Tag: Jerome Powell

  • Bos The Fed Jerome Powell Bawa Data Inflasi Lapor ke Kongres AS

    Bos The Fed Jerome Powell Bawa Data Inflasi Lapor ke Kongres AS

    Bisnis.com, JAKARTA — Bank Sentral AS (Federal Reserve) akan melaporkan pandangan ke Kongres AS pekan ini, yang akan memberikan sinyal arah kebijakan moneter.

    Melansir dari Bloomberg, Minggu (22/6/2025), setelah rilis data kunci pada Jumat dan pengumuman The Fed pekan ini mempertahankan suku bunga tetap, Jerome Powell akan menghadiri sidang dihadapan kongres di Capitol Hill selama dua har. Dia akan kembali menjelaskan alasan di balik pendekatan kebijakan moneter yang hati-hati dari bank sentral.  

    Ketua Fed kemungkinan akan menekankan tentang meskipun pemotongan suku bunga mungkin terjadi tahun ini, pejabat bank sentral ingin lebih jelas tentang dampak kebijakan perdagangan Gedung Putih terhadap ekonomi. 

    Para ekonom memperkirakan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (personal consumption expenditure/PCE) tanpa makanan dan energi akan naik 0,1% pada Mei untuk bulan ketiga berturut-turut. Hal ini akan menandai periode tiga bulan terlemah sejak pandemi lima tahun lalu.

    Pejabat bank sentral AS secara umum melihat penggunaan tarif yang diperluas oleh pemerintahan Trump akan memberikan tekanan naik pada harga, pada akhirnya. Namun, proyeksi ekonomi terbaru mereka juga menunjukkan bahwa pejabat melihat pertumbuhan ekonomi yang lebih lemah dan tingkat pengangguran yang lebih tinggi tahun ini.

    Gubernur The Fed Christopher Waller pada Jumat mengatakan kepada CNBC bahwa dampak inflasi dari bea impor kemungkinan akan bersifat sementara, dan dia melihat ruang untuk melanjutkan penurunan biaya pinjaman mulai bulan depan. Keputusan kebijakan Fed berikutnya akan diumumkan pada 30 Juli.  

    Sejumlah Ekonom Bloomberg Estelle Ou, Anna Wong, Stuart Paul, Eliza Winger, dan Chris G. Collins menyampaikan bahwa indikator inflasi inti PCE yang menjadi acuan The Fed kemungkinan naik hanya 2 basis poin pada Mei, kenaikan moderat yang tidak memberikan kejelasan tentang risiko kenaikan inflasi dalam beberapa bulan ke depan.  

    “Hal ini kemungkinan akan membuat beberapa pejabat The Fed tetap menyeimbangkan kedua sisi mandatnya, daripada beralih fokus ke risiko kenaikan inflasi,” tulis ekonom tersebut.

    Bersama dengan data inflasi Mei, laporan pemerintah pada Jumat ini diperkirakan akan menunjukkan pertumbuhan moderat selama dua bulan berturut-turut dalam pengeluaran rumah tangga untuk barang dan jasa. 

    Dua bulan terakhir mencatat penurunan tajam dalam sentimen, sebagian terkait dengan kekhawatiran meningkat tentang dampak tarif yang lebih tinggi terhadap harga.

    Para ekonom juga akan memperhatikan data pendapatan pribadi dalam laporan tersebut untuk menilai kemampuan konsumen untuk terus berbelanja. Dalam tiga bulan hingga April, pertumbuhan pendapatan disposable yang disesuaikan dengan inflasi rata-rata 0,6%, yang terkuat dalam lebih dari dua tahun. 

    Data AS lainnya dalam minggu ini termasuk penjualan rumah existing dan baru pada Mei, serta dua survei kepercayaan konsumen Juni. Pada Kamis, pemerintah akan menerbitkan laporan indikator ekonomi awal yang mencakup perkiraan awal defisit perdagangan barang untuk Mei.

