Tag: Jerome Powell

  • Menkeu Bessent dan Kevin Wars jadi Kandidat Bos The Fed Gantikan Jerome Powell

    Menkeu Bessent dan Kevin Wars jadi Kandidat Bos The Fed Gantikan Jerome Powell

    Bisnis.com, JAKARTA – Nama Menteri Keuangan AS Scott Bessent digadangkan sebagai Ketua Federal Reserve (The Fed) menggantikan Jerome Powell. Seperti diketahui, Powell akan berakhir masa jabatannya pada Mei 2026 mendatang.

    Melansir Bloomberg pada Rabu (11/6/2025) semakin banyak penasihat di dalam dan luar pemerintahan Trump yang mendorong nama Bessent untuk menjabat sebagai ketua Federal Reserve berikutnya.

    Presiden Donald Trump mengatakan bahwa dia akan menunjuk pengganti Powell dengan segera. Adapun, daftar kandidat yang dipertimbangkan termasuk Kevin Warsh, mantan pejabat Fed yang diwawancarai Trump untuk peran menteri Keuangan pada November 2024, menurut orang-orang yang mengetahui masalah tersebut. 

    Namun, Bessent yang memimpin upaya Trump untuk memulai ekonomi AS dengan perubahan besar pada perdagangan, pajak, dan regulasi sekarang juga menjadi salah satu pesaing untuk jadi bos the Fedk. Sumber Bloomberg yang meminta anonimitas menyebut wawancara formal untuk posisi tersebut belum dimula.

    “Saya memiliki pekerjaan terbaik di Washington [sebagai Menteri Keuangan}. Presiden akan memutuskan siapa yang terbaik untuk ekonomi dan rakyat Amerika,” kata Bessent menanggapi kabar tersebut.

    Sementara itu, seorang pejabat senior pemerintahan, yang berbicara dengan syarat anonim, membantah laporan tersebut tanpa memberikan rincian lebih lanjut.

    Sebagai kepala Departemen Keuangan, Bessent secara tradisional akan memainkan peran kunci dalam proses pencarian dan wawancara untuk ketua Fed berikutnya. Tidak jelas apakah dia akan mengundurkan diri saat Trump mulai membuat keputusannya.

    “Mengingat besarnya kepercayaan dan keyakinan yang dimiliki komunitas keuangan global terhadap Scott Bessent, dia adalah kandidat yang jelas,” kata Tim Adams, presiden dan CEO Institute of International Finance. 

    Adams menilai, Bessent adalah kandidat Kuda hitam untuk menjabat sebagai Ketua The Fed. Dia menambahkan bahwa Warsh — yang menjabat sebagai gubernur di dewan Fed dari 2006 hingga 2011 — juga akan menjadi pilihan yang baik.

    Ketika ditanya secara khusus tentang Warsh, Trump berkata bahhwa Warsh sangat dihormati.

    Bessent telah menjadi orang terdepan dalam negosiasi kesepakatan perdagangan China, yang merupakan pakta terpenting yang ingin dibentuk presiden sebagai bagian dari upayanya untuk membentuk kembali lanskap perdagangan global.

    “Scott Bessent membuktikan bahwa ia dapat melaksanakan agenda Presiden Trump selama enam bulan pertama yang sangat bergejolak,” kata Steve Bannon, mantan kepala strategi Gedung Putih dan penasihat luar presiden. 

    Bannon melanjutkan, Bessent bukan hanya orang penting di kabinet, tetapi juga orang yang dapat diandalkan untuk pasar modal global.

    Trump yang pertama kali menominasikan Powell untuk jabatan tersebut pada tahun 2017, secara teratur mengeluh bahwa kepala Fed terlalu enggan untuk menurunkan bunga. Trump mendorong Powell untuk menurunkan suku bunga dalam pertemuan Gedung Putih bulan lalu. 

    Powell dan pejabat Fed telah mempertahankan suku bunga tetap pada 2025, dengan alasan pendekatan kebijakan yang sabar adalah hal yang tepat di tengah ketidakpastian ekonomi yang disebabkan oleh perluasan dan evolusi penggunaan tarif oleh Trump. 

    Para pembuat kebijakan Fed mengatakan mereka memperkirakan tarif yang diumumkan akan membebani pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan inflasi.

    Siapa pun yang disetujui Senat untuk jabatan tersebut harus membuktikan kepada dunia bahwa independensi Fed dari campur tangan politik tetap utuh. Trump telah mengatakan berkali-kali bahwa Powell melakukan kesalahan dengan tidak menurunkan suku bunga.

    Sebelumnya, Trump juga mengatakan bahwa ia harus memiliki suara dalam keputusan suku bunga, yang menimbulkan pertanyaan apakah pasar akan melihat pilihan berikutnya bergantung padanya.

