putusan MK No. 114 melarang total penempatan jabatan sipil di luar kepolisian oleh Anggota Polri dan harus ada penarikan mundur 4 ribuan Anggota Polri yang berada di institusi selain Polri secara mutatis mutandis, jelas adalah sebuah penyesatan publik. Komisi Reformasi Polri yang seharusnya mencari solusi dan memperbaiki sistem serta struktur Polri yang dianggap sebagai akar masalah, justru menimbulkan masalah sendiri dalam komentarnya, bahkan menjadi sumber masalah dalam agenda reformasi Polri itu sendiri,” katanya.

    “Perlunya ada tafsir dan definisi konkret serta detil mengenai institusi di luar Kepolisian yang ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, adalah PR terbesar dan sangat fundamental untuk diselesaikan. Hegemoni dwifungsi ABRI yang lahir kembali dan menjadi momok dalam perluasan jabatan Anggota TNI di ranah sipil via UU No. 3/2025 tentang Revisi UU TNI, tentu tidak dapat dijadikan rujukan sebagaimana komentar prof. Mahfud MD. Begitu juga ketiadaan konsiderans berupa “Putusan MK No. 114″ pada Peraturan Kepolisian (Perpol) No. 10/2025 tidak dapat dijadikan dalil oleh Prof Jimly pada situasi ini,” tuturnya.

    Julius menilai Komisi Reformasi Polri lamban dalam bekerja. Dia juga menyoroti komentar dari Komisi Reformasi Polri.

    “Lambannya Komisi Reformasi Polri dalam bekerja, ditambah komentar sesat dan menyesatkan publik, tidak mendorong langkah konstitusional Presiden Prabowo untuk memperbaiki institusi Polri. Lahirnya Putusan MK No. 114 tanpa tafsir dan penyebutan institusi apa yang dimaksud di luar Kepolisian, harusnya menjadi momentum baik dan besar bagi Komisi Reformasi Polri untuk meminta Presiden Prabowo mengambil langkah konstitusional, mengikuti alur logika berfikir Pasal 30 UUD Negara RI Tahun 1945,” sebut dia.

    Dia berharap Pemerintah, DPR hingga MK untuk menyusun tafsir terkait institusi yang ada keterkaitan dengan tugas Polri. Sehingga, kata dia, hal tersebut menjadi jelas.

    “Dengan mengundang DPR RI dan MPR RI serta MK untuk menyusun tafsir konstitusional terkait fungsi Polri dan institusi di luar Polri yang ada sangkut pautnya dengan fungsi tersebut. Tentu dengan mengkonfirmasi Menteri PANRB dalam menentukan kebutuhan kapasitas dan kompetensi apa dari Anggota Polri. Hingga kemudian dapat ditentukan institusi dan jabatan apa yang tepat untuk diatur lebih lanjut oleh UU Polri sebagaimana dimaksud oleh UU ASN dan PP 11/2017,” sebut dia.

    “Lambannya, Komisi Reformasi Polri dan Presiden Prabowo, serta minimnya inisiatif dari DPR RI meski telah membentuk Panja Reformasi Polri, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung, tentu menjadi satu celah besar dari segi linimasa yang harus direspons oleh Kapolri, Jendral Listyo Sigit Prabowo, yang menghadapi situasi di mana 4 ribuan anggotanya sedang bertugas di institusi non-Kepolisian,” ucap dia.

    Julius mengatakan alur legislasi dalam mentafsirkan mengenai institusi dan jabatan di luar kepolisian yang ada sangkut pautnya dengan Polri seharusnya direspon dengan cepat dan tepat oleh Komisi Reformasi Polri sejak pemeriksaan Perkara No. 114/PUU-XXIII/2025 berlangsung dan seketika sejak diputus MK.

    “Akan tetapi, gelagat untuk bergerak cepat dan tepat itu tidak terlihat, justru muncul wacana politisasi lewat usulan Prof Yusril terkait pembentukan Kementerian Keamanan sebagai institusi baru yang membawahi Polri dan beberapa institusi yang dianggap ada sangkut pautnya dengan fungsi Polri, sebagai replikasi dari Kementerian Pertahanan yang membawahi TNI. Tanpa menjawab pertanyaan utama: mendefinisikan fungsi dan institusi mana yang ada sangkut pautnya dengan Polri,” katanya.

    Julius menilai pembentukan Komisi Reformasi Kepolisian hanya berujung pada gimik. Dia meminta agar komisi ini tidak dijadikan ajang show off. Oleh karena itu, dia meminta Prabowo membubarkan komisi tersebut.

    “PBHI menegaskan, pembentukan komisi reformasi, tim percepatan atau apapun itu, berdasarkan catatan PBHI hanya berujung pada gimmick dan sarat politisasi kepentingan lain. Publik menuntut agar agenda reformasi Polri sebagai kebutuhan konstitusional masyarakat jangan dijadikan komoditas politik dan show off lewat pemberitaan media,” katanya.

    “PBHI menuntut Pemerintah Presiden Prabowo dan DPR RI untuk dorong tafsir konstitusional mengenai fungsi Keamanan pada Pasal 30 ayat (2), (4), dan (5) UUD Negara RI Tahun 1945 dan tuangkan dalam produk legislasi yang cepat dan tepat: UU Polri. Meski tidak ada kata terlambat, namun penting juga untuk segara membubarkan Komisi Reformasi Polri yang terlalu bermasalah karena komentar-komentar sesat,” pungkasnya.