    Selain Powell yang menyampaikan laporan kebijakan semi-tahunan The Fed—dia akan bersaksi di depan panel DPR pada Selasa dan Komite Perbankan Senat pada Rabu—sejumlah bankir sentral lain, termasuk Presiden Federal Reserve New York John Williams, akan tampil di forum publik.

    Di utara, Statistik Kanada akan merilis data inflasi pertama dari dua data inflasi sebelum keputusan suku bunga Bank Kanada pada Juli. Pembuat kebijakan memantau inflasi inti yang lebih tinggi dari perkiraan dan telah memberi sinyal bahwa mereka akan tetap menahan diri kecuali tekanan harga mendasar mereda.  

    Data produk domestik bruto (PDB) berdasarkan sektor industri untuk April dan perkiraan awal untuk Mei kemungkinan akan menunjukkan penurunan ekspor dan investasi bisnis seiring penerapan tarif Trump. 

    Di tempat lain, rilis data inflasi di Asia, penampilan para kepala bank sentral zona euro dan Inggris, serta kemungkinan pemotongan suku bunga di Meksiko mungkin menjadi sorotan utama. 

  • The Fed tahan suku bunga, iklim investasi global turun tipis

    The Fed tahan suku bunga, iklim investasi global turun tipis

    Jakarta (ANTARA) – Bank Sentral Amerika Serikat alias The Federal Reserve (The Fed) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25-4,5 persen pada Kamis dini hari (19/6).

    Keputusan tersebut sejalan dengan ekspektasi pasar dan menimbulkan dampak terbatas terhadap iklim investasi global yang tercatat hanya mengalami penurunan minor. Dalam keterangannya di Jakarta, Kamis, Analis Reku, salah satu platform investasi, Fahmi Almuttaqin menilai pasar aset global justru merespons keputusan The Fed dengan relatif stabil.

    Indeks saham Dow Jones melemah tipis 0,10 persen atau 44 poin ke level 42.171, sementara S&P 500 nyaris tidak berubah di 5.980. Nasdaq justru naik tipis 0,13 persen ke posisi 19.546. Di pasar kripto, Bitcoin dan Ethereum masing-masing terkoreksi kurang dari 1 persen, mempertahankan posisi harga di sekitar 104.000 dolar AS dan 2.500 dolar AS.

    Ia menjelaskan bahwa stabilnya pergerakan pasar mencerminkan ekspektasi investor yang sudah terkalibrasi sebelumnya.

    “Investor telah mengantisipasi dan menyesuaikan komposisi portfolio mereka sehingga tidak terlalu banyak langkah penyesuaian yang perlu dilakukan. Saat ini mayoritas investor cenderung terlihat mengambil posisi wait and see dan menantikan perkembangan data terkait inflasi, kebijakan tarif AS, serta perkembangan konflik Israel-Iran di mana AS dilaporkan sedang mempertimbangkan untuk melancarkan serangan langsung ke Teheran,” jelas Fahmi.

    The Fed sendiri bakal tetap membuka ruang pemangkasan suku bunga sebanyak dua kali tahun ini.

    Namun, Ketua The Fed Jerome Powell mengingatkan bahwa risiko inflasi masih tinggi akibat pemberlakuan tarif impor baru oleh pemerintahan Trump, yang efeknya diperkirakan baru terasa dalam beberapa bulan mendatang.

    Di tengah ketidakpastian tersebut, beberapa analis seperti dari Morgan Stanley dan JPMorgan memperkirakan suku bunga bisa tetap tinggi hingga 2026 apabila inflasi tidak melandai. Namun, peluang pelonggaran tetap terbuka bila pasar tenaga kerja AS melemah. Meski demikian, optimisme investor terhadap aset digital, terutama Bitcoin, masih cukup kuat.

    “ETF Bitcoin spot masih melanjutkan tren netflow positif beruntunnya yang terjadi sejak 9 Juni lalu. Situasi ini mengindikasikan posisi Bitcoin yang semakin diterima sebagai aset lindung nilai terhadap inflasi dan ketidakpastian global. Meletusnya ketegangan Israel-Iran juga tidak terlihat mengurangi minat beli investor Amerika Serikat terhadap Bitcoin melalui instrumen ETF,” ujar Fahmi.

