Tag: Jerome Powell

  • Bitcoin terkoreksi usai cetak rekor, dipengaruhi inflasi AS 

    Bitcoin terkoreksi usai cetak rekor, dipengaruhi inflasi AS 

    Jika tren ini berlanjut, altcoin lain bisa memperoleh dorongan lebih kuat, meskipun optimisme terkait potensi penurunan suku bunga The Fed masih menjadi faktor penentu.

    Jakarta (ANTARA) – Bitcoin terpantau terkoreksi usai mencetak sejumlah rekor tertinggi sepanjang masa dalam tiga hari berturut-turut, yakni di level 122.800 dolar Amerika Serikat (AS) pada Senin (14/7), melanjutkan kenaikan dari harga sebelumnya 119.300 dolar AS pada Minggu (13/7), dan 118.500 dolar AS pada Jumat (11/7).

    Terciptanya harga All-Time-High (ATH) baru Bitcoin tersebut, salah satunya didorong oleh berita kebijakan tarif perdagangan baru AS terhadap impor dari Uni Eropa dan Meksiko. Namun, Rabu (16/7) ini, harga Bitcoin mulai terkoreksi di level 117.000 dolar AS.

    Dalam keterangannya, di Jakarta, Rabu, Analis Reku Fahm Almuttaqin mengatakan, kenaikan inflasi Indeks harga konsumen atau Consumer Price Index (CPI) AS yang lebih tinggi di bulan Juni turut menekan kondisi pasar di tengah aksi profit taking yang sedang terjadi.

    “Data CPI AS bulan Juni yang dirilis tadi malam menunjukkan kenaikan harga konsumen sebesar 0,3 persen secara bulanan dan 2,7 persen secara tahunan, peningkatan paling signifikan sejak Januari. Lonjakan tersebut didorong oleh kenaikan harga barang impor seperti perabot rumah tangga, elektronik, dan pakaian yang terdampak oleh tarif perdagangan AS. Kenaikan tersebut selaras dengan kekhawatiran The Fed bahwa inflasi akibat kebijakan tarif Trump baru mulai terasa. Hal ini meningkatkan kemungkinan akan dipertahankannya suku bunga di level 4,25-4,50 persen hingga paling cepat September,” ujar Fahmi.

    Terlepas dari koreksi yang dialami Bitcoin hari ini, beberapa altcoin besar masih terpantau melanjutkan kenaikan. Beberapa altcoin di jajaran top 100 telah membukukan kenaikan harga lebih dari 50 persen dalam satu pekan terakhir, seperti PENGU, XLM, CRV, dan ALGO.

    Kenaikan altcoin tersebut menjadi indikasi terjadinya rotasi kapital dari Bitcoin ke aset berkapitalisasi menengah.

    “Jika tren ini berlanjut, altcoin lain bisa memperoleh dorongan lebih kuat, meskipun optimisme terkait potensi penurunan suku bunga The Fed masih menjadi faktor penentu. Intervensi Trump seperti melalui tekanan pada pemimpin The Fed Jerome Powell, untuk menurunkan suku bunga hingga ke level 1 persen maupun mengundurkan diri dari jabatannya sebagai pemimpin bank sentral tersebut, turut menjadi faktor potensial yang dapat mempengaruhi dinamika optimisme investor,” katanya pula.

    Lebih lanjut, Fahmi menyampaikan bahwa saat ini banyak investor yang berada pada posisi wait and see menunggu diturunkannya suku bunga untuk mengalokasikan dana ke altcoin.

    Sinyal positif terkait hal itu dapat memicu upaya antisipatif lanjutan yang dapat mengalirkan lebih banyak dana ke sektor altcoin khususnya yang memiliki kekuatan likuiditas dan support harga yang solid.

    “Tren tersebut apabila terjadi, akan menjadi sinyal klasik fase lanjutan siklus bullish yang ada. Untuk investor kripto, ini membuka peluang profit baru, namun juga memperbesar risiko volatilitas karena reli altcoin seringkali lebih fluktuatif dan cepat berbalik arah. Investor disarankan tetap disiplin, memanfaatkan momentum, tetapi waspada terhadap tanda-tanda reversal atau rotasi kapital kembali ke Bitcoin khususnya jika ketidakpastian global meningkat,” kata Fahmi.