    Adams menambahkan, Bessent atau Warsh akan diberi keuntungan dari keraguan dari komunitas keuangan bahwa mereka akan menjaga independensi otoritas penetapan suku bunga Fed.

    Sementara itu, ekonom dan sekutu Trump, Arthur Laffer mengatakan Bessent luar biasa, tetapi dia sudah memiliki pekerjaan. Dia juga menyebut, spesialisasi Bessent bukanlah kebijakan moneter.

    “Seperti yang saya katakan kepada presiden, saya pikir Kevin Warsh sangat cocok untuk pekerjaan itu,” katanya.

    Kandidat lain yang namanya sebelumnya telah diajukan untuk ketua Fed termasuk Kevin Hassett, direktur Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih, Christopher Waller, seorang gubernur Fed, dan mantan Presiden Bank Dunia David Malpass.

  • Inflasi AS Diprediksi Naik gegara Tarif Trump Tambah Beban Konsumen

    Inflasi AS Diprediksi Naik gegara Tarif Trump Tambah Beban Konsumen

    Bisnis.com, JAKARTA — Amerika Serikat berpotensi mengalami kenaikan inflasi pada Mei 2025, terutama untuk barang-barang, seiring perusahaan yang secara bertahap mentransmisikan dampak tarif Trump.

    Melansir dari Bloomberg, Minggu (8/6/2025), inflasi harga barang dan jasa, tanpa memperhitungkan biaya makanan dan energi yang fluktuatif, diperkirakan naik 0,3% pada Mei 2025. 

    Kenaikan ini menjadi yang terbesar dalam empat bulan, menurut survei Bloomberg terhadap ekonom. Pada April 2025, indeks inflasi inti naik 0,2%.

    Berdasarkan konsensus tersebut, insikator inflasi inti yang dianggap sebagai indikator yang lebih baik untuk inflasi mendasar, diperkirakan akan meningkat untuk pertama kalinya tahun ini dengan nilai median sebesar 2,9% secara tahunan (year on year/YoY), 

    Laporan yang akan terbit pada Rabu (11/6/2026), bersama dengan data harga produsen pada hari berikutnya, akan memberikan pejabat Federal Reserve atau The Fed gambaran akhir tentang inflasi dan dampak tarif yang lebih tinggi sebelum mereka berkumpul untuk pertemuan kebijakan pada 17—18 Juni.

    Meski berpotensi inflasi, sejumlah ekonom Bloomberg, seperti Anna Wong, Stuart Paul, Eliza Winger, Estelle Ou, dan Chris G. Collins, memperkirakan inflasi akan melemah karena terdorong deflasi dari layanan diskresioner lebih dari mengimbangi inflasi barang yang lebih kuat. 

    “Seperti yang ditunjukkan dalam laporan Beige Book terbaru, beberapa perusahaan meneruskan biaya tarif. Kami melihat penerusan sebagian di kategori seperti furnitur, pakaian, dan suku cadang mobil. Namun, tarif penerbangan turun tajam, dan hotel serta layanan rekreasi juga melambat,” tulis ekonom Bloomberg.

    Meskipun Presiden Donald Trump berusaha menekan bankir sentral untuk segera menurunkan suku bunga, Ketua The Fed Jerome Powell dan rekan-rekannya telah menunjukkan bahwa mereka memiliki waktu untuk menilai dampak kebijakan perdagangan terhadap ekonomi, inflasi, dan pasar tenaga kerja.

    Selain data inflasi, data klaim pengangguran awal mingguan akan diperiksa untuk tanda-tanda tekanan di pasar tenaga kerja; laporan Kamis menunjukkan aplikasi klaim naik pada minggu terakhir Mei 2025 ke level tertinggi sejak Oktober 2024. Namun, laporan tenaga kerja menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja yang melambat tetapi masih sehat.

    Di Kanada, data pariwisata Mei 2025 kemungkinan akan menunjukkan penurunan tajam yang berkelanjutan dalam kunjungan ke AS. 

    Penjualan manufaktur untuk April 2025 juga diperkirakan akan turun karena tarif menghantam ekspor, dan data neraca nasional untuk kuartal pertama akan mengungkapkan bagaimana pendapatan dan kekayaan rumah tangga terpengaruh saat Trump meningkatkan ancamannya dan mulai memberlakukan tarif.

    Kondisi Asia

    Sementara di Asia, pekan kedua Juni 2025 dimulai dengan serangkaian data dari China yang diperkirakan akan menyoroti tekanan deflasi yang menghambat aktivitas manufaktur seiring melambatnya momentum perdagangan. 

    Indikator inflasi China yang akan dirilis pada Senin (9/6/2025) diperkirakan menunjukkan bahwa harga konsumen turun 0,2% pada Mei 2025, bulan keempat berturut-turut, sementara penurunan harga pabrik mendalam menjadi minus 3%, penurunan tertajam sejak November 2023. 