    Ia juga menambahkan bahwa ketegangan geopolitik tidak menyurutkan minat beli investor AS terhadap instrumen tersebut.

    Selain Bitcoin, altcoin utama seperti Ethereum (ETH) dan Ripple (XRP) juga menunjukkan tren akumulasi oleh investor besar. Namun, Fahmi menilai reli altcoin secara masif baru akan terjadi saat tren penurunan suku bunga dimulai dan likuiditas di pasar kripto meningkat signifikan.

    Dalam kondisi pasar yang cenderung sideways, strategi dollar cost averaging (DCA) atau menabung aset secara berkala dinilai sebagai langkah bijak. Dalam melakukan DCA, investor dapat mengoptimalkan fitur yang memudahkan berinvestasi ke aset kripto dan saham AS potensial.

    “Misalnya di fitur Packs di Reku, investor bisa berinvestasi pada berbagai crypto blue chip dan ETF Saham AS dengan performa terbaik dalam sekali swipe untuk memudahkan diversifikasi. Terlebih, fitur Packs yang dilengkapi dengan sistem Rebalancing akan membantu investor menyesuaikan alokasi investasinya sesuai dengan kondisi pasar secara otomatis. Dengan begitu, strategi DCA yang dilakukan dapat lebih mudah, praktis, dan optimal,” jelas Fahmi.

    Ke depan, investor disarankan tetap waspada terhadap dinamika global, namun tidak melewatkan peluang investasi yang dapat dimanfaatkan dengan strategi akumulatif jangka menengah-panjang.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rupiah Rontok Hari Ini, Ada Apa? – Page 3

    Rupiah Rontok Hari Ini, Ada Apa? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Nilai tukar Rupiah (IDR) kembali melemah terhadap Dolar AS (USD) pada Kamis, 19 Juni 2025

    “Pada perdagangan sore ini, mata uang Rupiah ditutup melemah 93 point, setelah sebelumnya sempat melemah 100 point di level Rp16.406 dari penutupan sebelumnya di level Rp16.312,” ungkap Pengamat Mata Uang dan Pasar Komoditas, Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (19/6/2025).

    “Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.400 – Rp16.460,” katanya.

    Pelemahan Rupiah terjadi setelah Federal Reserve memutuskan untuk mempertahankan suku bunga kebijakan utamanya tetap pada 4,25%–4,50%.

    Langkah tersebut mempertahankan ekspektasi untuk dua kali pemotongan suku bunga seperempat poin akhir tahun ini.

    Dalam pernyataannya, Ketua The Fed Jerome Powell menekankan bahwa inflasi harga barang kemungkinan akan meningkat musim panas ini, karena tarif yang baru-baru ini diberlakukan oleh Presiden Trump mulai melewati rantai pasokan ke konsumen.

    The Fed memproyeksikan laju pelonggaran yang lebih lambat ke depannya, memperkirakan suku bunga akan turun menjadi 3,6% pada tahun 2026, naik dari perkiraan sebelumnya sebesar 3,4%. Untuk tahun 2027, ia melihat suku bunga pada 3,4%, direvisi naik dari 3,1%.

     

  • IHSG ditutup melemah seiring pasar cermati tensi di Timur Tengah

    IHSG ditutup melemah seiring pasar cermati tensi di Timur Tengah

    Jakarta (ANTARA) – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis sore ditutup melemah seiring pelaku pasar tengah mencermati meningkatnya konflik geopolitik di kawasan Timur Tengah.

    IHSG ditutup melemah 139,15 poin atau 1,96 persen ke posisi 6.968,64. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 17,95 poin atau 2,26 persen ke posisi 774,81.

    “IHSG dan bursa regional Asia bergerak melemah seiring sikap kegelisahan pelaku pasar diguncang oleh meningkatnya konflik antara Israel dan Iran,” ujar Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus di Jakarta, Kamis.