    Halaman 2 dari 2

    (lir/fjp)

  • Kapolri Kena ‘Skakmat’, Polisi Dilarang Keras Isi Jabatan Sipil di K/L

    Kapolri Kena ‘Skakmat’, Polisi Dilarang Keras Isi Jabatan Sipil di K/L

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Percepatan Reformasi Polri memastikan kepolisian bakal patuh pada putusan Mahkamah Konstistusi soal larangan anggota aktif menduduki jabatan sipil di Kementerian dan Lembaga (K/L). 

    Pernyataan tersebut merespons terbitnya Peraturan Kapolri atau Perpol No.10/2025 yang berisi daftar 17 K/L yang jabatannya bisa diisi oleh anggota polisi. 

    Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie, didampingi beberapa anggota tim, langsung menggelar jumpa pers. Dia mengatakan kepastian itu disampaikan langsung oleh Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo saat bertemu Tim Reformasi. 

    “Jadi yang jelas, kami sudah bahas ya Polri tadi yang hadir Wakapolri, komitmennya sesudah keputusan MK tidak ada lagi penugasan baru, tidak ada lagi,” ujar Jimly di posko tim reformasi, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Dia menambahkan Perpol No.10/2025 justru mengatur lebih ketat soal anggota yang sudah menduduki jabatan sipil.

    Dengan demikian, lanjutnya, beleid yang diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu terbit setelah Polri melakukan koordinasi dengan sejumlah kementerian terkait.

    “Jadi sudah clear gitu ya cuma yang sudah keburu menduduki jabatan ini harus diatur dulu yang mana, yang mana dan sebagainya,” imbuhnya.

    Di samping itu, Jimly mengatakan bahwa nantinya Perpol No.10/2025 tentang penugasan anggota Polri bakal diintegrasikan dengan PP sebelum akhirnya menjadi Undang-undang (UU).

    “Dan itulah perlunya ada PP terintegrasi tadi, sebelum undang-undang oh ini pas tadi, nah gitu ya biar clear ya biar masyarakat juga bisa lebih terang bahwa ini sudah ada solusinya,” pungkasnya.

    Perpol No. 10/2025 Melawan UU 

    Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi sekaligus anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri Mahfud MD mengkritisi Peraturan Polisi (Perpol) No.10/2025 tentang Anggota Polri yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri. Menurutnya, peraturan ini bertentangan dengan dua Undang-Undang.

    “Perpol Nomor 10 tahun 2025 itu bertentangan dengan dua Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, di mana di dalam pasal 28 ayat 3 disebutkan Anggota Polri yang mau masuk ke jabatan sipil hanya boleh apabila minta berhenti atau pensiun dari Dinas Polri,” katanya sebagaimana dilansir akun YouTube @MahfudMD, dikutip Minggu (14/12/2025).

    Mahfud menjelaskan ketentuan itu telah dikuatkan melalui putusan Mahkamah Konstitusi nomor 114 tahun 2025. Lebih lanjut, dia menyampaikan peraturan itu juga bertentangan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang ASN bahwa jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan Polri.

    Menurutnya, Undang-Undang TNI sudah mengatur adanya 14 jabatan yang dapat diduduki TNI. Namun, katanya, dalam Undang-Undang Polri tiidak menyebutkan jabatan-jabatan yang boleh diduduki Polri

    “Dengan demikian, perkap [perpol] itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam Undang-Undang. Tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur,” ucapnya.

    Dia menegaskan pernyataan soal polisi adalah jabatan sipil sehingga dapat menjabat ke jabatan sipil lainnya merupakan pernyataan yang salah. Dia mencontohkan seorang sipil saja tidak boleh masuk ke sipil jika di ruang lingkup tugas dan profesinya beririsan.

    “Misalnya, seorang dokter bertindak sebagai jaksa kan tidak bisa. Jaksa bertindak sebagai dokter kan tidak bisa. Dosen bertindak sebagai jotaris kan tidak boleh,” tandasnya.

    Pembelaan Kalpolri Listyo Sigit 

    Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyatakan Perpol No.10/2025 diterbitkan untuk menghormati putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal larangan anggota Polri isi jabatan sipil.

    “Jadi perpol yang dibuat oleh polri tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK,” ujar Sigit di kompleks Istana Negara, Senin (15/12/2025).

    Dia menambahkan perpol No.10/2025 yang ditekennya itu telah melewati koordinasi atau konsultasi dengan kementerian maupun stakeholder terkait.

    Meski demikian, Sigit enggan bicara banyak terkait dengan pihak lain yang menilai Perpol No.10/2025 ini berkaitan dengan putusan MK. 

    “Biar saja yang bicara begitu. Yang jelas langkah yang dilakukan kepolisian sudah dikonsultasikan. Baik dengan kementerian terkait, stakeholder terkait, lembaga terkait. Sehingga baru disusun perpol,” imbuhnya.

    Dia menambahkal Perpol 10/2025 mengenai aturan penugasan anggota ini bakal ditingkatkan menjadi peraturan pemerintah dan bakal dimasukkan ke dalam revisi undang-undang (RUU) Polri.

    “Yang jelas perpol ini tentunya akan ditingkatkan menjadi pp dan kemudian kemungkinan akan dimasukkan dalam revisi UU,” pungkasnya.

    Sebelumnya, Pada Pasal (3) beleid itu memuat aturan Polri bisa bertugas pada jabatan manajerial dan non-manajerial. anggota boleh menjabat di luar struktur apabila jabatan itu berkaitan dengan fungsi kepolisian yang dilakukan berdasarkan permintaan dari K/L atau organisasi internasional.

    Sekadar informasi, berdasarkan Perpol No.10/2025, total ada 17 Kementerian atau Lembaga (K/L) yang bisa diduduki oleh anggota Polri.