    Dengan pasokan melebihi permintaan, angka-angka ini kemungkinan akan memperkuat kekhawatiran bahwa upaya kebijakan untuk meningkatkan konsumsi sejak kuartal keempat tidak banyak berdampak. 

    Pertumbuhan ekspor China diperkirakan melambat menjadi 6% pada Mei 2025, dengan fokus utama pada pengiriman ke AS setelah turun 21% (YoY) pada April 2025. Taiwan juga akan merilis data perdagangan pada minggu depan.

    Jepang merevisi data produk domestik bruto (PDB) kuartal pertama setelah data investasi modal terbaru. Sebagian besar ekonom memperkirakan PDB tetap dalam kontraksi moderat.

    Australia merilis indikator kepercayaan bisnis dan sentimen konsumen pada Selasa (10/6/2025), sementara India menerbitkan laporan inflasi pada Kamis (12/6/2025) yang diperkirakan menunjukkan kenaikan Indeks Harga Konsumen melambat untuk bulan ketujuh berturut-turut pada Mei 2025, membenarkan keputusan Bank Sentral India (RBI) untuk menurunkan suku bunga acuan repo sebesar 50 basis poin. 

    Pada akhir pekan, Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba diperkirakan akan mengadakan pertemuan bilateral dengan Trump untuk mengumumkan kesepakatan perdagangan.

    Mereka kemungkinan akan bertemu di sela-sela KTT G7 yang dimulai pada 15 Juni di desa Kananaskis di Pegunungan Rocky Kanada, atau mungkin sehari sebelumnya di Washington.

  • Tekanan Tak Henti Trump ke The Fed: Suku Bunga Harus Turun 1%, Ancam Ganti Powell

    Tekanan Tak Henti Trump ke The Fed: Suku Bunga Harus Turun 1%, Ancam Ganti Powell

    Bisnis.com, JAKARTA — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali meningkatkan tekanannya terhadap Ketua Federal Reserve Jerome Powell agar memangkas suku bunga sebesar satu poin persentase penuh.

    Melansir Bloomberg, Sabtu (7/6/2025), lewat unggahan di media sosial, Trump mengkritik kebijakan suku bunga The Fed. Bahkan dirinya menyebut Powell dengan julukan sinis “Terlambat Bertindak.”

    “Terlambat di The Fed adalah bencana! Meski dia ada, negara kita tetap hebat. Pangkas satu poin penuh, berikan bahan bakar roket!” ungkap Trump di media sosial.

    Meski permintaan Trump terhadap pemangkasan suku bunga bukan hal baru, ukuran desakannya kali ini sangat ekstrem.

    Presiden yang menunjuk Powell pada 2017 itu berulang kali menilai sang ketua terlalu berhati-hati dalam menurunkan biaya pinjaman. Bulan lalu, Trump bahkan secara langsung menekan Powell dalam pertemuan di Gedung Putih.

    Berbicara kepada wartawan di pesawat kepresidenan Air Force One, Trump mengungkapkan tengah mempertimbangkan calon pengganti Powell, yang masa jabatannya berakhir Mei 2026.

    “Akan diumumkan segera,” katanya, tanpa menyebut nama. Saat ditanya soal Kevin Warsh, mantan gubernur The Fed, Trump menjawab, “Ia sangat dihormati.”

    The Fed dijadwalkan menggelar pertemuan pada 17–18 Juni dan diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga acuan. Para pejabat menyatakan ingin melihat dampak kebijakan ekonomi Trump—terutama soal tarif, pajak, dan imigrasi—sebelum mengubah arah kebijakan moneter.

    Pemangkasan suku bunga satu persen dalam satu pertemuan sangat jarang terjadi kecuali dalam situasi gawat. Kali terakhir langkah serupa diambil adalah Maret 2020, saat pandemi Covid-19 memicu resesi dalam dan lonjakan pengangguran.

    The Fed sendiri menargetkan inflasi 2% dan menyeimbangkan antara stabilitas harga dan lapangan kerja—dua mandat yang ditetapkan Kongres. Menurunkan suku bunga terlalu cepat berisiko memicu inflasi, sementara mempertahankannya terlalu tinggi bisa menahan pertumbuhan ekonomi.

    Trump menyampaikan desakan ini setelah data terbaru menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja melambat di bulan Mei namun tetap solid, dengan tingkat pengangguran bertahan di 4,2%. Gedung Putih menyebut ekonomi tengah “melonjak”, ditopang pertumbuhan gaji dan inflasi yang mulai terkendali.

    Namun pejabat The Fed menilai kondisi pasar kerja masih cukup kuat untuk mempertahankan suku bunga. Mereka khawatir pelonggaran dini justru memperburuk tekanan inflasi yang belum sepenuhnya mereda.