    Sementara, aliran dana masuk baru yang kemungkinan masih akan didominasi oleh investor institusional, kemungkinan besar masih akan mengarah ke Bitcoin. Terlepas dari potensi altcoin dan tren akumulasi ETH yang terlihat semakin solid dalam beberapa pekan terakhir, Bitcoin masih menjadi pilihan utama investor institusi saat ini.

    Terlepas dari potensi ketidakpastian ke depan, kenaikan harga Bitcoin melampaui level 120.000 dolar AS, juga sudah menjawab beberapa keraguan terkait level harga yang dirasa sudah terlalu tinggi di level 116.000 dolar AS.

    “Potensi aliran dana yang cukup masif ke pasar kripto masih berpotensi terjadi apabila investor semakin mempertimbangkan kemungkinan akan diberlakukannya kebijakan pelonggaran ekonomi AS,” ujarnya lagi.

    Kenaikan lanjutan dapat semakin meningkatkan relevansi dari strategi adopsi Bitcoin, seperti sebagai corporate treasury misalnya, dengan semakin banyak Bitcoin dijadikan instrumen lindung nilai oleh perusahaan-perusahaan besar di berbagai sektor dan negara.

    “Meningkatnya relevansi tersebut dapat menciptakan efek lanjutan di mana semakin banyak institusi berpotensi mengalokasikan aset ke Bitcoin yang dapat semakin meningkatkan legitimasinya sebagai instrumen investasi yang bernilai,” ujar Fahmi lagi.

    Di tengah kondisi yang masih cukup bullish ini, pasar kripto menawarkan berbagai prospek menarik yang dapat dieksplorasi oleh para pelaku pasar sesuai dengan preferensi dan strategi investasi masing-masing.

    Bagi investor pemula yang ingin memanfaatkan momentum namun masih belum terlalu percaya diri dengan tingkat risiko yang ada, Fahmi menyarankan bisa mempertimbangkan untuk berinvestasi di indeks fund seperti Reku Packs di mana investor bisa mendapatkan eksposur ke berbagai aset kripto dengan sekali beli.

    “Reku Packs juga menyediakan serangkaian portofolio Saham AS yaitu Web3 Wall Street Fund yang memungkinkan investor mendapatkan eksposur pasar kripto melalui perusahaan global yang berkorelasi dengan sektor blockchain, tanpa berinvestasi langsung ke crypto. Sementara itu, untuk strategi pembelian, di tengah masih relatif terbukanya potensi ketidakpastian makro, investor juga bisa mempertimbangkan strategi DCA (dollar cost averaging) di mana investor dapat melakukan pembelian dengan nominal dan periode waktu tertentu seperti satu kali setiap bulan misalnya untuk mendapatkan harga rata-rata dari setiap fluktuasi yang terjadi di pasar,” kata Fahmi pula.

    Pewarta: Bayu Saputra
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Rupiah melemah seiring ancaman tarif Trump 100 persen ke Rusia

    Rupiah melemah seiring ancaman tarif Trump 100 persen ke Rusia

    Sumber foto: Antara/elshinta.com.

    Rupiah melemah seiring ancaman tarif Trump 100 persen ke Rusia
    Dalam Negeri   
    Editor: Sigit Kurniawan   
    Selasa, 15 Juli 2025 – 17:39 WIB

    Elshinta.com – Analis mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi menilai, pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan mengenakan tarif sekunder sebesar 100 persen terhadap Rusia.

    “Trump mengancam akan mengenakan tarif sekunder sebesar 100 persen terhadap Rusia, jika Presiden Vladimir Putin tidak mencapai kesepakatan dalam 50 hari untuk mengakhiri perang di Ukraina,” kata Ibrahin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

    Mengutip Sputnik, Senator AS Lindsey Graham dan Richard Blumenthal mengajukan rancangan undang-undang (RUU) bipartisan yang bertujuan menjatuhkan sanksi primer dan sekunder terhadap Rusia jika Moskow gagal terlibat dalam negosiasi “iktikad baik” atas perdamaian di Ukraina pada April 2025.