    Berikut ini 17 K/L yang bisa dijabat anggota Polri sebagaimana Perpol No.10/2025 

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

  • Tim Reformasi Polri: Penugasan Polisi di Luar Struktur Wajar, Asalkan…

    Tim Reformasi Polri: Penugasan Polisi di Luar Struktur Wajar, Asalkan…

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Percepatan Reformasi Polri menilai penugasan anggota Polri di luar struktur merupakan suatu hal yang sah jika berdasarkan permintaan Kementerian atau Lembaga (K/L) terkait.

    Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri Jimly Asshiddiqie mengatakan terdapat sejumlah K/L yang memiliki divisi irisan dengan tugas kepolisian, seperti penegakan hukum.

    Dengan demikian, kata Jimly, pihak yang membutuhkan penugasan anggota itu bukan dari keinginan Polri melainkan dari K/L terkait.

    “Jadi polisi itu posisinya dimintai. Bukan polri yang mengirim pasukan. Jadi ada kebutuhan, dan masuk akal dari pihak kementerian lingkungan hidup, ini judulnya direktorat penegakkan hukum Iya kan? Jadi masuk akal dia [K/L] minta,” ujar Jimly di Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Dia menambahkan saat ini ada 56 instansi yang memiliki wewenang penyidikan atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Oleh sebab itu, pelaksanaan penyidikan itu memerlukan pihak yang berpengalaman.

    Dalam hal ini, Jimly mencontohkan bahwa anggota Polri merupakan salah satu lembaga yang memiliki pengalaman itu. Alhasi, Perpol No.10/2025 yang dinilai kontroversi justru mengatur penugasan itu.

    “Jadi itu kira-kira ya, supaya tidak disalahpahami. Bukan salahnya polisi, dia dibutuhkan. Nah inilah yang dimaksudkan oleh perpol itu untuk mengatur,” imbuhnya.

    Di samping itu, Jimly telah mendapatkan kabar bahwa saat ini Polri tidak akan memberikan penugasan di luar struktur hingga adanya aturan baru yang mengatur tersebut.

    “Pokoknya setelah putusan MK ya, itu tidak akan ada lagi, menunggu aturan yang pasti ke depan,” pungkas Jimly.

  • Polemik Perpol 10/2025: Jimly Terkejut, Menkum Minta Tidak Diperdebatkan

    Polemik Perpol 10/2025: Jimly Terkejut, Menkum Minta Tidak Diperdebatkan

    Polemik Perpol 10/2025: Jimly Terkejut, Menkum Minta Tidak Diperdebatkan
    Penulis
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Terbitnya Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 diperdebatkan, karena peraturan itu mengatur soal anggota polisi aktif boleh menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
    Polemik terkait
    Perpol 10/2025
    semakin menjadi diskursus, karena beberapa waktu sebelumnya Mahkamah Konstitusi (
    MK
    ) mengeluarkan Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
    Putusan tersebut diketahui memutuskan bahwa anggota Polri harus mengundurkan diri atau mengajukan pensiun dari dinas kepolisian jika akan menduduki jabatan sipil.
    Ketua
    Komisi Percepatan Reformasi Polri

    Jimly Asshiddiqie
    hingga Menteri Hukum (
    Menkum
    )
    Supratman Andi Agtas
    pun sudah buka suara soal Perpol 10/2025.
    Bagaimana sikap ketiganya terkait Perpol tersebut? Berikut rangkumannya dari Kompas.com:
    Jimly yang merupakan Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri mengaku terkejut dengan terbitnya Perpol 10/2025.
    Saking terkejutnya dengan terbitnya Perpol tersebut, Jimly sampai menghubungi anggota
    Komisi Reformasi Polri
    yang juga mantan Wakapolri Jenderal (purn) Ahmad Dofiri.
    “Kami lagi rapat bertiga malam-malam terus saya pulang ke rumah saya dikasih WA ada Perpol baru, saya forward ke Pak Ahmad Dofiri dia juga kaget, jadi kita enggak tahu. Kami tidak tahu. Kami tidak diberitahu sebelumnya,” kata Jimly saat ditemui di Posko Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jakarta Selatan, Kamis (18/12/2025).
    Jimly menjelaskan, kehadiran Komisi Percepatan Reformasi Polri bukan untuk dipertentangkan, melainkan bentuk sinergi dengan internal kepolisian.
    Oleh karena itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga tergabung dalam komisi bentukan Presiden Prabowo Subianto itu.
    “Sejak awal saya sudah mengatakan jangan dipertentangkan dengan komisi internal, itu sebabnya Kapolri langsung menjadi anggota komisi ini,” ujar Jimly.
    Ke depan, ia berharap adanya komunikasi dan koordinasi terkait penerbitan peraturan hingga kebijakan strategis di lingkungan Polri.
    “Kalau ada kebijakan-kebijakan baru, ya kita harus diberitahu sebelumnya, ya mudah-mudahan kejadian kemarin tidak terjadi lagi,” jelas eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
    KOMPAS.com/NICHOLAS RYAN ADITYA Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie ditemui di Posko Komisi Reformasi, Jakarta Selatan, Kamis (18/12/2025).
    Sementara itu pada Rabu (17/12/2025), Jimly mengaku melihat adanya kesalahan dalam bagian “menimbang dan mengingat” di Perpol 20/2025.
    Dalam bagian “menimbang dan mengingat” Perpol itu, tidak ada Putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
    “(Bagian) Menimbangnya itu, tidak ada sama sekali menyebut putusan MK. (Bagian) Mengingatnya pun tidak sama sekali menyebut putusan MK,” ujar Jimly di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (17/12/2025), dikutip dari Kompas TV.
    “Artinya yang dijadikan rujukan Perpol itu adalah undang-undang yang belum mengalami perubahan dengan putusan MK. Maka ada orang menuduh ‘Ohh ini bertentangan dengan putusan MK’ ya eksplisit memang begitu, mengingatnya enggak ada, artinya putusan MK yang mengubah undang-undang enggak dijadikan rujukan,” sambungnya menegaskan.
    Jimly juga menjelaskan, Perpol itu menurut pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan hanya bisa mengatur hal-hal yang bersifat internal di kepolisian.
    “Kalau ada masalah yang ada irisannya itu berhubungan antara instansi, enggak bisa diatur sendiri secara internal,” ujar Jimly.
    Adapun Menkum Supratman Andi Agtas menilai perbedaan pandangan terkait Perpol 10/2025 dengan putusan MK sebagai hal yang wajar dan tidak perlu diperdebatkan.
    Ia menjelaskan, setiap pihak memiliki cara pandang serta penafsiran masing-masing terhadap putusan MK.
    Politikus Partai Gerindra itu menilai, dinamika perbedaan pendapat semacam ini merupakan sesuatu yang lumrah dalam praktik demokrasi.
    “Bahwa ada dinamika yang berkembang terkait dengan perbedaan cara memandang putusan MK, itu biasa-biasa saja, enggak usah diperdebatkan,” ujar Supratman dalam konferensi pers penutupan rapat koordinasi Kementerian Hukum di Jakarta, Kamis (18/12/2025).
    Kendati demikian, Supratman menegaskan bahwa pemerintah tetap konsisten menghormati dan melaksanakan setiap putusan MK.
    Ia menilai, sejauh ini tidak ada persoalan dalam hubungan pemerintah dengan lembaga peradilan konstitusi tersebut.
    “Kan pemerintah selama ini tidak ada masalah dengan putusan MK. Tetap ikut, kan?” ujar Supratman.
    Menteri Hukum Supratman Andi Agtas dalam konferensi pers penutupan rapat koordinasi Kemenkum, Jakarta, Kamis (18/12/2025).
    Diketahui, anggota Polri aktif kini resmi dapat menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga pemerintah.
    Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
    Berdasarkan salinan aturan yang dilihat Kompas.com dari situs peraturan.go.id, Kamis (11/12/2025), daftar kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh personel Polri diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Perpol tersebut.