    Dalam unggahan berikutnya, Trump menuduh Powell membuat negara “merugi besar” karena mempertahankan suku bunga tinggi, yang berdampak pada biaya bunga utang pemerintah.

    “Jika dia memotong, kita bisa turunkan bunga utang jangka pendek dan panjang. Inflasi tak ada. Kalau nanti muncul lagi, naikkan suku bunga. Sangat sederhana!!!” tulisnya.

    Sejak The Fed menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi tinggi dalam beberapa tahun terakhir, biaya pinjaman AS melonjak. Rata-rata suku bunga obligasi pemerintah kini berada di kisaran 3,36%, jauh lebih tinggi dibanding era sebelum kenaikan suku bunga.

    Tahun fiskal lalu, pembayaran bunga utang setara 3,06% dari Produk Domestik Bruto (PDB) — tertinggi sejak 1996.

    Ironisnya, meski Trump dan Partai Republik berjanji menekan defisit, RUU pemotongan pajak yang tengah mereka dorong justru diperkirakan memperlebar defisit.

    Kantor Anggaran Kongres (CBO) memperkirakan RUU itu akan menambah beban bunga sebesar US$551 miliar selama satu dekade. Proyeksi ini belum mencakup dampak lain seperti potensi dorongan terhadap pertumbuhan ekonomi.

    The Fed Makin Mantap Tahan Suku Bunga

    Di sisi lain, The Fed semakin mantap untuk mempertahankan suku bunga acuannya, setelah data ketenagakerjaan terbaru menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja AS masih cukup kuat di tengah ketidakpastian akibat perubahan besar dalam kebijakan perdagangan.

    Laporan bulanan Departemen Tenaga Kerja AS yang dirilis Jumat (6/6) mencatat tingkat pengangguran tetap di 4,2% pada Mei. Meski penciptaan lapangan kerja tercatat sebanyak 139.000—lebih rendah dibandingkan rata-rata tahun lalu—revisi ke bawah pada data sebelumnya tetap mengindikasikan pelemahan yang bertahap, bukan mendadak.

    Para pengambil kebijakan di The Fed tetap berhati-hati. Presiden Fed Philadelphia Patrick Harker menyebut laporan ketenagakerjaan ini “solid” dan mengatakan saat ini adalah waktu untuk mempertahankan kebijakan.

    The Fed dijadwalkan menggelar pertemuan pada 17–18 Juni, dan diperkirakan tetap mempertahankan suku bunga. Pelaku pasar kini memprediksi pemangkasan pertama baru terjadi pada September, disusul satu kali lagi pada Desember.

    Setelah laporan ketenagakerjaan dirilis, ekspektasi terhadap kemungkinan pemangkasan ketiga tahun ini mulai berkurang.

    “Data ketenagakerjaan yang kuat memperkuat argumen The Fed untuk bersabar,” kata Scott Helfstein, Kepala Strategi Investasi Global X.

    Namun demikian, sejumlah analis memperkirakan pasar tenaga kerja akan terus melemah dalam beberapa bulan ke depan akibat tekanan dari tarif impor dan ketidakpastian kebijakan pemerintah.

    Laporan terbaru menunjukkan bahwa penambahan lapangan kerja hanya terjadi di sektor-sektor terbatas seperti layanan kesehatan, sementara manufaktur mencatat penurunan terbesar sejak Januari.

  • Rupiah menguat dipengaruhi harapan penurunan suku bunga Fed 

    Rupiah menguat dipengaruhi harapan penurunan suku bunga Fed 

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Rupiah menguat dipengaruhi harapan penurunan suku bunga Fed 
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Kamis, 05 Juni 2025 – 17:55 WIB

    Elshinta.com – Analis Bank Woori Saudara Rully Nova mengatakan penguatan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi harapan penurunan suku bunga oleh Federal Reserve (The Fed).

    “Rupiah hari ini ditutup menguat dipengaruhi oleh meningkatnya harapan penurunan suku bunga The Fed,” ujar Rully Nova kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

    Mengutip Anadolu Agency, Presiden AS Donald Trump kembali mendesak Gubernur Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell untuk segara memangkas suku bunga seiring data ketenagakerjaan jauh di bawah ekspektasi. 

    Semalam, data Non Farm Payrolls (NFP) AS versi Automatic Data Processing (ADP) bulan Mei menunjukkan penambahan pekerjaan yang di bawah ekspektasi pasar, yakni naik 37 ribu dari perkiraan 111 ribu.

    Dia mengingatkan Powell untuk melakukan pemangkasan walau sebenarnya sudah terlambat. Di samping itu, Trump juga menyampaikan bahwa Eropa sendiri telah menurunkan suku bunga sembilan kali.