    Amerika Serikat (AS) disebut sedang mempersiapkan serangan potensial terhadap Iran, yang meningkatkan kekhawatiran terhadap ketidakstabilan regional yang lebih luas, serta keterlibatan AS yang lebih dalam.

    Hal itu dilatarbelakangi seiring AS mempertimbangkan potensi konflik langsung dengan Iran. Pejabat senior AS sedang mempersiapkan kemungkinan serangan terhadap Iran dalam beberapa hari mendatang.

    Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump telah mengadakan pertemuan dengan Dewan Keamanan Nasional untuk membahas konflik antara Iran dan Israel, sambil mempertimbangkan kemungkinan keterlibatan dalam serangan militer Israel terhadap Iran.

    Hal itu berpotensi meningkatkan ketegangan internasional dan eskalasi konflik yang dapat menyebabkan kerugian besar, serta dampak terhadap stabilitas regional dan hubungan diplomatik AS dengan negara-negara lain.

    Di sisi lain, The Fed dalam pertemuannya mempertahankan suku bunga pada level tetap 4.25-4.50 persen. Pasar menilai keputusan tersebut setelah mempertimbangkan dengan berhati-hati di tengah kekhawatiran atas dampak inflasi dari tarif Presiden AS Donald Trump.

    Ketua The Fed Jerome Powell memperingatkan inflasi yang signifikan ke depan, bahwa kenaikan tarif dagang kemungkinan akan meningkatkan harga dan menambah bahwa dampak terhadap inflasi bis lebih persisten. Sehingga ketidakpastian yang disebabkan oleh tarif mempersulit upaya bank sentral untuk melonggarkan kebijakan.

    Dibuka melemah, IHSG betah di teritori negatif sampai penutupan sesi pertama perdagangan saham. Pada sesi kedua, IHSG masih betah di zona merah hingga penutupan perdagangan saham.

    Berdasarkan Indeks Sektoral IDX-IC, sebelas atau semua sektor melemah yaitu paling dalam sektor barang baku yang minus 3,98 persen, diikuti oleh sektor transportasi & logistik dan sektor energi yang masing-masing turun sebesar 3,58 persen dan 1,74 persen.

    Saham-saham yang mengalami penguatan terbesar yaitu CSIS, LABA, NZIA, PTMR, dan BALI. Sedangkan saham-saham yang mengalami pelemahan terbesar yakni OBAT, CBUT, MBSS, IOTF, dan KOPI.

    Frekuensi perdagangan saham tercatat sebanyak 1.453.227 kali transaksi dengan jumlah saham yang diperdagangkan sebanyak 24,90 miliar lembar saham senilai Rp13,96 triliun. Sebanyak 92 saham naik, 571 saham menurun, dan 139 tidak bergerak nilainya.

    Bursa saham regional Asia sore ini antara lain indeks Nikkei menguat 256,17 poin atau 0,67 persen ke 38.567,50, indeks Hang Seng melemah 80,69 poin atau 0,53 persen ke 23.980,48, indeks Shanghai menguat 1,32 poin atau 0,04 persen ke 3.387,78, dan indeks Strait Times melemah 22,18 poin atau 0,57 persen ke 3.930,64.

    Pewarta: Muhammad Heriyanto
    Editor: Biqwanto Situmorang
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • IHSG melemah ikuti bursa kawasan Asia dan global

    IHSG melemah ikuti bursa kawasan Asia dan global

    Pekerja memotret layar yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menggunakan gawai di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ANTARA FOTO/Erlangga Bregas Prakoso/YU/aa.

    IHSG melemah ikuti bursa kawasan Asia dan global
    Dalam Negeri   
    Editor: Novelia Tri Ananda   
    Kamis, 19 Juni 2025 – 13:23 WIB

    Elshinta.com – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Kamis pagi bergerak turun mengikuti pelemahan bursa saham kawasan Asia dan global. IHSG dibuka melemah 4,73 poin atau 0,07 persen ke posisi 7.103,06. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau indeks LQ45 turun 2,82 poin atau 0,36 persen ke posisi 789,94.