    Sanksi itu akan mencakup tarif 500 persen atas barang impor dari negara-negara yang membeli minyak, gas, uranium, dan produk-produk Rusia lainnya.

    Pekan lalu, Trump kembali menyuarakan ketertarikannya terhadap RUU sanksi yang diusulkan Graham, menyatakan bahwa dirinya sedang mempertimbangkan undang-undang tersebut “dengan sangat matang”.

    Namun, ia menekankan keputusan untuk melanjutkan UU tersebut sepenuhnya berada di tangan Presiden. Salah seorang pejabat senior AS mengatakan bahwa presiden bersedia menandatangani RUU tersebut, asalkan ia memegang kendali penuh atas implementasi sanksi.

    “Meskipun ancaman tarif baru-baru ini tidak berdampak besar pada pergerakan pasar secara keseluruhan, para pedagang mempertimbangkan apakah AS benar-benar akan mengenakan tarif tinggi pada negara-negara yang terus berdagang dengan Rusia, serta menahan diri untuk tidak memasang taruhan besar di tengah ketidakpastian,” kata Ibrahim pula.

    Selain itu, sentimen lain berasal dari perkiraan Gubernur Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell terkait angka inflasi AS lebih tinggi, sehingga membuat bank sentral menunda kebijakan pemangkasan suku bunga.

    Inflasi AS diprediksi naik 0,3 persen dibanding bulan lalu yang membawa inflasi year on year (YoY) meningkat 2,4 persen menjadi 2,7 persen.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari Selasa di Jakarta melemah sebesar 17 poin atau 0,10 persen menjadi Rp16.267 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.250 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari ini, juga melemah ke level Rp16.281 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.247 per dolar AS.

    Sumber : Antara

  • Rupiah Loyo terhadap Dolar AS Hari Ini 15 Juli 2025 Setelah Trump Kenakan Tarif ke Eropa dan Meksiko – Page 3

    Rupiah Loyo terhadap Dolar AS Hari Ini 15 Juli 2025 Setelah Trump Kenakan Tarif ke Eropa dan Meksiko – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Nilai tukar Rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada Selasa, 15 Juli 2025. Hal ini terjadi setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenakan tarif impor baru terhadap Uni Eropa dan Meksiko.

    Rupiah ditutup melemah 16 poin terhadap dolar AS (USD), setelah melemah 55 poin di level 16.266 dari penutupan sebelumnya di level 16.250. 

    “Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.260 – Rp16.300,” ungkap pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (15/7/2025).

    Rupiah melemah menyusul langkah Presiden AS Donald Trump untuk mengenakam tarif impor baru terhadap  Uni Eropa dan Meksiko. 

    Sehari sebelumnya, Presiden Trump juga mengungkapkan akan mengenakan tarif sekunder sebesar 100% terhadap Rusia jika Presiden Rusia Vladimir Putin tidak mencapai kesepakatan dalam 50 hari untuk mengakhiri perang di Ukraina.

    “Meskipun ancaman tarif baru-baru ini tidak berdampak besar pada pergerakan pasar secara keseluruhan, para pedagang mempertimbangkan apakah AS benar-benar akan mengenakan tarif tinggi pada negara-negara yang terus berdagang dengan Rusia serta menahan diri untuk tidak memasang taruhan besar di tengah ketidakpastian,” papar Ibrahim.

    Ia menyebut, pasar kini fokus pada perkembangan data inflasi indeks harga konsumen AS untuk Juni 2025 yang akan dirilis pada Selasa, 15 Juli 2025 waktu setempat, dan diharapkan dapat memberikan wawasan lebih lanjut tentang dampak ekonomi dari tarif Donald Trump. 

    Sementara itu, Ketua The Federal Reserve (the Fed), Jerome Powell memperkirakan tarif mendorong inflasi AS lebih tinggi pada musim panas ini, yang kemungkinan membuat bank sentral menunda kebijakan moneternya hingga akhir tahun.