    Pelaksanaan Tugas Anggota Polri pada kementerian/lembaga/badan/komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan
    ,” bunyi pasal tersebut.
    Berikut 17 kementerian/lembaga yang bisa diisi polisi aktif:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Patuhi Putusan MK, Tim Reformasi Pastikan Polri Tak Lagi Beri Tugas Anggota di Jabatan Sipil

    Patuhi Putusan MK, Tim Reformasi Pastikan Polri Tak Lagi Beri Tugas Anggota di Jabatan Sipil

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Percepatan Reformasi Polri memastikan Polri bakal patuh pada putusan MK soal larangan anggota duduki jabatan sipil.

    Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie mengatakan kepastian itu disampaikan langsung oleh Wakapolri Komjen Dedi Prasetyo saat bertemu tim reformasi.

    “Jadi yang jelas, kami sudah bahas ya polri tadi yang hadir Wakapolri, komitmennya sesudah keputusan MK tidak ada lagi penugasan baru, tidak ada lagi,” ujar Jimly di posko tim reformasi, Jakarta, Kamis (18/12/2025).

    Dia menambahkan, Perpol No.10/2025 justru mengatur lebih ketat soal anggota yang sudah menduduki jabatan sipil.

    Dengan demikian, beleid yang diteken Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo itu terbit setelah Polri melakukan koordinasi dengan sejumlah kementerian terkait.

    “Jadi sudah clear gitu ya cuma yang sudah keburu menduduki jabatan ini harus diatur dulu yang mana, yang mana dan sebagainya,” imbuhnya.

    Di samping itu, Jimly mengemukakan bahwa nantinya Perpol No.10/2025 tentang penugasan anggota Polri bakal diintegrasikan dengan PP sebelum akhirnya menjadi Undang-undang (UU).

    “Dan itulah perlunya ada PP terintegrasi tadi, sebelum undang-undang oh ini pas tadi, nah gitu ya biar clear ya biar masyarakat juga bisa lebih terang bahwa ini sudah ada solusinya,” pungkasnya.

    Sekadar informasi, berdasarkan Perpol No.10/2025, total ada 17 Kementerian atau Lembaga (K/L) yang bisa diduduki oleh anggota Polri.

    Berikut ini 17 K/L yang bisa dijabat anggota Polri sebagaimana Perpol No.10/2025 :

    1. Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan

    2. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

    3. Kementerian Hukum

    4. Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan 

    5. Kementerian Kehutanan

    6. Kementerian Kelautan dan Perikanan

    7. Kementerian Perhubungan

    8. Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia

    9. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional

    10. Lembaga Ketahanan Nasional

    11. Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

    12. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

    13. Badan Narkotika Nasional (BNN)

    14. Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

    15. Badan Intelijen Negara (BIN)

    16. Badan Siber Sandi Negara (BSSN)

    17. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

  • Tim Reformasi Beri Kisi-kisi “Gugat” Perpol 10/2025 yang Diteken Kapolri Listyo Sigit

    Tim Reformasi Beri Kisi-kisi “Gugat” Perpol 10/2025 yang Diteken Kapolri Listyo Sigit

    Bisnis.com, JAKARTA — Komisi Percepatan Reformasi Polri mengungkapkan metode gugatan peraturan polri alias Perpol No.10/2025 yang dinilai kontroversi.

    Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie mengatakan ada sejumlah pihak yang berwenang mereview aturan itu bisa dari Polri sendiri hingga Mahkamah Agung (MA).

    “Kan bisa Polri akan melihat, evaluasi, ya sudah, cabut ini. Misal itu. tapi ini kan tidak bisa dipaksa. Orang dia yang meneken. Maka ada yang kedua, Mahkamah Agung,” ujar Jimly di Kantor Kemensetneg, Jakarta, dikutip Kamis (18/12/2025).

    Dia menjelaskan, MA memiliki kewenangan menguji peraturan jika bertentangan dengan Undang-undang (UU).

    Menurutnya, dalam perpol yah diteken okeh Kapolri Listyo Sigit itu ada pertimbangan yang tidak tepat.

    Salah satunya, pada Perpol No.10/2025 tidak ada penyantuman putusan MK soal aturan jabatan sipil yang bisa dijabat anggota Polri sebagai pertimbangannya.

    “Mau nyari kesalahan, gampang, apa contohnya, lihat pertimbangan menimbang dan mengingatnya, Itu ada yang tidak tepat. Menimbangnya itu, tidak ada sama sekali menyebut putusan MK,” imbuhnya.

    Selain MA, menurut Jimly, kepala negara atau Presiden juga memiliki kewenangan untuk mengubah Perpol No.10/2025.

    “Nah, ini pejabat ketiga boleh, yaitu Presiden. Pejabat atasan punya kewenangan menerbitkan Perpres atau PP, yang PP itu misalnya itu mengubah materi aturan yang ada di perpol, itu boleh, nah itu lebih praktis. Itu pilihannya,” pungkasnya.

    Sebelumnya, salah satu tokoh yang mempersoalkan Perpol No.10/2025 adalah Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD.

    Menurutnya peraturan tentang Polri yang bisa melakukan tugas di luar struktur Polri sudah bertentangan dengan dua Undang-Undang yaitu UU No.2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

    Kedua, dia mengatakan bahwa Perpol terbaru yang dirilis 2025 itu juga bertentangan dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang ASN bahwa jabatan sipil di tingkat pusat boleh diduduki oleh anggota TNI dan Polri.

    Mahfud menjelaskan ketentuan itu telah dikuatkan melalui putusan MK nomor 114 tahun 2025. 

    “Dengan demikian, perkap itu kalau memang diperlukan itu harus dimasukkan di dalam Undang-Undang. Tidak bisa hanya dengan sebuah Perkap jabatan sipil itu diatur,” ucapnya dilansir akun YouTube @MahfudMD, dikutipMinggu (14/12/2025).

  • Jimly Sebut Penempatan Polisi di Kementerian Seharusnya Diatur di PP, Bukan Perpol

    Jimly Sebut Penempatan Polisi di Kementerian Seharusnya Diatur di PP, Bukan Perpol

    Jimly Sebut Penempatan Polisi di Kementerian Seharusnya Diatur di PP, Bukan Perpol
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie buka suara soal Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang membolehkan polisi aktif menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
    Menurutnya, aturan tersebut seharusnya diatur lewat Peraturan Pemerintah (PP), bukan peraturan
    Polri
    ,
    “Soal penempatan anggota Polri di berbagai, yang jadi isu sekarang ini. Itu mudah itu, bikin PP yang mengintegrasikan dan mengharmoniskan implementasi Undang-Undang ASN, Undang-Undang Polri, lalu ada undang-undang yang saling kait-berkait,” ujar Jimly di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (17/12/2025), dikutip dari
    Kompas TV
    .
    Menurutnya, anggota Polri dapat ditempatkan di kementerian/lembaga yang memiliki Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum), seperti Kementerian Kehutanan (Kemenhut) serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
    Jika PP tersebut ada, barulah pihak kementerian/lembaga terkait bisa menyurati Kapolri untuk permintaan anggota Polri untuk menempati posisi kementerian/lembaganya.
    “Lalu pas nyari orangnya, menterinya itu kirim surat kepada Kapolri ‘tolong dong pejabat eselon III, eselon I, kalau bisa bintang 2, bintang 3’. Jadi diminta dari luar,” ujar Jimly.
    “Nah ini harus diatur di PP, tidak bisa diatur di internal Perpol,” sambungnya menegaskan.
    Jimly menjelaskan, Perpol itu menurut pedoman pembentukan peraturan perundang-undangan hanya bisa mengatur hal-hal yang bersifat internal di kepolisian.
    “Kalau ada masalah yang ada irisannya itu berhubungan antara instansi, enggak bisa diatur sendiri secara internal,” ujar Jimly.
    Dalam kesempatan berbeda, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menyebut,
    Perpol 10/2025
    akan ditingkatkan menjadi Peraturan Pemerintah (PP).
    “Perpol ini tentunya nanti akan ditingkatkan menjadi PP,” ujar Sigit di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/12/2025).
    Setelah itu, Sigit mengungkap bahwa ada kemungkinan aturan tersebut akan dimasukkan ke revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
    “Kemudian kemungkinan akan dimasukkan dalam revisi undang-undang,” ujar Sigit.
    KOMPAS.com/Rahel Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo di Kompleks Istana, Jakarta, Senin (15/12/2025).
    Perpol 10/2025, kata Sigit, merupakan bentuk penghormatan Polri terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
    Putusan tersebut diketahui memutuskan bahwa anggota Polri harus mengundurkan diri atau mengajukan pensiun dari dinas kepolisian jika akan menduduki jabatan sipil.
    Setelah adanya putusan MK itu, Polri berkonsultasi dengan kementerian/lembaga sebelum terbitnya Perpol 10/2025.
    “Jadi Perpol yang dibuat oleh Polri, tentunya dilakukan dalam rangka menghormati dan menindaklanjuti putusan MK,” ujar Sigit.
    Diketahui, anggota Polri aktif kini resmi dapat menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga pemerintah.
    Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
    Berdasarkan salinan aturan yang dilihat Kompas.com dari situs peraturan.go.id, Kamis (11/12/2025), daftar kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh personel Polri diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Perpol tersebut.