    “Setelah IHSG tes support di level 7.100, IHSG berpeluang untuk short term teknikal rebound hari ini,” ujar Head of Retail Research BNI Sekuritas Fanny Suherman di Jakarta, Kamis.

    Dari mancanegara, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa inflasi harga barang kemungkinan akan meningkat selama musim panas, seiring mulai diberlakukannya tarif Presiden AS Donald Trump yang berdampak langsung terhadap konsumen.

    The Fed mempertahankan suku bunga acuan di level 4,25-4,5 persen atau sesuai ekspektasi, namun pernyataan The Fed mengungkapkan bahwa sebagian pembuat kebijakan saat ini memperkirakan tidak akan ada pemangkasan suku bunga sama sekali pada tahun ini.

    Sementara itu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tengah mempertimbangkan serangan militer terhadap Iran, sembari menuntut pemimpin Iran yaitu Ayatollah Ali Khamenei untuk “Menyerah Tanpa Syarat”. Pemimpin Iran Ayatollah Ali Khamenei mengatakan Iran tidak akan menyerah, karena sejarah tidak pernah mengatakan hal tersebut.

    Dari dalam negeri, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 17-18 Juni 2025 memutuskan untuk mempertahankan BI-Rate sebesar 5,50 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 4,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,25 persen. Dari kawasan Eropa, inflasi Inggris pada Mei 2025 menjadi 3,4 persen year on year (yoy) dari 3,5 persen (yoy) di April 2025, sesuai dengan perkiraan. Inflasi di Euro Area bulan Mei 2025 juga melambat menjadi 1,9 persen (yoy) dari 2,2 persen (yoy) di April 2025.

    Dari kawasan Asia, ekspor Jepang tercatat turun 1,7 persen (yoy) pada Mei 2025, yang merupakan penurunan pertama dalam delapan bulan terakhir. Pada perdagangan Rabu (18/6), bursa saham Eropa mayoritas bergerak melemah, diantaranya indeks FTSE 100 Inggris menguat 0,11 persen, indeks Euro Stoxx 50 melemah 0,36 persen, indeks DAX Jerman turun 0,50 persen, dan index CAC Prancis melemah 0,36 persen.

    Bursa saham AS di Wall Street juga ditutup mayoritas turun pada perdagangan Rabu (18/6), indeks Dow Jones Industrial Average turun 01,0 persen, berakhir di 42.171,79. Indeks S&P 500 jatuh 0,03 persen dan ditutup di 5.980,97, sementara Nasdaq Composite menguat 0,61 persen dan berakhir di 19.546,83.

    Bursa saham regional Asia pagi ini, antara lain indeks Nikkei melemah 302,65 poin atau 0,78 persen ke 38.585,50, indeks Shanghai melemah 11,69 poin atau 0,35 persen ke 3.377,76, indeks Hang Seng turun 238,69 poin atau 1,01 persen ke 24.048,00, dan indeks Strait Times melemah 11,28 poin atau 0,30 persen ke 3.909,33.

    Sumber : Antara

  • Rupiah melemah seiring keputusan The Fed tahan suku bunga

    Rupiah melemah seiring keputusan The Fed tahan suku bunga

    Jakarta (ANTARA) – Analis mata uang Doo Financial Futures Lukman Leong memperkirakan nilai tukar (kurs) rupiah melemah seiring keputusan Federal Reserve (The Fed) dalam Federal Open Market Committee (FOMC), yang tetap mempertahankan suku bunga.

    “Rupiah diperkirakan akan melemah terhadap dolar AS yg menguat setelah dalam FOMC, The Fed mempertahankan suku bunga,” ujarnya kepada ANTARA di Jakarta, Kamis.

    Mengutip Anadolu Agency, Fed mempertahankan suku bunga di kisaran 4,25-4,5 persen sesuai ekspektasi pasar.

    Keputusan ini dilakukan dalam upaya untuk mencapai lapangan kerja maksimal dan inflasi pada tingkat 2 persen dalam jangka panjang.