    Sementara itu, di Asia, ekonomi Tiongkok tumbuh 5,2% year-on-year pada kuartal kedua tahun 2025, sedikit di atas ekspektasi pasar sebesar 5,1%, didukung oleh ekspor yang tangguh dan stimulus pemerintah. 

    “Pertumbuhan yang kuat ini mencerminkan dampak terbatas dari perang dagang AS, karena tarif yang tinggi hanya berlaku,” Ibrahim menyoroti.

  • Rupiah melemah seiring ancaman tarif Trump 100 persen terhadap Rusia

    Rupiah melemah seiring ancaman tarif Trump 100 persen terhadap Rusia

    Trump mengancam akan mengenakan tarif sekunder sebesar 100 persen terhadap Rusia…

    Jakarta (ANTARA) – Analis mata uang sekaligus Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuabi menilai, pelemahan nilai tukar (kurs) rupiah dipengaruhi ancaman Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump akan mengenakan tarif sekunder sebesar 100 persen terhadap Rusia.

    “Trump mengancam akan mengenakan tarif sekunder sebesar 100 persen terhadap Rusia, jika Presiden Vladimir Putin tidak mencapai kesepakatan dalam 50 hari untuk mengakhiri perang di Ukraina,” kata Ibrahin dalam keterangan tertulis di Jakarta, Selasa.

    Mengutip Sputnik, Senator AS Lindsey Graham dan Richard Blumenthal mengajukan rancangan undang-undang (RUU) bipartisan yang bertujuan menjatuhkan sanksi primer dan sekunder terhadap Rusia jika Moskow gagal terlibat dalam negosiasi “iktikad baik” atas perdamaian di Ukraina pada April 2025.

    Sanksi itu akan mencakup tarif 500 persen atas barang impor dari negara-negara yang membeli minyak, gas, uranium, dan produk-produk Rusia lainnya.

    Pekan lalu, Trump kembali menyuarakan ketertarikannya terhadap RUU sanksi yang diusulkan Graham, menyatakan bahwa dirinya sedang mempertimbangkan undang-undang tersebut “dengan sangat matang”.

    Namun, ia menekankan keputusan untuk melanjutkan UU tersebut sepenuhnya berada di tangan Presiden. Salah seorang pejabat senior AS mengatakan bahwa presiden bersedia menandatangani RUU tersebut, asalkan ia memegang kendali penuh atas implementasi sanksi.

    “Meskipun ancaman tarif baru-baru ini tidak berdampak besar pada pergerakan pasar secara keseluruhan, para pedagang mempertimbangkan apakah AS benar-benar akan mengenakan tarif tinggi pada negara-negara yang terus berdagang dengan Rusia, serta menahan diri untuk tidak memasang taruhan besar di tengah ketidakpastian,” kata Ibrahim pula.

    Selain itu, sentimen lain berasal dari perkiraan Gubernur Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell terkait angka inflasi AS lebih tinggi, sehingga membuat bank sentral menunda kebijakan pemangkasan suku bunga.

    Inflasi AS diprediksi naik 0,3 persen dibanding bulan lalu yang membawa inflasi year on year (YoY) meningkat 2,4 persen menjadi 2,7 persen.

    Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari Selasa di Jakarta melemah sebesar 17 poin atau 0,10 persen menjadi Rp16.267 per dolar AS dari sebelumnya Rp16.250 per dolar AS.

    Kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia pada hari ini, juga melemah ke level Rp16.281 per dolar AS dari sebelumnya sebesar Rp16.247 per dolar AS.

    Pewarta: M Baqir Idrus Alatas
    Editor: Budisantoso Budiman
    Copyright © ANTARA 2025

    Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.

  • Beredar Rumor Ketua The Fed Jerome Powell Pertimbangkan Resign

    Beredar Rumor Ketua The Fed Jerome Powell Pertimbangkan Resign

    Washington, Beritasatu.com – Ketua The Federal Reserve Jerome Powell dilaporkan mempertimbangkan untuk mengundurkan diri. Powell mundur setelah tekanan untuk menurunkan suku bunga oleh Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.