    Pelaksanaan Tugas Anggota Polri pada kementerian/lembaga/badan/komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan,
    ” bunyi pasal tersebut.
    Berikut 17 kementerian/lembaga yang bisa diisi polisi aktif:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Jimly Sebut Penempatan Polisi di Kementerian Seharusnya Diatur di PP, Bukan Perpol

    4 Ketua Komisi Reformasi Polri Ungkap 3 Pihak yang Bisa Batalkan Perpol 10/2025 Nasional

    Ketua Komisi Reformasi Polri Ungkap 3 Pihak yang Bisa Batalkan Perpol 10/2025
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie menyebut bahwa Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 hanya bisa dibatalkan oleh tiga pihak.
    Diketahui,
    Perpol 10/2025
    mengatur soal anggota polisi aktif boleh menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga.
    Adapun pihak pertama yang bisa membatalkan Perpol 20/2025 adalah Polri itu sendiri.
    “Kan bisa Polri itu melihat evaluasi, ya udah dicabut sama dia, boleh, misal gitu, iya kan. Tapi ini kan tidak bisa dipaksa, orang dia yang udah neken,” ujar Jimly di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (17/12/2025), dikutip dari
    Kompas TV
    .
    Pihak kedua yang bisa membatalkan Perpol 10/2025 adalah Mahkamah Agung (MA). Jimly menjelaskan, MA memiliki kewenangan
    judicial review
    .
    “Menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. Kalau ada yang mengatakan ‘Ini Perpol bertentangan dengan undang-undang’ ehh bawa ke Mahkamah Agung aja,” ujar Jimly.
    Menurut Jimly, ada kesalahan dalam Perpol tersebut di bagian menimbang dan mengingat. Sebab dalam bagian menimbang dan mengingat Perpol itu, tidak ada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025.
    “(Bagian) Menimbangnya itu, tidak ada sama sekali menyebut putusan MK. (Bagian) Mengingatnya pun tidak sama sekali menyebut putusan MK,” ujar Jimly.
    “Artinya yang dijadikan rujukan Perpol itu adalah undang-undang yang belum mengalami perubahan dengan putusan MK. Maka ada orang menuduh ‘Ohh ini bertentangan dengan putusan MK’ ya eksplisit memang begitu, mengingatnya enggak ada, artinya putusan MK yang mengubah undang-undang enggak dijadikan rujukan,” sambungnya menegaskan.
    Sedangkan pihak terakhir yang bisa membatalkan Perpol yang mengatur polisi bisa menjabat di 17 kementerian/lembaga adalah Presiden.
    “Presiden, pejabat atasan punya kewenangan menerbitkan perpres (peraturan presiden) atau PP (peraturan pemerintah), yang PP itu misalnya itu mengubah materi aturan yang ada di perpol, itu boleh. Nah itu lebih praktis,” kata Jimly.
    Diketahui, anggota Polri aktif kini resmi dapat menduduki jabatan sipil di 17 kementerian dan lembaga pemerintah.
    Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang Melaksanakan Tugas di Luar Struktur Organisasi Polri.
    Berdasarkan salinan aturan yang dilihat Kompas.com dari situs peraturan.go.id, Kamis (11/12/2025), daftar kementerian/lembaga yang dapat diisi oleh personel Polri diatur dalam Pasal 3 Ayat (2) Perpol tersebut.

    Pelaksanaan Tugas Anggota Polri pada kementerian/lembaga/badan/komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilaksanakan,
    ” bunyi pasal tersebut.
    Berikut 17 kementerian/lembaga yang bisa diisi polisi aktif:
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

  • Inkonsistensi yang Dilegalkan

    Inkonsistensi yang Dilegalkan

    OLEH: AHMADIE THAHA

       

    ADA masa ketika hukum di negeri ini berdiri tegak seperti tiang bendera setiap Senin pagi: lurus, kaku, dan sedikit menegangkan. Tetapi belakangan, hukum kita tampaknya lebih mirip karet gelang — bisa ditarik ke mana saja, dipelintir secukupnya, lalu diklaim tetap utuh.

    Tidak putus meski ditarik ke mana saja, kata mereka. Hanya lentur. Dan dalam kelenturan itulah, kita menyaksikan satu demi satu putusan konstitusi diuji bukan oleh pengadilan, melainkan oleh kreativitas birokrasi.

    Yusril Ihza Mahendra, dengan ketenangan seorang profesor yang sudah kenyang debat konstitusi, belum lama ini menyimpulkan sesuatu yang pahit tapi jujur yakni hukum Indonesia sering inkonsisten.

    Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menurut Undang-Undang bersifat final dan mengikat, dalam praktiknya kerap diperlakukan seperti rekomendasi seminar — boleh diikuti, boleh juga tidak, tergantung suasana batin dan kepentingan.

    Pernyataan itu belum sempat menjadi kutipan tetap di slide kuliah hukum tata negara, tiba-tiba pihak Kepolisian RI (Polri) datang membawa contoh empirisnya dengan terbitnya Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025.