    Pada hari ini, Bank Sentral Eropa diperkirakan akan menurunkan suku bunga sebesar 25 basis points (bps) pasca inflasi tahunan zona euro yang menurun jadi 1,9 persen pada Mei 2025, di bawah target bank sentral sebesar 2 persen.

    “Sementara dari domestik, (sentimen terhadap rupiah) masih dipengaruhi oleh kekhawatiran pelemahan ekonomi,” ucap dia.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari ini di Jakarta menguat sebesar 11 poin atau 0,06 persen menjadi Rp16.284 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.295 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada Kamis juga menguat ke level Rp16.277 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.305 per dolar AS.

    Sumber : Antara

  • Harga Emas Hari Ini Merosot Hampir 1%, Ketegangan AS dengan China Mencair – Page 3

    Harga Emas Hari Ini Merosot Hampir 1%, Ketegangan AS dengan China Mencair – Page 3

    Emas, aset safe haven selama masa ketidakpastian politik dan ekonomi, telah naik sekitar 28% sepanjang tahun ini.

    Riset Metals Focus menuliskan bahwa  bank sentral di seluruh dunia akan membeli 1.000 metrik ton emas pada 2025. Hal ini menandai pembelian besar-besaran selama empat tahun berturut-turut, menandakan bahwa bank sentral mengalihkan cadangan dari aset dolar ke logam mulia.

    Sementara itu, data menunjukkan klaim pengangguran mingguan meningkat untuk minggu kedua berturut-turut. Semua mata kini tertuju pada laporan penggajian nonpertanian yang dirilis Jumat.

    Trump pada hari Rabu memperbarui seruan agar Ketua Federal Reserve Jerome Powell memangkas suku bunga.

    “Saya pikir pelemahan di pasar tenaga kerja AS akan meningkatkan taruhan pada Fed yang dovish, (yang) akan berdampak positif bagi emas,” kata Ricardo Evangelista, analis senior di perusahaan pialang ActivTrades.

    Emas batangan dengan imbal hasil nol cenderung tumbuh subur dalam lingkungan suku bunga rendah.

     

  • Rupiah Menguat Didukung Ekspektasi Penurunan Suku Bunga The Fed

    Rupiah Menguat Didukung Ekspektasi Penurunan Suku Bunga The Fed

    Jakarta, Beritasatu.com – Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Kamis (5/6/2025) didorong oleh meningkatnya ekspektasi bahwa Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) akan segera menurunkan suku bunga acuannya.

    Analis Bank Woori Saudara, Rully Nova, menjelaskan bahwa sentimen pasar hari ini sangat dipengaruhi oleh prospek pelonggaran kebijakan moneter The Fed.

    “Rupiah menguat hari ini karena pasar semakin yakin suku bunga The Fed akan diturunkan,” ujar Rully di Jakarta, Kamis (5/6/2025).

    Mengutip laporan Anadolu Agency, Presiden AS Donald Trump kembali menekan Gubernur The Fed,Jerome Powell, agar segera memangkas suku bunga menyusul data ketenagakerjaan terbaru yang jauh di bawah ekspektasi.

    Data Non-Farm Payrolls (NFP) versi Automatic Data Processing (ADP) untuk Mei 2025 menunjukkan penambahan tenaga kerja hanya sebesar 37.000, jauh di bawah proyeksi pasar sebesar 111.000.

    Trump menilai bahwa Powell sudah terlambat bertindak, dan menambahkan bahwa negara-negara Eropa telah lebih dahulu menurunkan suku bunga sebanyak sembilan kali untuk mendukung ekonomi mereka.

    Sementara itu, Bank Sentral Eropa (ECB) diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin setelah inflasi tahunan kawasan euro turun ke level 1,9% pada Mei, atau sedikit di bawah target inflasi ECB sebesar 2%.

    Dari dalam negeri, menurut Rully, penguatan rupiah juga dibayangi oleh kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi nasional, meskipun dampaknya masih terbatas.

    Pada akhir perdagangan Kamis di pasar spot Jakarta, rupiah tercatat menguat 11 poin (0,06%) ke level Rp 16.284 per dolar AS, dari sebelumnya Rp 16.295.

    Sementara itu, kurs referensi JISDOR yang diterbitkan Bank Indonesia juga mencatat penguatan rupiah menjadi Rp 16.277 per dolar AS, dari posisi sebelumnya Rp 16.305.

  • IHSG Anjlok Tertekan Sentimen Global dan Kebijakan Trump

    IHSG Anjlok Tertekan Sentimen Global dan Kebijakan Trump

    Jakarta, Beritasatu.com – Indeks harga saham gabungan (IHSG) terus menunjukkan pelemahan sejak pembukaan perdagangan pada pukul 09.00 WIB pada Senin (2/6/2025). Dalam 30 menit setelah perdagangan dibuka, IHSG tercatat terkoreksi 1,27% dan jatuh ke bawah level psikologis 7.100.