    Hal ini terungkap dari ucapan Direktur Badan Keuangan Perumahan Federal (Federal Housing Finance Agency/FHA), Bill Pulte, di situs resmi FHA. Bill merupakan kritikus vokal Powell yang telah mendukung upaya Presiden Donald Trump untuk menekan bank sentral menurunkan suku bunga

    “Saya mendorong laporan bahwa Jerome Powell sedang mempertimbangkan untuk mengundurkan diri. Saya pikir ini akan menjadi keputusan yang tepat bagi Amerika, dan perekonomian akan berkembang pesat,” kata Pulte seperti dilansir dari situs FHFA, Sabtu (12/7/2025).

    Namun, tidak jelas dari mana Bill mendapatkan informasi yang ia gunakan untuk pernyataan tersebut dan tidak ada informasi publik lain mengenai hal ini saat ini.

    FOX Business pun berusaha menghubungi Federal Reserve terkait pernyataan Pulte. Namun, juru bicara Fed menolak berkomentar dan merujuk pada pernyataan Powell yang berulang kali menyatakan bahwa ia berniat untuk menjalani sisa masa jabatannya.

    Masa jabatan Powell sendiri baru berakhir pada 15 Mei 2026, meskipun masa jabatannya sebagai anggota dewan gubernur bank sentral bisa diperpanjang hingga 31 Januari 2028.

  • Ketua Dewan Fannie Mae Desak Ketua Fed Jerome Powell Mundur: Langkah Terbaik bagi Ekonomi AS – Page 3

    Ketua Dewan Fannie Mae Desak Ketua Fed Jerome Powell Mundur: Langkah Terbaik bagi Ekonomi AS – Page 3

    Liputan6.com, Jakarta – Desakan agar Jerome Powell mundur dari jabatannya sebagai Ketua The Federal Reserve (The Fed) semakin menguat. Kali ini, kritik tajam datang dari William Pulte, Kepala Badan Keuangan Perumahan Federal sekaligus Ketua Dewan Fannie Mae dan Freddie Mac—dua institusi keuangan penting di pasar perumahan AS.

    Dikutip dari USA Today, Sabtu (12/7/2025), dalam pernyataan publik pada 11 Juli, Pulte menyebut bahwa pengunduran diri Powell akan menjadi “keputusan yang tepat bagi Amerika” dan bisa membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.

    Ia juga mengutip adanya laporan bahwa Powell tengah mempertimbangkan langkah untuk mundur, meski hingga kini The Fed menolak memberikan komentar dan hanya merujuk pada komitmen Powell untuk menyelesaikan masa jabatannya hingga Mei 2026.

    Pernyataan Pulte datang di tengah ketidakpuasan yang terus membesar terhadap kepemimpinan Powell, terutama dari kalangan pemerintahan Presiden Donald Trump.

    Dipilih Trump

    Sebelumnya, Trump—yang ironisnya adalah pihak yang menunjuk Powell sebagai Ketua The Fed pada 2017—berulangkali menyuarakan kritik keras terhadap kebijakan suku bunga yang menurutnya terlalu lambat dan tidak pro-pertumbuhan.

    Trump bahkan menyebut Powell sebagai “orang bodoh” dan mengaku telah menyemprot Ketua The Fed dengan “semua nama jelek” dalam upaya menekan bank sentral agar segera menurunkan suku bunga dari kisaran saat ini 4,25%-4,5% menjadi 2,25%.

     

  • Ketua Dewan Fannie Mae Desak Ketua Fed Jerome Powell Mundur: Langkah Terbaik bagi Ekonomi AS – Page 3

    Pemerintahan Trump Terus Desak Ketua The Fed Jerome Powell Mundur – Page 3

    Terbaru, tekanan politik kembali muncul pada 11 Juli, saat William Pulte—kepala Badan Keuangan Perumahan Federal yang juga menjabat Ketua Dewan Fannie Mae dan Freddie Mac—secara terbuka menyatakan bahwa mundurnya Powell adalah keputusan yang tepat bagi Amerika.