    Jika ini film, kita akan menyebutnya plot twist. Jika ini sinetron, penonton akan berteriak, “Lho, kok bisa?” Tetapi karena ini negara hukum, para pakar ramai-ramai mendiskusikannya, sementara publik hanya bisa menghela napas panjang.

    Yang membuat cerita ini semakin ironis adalah konteks waktunya. Presiden Prabowo Subianto belum lama ini membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri, dipimpin oleh Jimly Asshiddiqie — nama yang bagi mahasiswa hukum lebih sakral daripada daftar pustaka skripsi.

    Komisi ini dibentuk untuk membenahi Polri: dari regulasi, kelembagaan, hingga kultur. Singkatnya, Polri sedang masuk bengkel besar nasional. Namun, sebelum mesin Polri dibongkar dan onderdilnya diperiksa, dari dalam bengkel justru keluar suara mesin yang dipaksa ngebut.

    Kapolri menandatangani Perpol 10/2025, sebuah peraturan yang oleh Harian Kompas disebut secara lugas dan tanpa basa-basi sebagai “pembangkangan konstitusional.” Ini bukan istilah sembarangan. Ini tudingan serius: bahwa sebuah peraturan internal lembaga negara bertentangan langsung dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

    Masalahnya bukan sepele. Mahkamah Konstitusi, lewat Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025, telah menyatakan bahwa frasa di Pasal 28 ayat (3) UU Polri — yang bunyinya: “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” — bertentangan dengan UUD 1945.

    Frasa itu dipangkas oleh MK dalam putusannya terbaru, dicoret, dan secara hukum dinyatakan mati. Artinya, pasal itu sudah tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam istilah medis, death certificate-nya sudah keluar.

    Tetapi di republik yang penuh kejutan ini, kematian hukum sering kali bersifat administratif, bukan eksistensial. Frasa yang sudah mati itu justru dijadikan fondasi hidup Perpol 10/2025. Seolah-olah MK hanya memberikan cuti sakit, bukan vonis akhir.

    Maka, berbekal SK tersebut, anggota Polri aktif tetap atau kembali diberi jalan untuk menduduki jabatan di luar struktur kepolisian, di 17 kementerian dan lembaga negara, baik jabatan manajerial maupun non manajerial.

    Tujuh belas! Angka yang mengesankan. Hampir seperti daftar fakultas di universitas besar. Dari urusan politik-keamanan, energi, hukum, kehutanan, kelautan, perhubungan, hingga lembaga-lembaga super strategis seperti OJK, PPATK, BIN, BSSN, bahkan KPK.

    Negara mendadak terasa seperti papan catur raksasa, dan perwira Polri bisa melangkah ke banyak petak. Sementara bidak lain — ASN karier —  hanya bisa menonton dari garis start. Tak ayal, dari Jimly hingga Mahfud MD gerah dengan Perpol itu.

    Bahkan, Zennis Helen, dosen hukum tata negara tak setenar Yusril, masuk membawa pisau analisis yang tajam tapi dingin. Ia mengingatkan sesuatu yang seharusnya menjadi pelajaran dasar: asas penjenjangan norma.

    Ia mengutip Hans Kelsen yang sudah mengajarkannya hampir seabad lalu melalui Stufenbau Theorie. Bahwa norma hukum itu bertingkat. Yang rendah tidak boleh melawan yang tinggi. Jika melawan, ia gugur dengan sendirinya.

    Dalam bahasa Latin yang sering membuat mahasiswa mengangguk sambil pura-pura paham, lex superior derogat legi inferiori. Peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Ini bukan sekadar etika hukum. Ini struktur logika negara hukum.

    Memang benar, Perpol yang diterbitkan Kapolri tidak masuk dalam hierarki utama Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Tetapi ia tetap peraturan. Ia tetap regeling. Ia tetap tunduk pada asas penjenjangan norma.

    Perpol tersebut tidak hidup di alam bebas, apalagi di luar konstitusi. Maka ketika Perpol 10/2025 bertentangan dengan putusan MK, yang terjadi bukan perbedaan tafsir biasa, melainkan anomali hukum.

    Anomali ini terasa semakin ganjil karena, pasca putusan MK, pihak Polri sempat menarik satu perwira tingginya dari jabatan sipil. Publik melihat ini sebuah isyarat kepatuhan yang tampak manis di awal.

    Tetapi nyatanya, itu pemanis saja. Dengan Perpol tadi, anggota Polri aktif justeru merasa punya hak untuk bercokol dengan nyaman di berbagai kementerian dan lembaga. Bahkan posisi mereka kini dilegitimasi ulang lewat Perpol baru.

    Maka, penarikan itu pun terlihat seperti formalitas: cukup untuk disebut patuh, tapi tidak cukup untuk benar-benar taat.

    Dampaknya tidak berhenti pada soal legalitas. Ia merembet ke jantung tata kelola negara. Sistem meritokrasi ASN — yang selama ini didorong habis-habisan agar birokrasi diisi oleh kompetensi, bukan koneksi — terancam menjadi jargon kosong.

    ASN yang puluhan tahun meniti karier, mengikuti pelatihan, menunggu promosi, bisa tersalip oleh jalur penugasan berseragam cokelat. Meritokrasi pun berubah menjadi dekorasi, indah di dokumen, rapuh di praktik.

    Dalam perspektif sosiologi birokrasi, ini berbahaya. Ia merusak kultur kerja, mematahkan motivasi, dan menciptakan kasta implisit di tubuh birokrasi.

    Negara-negara demokrasi mapan sangat hati-hati dalam urusan ini. Inggris memisahkan polisi dari jabatan birokrasi sipil strategis. Amerika Serikat, dengan segala kekuatannya, tetap menjaga jarak institusional agar aparat penegak hukum tidak menjadi perpanjangan tangan kekuasaan administratif.