    Pengamat pasar modal Yazid Muammar menjelaskan, pergerakan IHSG hari ini dipengaruhi oleh pelemahan bursa global. Bursa saham di Asia, seperti Hang Seng, tercatat turun 2,35% dan Nikkei melemah 1,43%.

    “Data-data di tingkat regional maupun di Amerika Serikat (AS) menunjukkan pelemahan. Ada kekhawatiran, terutama akibat sejumlah pernyataan Presiden Trump terkait rencana kenaikan tarif dagang. Ini menunjukkan bahwa kondisi global masih sangat dinamis dan belum stabil,” ujar Yazid kepada Beritasatu.com, Senin (2/6/2025).

    Sebelumnya, sempat diberitakan bahwa kebijakan tarif impor yang dicanangkan oleh Presiden Donald Trump dibatalkan oleh pengadilan. Namun, beberapa saat kemudian, pihak Trump mengajukan banding, sehingga kebijakan tersebut tetap berjalan.

    Yazid menilai langkah-langkah kebijakan Trump yang cenderung tiba-tiba dan mengejutkan dapat memicu ketidakpastian pasar. Hal ini tidak menguntungkan bagi perkembangan ekonomi, karena setiap pernyataan yang dikeluarkan oleh Trump dapat langsung memengaruhi sentimen investor.

    “Investor bisa bingung dengan kebijakan yang mendadak dan tidak konsisten. Situasi seperti itu membuat pelaku pasar sulit menyusun strategi bisnis yang stabil,” lanjutnya.

    Sebagai tambahan, pekan ini investor global juga akan mencermati sejumlah data ekonomi penting dari AS, termasuk pidato Gubernur The Fed Jerome Powell, laporan ketenagakerjaan nonfarm payrolls, serta data tingkat pengangguran.

  • Trump Bertemu Powell, The Fed Tegaskan Keputusan Suku Bunga Mengacu Data Ekonomi – Page 3

    Trump Bertemu Powell, The Fed Tegaskan Keputusan Suku Bunga Mengacu Data Ekonomi – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah bertemu dengan Ketua Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell untuk pertama kalinya dalam masa jabatan keduanya.

    Melansir CNN Business, Jumat (30/5/2025) pertemuan antara Trump dan Jerome Powell berlangsung di Gedung Putih pada Kamis, 29 Mei 2025. Pertemuan tersebut dilaksankan atas panggilan Trump.

    Pertemuan Trump dan Powell terjadi beberapa waktu setelah Trump menegurnya karena tidak menurunkan suku bunga biaya pinjaman. 

    Powell telah menegaskan keputusan suku bunga The Fed akan didasarkan pada independensi bank sentral, tidak dari tuntutan presiden.

    “Ketua Powell tidak membahas ekspektasinya terhadap kebijakan moneter, kecuali untuk menekankan bahwa arah kebijakan akan bergantung sepenuhnya pada informasi ekonomi yang masuk dan apa artinya bagi prospek,” kata The Fed dalam keterangannya.

    Dalam pernyataan singkat pada Kamis sore, 29 Mei 2025, sekretaris pers Gedung Putih Karoline Leavitt mengonfirmasi Trump dan Powell telah bertemu.

    “Presiden memang mengatakan bahwa ia yakin ketua The Fed melakukan kesalahan dengan tidak menurunkan suku bunga, yang menempatkan kita pada posisi ekonomi yang kurang menguntungkan bagi Tiongkok dan negara-negara lain, dan presiden telah sangat vokal tentang hal itu, baik secara terbuka, maupun sekarang, saya dapat 

    mengungkapkannya, secara pribadi juga,” ujar Leavitt.

    Trump menunjuk Powell untuk memimpin bank sentral AS mulai 2018, dengan masa jabatannya berakhir pada Mei 2026. 

    Powell tetap bungkam di tengah kritikan Trump, menekankan bahwa semua keputusan The Fed berakar pada data ekonomi dalam upaya mencapai tujuan ganda bank sentral yaitu harga yang stabil dan lapangan kerja yang maksimal. 

  • Sinyal The Fed Tahan Suku Bunga, Menanti Efek Kebijakan Tarif Impor

    Sinyal The Fed Tahan Suku Bunga, Menanti Efek Kebijakan Tarif Impor

    Bisnis.com, JAKARTA – Presiden Federal Reserve Bank of Dallas Lorie Logan mengisyaratkan bank sentral AS masih akan menahan suku bunga acuannya sambil melihat dampak kebijakan tarif impor terhadap perekonomian.

    Dalam sambutan yang disiapkan untuk sebuah acara di Waco, Texas pada Kamis (29/5/2025) waktu setempat. Logan menguraikan berbagai risiko terhadap prospek ekonomi.