    The Fed memperingatkan bahwa ketidakpastian tentang prospek ekonomi telah berkurang, tetapi tetap tinggi. Komite disebut akan terus mengurangi kepemilikan atas sekuritas Treasury dan utang lembaga, serta sekuritas beragun hipotek lembaga.

    Pelemahan kurs rupiah juga dipengaruhi pernyataan hawkish Gubernur The Fed Jerome Powell yang mengatakan tekanan inflasi masih akan kuat dan penurunan suku bunga walau akan terjadi, namun lebih perlahan.

    Berdasarkan faktor tersebut, kurs rupiah diprediksi berkisar Rp16.250-Rp16.400 per dolar AS.

    Nilai tukar rupiah pada pembukaan perdagangan hari Kamis pagi di Jakarta melemah sebesar 39 poin atau 0,24 persen menjadi Rp16.352 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.313 per dolar AS.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Kelik Dewanto
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • The Fed Kembali Tahan Suku Bunga, Prediksi 2 Penurunan pada 2025 – Page 3

    The Fed Kembali Tahan Suku Bunga, Prediksi 2 Penurunan pada 2025 – Page 3

    Prediksi yang direvisi dari pembaruan terakhir pada Maret menunjukkan penurunan sebesar 0,3 poin persentase untuk PDB dan peningkatan dalam jumlah yang sama untuk indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi.

    Personal Consumption Expenditures Inti (PCE inti), yang menghilangkan harga pangan dan energi, diproyeksikan sebesar 3,1%, juga 0,3 poin persentase lebih tinggi. Prospek pengangguran mengalami sedikit revisi, hingga 4,5%, atau 0,1 poin persentase lebih tinggi dari bulan Maret dan 0,3 poin persentase di atas level saat ini.

    Pernyataan FOMC tidak banyak berubah dari pertemuan Mei. Secara umum, ekonomi tumbuh pada “kecepatan yang solid,” dengan pengangguran “rendah” dan inflasi “agak tinggi,” kata komite tersebut.

    Selain itu, komite mengindikasikan kekhawatiran yang lebih sedikit tentang gejolak ekonomi dan ketidakpastian atas kebijakan perdagangan Gedung Putih.

    “Ketidakpastian tentang prospek ekonomi telah berkurang tetapi tetap tinggi. Komite memperhatikan risiko bagi kedua belah pihak dari mandat gandanya,” kata komite tersebut.

    Selama konferensi pers, Ketua Federal Reserve Jerome Powell menyarankan ada waktu untuk menunggu kejelasan lebih lanjut.

    “Untuk saat ini, kami berada dalam posisi yang baik untuk menunggu untuk mempelajari lebih lanjut tentang kemungkinan arah ekonomi sebelum mempertimbangkan penyesuaian apa pun terhadap kebijakan kami,” ujar Powell.

    Saham AS berfluktuasi mendekati garis datar setelah pengumuman tersebut.

     

  • Dampak Pemangkasan Suku Bunga The Fed terhadap Trader dan Rupiah

    Dampak Pemangkasan Suku Bunga The Fed terhadap Trader dan Rupiah

    Jakarta, Beritasatu.com – Arah kebijakan moneter Amerika Serikat (AS) kembali menjadi sorotan, terutama setelah Presiden Donald Trump secara terbuka mendorong Federal Reserve untuk memangkas suku bunga acuan.

    Meski demikian, Ketua The Fed Jerome Powell tetap bersikap hati-hati dan menunggu data ekonomi utama seperti inflasi dan ketenagakerjaan sebelum mengambil keputusan.

    Walaupun kemungkinan pemangkasan suku bunga pada rapat FOMC (Federal Open Market Committee) yang akan digelar 18 Juni 2025 masih dianggap kecil, pelaku pasar mulai memperkirakan adanya peluang penurunan suku bunga pada paruh kedua tahun ini.

    Apabila skenario tersebut terealisasi, dampaknya tidak hanya akan terasa di Amerika Serikat, tetapi juga menjangkau negara berkembang, termasuk Indonesia.