    Ia menyebut ada laporan bahwa Powell tengah mempertimbangkan untuk mengundurkan diri. Namun, The Fed menolak berkomentar dan hanya merujuk pada pernyataan Powell sebelumnya bahwa ia akan menyelesaikan masa jabatannya hingga Mei 2026.

    Pernyataan Pulte ini muncul menjelang rapat The Fed pada 29-30 Juli. Berdasarkan data CME FedWatch, pasar memperkirakan 93% kemungkinan suku bunga tetap dipertahankan pada kisaran 4,25%-4,5% setelah pertemuan itu.

    Pada Juni lalu, The Fed memang telah mempertahankan suku bunga untuk keempat kalinya secara berturut-turut, dan memproyeksikan akan ada dua kali pemangkasan suku bunga pada 2025. Diperkirakan suku bunga akan turun setengah poin ke kisaran 3,75%-4%.

     

  • Risalah Rapat The Fed: Silang Pendapat Pejabat Bank Sentral AS soal Dampak Tarif

    Risalah Rapat The Fed: Silang Pendapat Pejabat Bank Sentral AS soal Dampak Tarif

    Bisnis.com, JAKARTA — Perbedaan pandangan di antara para pejabat Federal Reserve atau The Fed terkait prospek suku bunga dipicu oleh beragam ekspektasi terhadap dampak tarif terhadap inflasi, menurut risalah pertemuan terbaru bank sentral AS.

    Dalam risalah pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 17–18 Juni 2025 yang dikutip dari Bloomberg pada Kamis (10/7/2025) disebutkan meski beberapa peserta rapat menilai tarif hanya akan menyebabkan kenaikan harga satu kali dan tidak berdampak pada ekspektasi inflasi jangka panjang, sebagian besar peserta menyoroti risiko bahwa tarif bisa berdampak lebih persisten terhadap inflasi.

    Proyeksi suku bunga terbaru menunjukkan bahwa 10 dari 19 pejabat memperkirakan akan ada setidaknya dua kali pemangkasan suku bunga sebelum akhir tahun ini. Namun, tujuh pejabat memperkirakan tidak akan ada pemangkasan sama sekali pada 2025, sementara dua lainnya memproyeksikan satu kali pemangkasan.

    Para pembuat kebijakan mencermati adanya ketidakpastian yang signifikan terkait waktu, besaran, dan durasi dari dampak tarif terhadap inflasi. Tergantung bagaimana kebijakan tarif itu memengaruhi perekonomian dan hasil negosiasi dagang, pandangan para pejabat pun beragam terkait potensi lonjakan inflasi.

    Dalam pertemuan tersebut, The Fed memutuskan secara bulat untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25%–4,5% untuk keempat kalinya secara berturut-turut. Keputusan ini kembali menuai kritik dari Presiden AS Donald Trump yang berulang kali mendorong penurunan suku bunga.

    Kompleksitas Baru Akibat Tarif

    Risalah tersebut menegaskan kebijakan ekonomi yang terus berkembang cepat, termasuk perluasan tarif oleh Presiden Trump terhadap mitra dagang utama AS, telah menyulitkan pengambilan keputusan moneter tahun ini. Selain itu, perubahan kebijakan pajak, imigrasi, dan regulasi juga turut menyumbang ketidakpastian ekonomi.

    “Peserta menilai bahwa ketidakpastian terhadap prospek ekonomi meningkat seiring dinamika kebijakan dagang, kebijakan pemerintah lainnya, dan risiko geopolitik, meski secara keseluruhan ketidakpastian telah menurun dibandingkan dengan pertemuan sebelumnya,” demikian kutipan risalah tersebut.

    Sebagian besar ekonom memperkirakan tarif akan mendorong inflasi dan membebani pertumbuhan ekonomi. Ketua The Fed Jerome Powell sebelumnya menyatakan bahwa bank sentral kemungkinan sudah menurunkan suku bunga lebih jauh tahun ini jika bukan karena tarif.

    Namun, sejauh ini data ekonomi belum menunjukkan dampak menyeluruh dari tarif tersebut. Hal ini membuka perdebatan di kalangan pejabat bank sentral mengenai kapan, seberapa besar, dan selama apa tarif akan mendorong inflasi. Data inflasi konsumen untuk bulan Juni akan menjadi fokus utama pada 15 Juli mendatang.