    Logan menuturkan, tarif dapat mendorong kenaikan harga — sementara atau lebih terus-menerus jika ekspektasi inflasi meningkat. Kebijakan fiskal atau perubahan regulasi dapat meningkatkan permintaan, tetapi ketidakpastian ekonomi dan volatilitas pasar juga dapat menyebabkan kemunduran di kalangan konsumen dan bisnis, yang membebani pertumbuhan.

    “Untuk saat ini, dengan pasar tenaga kerja yang kuat, tren inflasi secara bertahap kembali ke target, dan risiko terhadap tujuan FOMC yang kurang lebih seimbang, saya yakin kebijakan moneter berada di tempat yang baik,” kata Logan dikutip dari Bloomberg pada Jumat (30/5/2025), mengacu pada Komite Pasar Terbuka Federal yang menetapkan suku bunga.

    Dia menuturkan, untuk mengetahui apakah keseimbangan risiko bergeser ke satu arah atau yang lain akan membutuhkan waktu yang cukup lama. 

    The Fed telah membiarkan suku bunga tidak berubah pada masing-masing dari tiga pertemuannya sejauh tahun ini dan diperkirakan akan melakukannya lagi saat para pejabat berkumpul pada bulan Juni. 

    Risalah dari pertemuan para pembuat kebijakan pada tanggal 6-7 Mei menunjukkan bahwa para pejabat secara umum setuju bahwa ketidakpastian ekonomi yang meningkat berarti mereka harus tetap bersabar dalam menyesuaikan biaya pinjaman. 

    Bulan lalu, ketika pemerintahan Trump awalnya mengumumkan tarif yang lebih tinggi dari yang diharapkan pada mitra dagang AS, Logan mengatakan bahwa tarif tersebut kemungkinan akan menaikkan harga dan pengangguran. 

    Banyak tarif telah dihentikan sementara atau dikurangi sementara saat pemerintahan tersebut menegosiasikan kesepakatan dengan negara-negara.

    De-eskalasi terbaru antara AS dan China telah memperbarui optimisme di kalangan konsumen, dengan kepercayaan diri yang bangkit kembali bulan ini setelah turun ke level terendah hampir lima tahun pada bulan April, menurut data yang dirilis awal minggu ini. 

    Pada saat yang sama, klaim berkelanjutan untuk tunjangan asuransi pengangguran telah naik ke level tertinggi sejak 2021, meningkatkan kekhawatiran bahwa tingkat pengangguran dapat meningkat.

    Pejabat Fed telah menyatakan kekhawatiran bahwa tarif dapat menempatkan mereka dalam posisi sulit karena harus memilih antara mempertahankan suku bunga tinggi untuk mendinginkan tekanan inflasi yang baru atau menurunkannya untuk memperkuat ekonomi yang sedang lesu.

    Ekspektasi Inflasi AS

    Logan menekankan pada hari Kamis bahwa prospek ekonomi sulit untuk diramalkan saat ini. Ia juga memberikan peringatan tentang dampak ekspektasi inflasi yang lebih tinggi.

    “Jika ekspektasi inflasi yang lebih tinggi menjadi mengakar, tekanan inflasi dapat terus berlanjut dan menjadi sangat mahal untuk dibalikkan,” katanya.

    Logan juga berbicara tentang independensi bank sentral, topik yang muncul kembali baru-baru ini dengan tekanan berulang Trump pada Fed dan Ketua Jerome Powell untuk menurunkan suku bunga.

    “Penelitian menunjukkan bahwa bank sentral berkinerja lebih baik terhadap inflasi ketika mereka independen dari pertimbangan politik jangka pendek,” kata Logan. “Polanya jelas di seluruh dunia dan sepanjang sejarah.”

  • Poin-Poin Risalah Rapat FOMC The Fed: Risiko Inflasi dan Resesi Masih Menghantui

    Poin-Poin Risalah Rapat FOMC The Fed: Risiko Inflasi dan Resesi Masih Menghantui

    Bisnis.com, JAKARTA – Bank sentral Amerika Serikat Federal Reserve mengambil posisi waspada menyusul lonjakan ketidakpastian ekonomi, dengan memutuskan untuk menahan suku bunga sambil menanti kejelasan lebih lanjut terkait arah inflasi dan pertumbuhan.

    Dalam risalah pertemuan kebijakan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 6-7 Mei lalu, The Fed menyatakan bahwa bahwa pendekatan sabar lebih tepat diterapkan dalam kondisi saat ini.

    The Fed mengakui risiko dari tekanan inflasi yang belum mereda bersamaan dengan meningkatnya angka pengangguran semakin meningkat dibandingkan pertemuan sebelumnya pada Maret. Risiko ini muncul di tengah kekhawatiran atas volatilitas pasar keuangan dan peringatan staf internal Fed mengenai potensi resesi yang semakin besar.