    Tim riset Finex mengungkapkan bahwa pemangkasan suku bunga oleh The Fed bisa mendorong aliran modal asing masuk ke negara-negara yang menawarkan imbal hasil lebih tinggi, seperti Indonesia. Hal ini dapat memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS serta meningkatkan minat terhadap surat utang negara dan instrumen investasi domestik lainnya.

    “Secara global, penurunan suku bunga AS berpotensi meningkatkan likuiditas pasar dan mendorong pergeseran portofolio investasi. Ini dapat membuka peluang penguatan rupiah serta mendukung pertumbuhan sektor keuangan nasional,” jelas Analis Keuangan Finex Brahmantya Himawan pada Jumat (13/6/2025).

    Ia menambahkan bahwa suku bunga memiliki pengaruh luas terhadap berbagai sektor pasar, mulai dari nilai tukar, harga komoditas, hingga pergerakan indeks saham dan pasangan mata uang utama. Instrumen yang kemungkinan terdampak termasuk indeks saham Amerika seperti NASDAQ dan S&P 500, serta pasangan mata uang seperti EUR/USD, AUD/USD, dan GBP/USD.

    Menurut Brahmantya, keputusan investor di pasar keuangan sangat dipengaruhi oleh berbagai indikator ekonomi fundamental, seperti Consumer Price Index (CPI), Producer Price Index (PPI), data ketenagakerjaan seperti Non-Farm Payroll (NFP) dan tingkat pengangguran, hingga indikator pertumbuhan dan konsumsi seperti penjualan ritel, indeks PMI, dan pertumbuhan produk domestik bruto (GDP).

    Dengan memahami seluruh konteks makroekonomi ini, investor dan trader dapat mengambil keputusan secara rasional, serta menghindari reaksi emosional terhadap volatilitas pasar jangka pendek.

    Finex turut menekankan pentingnya edukasi dan pemahaman menyeluruh terhadap dinamika ekonomi global. Hal ini bertujuan agar pelaku pasar tidak hanya mengikuti tren, melainkan mampu membuat strategi investasi yang matang dan terukur.

    “Efek dari perubahan suku bunga tidak terbatas pada pinjaman atau investasi saja. Dampaknya bisa menyebar luas dan memicu reaksi pasar yang cepat, terlebih jika dibarengi dengan rilis data ekonomi yang mengejutkan atau ketegangan geopolitik,” pungkasnya.

  • Pemangkasan Suku Bunga The Fed di Depan Mata, Rupiah Menguat? – Page 3

    Pemangkasan Suku Bunga The Fed di Depan Mata, Rupiah Menguat? – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta Ketidakpastian arah kebijakan moneter Amerika Serikat kembali menjadi perhatian, terutama setelah desakan terbuka Presiden Donald Trump agar Federal Reserve memangkas suku bunga acuan.

    Sementara itu, Ketua The Fed Jerome Powell masih mempertahankan sikap hati-hati, menunggu data inflasi dan ketenagakerjaan yang lebih solid.

    Meskipun peluang pemangkasan suku bunga pada pertemuan FOMC (Federal Open Market Committee) 18 Juni 2025 dinilai kecil, pasar mulai memproyeksikan kemungkinan penurunan di semester kedua tahun ini.

    Jika skenario ini terjadi, maka dampaknya tidak hanya dirasakan oleh ekonomi AS, tetapi juga oleh negara berkembang seperti Indonesia.

    Aus Modal Masuk RI

    Analisis tim riset Finex mengatakan, penurunan suku bunga The Fed berpotensi menciptakan arus modal masuk ke negara-negara dengan imbal hasil lebih tinggi, termasuk Indonesia.

    Hal ini dapat memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS serta meningkatkan minat terhadap obligasi pemerintah dan instrumen investasi lokal lainnya.