    Pihak Kepolisian Indonesia tampaknya memilih jalur berbeda yaitu memperluas ruang, lalu berharap konflik kepentingan bisa dikelola dengan surat mutasi.

    Padahal, jalan keluar konstitusional tersedia. Zennis Helen menyebut dua jalur. Pertama, dialog administratif melalui Komisi Percepatan Reformasi Polri. Komisi ini justru punya legitimasi moral dan politik untuk mengingatkan pimpinan Polri bahwa reformasi bukan sekadar slogan.

    Kedua, uji legalitas Perpol ke Mahkamah Agung. Karena Perpol adalah peraturan, maka MA menjadi rumah pengujiannya.

    Dua jalan ini memang tidak instan. Ia butuh waktu, energi, dan kesabaran. Tetapi negara hukum memang tidak dibangun dengan jalan pintas. Ia dibangun dengan kepatuhan pada prosedur, bahkan ketika prosedur itu tidak nyaman.

    Di titik inilah, pernyataan Yusril Ihza Mahendra menemukan wajahnya yang paling terang. Inkonsistensi hukum bukan lagi diskursus akademik, melainkan pengalaman sehari-hari warga negara.

    Ketika putusan MK bisa “diakali” lewat peraturan internal, maka istilah “final dan mengikat” berubah dari norma menjadi retorika. Dan ketika itu terjadi berulang-ulang, kepercayaan publik pelan-pelan terkikis — bukan oleh satu skandal besar, melainkan oleh kebiasaan kecil yang dianggap wajar.

    Negara tidak selalu runtuh oleh kudeta berdarah. Kadang ia melemah karena terlalu sering menoleransi penyimpangan kecil. Putusan yang dibelokkan. Norma yang dinegosiasikan. Konstitusi yang diperlakukan seperti saran, bukan perintah.

    Mungkin inilah paradoks terbesar kita hari ini. Reformasi Polri ingin memperbaiki institusi, tetapi justru diuji oleh regulasi dari dalam. Seperti seseorang yang ingin diet serius, tetapi lemari esnya penuh kue tart ulang tahun.

    Dan publik, yang menyaksikan semua ini, hanya bisa bertanya dengan logika paling sederhana — logika yang bahkan tidak butuh gelar profesor: jika putusan Mahkamah Konstitusi saja bisa diperlakukan seperti ini, lalu apa sebenarnya yang benar-benar final di negeri ini?

  • Jimly Sebut Penempatan Polisi di Kementerian Seharusnya Diatur di PP, Bukan Perpol

    Jimly Tunjuk Kesalahan Perpol 10/2025: Tak Menyebut Putusan MK

    Jimly Tunjuk Kesalahan Perpol 10/2025: Tak Menyebut Putusan MK
    Tim Redaksi
    JAKARTA, KOMPAS.com
    – Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri, Jimly Asshiddiqie, menunjuk kesalahan yang ada dalam Peraturan Polri (Perpol) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur jabatan polisi aktif di 17 kementerian/lembaga.
    “Bawa ke Mahkamah Agung aja. Mau nyari kesalahannya, gampang,” kata Jimly di Kantor Kementerian Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (17/12/2025).
    Jimly mempersilakan publik yang tidak setuju dengan Perpol itu untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung (MA), karena ada kesalahan dalam Perpol itu yang sudah terlihat oleh Jimly.
    Kesalahan ada pada bagian menimbang dan mengingat di Perpol itu. Tidak ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) di situ.
    “Apa contohnya? Lihat pertimbangan menimbang dan mengingatnya, itu ada yang tidak tepat,” ujar Jimly.
    “(Bagian) Menimbangnya itu, tidak ada sama sekali menyebut putusan MK. (Bagian) Mengingatnya pun tidak sama sekali menyebut putusan MK,” lanjutnya.
    Sebagaimana diketahui, ada putusan MK Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang melarang anggota polisi aktif menduduki jabatan di luar institusi
    Polri
    , dibacakan MK pada 13 November 2025.
    Bukan putusan MK terbaru itu yang dijadikan rujukan oleh Perpol tersebut melainkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
    “Artinya, yang dijadikan rujukan Perpol itu adalah undang-undang yang belum mengalami perubahan dengan putusan MK,” kata Jimly.
    Mantan Ketua MK ini setuju dengan penilaian bahwa Perpol itu bertentangan dengan putusan MK.
    “Ya eksplisit memang begitu, mengingatnya enggak ada. Artinya putusan MK yang mengubah undang-undang enggak dijadikan rujukan,” kata Jimly.
    Solusi dari kontroversi Perpol ini, menurut Jimly, yakni Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mencabut Perpol yang sudah dia teken sendiri.
    Namun, langkah yang lebih realistis menurutnya adalah menggugat ke MA.
    “Atau, nah ini pejabat “ketiga” yang boleh. Yaitu Presiden. Pejabat atasan punya kewenangan menerbitkan Perpres atau PP yang PP itu misalnya mengubah aturan materi yang ada di Perpol. Nah itu boleh, itu lebih praktis,” kata dia.
    Profesor dan guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) ini menyatakan saat ini sebaiknya publik menerima saja Perpol yang punya kelemahan tersebut untuk sementara waktu.

    Praesumptio iustae causa
    (asas praduga sah).
    Presumption of legality
    dari peraturan perundang-undangan. Terlepas dia keliru menurut kita, tapi sebagai negara hukum ya sudah kita taati saja,” kata dia.
    Copyright 2008 – 2025 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.