    Situasi ini dinilai berpotensi menempatkan dua mandat utama The Fed—menjaga stabilitas harga dan memaksimalkan lapangan kerja—dalam posisi yang saling bertentangan.

    “Peserta sepakat bahwa dengan pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja yang masih kuat, serta sikap kebijakan moneter yang cukup ketat, komite berada pada posisi yang baik untuk menunggu kejelasan lebih lanjut terkait prospek inflasi dan aktivitas ekonomi,” tulis risalah tersebut seperti dilansir Bloomberg, Kamis (29/5/2025).

    Risalah juga menyoroti peningkatan ketidakpastian akibat perubahan arah kebijakan pemerintah, dan menekankan perlunya kehati-hatian sampai dampak bersih dari kebijakan tersebut dapat dipetakan secara lebih akurat.

    The Fed telah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%–4,5% untuk ketiga kalinya secara berturut-turut.

    Kebijakan dagang Presiden Donald Trump yang penuh gejolak menjadi faktor utama yang menyelimuti prospek ekonomi dengan ketidakpastian. Rapat Mei sendiri digelar hanya beberapa hari sebelum tercapainya kesepakatan sementara antara AS dan Tiongkok untuk menurunkan tarif timbal balik.

    Kendati ada sinyal deeskalasi, beban tarif terhadap barang impor tetap tinggi, mendorong banyak pelaku usaha menunda ekspansi dan perekrutan. Para ekonom secara umum menilai bahwa tarif akan mendorong inflasi dan membebani pertumbuhan, meski potensi resesi tahun ini mulai mengecil seiring meredanya ketegangan dagang.

    Proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 dan 2026 turut direvisi turun oleh The Fed, mencerminkan dampak kebijakan tarif. “Staf menilai kemungkinan terjadinya resesi hampir sebanding dengan proyeksi dasar,” bunyi risalah tersebut.

    Mereka juga memperkirakan pasar tenaga kerja akan melemah secara signifikan, dengan tingkat pengangguran diproyeksikan melampaui tingkat alami dan bertahan tinggi hingga 2027. Sementara itu, tarif diperkirakan akan mendorong inflasi naik secara tajam sepanjang tahun ini.

    Ekspektasi Inflasi

    Para pejabat juga semakin mencermati ekspektasi masyarakat terhadap inflasi jangka panjang, karena khawatir lonjakan harga akibat tarif bisa menetap lebih lama dari yang diharapkan. “Hampir semua peserta” menyatakan kekhawatiran bahwa inflasi dapat lebih persisten dari prediksi sebelumnya.

    Indeks ekspektasi inflasi konsumen versi Universitas Michigan untuk jangka 5–10 tahun melonjak tahun ini, terutama didorong oleh tarif. Namun, sebagian besar pejabat Fed meredam kekhawatiran tersebut dengan mengacu pada indikator berbasis pasar yang menunjukkan ekspektasi inflasi tetap terjaga.

    “Peserta mencatat bahwa komite mungkin akan menghadapi dilema sulit jika inflasi terbukti lebih persisten sementara prospek pertumbuhan dan lapangan kerja melemah,” lanjut risalah tersebut, seraya menekankan bahwa arah perubahan kebijakan pemerintah dan dampaknya terhadap ekonomi masih sangat tidak pasti.

    Tinjauan Kerangka Kerja

    Selain soal inflasi, para pembuat kebijakan The Fed juga melanjutkan diskusi rutin mengenai evaluasi kerangka kerja strategis bank sentral—dokumen yang menjadi acuan dalam menjalankan kebijakan moneter.

    Ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya menyampaikan bahwa saat ini merupakan momen yang tepat untuk meninjau kembali formulasi dalam kerangka kerja tersebut, khususnya terkait pendekatan target inflasi rata-rata dan definisi kekurangan dari target ketenagakerjaan bank sentral.

    Dalam tinjauan sebelumnya yang rampung pada 2020, The Fed memperkenalkan strategi baru yang membiarkan inflasi bergerak sedikit di atas target 2% untuk beberapa waktu, sebagai kompensasi atas periode panjang inflasi rendah. Pendekatan ini dikenal dengan istilah flexible average inflation targeting.

    Namun, risalah terbaru mengisyaratkan adanya dukungan yang lebih kuat terhadap pendekatan yang lebih sederhana, yakni target inflasi fleksibel, di mana bank sentral akan fokus membawa inflasi kembali ke target 2% tanpa harus mengimbangi penyimpangan sebelumnya.

    Langkah ini menunjukkan perubahan sikap yang lebih adaptif terhadap kondisi ekonomi yang dinamis, sekaligus mencerminkan kehati-hatian The Fed dalam menjaga keseimbangan antara stabilitas harga dan ketahanan pasar tenaga kerja.