    “Dalam konteks global, penurunan suku bunga AS cenderung meningkatkan likuiditas dan memicu pergeseran portofolio investor. Ini bisa memberi ruang bagi penguatan rupiah dan peluang baru bagi pelaku pasar Indonesia,” ujar Financial Analyst Finex, Brahmantya Himawan, dalam keterangannya, Jumat (13/6/2025).

    Menurutnya, pengaruh suku bunga terhadap pasar sangat kompleks. Tidak hanya memengaruhi nilai tukar rupiah, tetapi juga berdampak pada harga komoditas, saham global, dan pasangan mata uang utama.

     

  • Skenario Pemangkasan Suku Bunga The Fed, Ini Dampaknya ke Indonesia

    Skenario Pemangkasan Suku Bunga The Fed, Ini Dampaknya ke Indonesia

    Bisnis.com, JAKARTA — Pasar mulai memproyeksikan kemungkinan penurunan suku bunga The Fed pada semester II/2025 dengan peluang pemangkasan suku bunga pada pertemuan Federal Open Market Committee atau FOC pada 18 Juni 2025 mendatang dinilai kecil.

    Adapun ketidakpastian arah kebijakan moneter Amerika Serikat kembali menjadi perhatian, terutama setelah desakan terbuka Presiden Donald Trump agar Federal Reserve memangkas suku bunga acuan. Sementara itu, Ketua The Fed Jerome Powell masih mempertahankan sikap hati-hati, menunggu data inflasi dan ketenagakerjaan yang lebih solid.  

    Analis Finex Brahmantya Himawan Financial memperkirakan jika skenario ini terjadi, maka dampaknya tidak hanya dirasakan oleh ekonomi Amerika Serikat (AS) tetapi juga oleh negara berkembang seperti Indonesia.

    “Jika penurunan suku bunga The Fed terjadi berpotensi menciptakan arus modal masuk ke negara-negara dengan imbal hasil lebih tinggi, termasuk Indonesia. Hal ini dapat memperkuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS serta meningkatkan minat terhadap obligasi pemerintah dan instrumen investasi lokal lainnya,” ujarnya dalam riset tertulis, Kamis (12/6/2025).

    Dalam konteks global, lanjutnya, penurunan suku bunga AS cenderung meningkatkan likuiditas dan memicu pergeseran portofolio investor. 

    Adapun, pengaruh suku bunga terhadap pasar sangat kompleks. Tidak hanya memengaruhi nilai tukar, tetapi juga berdampak pada harga komoditas, saham global, dan pasangan mata uang utama.

    Sejumlah instrumen yang berpotensi terdampak antara lain indeks saham AS seperti NASDAQ dan S&P 500, serta pasangan mata uang seperti EUR/USD, AUD/USD, dan GBP/USD. 

    Keputusan pasar, kata Brahmantya, sangat dipengaruhi oleh beragam indikator fundamental seperti CPI (Consumer Price Index) dan PPI (Producer Price Index), indikator tenaga kerja seperti Non-Farm Payroll (NFP) dan tingkat pengangguran, serta indikator pertumbuhan dan konsumsi seperti retail sales, indeks PMI (Purchasing Managers’ Index), dan angka pertumbuhan GDP. 

    Dengan memahami keseluruhan konteks tersebut, investor dan trader dapat mengambil keputusan yang lebih rasional dan menghindari respons emosional terhadap gejolak sesaat di pasar global.

    Dalam kondisi saat ini, dia menekankan pentingnya edukasi dan pemahaman terhadap dinamika ekonomi global agar pelaku pasar tidak sekadar ikut-ikutan tren, tapi mampu membuat keputusan yang lebih strategis dan terukur. 

    “Banyak yang melihat suku bunga hanya dari sisi pengaruhnya terhadap pinjaman atau investasi, padahal efek dominonya jauh lebih luas. Reaksi pasar bisa sangat dinamis, terutama jika disertai kejutan data ekonomi atau tekanan geopolitik,” terangnya.

    Disclaimer: berita ini tidak bertujuan mengajak membeli atau menjual saham. Keputusan investasi sepenuhnya ada di tangan pembaca. Bisnis.com tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan investasi pembaca.