  • Harga Emas Hari Ini Merosot 1% Setelah Rilis Data Pekerjaan AS – Page 3

    Harga Emas Hari Ini Merosot 1% Setelah Rilis Data Pekerjaan AS – Page 3

    Di tengah tren bullish, reli harga emas sempat tertahan oleh meredanya tensi geopolitik. Kabar mengenai potensi gencatan senjata selama 60 hari di konflik Israel–Gaza dan kesepakatan damai sementara antara Israel dan Iran turut menekan minat pasar terhadap aset safe haven seperti emas.

    Fokus investor juga tertuju pada tenggat waktu 9 Juli terkait keputusan tarif antara Amerika Serikat dan mitra dagangnya. Presiden Trump telah menegaskan tidak akan memperpanjang tenggat tersebut, yang menimbulkan potensi guncangan dalam perdagangan global dan turut mempengaruhi sentimen terhadap komoditas termasuk emas.

    Sementara itu, Ketua The Fed Jerome Powell, dalam forum ECB di Sintra, menyatakan bahwa kebijakan pemangkasan suku bunga akan sepenuhnya bergantung pada data ekonomi yang akan datang. Artinya, The Fed tidak akan terburu-buru, dan pemangkasan suku bunga kemungkinan baru akan dilakukan pada September.

    Outlook: Masih Positif, Tapi Waspada

    Dengan mempertimbangkan faktor teknikal, fundamental, dan geopolitik yang terus berkembang, Andy Nugraha menilai bahwa pergerakan emas dalam waktu dekat kemungkinan tetap akan bergerak dalam kisaran USD 3.330–USD 3.362 per troy ounce, dengan bias masih cenderung positif.

    Namun, pasar akan menunggu konfirmasi dari data NFP untuk menentukan arah selanjutnya.

     

  • Rupiah Perkasa terhadap Dolar AS Hari Ini 3 Juni 2025, Kesepakatan Tarif Dagang Vietnam jadi Sentimen – Page 3

    Rupiah Perkasa terhadap Dolar AS Hari Ini 3 Juni 2025, Kesepakatan Tarif Dagang Vietnam jadi Sentimen – Page 3

    Sebelumnya, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mengalami pelemahan pada Rabu, 9 Juli 2025. Rupiah ditutup melemah 47 poin terhadap Dolar AS (USD), setelah sebelumnya sempat melemah 50 poin di level Rp 16.246 dari penutupan sebelumnya di level Rp 16.188.

    “Sedangkan untuk perdagangan besok, mata uang Rupiah fluktuatif namun ditutup melemah di rentang Rp16.230 – Rp 16.300,” ungkap pengamat mata uang, Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (9/6/2025).

    Rupiah melemah di tengah meningkatnya taruhan bahwa Federal Reserve (The Fed) akan memangkas suku bunga pada bulan September mendatang.

    Namun, Ketua The Fed Jerome Powell sebagian besar mengulangi sikap hati-hati bank sentral AS. Dia menyatakan bahwa ketidakpastian atas dampak inflasi dari tarif Trump akan membuat bank sentral tidak memangkas suku bunga dalam waktu dekat.

    Adapun ketidakpastian terkait implikasi fiskal dari RUU pemotongan pajak dan belanja yang didukung oleh Presiden AS Donald Trump, yang disetujui dalam pemungutan suara Senat.

    Perhatian pasar juga tertuju pada langkah Trump yang mempertimbangkan kenaikan tarif dagang 30% hingga 35% terhadap Jepang.

    Rencana tersebut diumumkan Trump melihat belum tercapainya kesepakatan dagang kedua negara sebelum batas waktu minggu depan. Sejauh ini, AS telah menandatangani kesepakatan dagang dengan Inggris dan kerangka kerja perdagangan terbatas dengan Tiongkok.

    “Tarif perdagangan AS yang lebih tinggi diperkirakan akan menyebabkan gangguan ekonomi yang meluas,” papar Ibrahim.